• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

4. Analisa Energi Bruto

Sampel sebanyak 1 gram dibentuk pellet. Sampel dimasukkan kedalam cawan kecil, kemudian dilewatkan kawat platina sepanjang 10 cm dan dimasukkan kedalam Bomb Calorimeter dan diisi oksigen sebanyak 25 atmosfer. Bomb Calorimeter dimasukkan ke dalam jaket yang sudah diisi air kemudian ditutup. Diukur suhu awalnya (a) dengan menekan tombol/knob. Sampel dibakar selama 5 menit. Kemudian suhu distabilkan dengan menekan tombol/knob dan dicatat sebagai suhu akhir (b). Kawat platina yang terbakar diukur sebagai k cm.

Perhitungan : Sampel Berat Titran V. k. Koreksi F. x a) (b Bruto Energi = − −

Keterangan : a = suhu awal air dalam jaket bomb calorimeter. b = suhu akhir air dalam jaket bomb calorimeter k = panjang kawat platina yang terbakar V = volume titran

18 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Energi Bruto

Energi yang cukup sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang normal. Kekurangan energi pada ternak, khususnya ternak dalam masa pertumbuhan akan menghambat pertumbuhan ternak tersebut. Konsumsi energi bruto pada kambing dan domba berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Konsumsi Energi Bruto pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis

Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba Konsumsi Energi Bruto (Kkal/e/h) Jantan 1686,63 ±260,43 1962,24 ±436,83 1824,43 ±348,63 Betina 1597,75 ±173,89 1999,81 ±338,67 1798,78 ±256,28 Rata-rata 1642,19 ±217,16b 1981,02 ±387,75a Konsumsi Energi Bruto(Kkal/kg BB0,75) Jantan 239,57 ±16,57 244,88 ±31,48 242,23 ±24,03 Betina 245,11 ± 7,37 252,18 ± 8,26 248,65 ± 7,82 Rata-rata 242,34 ±11,97 248,53 ±19,87

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kambing dan domba berbeda sangat nyata (P<0,01) dalam mengkonsumsi energi bruto. Konsumsi energi bruto pada domba lebih tinggi dibandingkan konsumsi energi bruto pada kambing. Wilkinson dan Stark (1985) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi energi adalah jenis dan kualitas ransum, ferkuensi makan, bobot badan, dan tingkat produksi ternak. Pada penelitian ini jenis ransum dan frekuensi makan pada kedua spesies tersebut adalah sama, sedangkan bobot badan pada domba dan kambing yang digunakan berbeda, dimana bobot badan rata-rata pada domba relatif lebih besar dibanding dengan kambing. Church (1971) menyatakan bahwa semakin besar bobot badan pada seekor ternak, maka semakin tinggi kebutuhan energinya.

19 Konsumsi energi bruto per bobot badan metabolis tidak berbeda untuk semua perlakuan, hal ini dikarenakan konsumsi bobot badan metabolis tidak dipengaruhi oleh besarnya bobot badan setiap ternak serta tidak dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Konsumsi perbobot badan metabolis ini merupakan konsumsi yang mendakati nilai sebenarnya.

Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 3) rataan konsumsi energi bruto pada kambing dan domba berturut-turut sebesar 1642,19 ± 217,16 Kkal/e/h (242,34 ± 11,97 Kkal/kg BB0,75) dan 1981,02 ± 387,75 Kkal/e/h (248,53 ± 19,87 Kkal/kg BB0,75). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi (1992) yaitu rataan konsumsi energi bruto untuk kambing kacang dengan bobot badan ±10 kg dan energi bruto pakan 4,39 Mkal/kg BK sebesar 232,80 Kkal/kg BB0,75. Begitu juga dengan konsumsi energi bruto pada domba yang dilaporkan oleh Mathius et al. (1996), dimana rataan konsumsi energi domba lokal fase pertumbuhan dengan bobot badan ±13 kg dan energi bruto pakan 3,77 Mkal/kg BK sebesar 1383,27 kkal/e/h. Berbedanya perolehan konsumsi energi bruto pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan kandungan energi pakan yang diberikan. Wilkinson dan Stark (1985) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi energi adalah jenis dan kualitas ransum. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi energi pakan maka konsumsi energi akan semakin rendah.

Energi Tercerna

Energi tercerna dari makanan adalah selisih antara konsumsi energi bruto dengan energi bruto yang keluar melalui feses. Energi feses sebagian besar berasal dari bahan makanan yang tidak tercerna dan hanya sedikit yang merupakan metabolit yang dihasilkan oleh saluran pencernaan (Edey, 1983). Rataan energi yang terbuang melalui feses dan rataan energi tercerna (DE) pada kambing dan domba penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5.

20 Tabel 4. Rataan Energi Bruto Feses dan Presentase Energi Bruto Feses pada Kambing dan Domba.

Peubah Jenis Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba Energi Feses (Kkal/e/h) Jantan 613,63 ±106,25 696,66 ± 92,77 655,15±99,51 Betina 605,48 ±116,76 669,65 ± 71,99 637,57±94,38 Rata-rata 609,56 ±111,51 683,16 ± 82,38 Energi Feses (Kkal/kg BB0,75) Jantan 78,54 ± 8,45 83,17 ± 10,37 80,85±9,41 Betina 76,64 ± 4,31 79,41 ± 7,78 78,03±6,05 Rata-rata 77,59 ± 6,38 81,29 ± 9,08

% Energi Feses Jantan Betina 36,40 ± 3,36 37,27 ± 10,32 41,46 ± 7,87 33,94 ± 4,20 36,83±5,62 37,70±7,26 Rata-rata 38,93 ± 6,84 35,61 ± 6,04

Tabel 5.Rataan Energi Tercerna (DE) pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis

Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba Energi Tercerna (Kkal/e/h) Jantan 1236,03 ±190,21 1430,89 ±365,35 1333,46 ±277,78 Betina 1034,27 ±102,03 1346,07 ±250,78 1190,17 ±176,41 Rata-rata 1135,15 ±146,12b 1388,48 ±308,07a Energi Tercerna (Kkal/kg BB0,75) Jantan 158,32 ±13,28 163,25 ±22,95 160,78 ±18,12 Betina 141,78 ±14,09 158,15 ±14,68 149,97 ±14,39 Rata-rata 150,05 ±13,69 160,70 ±18,82

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan spesies (kambing dan domba) berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap energi tercerna, akan tetapi

21 interaksi kedua faktor tidak berbeda terhadap energi tercerna (Tabel 5). Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa energi tercerna pada domba lebih tinggi dibandingkan dengan kambing. Menurut Llyod (1982) energi tercerna dapat dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan makanan, tingkat konsumsi dan spesies ternak. Mengingat pada penelitian ini sifat fisik dan kimia bahan makanan yang diberikan adalah sama, maka perbedaan energi tercerna pada kambing dan domba dipengaruhi oleh perbedaan spesies dan tingkat konsumsinya. Hal ini sejalan dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, yakni konsumsi energi bruto pada domba nyata lebih tinggi dibanding kambing (Tabel 3).

Energi tercerna merupakan selisih antara konsumsi energi bruto dengan energi feses (Church, 1971). Pada Tabel 3 diketahui bahwa konsumsi energi bruto domba lebih tinggi dibanding kambing, akan tetapi pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai rataan energi feses pada kambing dan domba tidak berbeda. Hal ini diduga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya nilai energi tercerna domba dibanding kambing. Persentase energi bruto yang keluar melalui feses pada penelitian ini berkisar antara 33,94-41,46% dari konsumsi energi bruto. Dengan demikian nilai tersebut masih berada dalam kisaran yang dinyatakan oleh Parakkasi (1999) yakni sebesar 20-60%.

Menurut NRC (1981) kambing dengan bobot badan antara 10-20 kg memerlukan energi tercerna antara 700-1180 Kkal/e/h untuk kebutuhan hidup pokoknya. Rataan energi tercerna pada kambing dalam penelitian ini sebesar 1135,15 ± 146,12 Kkal/e/h (150,05 ± 13,69 Kkal/kg BB0,75), dengan demikian jumlah energi yang dapat dicerna pada kambing dalam penelitian ini masih berada dalam kisaran yang disarankan oleh NRC (1981).

Dalam penelitian ini diperoleh data rataan energi tercerna pada domba sebesar 1388,48 ± 308,07 Kkal/e/h atau setara dengan 160,70 ± 18,82 Kkal/kg BB0,75. Menurut NRC (1985) kebutuhan energi tercerna untuk hidup pokok pada domba sebesar 265 kkal DE/kg BB0,75, sedangkan menurut Tomaszewska et al.

(1993) kebutuhan energi tercerna untuk hidup pokok pada domba lokal adalah 119 Kkal/kg BB0,75. Nilai yang diperoleh dalam penelitian ini masih berada diatas kebutuhan pokok yang dilaporkan oleh Tomaszewska et al. (1993), akan tetapi lebih rendah dari yang disarankan oleh NRC (1985).

22 Energi metabolis (ME)

Energi adalah komponen paling utama yang ada dalam pakan ternak. Energi metabolis merupakan energi makanan yang tersedia untuk metabolisme setelah energi tercerna dikurangi dengan energi yang hilang melalui urin (Parakkasi, 1999). Rataan energi yang keluar melalui urin pada kambing dan domba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Energi Urin pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis

Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba Energi Urin (Kkal/e/h) Jantan 14,86 ± 5,38ab 10,41 ± 6,17b 12,64±5,78 Betina 11,15 ± 7,40b 20,71 ± 7,41a 15,93±7,41 Rata-rata 13,01± 6,39 15,56± 6,79 Energi Urin (Kkal/kg BB0,75) Jantan 1,88 ± 0,53ab 1,21 ± 0,74b 1,54±0,64 Betina 1,48 ± 0,91ab 2,46 ± 0,73a 1,97±0,82 Rata-rata 1,68 ± 0,72 1,84 ± 0,74

Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Berdasarkan hasil yang didapat (Tabel 6) bahwa spesies (kambing dan domba) dan jenis kelamin (jantan dan betina) tidak berbeda terhadap energi yang keluar melalui urin, akan tetapi interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap pengeluaran energi melalui urin. Pada ternak kambing, ternak jantan dan betina tidak berbeda dalam hal pengeluaran energi melalui urin, akan tetapi pada ternak domba energi urin pada betina lebih tinggi dibanding ternak jantan. Tingginya energi urin pada domba betina diduga dipengaruhi oleh tingginya bahan kering yang keluar melalui urin pada ternek tersebut. Elita (2006) melaporkan bahwa bahan kering urin domba betina relatif lebih tinggi dibanding domba jantan. Dengan kata lain, semakin meningkatkan bahan padatan (bahan kering) pada urin, maka akan meningkatkan kandungan energi bruto pada urin. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pengukuran energi urin dapat dilakukan dengan membakar bagian padat (bahan kering) urin dengan bomb-kalorimeter. Rataan energi bruto urin pada penelitian ini berkisar antara 11,15±7,40 Kkal/e/h - 20,71±7,41 Kkal/e/h atau setara

23 dengan 0,63-1,12% dari konsumsi energi bruto. Nilai ini relatif lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Parakkasi (1999) yakni sebesar 3-5% dari konsumsi energi bruto.

Energi metabolis dari ransum yang dikonsumsi oleh kambing dan domba selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Energi Metabolis pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis

Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba Energi Metabolis (Kkal/e/h) Jantan 1164,16 ±157,55 1278,29 ±171,78 1221,22 ±164,67 Betina 1023,12 ± 96,38 1288,46 ±179,13 1155,79 ±137,76 Rata-rata 1093,64 ±126,97b 1283,37 ±175,46a Energi Metabolis (Kkal/kg BB0,75) Jantan 149,72 ±15,70 149,38 ±9,70 149,55 ±12,70 Betina 140,31 ±14,06 140,42 ±21,65 140,36 ±17,86 Rata-rata 145,01 ±14,88 144,90 ±15,68

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan spesies (kambing dan domba) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap energi metabolis, akan tetapi perbedaan jenis kelamin dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh terhadap energi metabolis. Energi metabolis domba lebih tinggi dibanding kambing. Menurut Parakkasi (1999) faktor yang mempengaruhi energi metabolis yaitu sifat fisik dan kimia dari ransum, level dan frekuensi pemberian makan, serta status produktivitas ternak. Mengingat sifat fisik dan kimia ransum, serta level dan frekuensi pemberian makan pada penelitian ini sama, maka faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi metabolis tinggal status produktivitas ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa status produktivitas ternak dapat dibagi menjadi untuk hidup pokok dan untuk

24 pertumbuhan. Tingginya energi metabolis pada domba dalam penelitian ini diduga domba membutuhkan energi metabolis yang lebih besar untuk hidup pokoknya dibandingkan dengan kambing. Disamping itu, tingginya energi metabolis pada ternak domba kemungkinan dipengaruhi oleh konsumsi energi bruto dan energi tercerna pada spesies ternak tersebut, dimana pada Tabel 4 dan 5 diketahui bahwa rataan energi tercerna domba nyata lebih tinggi dibanding kambing.

Rataan energi metabolis pada kambing dalam penelitian ini sebesar 1093,64 Kkal/e/h atau setara dengan 145,01Kkal/kg BB0,75. Menurut NRC (1981) kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada kambing adalah 765 Kkal/e/h atau 101,34 Kkal/kg BB0,75, sedangkan menurut Devendra dan Burns (1994) kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada kambing kacang di Malaysia adalah 92,94 Kkal/kg BB0,75. Dengan demikian energi metabolis untuk kambing kacang pada penelitian ini berada diatas kebutuhan hidup pokok yang disarankan. Begitu juga dengan energi metabolis pada domba, dimana energi metabolis domba dalam penelitian ini sebesar 1283,37 Kkal/e/h atau setara dengan 144,90 Kkal/kg BB0,75. Kearl (1982) melaporkan bahwa kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada domba adalah 93,69 Kkal/kg BB0,75. Retensi energi metabolis yang positif mengakibatkan ternak-ternak tersebut dapat memanfaatkan ketersediaan energi untuk tujuan produksi sesuai dengan potensi genetiknya, yang pada umunya pada ternak muda digunakan dalam bentuk pertambahan bobot badan.

Efisiensi Penggunaan Energi

Efisiensi penggunaan energi dapat dinyatakan sebagai rasio antara unit pertambahan bobot badan dengan unit konsumsi energi. Nilai efisiensi energi menunjukkan unit pertambahan bobot badan yang dicapai akibat konsumsi setiap unit energi. Efisiensi penggunaan energi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Efisiensi Penggunaan Energi pada Kambing dan Domba.

Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan

Kambing Domba

Jantan 0,062 ± 0,021 0,048 ± 0,008 0,055±0,015

Betina 0,070 ± 0,012 0,046 ± 0,013 0,058±0,013

25 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Berdasarkan hasil sidik ragam diperoleh bahwa kambing dan domba berbeda nyata (P<0,05) terhadap efisiensi penggunaan energi, dimana efisiensi penggunaan energi pada kambing lebih tinggi dari domba. Hal ini menunjukkan bahwa energi metabolis yang dibutuhkan untuk menghasilkan tiap gram pertambahan bobot badan pada kambing lebih rendah dibanding domba. Menurut NRC (1981) kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada kambing adalah 765 Kkal/e/h. Dalam penelitian ini, rataan energi metabolis pada ternak kambing sebesar 1093,64 Kkal/e/h (Tabel 7). Dengan demikian kelebihan energi metabolis yang dikonsumsi yakni 328,64 Kkal/e/h (1093,64-765) Kkal/e/h, digunakan untuk tujuan produksi atau untuk pertambahan bobot badan. Jumlah tersebut memberikan respons rataan pertambahan bobot badan sebesar 70,91 g/e/h (Elita, 2006). Data tersebut memberi gambaran bahwa untuk setiap 1 gram pertambahan bobot badan dibutuhkan energi metabolis sebesar 4,63 Kkal. Sedangkan kebutuhan energi metabolis untuk menaikkan 1 gram bobot badan domba dalam penelitian ini sebesar 5,25 Kkal, dengan pertambahan bobot badan pada domba sebesar 63,53 g/e/h. Menurut Devendra dan Burns (1994) untuk menaikkan 1 gram bobot badan pada kambing kacang dibutuhkan energi metabolis sebesar 5-10 Kkal, sedangkan untuk domba lokal sebesar 4 Kkal (Mathius et al.,1996). Berbedanya energi metabolis yang digunakan untuk produksi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh ternak yang digunakan memiliki kemampuan atau potensi genetik yang berbeda dibandingkan dengan ternak yang digunakan pada penelitian terdahulu.

Konsumsi NDF

NDF adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi (Parakkasi, 1999). Semakin banyak bahan makanan mengandung NDF atau dinding sel tanaman dalam ransum maka tingkat konsumsi akan semakin rendah, hal ini disebabkan tingginya kandungan serat terutama kandungan NDF dalam pakan yang bersifat

bulky dan kaku akan membutuhkan ruang yang lebih banyak di dalam rumen. Peningkatan NDF dalam ransum menyebabkan ruang rumen akan cepat terisi oleh dinding sel tersebut. Apabila rumen sudah terisi sesuai kapasitasnya maka ternak

26 akan cepat merasa kenyang dan konsumsi akan menurun. Konsumsi NDF pada kambing dan domba dapat dilihat dalam Tabel 9.

Tabel 9. Rataan Konsumsi NDF pada Kambing dan Domba Peubah Jenis

Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba Konsumsi NDF (g/e/h) Jantan 220,69 ± 34,07 256,75 ± 57,16 238,72±45,62 Betina 209,06 ± 22,75 261,66 ± 44,31 235,36±33,53 Rata-rata 214,87 ± 28,41b 259,21 ± 50,74a Konsumsi NDF (g/kg BB0,75) Jantan 31,34 ± 2,18 32,04 ± 4,12 31,69± 3,15 Betina 32,07 ± 0,96 32,99 ± 1,08 32,53± 1,02 Rata-rata 31,71 ± 1,57 32,52 ± 2,60

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa spesies kambing dan domba berpengaruh sangat nyata (P<0,01) dalam hal konsumsi NDF, akan tetapi perbedaan jenis kelamin dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh terhadap konsumsi NDF (P>0,05). Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa konsumsi NDF domba lebih tinggi dibanding kambing. Menurut Blaxter (1969) tingkat konsumsi dinding sel tanaman (NDF) dipengaruhi oleh kapasitas lambung, fermentasi dalam rumen dan gerak laju digesta melalui saluran pencernaan. Tingginya konsumsi NDF pada domba dalam penelitian ini diduga karena domba memiliki kapasitas lambung yang lebih besar dibanding kambing. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saefudin (1990) bahwa domba mempunyai bobot jaringan rumen-retikulum dan jaringan abomasum yang lebih berat daripada kambing (P<0,05). Kelebihan sifat fisik alat pencernaan ini memungkinkan domba lebih mampu mengkonsumsi makanan yang lebih banyak daripada kambing, karena kapasitas lambung yang lebih besar akan mempengaruhi jumlah makanan yang dapat ditampung dalam lambung menjadi lebih banyak.

Rataan konsumsi NDF pada kambing dan domba dalam penelitian ini masing-masing sebesar 214,87 g/e/h (31,71 g/kg BB0,75) dan 259,21 g/e/h (32,52 g/kg BB0,75). Nilai rataan konsumsi NDF pada domba dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mathius et al. (1996), yaitu sebesar 237,7 g/e/h untuk domba lokal yang diberikan ransum pellet dan memiliki rataan

27 bobot badan sebesar 13,8±1,1kg. Parakkasi (1999) menyatakan tingkat konsumsi dapat dipengaruhi oleh makanan yang diberikan, lingkungan tempat ternak, dan hewannya itu sendiri. Perbedaan nilai yang diperoleh pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pakan yang diberikan, dimana ransum pellet pada penelitian Mathius et al. (1996) memiliki kandungan NDF yang lebih rendah yaitu 43% BK, sedangkan bobot badan domba yang digunakan relatif sama. Selain itu, Hungate (1966) menyatakan bahwa ruminansia yang memperoleh pakan berserat tinggi, volume total alat pencernaanya akan lebih tinggi dari pada yang memperoleh pakan berserat rendah.

Kecernaan NDF

Keistimewaan ruminansia adalah kemampuannya dalam mencerna dan menggunakan materi dinding sel tanaman atau NDF. Materi dinding sel tanaman ini sebagian besar terdiri dari hemiselulosa, selulosa, lignin, lignoselulosa dan silika (Vans Soest, 1982). Selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna oleh mikroba rumen dalam waktu yang relatif lama, sedangkan lignin dan silika tidak dapat dicerna. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa bila bahan makanan memiliki kandungan lignin atau silika yang cukup tinggi, maka relatif lebih banyak bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses. Pengeluaran NDF melalui feses dan kecernaan NDF pada Kambing dan Domba dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11.

Tabel 10. Rataan NDF Feses pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis

Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba NDF Feses (g/e/h) Jantan 141,73 ± 28,67 154,71 ± 17,24 148,22±22,96 Betina 128,69 ± 24,03 150,77 ± 19,51 139,73±21,77 Rata-rata 135,21 ± 26,35 152,74 ± 18,38 NDF Feses (g/kg BB0,75) Jantan 18,11 ± 2,25 19,14 ± 0,71 18,63± 1,48 Betina 17,11 ± 2,42 17,84 ± 1,68 17,48± 2,05 Rata-rata 17,61 ± 2,34 18,49 ± 1,20

28 Tabel 11. Kecernaan NDF pada Kambing dan Domba (%).

Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan

Kambing Domba

Jantan 41,57 ± 7,61 37,24 ± 3,99 39,40 ± 5,80

Betina 40,61 ± 6,58 42,62 ± 3,55 41,62 ± 5,07

Rataan 41,09 ± 7,09 39,93 ± 3,77

Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa kambing dan domba baik jantan maupun betina tidak berpengaruh terhadap kecernaan NDF, begitu juga terhadap interaksi kedua faktor tersebut. Hal ini diduga dalam penelitian ini ransum yang digunakan memiliki komposisi kimia yang sama, sehingga akan memberikan tingkat kecernaan NDF yang sama. Menurut Ranjhan dan Pathak (1979) kecernaan bahan makanan dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian pakan, dan komposisi kimia bahan makanan.

Gerak laju digesta dalam saluran pencernaan (flow rate) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan (Tomaszewska et al., 1993). Tidak berbedanya nilai kecernaan NDF pada kambing dan domba pada penelitian ini diduga dipengaruhi oleh gerak laju digesta yang relatif sama antara kambing dan domba. Istidamah (2006) melaporkan bahwa gerak laju digesta pada kambing dan domba relatif sama. Dengan gerak laju digesta yang sama pada kambing dan domba, maka jumlah feses yang dikeluarkan oleh kedua spesies ternak tersebut relatif sama. Hal ini dapat terlihat pada bahan kering dan NDF feses yang tidak berbeda pada kambing dan domba dalam penelitian ini. Johnson (1981) menjelaskan gerak laju digesta dalam saluran pencernaan dapat mempengaruhi kecernaan dari bahan makanan, karena pada gerak laju digesta yang cepat akan menyebabkan berkurangnya waktu retensi dalam rumen dan terjadinya penurunan proses fermentasi sehingga banyak digesta yang lolos didegradasi oleh mikroba rumen dan kecernaanpun akan rendah.

Pada Tabel 11 dapat dilihat kecernaan NDF pada kambing dan domba masing-masing sebesar 41,09% dan 39,93%. Nilai ini lebih rendah dari hasil penelitian yang dilaporkan oleh Haryanto (2002) yaitu sebesar 44,2% untuk kecernaan NDF pada domba yang diberikan pakan konsentrat dan rumput raja segar

29 secara ad libitum. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu diduga dipengaruhi oleh bentuk fisik pakan yang diberikan, dimana dalam penelitian ini ransum yang diberikan dalam bentuk pellet, sedangkan dalam penelitian Haryanto et al. (2002) menggunakan ransum segar. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penggilingan dan pelleting pada ransum akan berpengaruh terhadap kecernaan ransum itu sendiri, karena proses penggilingan dan pelleting akan meningkatkan laju digesta dalam saluran pencernaan. Tomaszewska et al. (1993) menambahkan bahwa semakin cepat laju digesta maka akan tidak cukup waktu yang diberikan bagi mikroorganisme untuk menghancurkan makanan, dan mikroorganisme yang melekat pada dinding sel (NDF) akan segera dipindahkan keluar meninggalkan rumen, sehingga akan mengurangi populasi mikroba rumen dan menurunkan nilai kecernaan.

Konsumsi ADF

ADF (Acid Detergent Fiber) merupakan bagian dari dinding sel tanaman yang tidak dapat larut dalam deterjen asam yang tersusun dari selulosa, lignin, dan silika (Van Soest, 1982). ADF merupakan faktor utama yang mempengaruhi kecernaan dari bahan makanan (Parakkasi, 1999). Semakin tinggi kandungan ADF dalam bahan makanan maka tingkat kecernaan dari bahan makanan tersebut akan semakin rendah. Konsumsi ADF pada kambing dan domba berdasarkan penelitian dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan Konsumsi ADF pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis

Kelamin

Jenis Ternak Rata-rata

Kambing Domba Konsumsi ADF (g/e/h) Jantan 115,22±17,79 134,04±29,84 124,63±23,82 Betina 109,14±11,88 136,61±23,14 122,86±17,51 Rata-rata 112,18±14,84b 135,33±26,49a Konsumsi ADF (g/kg BB0,75) Jantan 16,37± 1,13 16,73± 2,15 16,55± 1,64 Betina 16,74± 0,50 17,23± 0,56 16,98± 0,53 Rata-rata 16,55± 0,82 16,98± 1,36

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

30 nyata (P<0,01) dalam mengkonsumsi ADF, akan tetapi jenis kelamin dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ADF. Dalam penelitian ini konsumsi ADF pada domba lebih tinggi dibanding dengan kambing. Menurut Van Soest (1982) ADF merupakan bagian dari NDF, tingginya konsumsi ADF pada domba dalam penelitian ini dapat disebabkan tingkat konsumsi NDF domba lebih tinggi dibanding kambing.

Rataan konsumsi ADF kambing dan domba pada penelitian ini adalah 112,18 g/e/h (16,55 g/kg BB0,75 ) dan 135,33 g/e/h (16,98 g/kg BB0,75). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil yang dilaporkan oleh Haryanto (1989) yakni konsumsi ADF pada kambing sebesar 9,7 g/kg BB0.75 dan pada domba sebesar 8,7 g/kg BB0,75. Namun rataan konsumsi ADF pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mathius et al. (1996) yaitu 200,58 g/e/h untuk konsumsi ADF pada domba lokal fase pertumbuhan. Perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh perbedaan komposisi pakan yang diberikan, dimana dalam penelitian Haryanto (1989) menggunakan pakan dengan kandungan serat tidak tercerna yang lebih tinggi (24-28% BK), begitu juga dengan Mathius et al. (1996) yang menggunakan pakan dengan kandungan ADF sebesar 35,25% BK. Hal ini dikarenakan semakin tinggi kandungan ADF pakan maka pakan yang dapat dicerna akan semakin rendah, untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya maka ternak tersebut

Dokumen terkait