• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI

4.4. Produksi SCFA

Penentuan short chain fatty acid (SCFA) pada media fermentasi menggunakan gas kromatografi dengan lama waktu inkubasi 0, 24, dan 48 jam. Konsentrasi SCFA pada 0, 24, dan 48 jam yang disuplementasi dengan pati aren alami dan pati aren asetat pada DS 0,039, DS 0,078 dan DS 0,139 dapat dilihat pada Tabel 2. Produksi SCFA mengalami fluktuasi dan bervariasi dimana asam asetat diproduksi dalam jumlah tertinggi dibanding asam propionat dan asam butirat dengan rasio molar yang berbeda.

38 Tabel 2. Konsentrasi SCFA pada 0, 24, dan 48 jam yang disuplementasi dengan pati aren alami dan pati aren asetat pada DS 0,039, DS 0,078 dan DS 0,139.

Keterangan: TT= tidak terdeteksi

Produksi asam asetat meningkat seiring bartambahnya lama inkubasi 0-24 untuk semua sampel dan menurun sampai jam ke-48, sedangkan produksi butirat mengalami peningkatan mulai dari awal sampai akhir fermentasi meskipun dalam jumlah yang sedikit dan bahkan ada yang tidak terdeteksi. Pola produksi asam propionat juga mempunyai kecenderungan yang mirip dengan produksi asam asetat, meningkat seiring bartambahnya lama inkubasi 0-24 dan dan selanjutnya menurun sampai jam ke-48. Produksi asam butirat meningkat seiring bertambahnya lama inkubasi 0, 24, dan 48 jam namun untuk sampel DS 0,078 dan DS 0,139 sedangkan sampel lainnya ada

39 yang tidak terdeteksi (TT). Pada Tabel 2, terlihat konsentrasi SCFA (asam asetat, propionat dan butirat) berbeda untuk setiap perlakuan pada lama waktu inkubasi jam ke-0. Hal ini disebabkan karena SCFA tersebut berasal feses yang konsentrasinya berbeda-beda dan adanya perbedaan jalur metabolisme produksi SCFA oleh mikrobia.

Pati alami, DS 0,039, DS 0,078, dan DS 0,139 sebagai sumber karbon dalam fermentasi dengan bakteri kolon menghasilkan konsentrasi SCFA yang berbeda. Hal ini diduga karena adanya perbedaan jenis ikatan dan komposisi penyusun jenis monosakarida. Lebih lanjut dijelaskan oleh Jonathan et al.

(2012) bahwa fermentasi glukomannan dan RS oleh mikrobia kolon dari feses menghasilkan konsentasi SCFA yang berbeda, hal ini disebabkan karena glukomannan mempunyai ikatan (1,4)-β-D-mannan dengan monosakarida dari mannosa, sedangkan RS mempunyai ikatan (1,4)-α-D-glukosa dengan monosakarida dari glukosa (Rahim et al., 2016).

Di samping jenis ikatan dan komposisi penyusun monosakarida, maka derajat polimerisasi (DP) juga berpengaruh dalam fermentasi untuk produksi SCFA. Struktur molekul yang kecil dari arbinoksilooligosakarida (DP ≤ 12) menghasilkan efek bifidogenik dan konsentrasi SCFA yang tinggi daripada struktur molekul yang besar (DP 61). Menurut Ramnani et al. (2012) bahwa agar dan alginat dengan berat

40 molekul rendah memproduksi SCFA yang lebih tinggi dan berpotensi prebiotik dibandingkan dengan berat molekul tinggi.

Pada produksi SCFA, pemanfaatan pati modifikasi akan didegradasi oleh enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri kolon menjadi glukosa. Selanjutnya glukosa yang merupakan pentosa melalui fermentasi mengalami proses glikolisis menjadi asam piruvat. Dalam proses metabolisme selanjutnya asam piruvat akan diubah menjadi asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Hal ini dikarenakan bakteri kolon merupakan kelompok jenis bakteri yang bersifat heterofermentatif fakultatif yang dapat menghasilkan SCFA dari fermentasi pati modifikasi / RS melalui jalur heksosa monofosfat (HMP) atau biasa juga disebut jalur fosfoketolase atau jalur pentosa fosfat (Rahim et al., 2016).

41 BAB 5. TEKNIK PEMBUATAN DAN

KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA ROTI PREBIOTIK

5.1. Prebiotik

Prebiotik adalah komponen makanan yang menguntungkan bagi kesehatan konsumen karena merangsang pertumbuhan atau aktivitas kelompok mikroba tertentu di dalam kolon. Prebiotik menyebabkan komposisi mikroflora dalam kolon akan berubah. Populasi mikroba yang menguntungkan, terutama Lactobacillus sp dan Bifidobaciterium sp akan meningkat dan sebaliknya pertumbuhan bakteri yang merugikan terutama Escerichia coli dan Clostridium sp dihambat. Jika prebiotik dalam makanan tidak cukup maka jumlah bakteri pathogen akan dominan sehingga zat – zat beracun akan terbentuk (Silalahi, 2006).

Salah satu komponen bahan pangan fungsional yang dikembangkan saat ini adalah pati termodifikasi termasuk pati aren asetat yang memiliki sifat prebiotik dan dapat digunakan sebagai bahan pensubstitusi sebagian atau seluruhnya tepung terigu dalam olahan produk pangan seperti roti, mie dan sebagainya, sehingga diperoleh olahan pangan yang sehat.

Prebiotik adalah komponen bahan pangan yang bermanfaat bagi manusia karena dapat menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas sejumlah bakteri probiotik dalam kolon sehingga dapat memperbaiki kesehatan saluran pencernaan manusia (Toma, 2006).

42 5.2. Bahan roti prebiotik

5.2.1. Tepung Terigu

Tepung terigu merupakan hasil penggilingan biji gandum. Gandum bisa dibedakan berdasarkan kebiasaan tumbuh (musim dingin atau panas), warna (merah putih sampai kuning) dan kekerasan biji (keras atau lunak) sehingga dikenal gandum jenis: hard/soft red winter, soft white winter, soft white spring, red/yellow spring durum. Beberapa istilah untuk tepung terigu antara lain: tepung kuat, tepung lemah, selfraising flour, all purpose flour, instanized flour, enriched flour, whole wheat flour, whole meal flour dan phospated flour. Tepung kuat dan lemah dipakai untuk menunjukkan kandungan protein dalam terigu. Kandungan protein tepung kuat lebih tinggi dari tepung lemah sehingga cocok untuk membuat roti yang memerlukan pengadukan dan fermentasi lebih lama (Koswara, 2009).

5.2.2. Pati aren asetat

Pati aren asetat marupakan hasil modifikasi pati aren melalui proses asetilasi yang memiliki karakteristik fisik, kimia dan fungsional yang mirip dengan tepung terigu. Pati aren asetat memiliki daya mengembang yang besar dan juga memiliki kadar RS yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai sumber bahan pangan prebiotik. Produk pangan yang menggunakan pati aren asetat ini dapat digolongkan sebagai olahan produk pangan yang memiliki sifat prebiotik.

43 5.2.3. Garam

Fungsi garam dalam pembuatan roti adalah sebagai penambah rasa gurih, pembangkit rasa bahan-bahan lain, pengontrol waktu fermentasi, penambah kekuatan gluten, pengatur warna kulit, dan pencegah timbulnya bakteri-bakteri dalam adonan. Syarat garam yang baik yaitu harus 100% larut air, jernih, tidak menggumpal, murni dan bebas dari rasa pahit.

Garam pada roti mempunyai fungsi yang lebih penting daripada sekedar memperbaiki rasa. Garam membantu aktifitas amilase dan menghambat aktifitas protease pada tepung. Adonan tanpa garam akan menjadi lengket (agak basah) dan sukar dipegang (Koswara, 2009).

Garam adalah salah satu bahan pengeras, bila adonan tidak memakai garam, maka adonan agak basah.Garam memperbaiki pori-pori roti dan tekstur roti akibat kuatnya adonan, dan secara tidak langsung berarti membantu pembentukan warna. Garam membantu mengatur aktifitas ragi roti dalam adonan yang sedang difermentasi dan dengan demikian mengatur tingkat fermentasi. Garam juga mengatur mencegah pembentukan dan pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan dalam adonan yang diragikan (Koswara, 2009).

5.2.4. Gula

Gula digunakan sebagai bahan pemanis dalam pembuatan roti. Jenis gula yang paling banyak digunakan adalah sukrosa. Selain sebagai pemanis sukrosa juga berperan

44 dalam penyempurnaan mutu panggang dan warna kerak, dan memungkinkan proses pematangan yang lebih cepat, sehingga air lebih banyak dipertahankan dalam roti (Koswara, 2009).

Gula sangat penting peranannya dalam pembuatan roti diantaranya sebagai makanan ragi, memberi rasa, mengatur fermentasi, memperpanjang umur roti, menambah kandungan gizi, memberikan warna cokelat yang menarik pada kulit karena proses maillard atau karamelisasi (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).

Gula juga ditujukan sebagai sumber karbon pertama dari sel khamir yang mendorong keaktifan fermentasi. Gula yang dimanfaatkan oleh sel khamir, umumnya hanya gula-gula sederhana, glukosa atau fruktosa, yang dihasilkan oleh pemecahan enzimatik molekul yang lebih kompleks, seperti sukrosa, maltosa, pati atau karbohidarat lainnya. Sukrosa dan maltosa dapat dipecah menjadi gula sederhana (heksosa) oleh enzim yang ada dalam sel khamir, sedangkan pati dan dekstrin tak dapat diserang oleh khamir. Enzim-enzim yang terdapat dalam tepung atau malt diastatik, berfungsi memproduksi gula dekstrosa atau maltosa dari pati yang ada dalam adonan (Koswara, 2009).

5.2.5. Susu Bubuk

Susu bubuk digunakan untuk produk-produk bakery berfungsi membentuk flavor, mengikat air, sebagai bahan

45 pengisi, membentuk struktur yang kuat dan porous karena adanya protein berupa kasein, membentuk warna karena terjadi reaksi pencoklatan dan menambah keempukan karena adanya laktosa (Koswara, 2009).

Roti yang terbuat dari tepung jenis lunak (soft) atau berprotein rendah, penambahan susu lebih banyak dibandingkan tepung jenis keras (hard) atau berprotein tinggi.

Penambahan susu sebaiknya berupa susu padat. Alasannya, susu padat menambah penyerapan (absorpsi) air dan memperkuat adonan. Bahan padat bukan lemak pada susu padat tersebut berfungsi sebagai bahan penyegar protein tepung sehingga volume roti bertambah (Mudjajanto dan Yulianti, 2004).

5.2.6. Ragi

Ragi termasuk bahan baku utama pada pembuatan roti.

Ragi untuk roti dibuat dari sel khamir Saccharomyces cereviceae, dengan memfermentasi gula, khamir menghasilkan karbondioksida yang digunakan untuk mengembangkan adonan (Mudjajanto dan Yulianti 2004). Ragi berfungsi untuk mengembangkan adonan dengan memproduksi gas CO2, memperlunak gluten dengan asam yang dihasilkan dan juga memberikan rasa dan aroma pada roti. Dengan memfermentasi gula, khamir menghasilkan gas karbodioksida yang digunakan untuk mengembangkan adonan (Koswara, 2009).

46 Ragi mengandung beberapa enzim yaitu protease, lipase, invertase, maltase dan zymase. Protease memecah protein dalam tepung menjadi senyawa nitrogen yang dapat diserap sel khamir untuk membentuk sel yang baru. Lipase memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserin. Invertase memecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Maltase memecah maltosa menjadi glukosa dan zymase memecah glukosa menjadi alkohol dan karbondioksida. Akibat dari fermentasi ini timbul komponen-komponen pembentuk flavor roti, diantaranya asam asetat, aldehid dan ester (Koswara, 2009).

Aktivitas ragi roti di dalam adonan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain enzim-enzim protease, lipase, invertase dan maltase, kandungan air, suhu, pH, gula dan garam. Enzim protease dapat mengurangi kekuatan jaringan zat gluten sehingga adonan menjadi lebih mudah untuk diolah.

Sedangkan enzim lipase berfungsi melindungi selselragi roti sewaktu menjadi spora. Enzim invertase merubah gula menjadi glukosadan fruktosa, sedangkan enzim maltase merubah maltosa menjadi dekstrosa. Adanya komponen garam akan memperlambat kerja ragi roti. Kondisi optimal bagi aktivitas ragi roti dalam proses fermentasi adalah pada activity water (aw) = 0,905 suhu antara 25oC sampai 30oC dan pH antara 4.0 sampai 4.5 (Koswara, 2009).

47 5.2.7. Telur

Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004) telur berfungsi sebagai pengembang, pembentuk warna, perbaikan rasa, dan penambah nilai gizi. Jika telur tidak digunakan dalam adonan maka adonan harus ditambahkan cairan walaupun hasilnya kurang lunak. Roti yang lunak dapat diperoleh dengan penggunaan kuning telur yang lebih banyak.Kuning telur banyak mengandung lesitin (emulsifier). Bentuknya padat, tetapi kadar airnya sekitar 50%. Sementara putih telur, kadar airnya 86%. Putih telur mempunyai sifat creaming yang lebih baik dibandingkan kuning telur.

Sebagai emulsifier (mengikat antar air dan lemak sehingga dapat menyatu dalam adonan), selain itu juga memberi rasa gurih dan menambah nilai gizi. Jika, pemakaian kuning telur yang berlebihan akan membuat roti menjadi tidak kekarbentuknya. gunakan telur yang segar sehingga tidak mengurangi kualitas roti (Arifin, 2011).

5.2.8. Air

Air merupakan bahan yang berperan penting dalam pembuatan roti, antara lain gluten terbentuk dengan adanya air.

Air sangat menentukan konsistensi dan karakteristik reologi adonan, yang sangat menentukan sifat adonan selama proses dan akhirnya menentukan mutu produk yang dihasilkan. Air juga berfungsi sebagai pelarut bahan seperti garam, gula, susu dan mineral sehingga bahan tersebut terdispersi secara merata

48 dalam adonan (Koswara, 2009). Menurut Mudjajanto dan Yulianti (2004) air berfungsi sebagai penyebab terbentuknya gluten serta pengontrol kepadatan dan suhu adonan. Selain itu, air berperan sebagai pelarut garam, penahan dan penyebar bahan-bahan bukan tepung secara seragam, dan memungkinkan adanya aktivitas enzim.

Dalam pembuatan roti, air akan melakukan hidrasi dan bersenyawa dengan protein membentuk gluten dan dengan pati membentuk gel setelah dipanaskan. Jumlah air yang digunakan tergantung pada kekuatan tepung dan proses yang digunakan.

Faktor-faktor yang terlibat pada proses penyerapan air antara lain macam dan jumlah protein serta sebanyak 45,5 % air akan berikatan dengan pati, 32,2 % dengan protein dan 23,4 % dengan pentosan. Banyaknya air yang dipakai akan menentukan mutu dari roti yang dihasilkan (Koswara, 2009).

5.2.9. Margarin

Menurut Arifin (2011) Sebagai pelumas pada adonan, terlalu banyak margarin juga membuat roti menjadi tidak kekar bentuknya. Margarin yang ada dipasaran, antara lain, Margarin beraroma buah-buahan (fruity), Margarin beraroma mentega (buttery), Margarin dengan kombinasi keduanya.

5.3. Proses pembuatan roti prebiotik

Roti umumnya dibuat dari tepung terigu, karena tepung terigu mampu menyerap air dalam jumlah besar, dapat

49 mencapai konsisten adonan yang cepat memiliki elastisitas yang baik untuk menghasilkan roti dengan remah halus tekstur lembut, volume besar dan mengandung 12-13% protein. Pati aren asetat merupakan pati hasil modifikasi secara asetilasi yang memiliki sifat fisik mirip dengan tepung terigu sehingga pati modifikasi ini memiliki potensi sebagai pensubstitusi penggunaan tepung terigu. Pembuatan roti prebiotik menggunakan komposisi seperti yang tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi bahan penyusun roti prebiotik

Bahan

Substitusi Tepung Terigu oleh Pati Aren Asetat

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% Keterangan: sk (sendok kecil), sb (sendok besar).

Proses pembuatan dilakukan dengan mencampur semua bahan kering kecuali ragi instan (terigu cakra kembar, pati aren asetat, garam, gula dan susu bubuk). Pada wadah lain, ragi instan ditambahkan sedikit air dingin supaya lebik aktif. Ragi instan dalam air dingin, telur, air dan margarin dimasukkan ke dalam campuran bahan kering kemudian diuleni sampai

50 membentuk adonan kalis. Adonan kalis tersebut difermentasi pertama selama 30 menit ditutupi plastik atau kain kasah yang sedikit dibasahi. Proses berikutnya adalah adonan yang telah difermentasi dibuang gasnya dengan cara dipress atau diuleni lagi. Adonan ditimbang 40-45 gram, kemudian difermentasi kedua selama 10 menit, selanjutnya adonan dibentuk atau dibulatkan, kemudian difermentasi ketiga selama 15 menit.

Adonan yang telah difermentasi tersebut, diolesi kemudian dioven 190-210oC selama 20-35 menit sampai kunig kecoklatan. Contoh roti prebiotik yang dibuat sesuai formulasi/resep yang tercantum pada Tabel 3 dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14a. Roti prebiotik pada konsentrasi pati aren asetat 0 dan 10%.

0%

%

10%

%

51 Gambar 14b. Roti prebiotik pada konsentrasi pati aren asetat 20, 30, 40, 50 dan 60%.

20%

%

30%

%

40%

%

50%

%

60%

%

52 5.4. Karakteristik fisik roti prebiotik

Karakteristik roti prebiotik dari pati aren asetat pada konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60% diantaranya daya menahan air, daya menahan minyak, daya mengembang, kelarutan, daya serap minyak, derajat pengembangan, weight dan oven spring ditunjukkan pada Tabel 4. Konsentarasi pati aren asetat tidak berpengaruh nyata terhadap daya menahan air, daya mengembang dan weight roti prebiotik yang dihasilkan.

Di sisi lain, konsentrasi pati aren asetat berpengaruh nyata terhadap daya menahan minyak, kelarutan, daya serap minyak, derajat pengembangan dan oven spring roti prebiotik yang diproduksi.

Roti tanpa pati aren asetat (0%) memiliki daya menahan minyak paling tinggi dibandingkan dengan roti lainnya yang terbuat dari pati aren asetat. Di samping itu roti prebiotik dari pati aren asetat memiliki daya menahan minyak meningkat dengan bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Peningkatan daya menahan minyak disebabkan oleh adanya perubahan geometrik dan gugus fungsional asetat pada molekul pati yang memfasilitasi kemampuan menahan minyak, pati aren asetat memiliki kristalinitas yang rendah dibandingkan dengan tepung terigu atau pati aren alami serta bersifat lebih hidrofobik.

53 Tabel 4. Karakteristik fisik roti prebiotik dari pati aren asetat pada konsentrasi berbeda.

Keterangan: DMA (daya menahan air), DMM (daya menehan minyak), DM (daya mengembang), KLT (kelarutan), DSM (daya serap minyak) dan DP (daya pengembangan).

Inkorporasi gugus asetat dalam molekul pati dapat melemahkan ikatan hidrogen intra dan antar molekul pati sehingga menyebabkan perubahan geometrik molekul pati dan gugus karbonil pada asetat memiliki kemampuan menahan air, sedangkan gugus metil pada asetat memiliki kemampuan menahan minyak. Kelarutan roti memiliki kecenderungan meningkat dengan bertambahnya konsentrasi pati aren asetat yang digunakan dan lebih besar dibandingkan dengan konsentrasi 0% (100% tepung terigu).

Roti tanpa pati aren asetat (0%) memiliki daya serapan minyak yang sama dengan 60% dan keduanya terbesar, sedangkan roti lainnya cenderung meningkat dengan

Pati

54 bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Hal ini diduga karena terjadinya inkorporasi gugus asetil dalam molekul pati yang menyebabkan terjadinya perubahan struktur pati yang lebih bersifat hidrofobik. Konsentrasi pati aren asetat berpengaruh nyata terhada derajat pengembangan roti serta memiliki kecenderungan meningkat sampai 50% kemudian menurun pada konsentrasi pati aren asetat 60%. Pengembangan roti terjadi sebagai hasil dari suatu reaksi yang berurutan. Disini terdapat pengaruh fisis yang murni dari panas terhadap gas yang terjebak sehingga menaikkan tekanan. Tambahan lagi karena kebanyakan gas yang dilepaskan terjebak dalam film pati yang elastis, sel gas mengembang dengan sendirinya. Dalam adonan terdapat sejumlah besar sel gas yang kecil-kecil dimana setiap gas mengembang dan mengakibatkan volume bertambah.

Pengembangan pada roti juga disebabkan oleh aktivitas metabolism dalam khamir sejalan dengan naiknya suhu adonan sampai titik non aktifnya khamir.

Derajat pengembangan dipengaruhi oleh konsentrasi, suhu, pH larutan, gula, garam, lemak dan protein. Gula menurunkan kekentalan karena gula mengikat air sehingga menghambat pengembangan granula. Sedangkan lemak membentuk ikatan kompleks dengan amilosa pada saat pemanasan granula sehingga menghambat pelepasan amilosa.

Oven spring roti prebiotik pada konsentrasi pati aren asetat 0%

lebih kecil dibandingkan dengan lainnya serta semakin

55 meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pati aren asetat.

Hal ini disebabkan karena terjadinya pengembangan roti setelah dioven dan salah satu sifat pati aren asetat memiliki kemampuan mengembang yang baik. Fenomena ini diduga disebabkan oleh melemahnya kekuatan asosiasi antarmolekul pati karena inkorporasi gugus asetil pada gugus hidroksil dalam molekul pati. Penelitian ini mirip dengan hasil penelitian oleh Wang et al. (2011) bahwa daya mengembang pati jagung oktenil suksinat meningkat dengan meningkatnya waktu reaksi dan DS sampai dengan 0,81. Das et al. (2010) menunjukkan bahwa daya mengembang pati sweet potato asetat meningkat dengan meningkatnya lama reaksi dan DS dari 0,018 sampai 0,058.

5.5. Karakteristik kimia roti prebiotik

Karakteristik kimia roti prebiotik dari pati aren asetat pada konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, 50 dan 60% meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat, kadar karbohidrat dan energi dapat dilihat pada Tabel 5. Konsentarasi pati aren asetat berpengaruh nyata terhadap semua variabel pengamatan roti prebiotik yang diproduksi. Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui bahwa kadar air roti prebiotik memiliki kecenderungan menurun seiring bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Menurunnya kadar air disebabkan berkurangnya sifat hidrofilitas sehingga menurunkan kemampuan mengikat

56 air. Jumlah air yang diserap terutama sekali bergantung pada jumlah dan kemampuan gugus hidrofilik untuk melakukan ikatan dengan air.

Tabel 5. Karakteristik kimia roti prebiotik dari pati aren asetat pada konsentrasi berbeda.

Kadar abu roti prebiotik 0 dan 6% signifikan terhadap konsentrasi pati aren asetat lainnya. Sebagian besar makanan, yaitu 96% terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral dikenal dengan zat anorganik atau kadar abu. Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar namun zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu. Mineral terdiri dari kalsium, natrium, klor, fosfor, belerang, magnesium dan komponen lain dalam jumlah yang kecil.

Kadar protein dari roti prebiotik semakin menurun seiring bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Penurunan

57 kadar protein ini disebabkan karena pati aren asetat memiliki kandungan protein yang kecil dibandingkan dengan kandungan protein tepung terigu yang menyebabkan penambahan pati aren asetat akan menurunkan jumlah protein dalam roti. Disamping itu, penyebab lain menurunnya protein diduga telah terjadi denaturasi protein pada saat pemanggangan roti pada suhu 190-210oC. Menurut Kusnandar (2010) denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuarter dari protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida dan perubahan sekuen asam amino pada stuktur protein. Protein yang telah mengalami proses denaturasi disebut protein terdenaturasi. Perubahan struktur protein ini biasanya menyebabkan perubahan sifat fisikokimia protein secara irreversibel, seperti hilangnya sifat kelarutan dan aktifitas biologisnya. Denaturasi protein dapat menyebabkan bahan pangan yang mengandung protein mengalami perubahan tekstur, kehilangan daya ikat air, atau mengalami pengkerutan (Kusnandar,2010). Roti tanpa pati aren asetat (0%) memiliki kadar lemak yang sama dengan 60% dan keduanya terbesar, sedangkan roti lainnya cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Hal ini diduga karena bertambahnya sifat hidrofobik akibat proses asetilasi pada molekul pati.

Kadar serat pangan roti prebiotik 0% (100% tepung terigu) terkecil dibandingkan dengan lainnya. Hal ini

58 disebabkan karena pati aren asetat memiliki kandungan serat pangan lebih tinggi dibandingkan dengan tepung terigu. Oleh karena itu roti dari pati aren asetat dapat digunakan sebagai bahan pangan yang fungsional bagi kesehatan karena kandungan seratnya yang relatif tinggi. Kadar karbohidrat dari roti prebiotik semakin meningkat seiring bertambahnya konsentrasi pati aren asetat. Peningkatan kadar karbohidrat disebabkan karena pati aren asetat memiliki kandungan karbohidrat yang lebih besar dibandingkan dengan kandungan karbohidrat tepung terigu yang menyebabkan penambahan pati aren asetat akan meningkatkan jumlah karbohidrat dalam roti.

Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno, 1995). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai kalori roti pati aren asetat meningkat seiring meningkatnya konsentrasi pati aren asetat. Nilai kalori merupakan nilai yang diperoleh dari konversi protein, lemak dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 Kkal energi per 100 gram, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan eneri sebesar 4 Kkal per

Karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno, 1995). Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai kalori roti pati aren asetat meningkat seiring meningkatnya konsentrasi pati aren asetat. Nilai kalori merupakan nilai yang diperoleh dari konversi protein, lemak dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 Kkal energi per 100 gram, sedangkan karbohidrat dan protein menghasilkan eneri sebesar 4 Kkal per

Dokumen terkait