STUDI PERBANDINGAN METABOLISME ENERGI DAN
KECERNAAN SERAT PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
SKRIPSI SOPIAH ARSADI
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
SOPIAH ARSADI. D24101003. 2006. Studi Perbandingan Metabolisme Energi dan Kecernaan Serat Pada Kambing dan Domba Lokal. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Drh. H. Aminuddin Parakkasi MSc. Pembimbing Anggota : Ir. Lilis Khotijah MSi.
Ternak kambing dan domba tergolong dalam ternak ruminansia kecil. Kambing dan domba memiliki sistem pencernaan yang serupa, namun diantara keduanya juga kemungkinan terdapat beberapa perbedaan, misalnya kemampuannya dalam mencerna dan menyerap zat-zat makanan. Dari hasil proses pencernaan dan penyerapan tersebut diharapkan ternak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, khususnya kebutuhan akan energi. Salah satu bagian energi pakan yang penting yang menunjang aktivitas produksi ternak adalah energi metabolis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metabolisme energi dan tingkat kesanggupan mencerna serat pada kambing dan domba lokal, baik jantan maupun betina yang mendapatkan pakan yang sama.
Penelitian ini dilaksanakan dikandang B Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung pada bulan April sampai Juli 2005. Ternak yang digunakan adalah ternak kambing dan domba lokal lepas sapih sebanyak 20 ekor, terdiri dari 5 ekor kambing jantan, 5 ekor kambing betina, 5 ekor domba jantan, dan 5 ekor domba betina. Bobot badan awal ternak rata-rata pada kambing 10,30±1,30 kg, domba 13,97±2,48 kg, jantan 12,74±1,69 kg dan betina 11,53±2,01 kg. Ransum yang diberikan pada penelitian ini adalah ransum dalam bentuk pellet dengan rasio hijauan dan konsentrat 40 : 60. Pengambilan feses, urin, dan cairan rumen dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada pertengahan dan akhir penelitian. Pengambilan feses dan urin dilakukan dengan metode koleksi total masing-masing 3 hari.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial (2x2) dengan 5 kelompok (berdasarkan bobot badan). Faktor A adalah jenis spesies (kambing dan domba) dan faktor B adalah jenis kelamin (jantan dan betina). Analisis data dilakukan dengan sidik ragam (ANOVA), jika data yang diperoleh berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Steel dan torrie, 1993). Peubah yang diamati meliputi: konsumsi energi bruto, energi tercerna (DE), energi metabolis (ME), efisiensi penggunaan energi, konsumsi NDF, kecernaan NDF, konsumsi ADF, kecernaan ADF, dan produksi VFA total.
kambing, akan tetapi kecernaan serat pada kambing dan domba baik jantan dan betina sama.
ABSTRACT
A Comparative Study of Metabolized energy and Fiber digestibility of Local Goat and Sheep.
S. Arsadi., A. Parakkasi, and L. Khotijah
The objective of this study is to compare metabolized energy and fiber digestive ability between species (Goats and Sheeps) and sex (Male and Female). The experimental design used was 2x2 a factorial Randomized Block Design with five replications. Factor A was animal species (Goats and Sheep) and factor B was sex (Male and Female). Data were analyzed using ANOVA and significant differences were tested using Duncan test. The variablies measured were NDF, ADF and gross energy intakes, NDF, ADF and energy digestibilities, metabolizable energy (ME), energy efficiency and total VFA production (in vivo). The results showed that species significantly (P<0.01) influence NDF, ADF, energy intakes, digestibel energy (DE), metabolizable energy (ME) and efficiency of energy but neither species nor sex affect NDF, ADF and gross energy intakes, NDF, ADF and energy digestibilities, ME, efficiency of energy and total VFA production (in vivo).
STUDI PERBANDINGAN METABOLISME ENERGI DAN
KECERNAAN SERAT PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
SOPIAH ARSADI D24101003
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertananian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
STUDI PERBANDINGAN METABOLISME ENERGI DAN
KECERNAAN SERAT PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
Oleh SOPIAH ARSADI
D24101003
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 11 Juli 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, M.Sc. Ir. Lilis Khotijah, M.Si.
NIP. 130 188 194 NIP. 131 999 587
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 17 Maret 1983. Penulis
adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, terlahir dari pasangan Bapak H.Uding Arsadi
dan Ibu Halsih.
Pendidikan penulis dimulai tahun 1989 di Sekolah Dasar Negeri Cibatok II
Bogor dan lulus pada tahun 1995, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menegah Pertama Negeri I Cibungbulang Bogor, lulus pada tahun 1998. Pada tahun
yang sama penulis melanjutkan Sekolah Menengah Umum Bina Bangsa Sejahtera
Bogor dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001 penulis diterima menjadi mahasiswi Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Studi Perbandingan Metabolisme Energi dan Kecernaan Serat Pada Kambing dan Domba Lokal” ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai bulan April sampai Juni 2005 di Fakultas Peternakan, IPB.
Kambing dan domba memiliki sistem pencernaan yang serupa, namun
diantara keduanya juga kemungkinan terdapat beberapa perbedaan, misalnya
kemampuannya dalam mencerna dan menyerap zat-zat makanan. Kambing
cenderung lebih mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang rawan pakan, baik
secara kualitas maupun kuantitas (Devendra dan Burns, 1994). Hal ini dapat
mempengaruhi kemampuan ternak-ternak tersebut dalam memanfaatkan bahan
makanan yang dikonsumsi untuk mempertahankan kehidupannya. Dari hasil proses
pencernaan dan penyerapan tersebut diharapkan ternak dapat memenuhi kebutuhan
hidup pokoknya, khususnya kebutuhan akan energi. Salah satu bagian energi pakan
yang penting yang menunjang aktivitas produksi ternak adalah energi metabolis.
Proses pembuatan skripsi ini berlangsung melalui berbagai tahapan yang
diuraikan dalam bagian isi. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk
kalangan akademisi sebagai sumber referensi, ataupun untuk khalayak umum yang
ingin mengetahui lebih dalam mengenai metabolisme energi dan kesanggupan
mencerna serat pada kambing dan domba lokal. Penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih atas saran dan masukan dari berbagai pihak demi lebih sempurnanya
skripsi ini.
Bogor, Juli 2006
DAFTAR ISI
Pengambilan Contoh Untuk Analisa ... 13
Tahap Analisa Contoh... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN... 18
Konsumsi Energi Bruto ... 18
Energi Tercerna (DE) ... 19
Energi Metabolis (ME)... 22
Konsumsi NDF ... 25
Kecernaan NDF ... 27
Konsumsi ADF... ... 29
Kecernaan ADF... ... 31
Produksi VFA total... ... 32
KESIMPULAN ... 34
Kesimpulan ... 34
Saran... 34
UCAPAN TERIMA KASIH ... 35
DAFTAR PUSTAKA ... 36
STUDI PERBANDINGAN METABOLISME ENERGI DAN
KECERNAAN SERAT PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
SKRIPSI SOPIAH ARSADI
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
SOPIAH ARSADI. D24101003. 2006. Studi Perbandingan Metabolisme Energi dan Kecernaan Serat Pada Kambing dan Domba Lokal. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Drh. H. Aminuddin Parakkasi MSc. Pembimbing Anggota : Ir. Lilis Khotijah MSi.
Ternak kambing dan domba tergolong dalam ternak ruminansia kecil. Kambing dan domba memiliki sistem pencernaan yang serupa, namun diantara keduanya juga kemungkinan terdapat beberapa perbedaan, misalnya kemampuannya dalam mencerna dan menyerap zat-zat makanan. Dari hasil proses pencernaan dan penyerapan tersebut diharapkan ternak dapat memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, khususnya kebutuhan akan energi. Salah satu bagian energi pakan yang penting yang menunjang aktivitas produksi ternak adalah energi metabolis. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metabolisme energi dan tingkat kesanggupan mencerna serat pada kambing dan domba lokal, baik jantan maupun betina yang mendapatkan pakan yang sama.
Penelitian ini dilaksanakan dikandang B Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung pada bulan April sampai Juli 2005. Ternak yang digunakan adalah ternak kambing dan domba lokal lepas sapih sebanyak 20 ekor, terdiri dari 5 ekor kambing jantan, 5 ekor kambing betina, 5 ekor domba jantan, dan 5 ekor domba betina. Bobot badan awal ternak rata-rata pada kambing 10,30±1,30 kg, domba 13,97±2,48 kg, jantan 12,74±1,69 kg dan betina 11,53±2,01 kg. Ransum yang diberikan pada penelitian ini adalah ransum dalam bentuk pellet dengan rasio hijauan dan konsentrat 40 : 60. Pengambilan feses, urin, dan cairan rumen dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada pertengahan dan akhir penelitian. Pengambilan feses dan urin dilakukan dengan metode koleksi total masing-masing 3 hari.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial (2x2) dengan 5 kelompok (berdasarkan bobot badan). Faktor A adalah jenis spesies (kambing dan domba) dan faktor B adalah jenis kelamin (jantan dan betina). Analisis data dilakukan dengan sidik ragam (ANOVA), jika data yang diperoleh berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Steel dan torrie, 1993). Peubah yang diamati meliputi: konsumsi energi bruto, energi tercerna (DE), energi metabolis (ME), efisiensi penggunaan energi, konsumsi NDF, kecernaan NDF, konsumsi ADF, kecernaan ADF, dan produksi VFA total.
kambing, akan tetapi kecernaan serat pada kambing dan domba baik jantan dan betina sama.
ABSTRACT
A Comparative Study of Metabolized energy and Fiber digestibility of Local Goat and Sheep.
S. Arsadi., A. Parakkasi, and L. Khotijah
The objective of this study is to compare metabolized energy and fiber digestive ability between species (Goats and Sheeps) and sex (Male and Female). The experimental design used was 2x2 a factorial Randomized Block Design with five replications. Factor A was animal species (Goats and Sheep) and factor B was sex (Male and Female). Data were analyzed using ANOVA and significant differences were tested using Duncan test. The variablies measured were NDF, ADF and gross energy intakes, NDF, ADF and energy digestibilities, metabolizable energy (ME), energy efficiency and total VFA production (in vivo). The results showed that species significantly (P<0.01) influence NDF, ADF, energy intakes, digestibel energy (DE), metabolizable energy (ME) and efficiency of energy but neither species nor sex affect NDF, ADF and gross energy intakes, NDF, ADF and energy digestibilities, ME, efficiency of energy and total VFA production (in vivo).
STUDI PERBANDINGAN METABOLISME ENERGI DAN
KECERNAAN SERAT PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
SOPIAH ARSADI D24101003
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertananian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
STUDI PERBANDINGAN METABOLISME ENERGI DAN
KECERNAAN SERAT PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
Oleh SOPIAH ARSADI
D24101003
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 11 Juli 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr. drh. Aminuddin Parakkasi, M.Sc. Ir. Lilis Khotijah, M.Si.
NIP. 130 188 194 NIP. 131 999 587
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 17 Maret 1983. Penulis
adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, terlahir dari pasangan Bapak H.Uding Arsadi
dan Ibu Halsih.
Pendidikan penulis dimulai tahun 1989 di Sekolah Dasar Negeri Cibatok II
Bogor dan lulus pada tahun 1995, kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menegah Pertama Negeri I Cibungbulang Bogor, lulus pada tahun 1998. Pada tahun
yang sama penulis melanjutkan Sekolah Menengah Umum Bina Bangsa Sejahtera
Bogor dan lulus pada tahun 2001.
Pada tahun 2001 penulis diterima menjadi mahasiswi Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala nikmat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Studi Perbandingan Metabolisme Energi dan Kecernaan Serat Pada Kambing dan Domba Lokal” ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai bulan April sampai Juni 2005 di Fakultas Peternakan, IPB.
Kambing dan domba memiliki sistem pencernaan yang serupa, namun
diantara keduanya juga kemungkinan terdapat beberapa perbedaan, misalnya
kemampuannya dalam mencerna dan menyerap zat-zat makanan. Kambing
cenderung lebih mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang rawan pakan, baik
secara kualitas maupun kuantitas (Devendra dan Burns, 1994). Hal ini dapat
mempengaruhi kemampuan ternak-ternak tersebut dalam memanfaatkan bahan
makanan yang dikonsumsi untuk mempertahankan kehidupannya. Dari hasil proses
pencernaan dan penyerapan tersebut diharapkan ternak dapat memenuhi kebutuhan
hidup pokoknya, khususnya kebutuhan akan energi. Salah satu bagian energi pakan
yang penting yang menunjang aktivitas produksi ternak adalah energi metabolis.
Proses pembuatan skripsi ini berlangsung melalui berbagai tahapan yang
diuraikan dalam bagian isi. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk
kalangan akademisi sebagai sumber referensi, ataupun untuk khalayak umum yang
ingin mengetahui lebih dalam mengenai metabolisme energi dan kesanggupan
mencerna serat pada kambing dan domba lokal. Penulis juga ingin menyampaikan
terima kasih atas saran dan masukan dari berbagai pihak demi lebih sempurnanya
skripsi ini.
Bogor, Juli 2006
DAFTAR ISI
Pengambilan Contoh Untuk Analisa ... 13
Tahap Analisa Contoh... 15
HASIL DAN PEMBAHASAN... 18
Konsumsi Energi Bruto ... 18
Energi Tercerna (DE) ... 19
Energi Metabolis (ME)... 22
Konsumsi NDF ... 25
Kecernaan NDF ... 27
Konsumsi ADF... ... 29
Kecernaan ADF... ... 31
Produksi VFA total... ... 32
KESIMPULAN ... 34
Kesimpulan ... 34
Saran... 34
UCAPAN TERIMA KASIH ... 35
DAFTAR PUSTAKA ... 36
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Komposisi Bahan Makanan Kambing dan Domba ... 11
2. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan BK ... 11
3. Rataan Konsumsi Energi Bruto pada Kambing dan Domba ... 18
4. Rataan Energi Bruto Feses dan Persentase Energi Bruto Feses pada Kambing dan Domba... ... 20
5. Rataan Energi Tercerna (DE) pada Kambing dan Domba... 20
6. Rataan Energi Urin pada Kambing dan Domba ... ... 22
7. Rataan Energi Metabolis (ME) pada Kambing dan Domba... 23
8. Efisiensi Penggunaan Energi pada Kambing dan Domba... 24
9. Rataan Konsumsi NDF pada Kambing dan Domba.. ... 26
10.Rataan NDF Feses pada Kambing dan Domba ... 27
11.Kecernaan NDF pada Kambing dan Domba (%) ... 28
12.Rataan Konsumsi ADF pada Kambing dan Domba ... 30
13.Rataan ADF Feses pada Kambing dan Domba ... 31
14.Kecernaan ADF pada Kambing dan Domba (%) ... 31
15.Produksi VFA Total pada Kambing dan Domba (mM)... 33
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Konvensional Metabolisme Energi (Parakkasi, 1999)... 6
2. Skema Pembagian Hijauan Menurut Van Soest... 8
3. Foto Ternak Penelitian... 10
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Sidik Ragam Konsumsi Energi Bruto pada Kambing dan Domba
(Kkal/e/h) ... 40
2. Uji Jarak Duncan Konsumsi Energi Bruto pada Kambing dan
Domba (Kkal/e/h)... ... 40
3. Sidik Ragam Konsumsi Energi Bruto pada Kambing dan Domba
(Kkal/kg BB0,75) ... 40 4. Sidik Ragam Energi Bruto Feses pada Kambing dan Domba
(Kkal/e/h) ... 41
5. Sidik Ragam Energi Bruto Feses pada Kambing dan Domba
(Kkal/kg BB0,75) ... 41 6. Sidik Ragam Persentase Energi Bruto Feses pada Kambing
dan Domba (%)... 41
7. Sidik Ragam Energi Tercerna (DE) pada Kambing dan Domba
(Kkal/e/h) ... 42
8. Uji Jarak Duncan Energi Tercerna pada Kambing dan Domba
(Kkal/e/h)... 42
9. Sidik Ragam Energi Tercerna (DE) pada Kambing dan Domba
(Kkal/kg BB0,75)... ... 42 10.Sidik Ragam Energi Urin pada Kambing dan Domba
(Kkal/e/h) ... ... 43
11.Sidik Ragam Energi Urin pada Kambing dan Domba
(Kkal/kg BB0,75) ... 43 12.Sidik Ragam Energi Metabolis (ME) pada Kambing dan Domba
(Kkal/e/h) ... ... 43
13.Uji Jarak Duncan Energi Metabolis (Kkal/e/h)... 44
14.Sidik Ragam Energi Metabolis (ME) pada Kambing dan Domba
(Kkal/kg BB0,75) ... 44 15.Sidik Ragam Efisiensi Penggunaan Energi pada Kambing dan
Domba (g/e/h)... 44
16.Uji Jarak Duncan Efisiensi Penggunaan Energi... 44
17.Sidik Ragam Konsumsi NDF pada Kambing dan Domba (g/e/h)... 45
18.Uji Jarak Duncan Konsumsi NDF (g/e/h)... 45
19.Sidik Ragam Konsumsi NDF pada Kambing dan Domba
(g/kg BB0,75)... 45 20.Sidik Ragam NDF Feses pada Kambing dan Domba
21.Sidik Ragam NDF Feses pada Kambing dan Domba
(g/kg BB0,75)... 46 22.Sidik Ragam Kecernaan NDF pada Kambing dan Domba (%)... 46
23.Sidik Ragam Konsumsi ADF pada Kambing dan Domba (g/e/h) ... 47
24.Uji Jarak Duncan Konsumsi ADF (g/e/h)... 47
25.Sidik Ragam Konsumsi ADF pada Kambing dan Domba
(g/kg BB0,75)... 47 26.Sidik Ragam ADF Feses pada Kambing dan Domba (g/e/h)... ... 48
27.Sidik Ragam ADF Feses pada Kambing dan Domba
(g/kg BB0,75)... . 48 28.Sidik Ragam Kecernaan ADF pada Kambing dan Domba (%) ... 48
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kambing dan domba merupakan ternak ruminansia yang mempunyai potensi
untuk dikembangkan di Indonesia. Keunggulan dari ternak-ternak tersebut
diantaranya mampu mengkonsumsi pakan yang berserat kasar tinggi seperti bahan
makanan yang termasuk dalam hijauan tanaman makanan ternak, yang tidak dapat
dimanfaatkan langsung oleh manusia dan ternak non ruminansia. Ini disebabkan oleh
kambing dan domba memiliki perut yang telah beradaptasi secara fisiologis untuk
mengkonsumsi pakan yang berserat kasar tinggi.
Kambing cenderung lebih mampu beradaptasi terhadap lingkungan yang
rawan pakan, baik secara kualitas maupun kuantitas (Devendra dan Burns, 1994).
Disamping itu, kambing mempunyai kemampuan untuk memakan tanaman yang
lebih beragam jenisnya dibanding dengan domba. Kelebihan lain yang dimiliki oleh
ternak kambing adalah kambing mempunyai keefisienan yang tinggi terhadap
penggunaan selulosa, terutama pada hijauan dengan kandungan serat yang tinggi
(Devendra dan Burns, 1994). Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan ternak
tersebut dalam memanfaatkan bahan makanan yang dikonsumsi untuk
mempertahankan hidupnya.
Menurut Devendra dan Burns (1994) Kambing dan domba memiliki sistem
pencernaan yang serupa, namun diantara keduanya juga kemungkinan terdapat
beberapa perbedaan, misalnya kemampuannya dalam mencerna dan menyerap
zat-zat makanan. Sebagian besar bahan makanan yang diberikan pada ternak ruminansia
adalah hijauan yang rata-rata mengandung 75% karbohidrat. Dalam proses
pencernaan, makanan yang kaya akan karbohidrat tersebut akan dirombak menjadi
gula sederhana seperti selobiosa, maltosa, dan pentosa. Selanjutnya produk tersebut
dikonversi menjadi glukosa 1-fosfat oleh enzim yang diproduksi oleh bakteri rumen,
dan melalui proses glikolisis dibentuk menjadi asam piruvat, dan energi berupa ATP
(McDonald et al., 1995). Asam piruvat yang terbentuk kemudian akan difermentasi
dalam rumen dan menghasilkan VFA, yang kemudian akan diserap oleh dinding
rumen (Church, 1971). Dari hasil proses pencernaan dan penyerapan tersebut
2 kebutuhan akan energi. Salah satu bagian energi pakan yang penting yang
menunjang aktivitas produksi ternak adalah energi metabolis.
Informasi mengenai perbandingan kambing dan domba lokal Indonesia dalam
hal metabolisme energi dan pencernaan serat sejauh ini masih sangat terbatas,
terutama dengan pemberian ransum konsentrat dalam bentuk pellet. Oleh karena itu
perlu diteliti lebih jauh mengenai hal tersebut.
Perumusan Masalah
Kambing dan domba merupakan jenis ternak ruminansia yang memiliki
sistem pencernaan yang serupa, namun kemungkinan kemampuannya dalam
mencerna pakan dan memanfaatkan energi yang dihasilkan dapat berbeda. Perbedaan
nilai kecernaan dan pemanfaatan energi tersebut kemungkinan disebabkan perbedaan
pakan yang diberikan pada kedua spesies tersebut. Untuk mengetahui penggunaan
energi dan nilai kecernaan serat pada kambing dan domba terhadap pakan yang sama
perlu diteliti lebih jauh. Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
dasar mengenai kemampuan mencerna serat dan pemanfaatan energi pada kambing
dan domba lokal Indonesia.
Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan penggunaan energi
metabolisme dan tingkat kesanggupan mencerna serat deterjen netral (NDF) dan
serat deterjen asam (ADF) pada kambing dan domba lokal baik jantan maupun
3 TINJAUAN PUSTAKA
Kambing dan Domba Lokal
Ensminger (2002) mengklasifikasikan kambing kedalam Kingdom Animalia
(hewan); filum Chordata (bertulang belakang); kelas Mammalia (menyusui); ordo
Artiodactyla (berkuku genap); famili Bovidae (memamah biak); genus Capra dan
spesies Capra hircus (kambing yang didomestikasi). Menurut Ensminger (2002)
secara taksonomi perbedaan kambing dan domba yang didomestikasi terletak pada
genus dan spesiesnya, dimana domba termasuk genus Ovis dan spesies Ovis aries
(domba yang didomestikasi).
Kambing di Indonesia terdiri dari 2 bangsa yaitu kambing kacang dan
kambing hasil persilangan antara kambing kacang dengan kambing impor. Kambing
kacang merupakan kambing asli Indonesia (Herman, 1980), sedangkan kambing
hasil persilangan lebih dikenal dengan nama kambing lokal. Gambaran mengenai
kambing kacang adalah kepalanya mempunyai garis muka lurus atau cekung dan
daun telinga mengarah ke depan dan tegak (Herman, 1980). Devendra dan McLeroy
(1982) menyatakan bahwa kambing kacang biasanya berwarna hitam atau belang
putih, pada kambing jantan bisa satu macam atau kombinasi dari warna hitam,
coklat, dan putih. Bobot hidup kambing kacang umur setahun adalah sekitar 24,7 kg
untuk jantan dan 19,7 kg untuk kambing betina. Kebutuhan bahan kering untuk
kambing kacang sebesar 1,9-3,8% BB, energi untuk hidup pokok sebesar 92-115
Kkal/kg BB0,75/hari (Devendra dan Burns, 1994).
Di Indonesia dikenal tiga bengsa domba yaitu domba Sumatera ekor kurus,
domba Jawa ekor gemuk, dan domba Jawa ekor kurus atau lebih dikenal dengan
nama domba lokal. Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang mempunyai
daya adaptasi yang baik pada iklim tropis, dan dapat berproduksi sepanjang tahun
atau memiliki sifat seasonal polyestroes. Domba lokal memiliki beberapa kelompok
dan diberi nama sesuai dengan nama daerah atau tempat keberadaannya, seperti
domba Garut dan domba Priangan. Menurut Mason (1980) domba lokal mempunyai
ciri-ciri ukuran tubuh yang relatif kecil, warna bulunya beragam, ekor tipis dan tidak
terlalu panjang. Domba jantan memiliki tanduk kecil dan melengkung ke belakang,
sedangkan betina tidak bertanduk. Bobot hidup berkisar dari 15-20 kg. Menurut NRC
4 10-20 kg adalah BK 380 g/e/h, DE 940 Kkal/e/h, ME 765 Kkal/e/h, PK 30 g/e/h, Ca
1 g/e/h, dan P 0,7 g/e/h.
Sistem Pencernaan Ruminansia
Sistem pencernaan adalah sebuah sistem yang terdiri dari saluran pencernaan
yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab atas pengambilan,
penerimaan, dan pencernaan bahan makanan dalam perjalanannya melalui tubuh
(saluran pencernaan) mulai dari rongga mulut sampai ke anus serta bertanggung
jawab juga atas pengeluaran (ekskresi) bahan-bahan makanan yang tidak terserap
(Parakkasi, 1983). Sedangkan pencernaan itu sendiri didefinisikan sebagai suatu
rangkaian perubahan fisik dan kimia yang dialami oleh bahan pakan di dalam alat
pencernaan (Tillman et al., 1991).
Menurut Devendra dan Burns (1994) secara kasar kambing dan domba
memiliki sistem pencernaan yang serupa. Kambing dan domba merupakan ternak
ruminansia yang mempunyai perut majemuk yang membedakannya dengan ternak
non ruminansia yang berperut tunggal atau monogastrik (Tomaszewska et al., 1993).
Proses pencernaan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan
dengan ternak monogastrik, hal ini disebabkan ruminansia mempunyai 2 jenis
lambung yaitu lambung depan (retikulum, rumen dan omasum) dan lambung sejati
(abomasum). Pencernaan pada ternak ruminansia meliputi pencernaan mekanik,
pencernaan fermentatif, dan pencernaan hidrolitik (Banerjee, 1978). Pencernaan
mekanik terjadi di mulut oleh gigi melalui proses mengunyah (mastikasi) dengan
tujuan untuk memperkecil ukuran partikel pakan. Pencernaan di lambung depan
berjalan secara fermentatif oleh mikroba rumen (Tomaszewska, et al., 1993),
sedangkan pencernaan di lambung sejati (abomasum) terjadi secara hidrolitis oleh
enzim-enzim pencernaan induk semang. Hasil pencernaan fermentatif dalam rumen
berupa Volatile Fatty Acids (VFA), NH3, metan (CH4), dan CO2 (Ørskov dan Ryle,
1990). VFA yang dihasilkan sebagian langsung diserap melalui dinding rumen
(Parakkasi, 1999) dan sebagian lagi diserap dalam omasum dan abomasum (Arora,
1989). VFA diantaranya terdiri atas asam asetat (C2), asam propionat (C3), asam
butirat (C4), valerat dan format (Parakkasi, 1999). Church (1971) melaporkan bahwa
5 kemudian masuk ke dalam darah), 25% diserap didalam omasum dan abomasum,
dan 5% akan diserap di usus.
Metabolisme Energi Pada Ruminansia
Konsumsi energi didefinisikan sebagai jumlah energi yang tersedia dalam
suatu bahan pakan yang masuk kedalam sistem pencernaan (Wahju, 1997). Beberapa
cara telah dikembangkan untuk menyatakan kandungan energi makanan dan
kebutuhan energi hewan. Penentuan nilai energi yang umum adalah energi bruto
(gross energy/GE), energi tercerna (digestible energy/DE), energi yang dapat
dimetabolisme (metabolizable energy/ME), dan energi netto (net energy/NE). Energi
netto ini kemudian akan digunakan untuk hidup pokok dan produksi.
Menurut Parakkasi (1999) energi bruto adalah panas yang dihasilkan dari
oksidasi sempurna suatu bahan makanan. Energi yang dikonsumsi oleh ternak tidak
semuanya diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh, sebagian hilang dalam proses
pencernaan dan metabolisme dalam tubuh ternak. Energi yang hilang tersebut dalam
bentuk energi feses, energi urin, energi berupa gas metan (CH4), energi panas
fermentasi dan panas hasil metabolisme zat makanan.
Energi yang cukup sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang normal.
Kekurangan energi pada ternak, khususnya ternak dalam masa pertumbuhan akan
menghambat pertumbuhan ternak tersebut. Faktor yang mempengaruhi konsumsi
energi menurut Wilkinson dan Stark (1985) adalah jenis dan kualitas ransum, bobot
badan, tingkat produksi dan frekuensi makan. Selain itu, jumlah konsumsi juga
dipengaruhi oleh spesies, umur ternak, lingkungan, sifat fisik dan komposisi bahan
makanan (Parakkasi, 1999).
Energi tercerna (DE) merupakan selisih antara konsumsi energi bruto dengan
energi yang keluar melalui feses (Church, 1971; Parakkasi, 1999). Energi tercerna
dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia bahan makanan, tingkat konsumsi dan spesies
ternak (Llyod, 1982). Sedangkan energi yang hilang melalui feses dapat dipengaruhi
oleh tingkat konsumsi dan kualitas makanan yang besarnya sekitar 20-60%
(Parakkasi, 1999). Selisih antara energi bruto dan energi feses bukanlah jumlah
energi yang diserap dalam perut, karena sebagian energi tercerna tersebut akan
6 tercerna semu. Pemanfaatan energi makanan dalam tubuh dari mulai konsumsi
sampai di manfaatkan oleh ternak ruminansia dapat dilihat pada Gambar 1.
KONSUMSI ENERGI BRUTO (GE)
Energi Feses (20-60%) 1. Dari Makanan 2. Dari Metabolisme
ENERGI TERCERNA (DE)-semu
1. Gas, Produk pencernaan, terutama CH4 (5-12%)
2. Energi Urin : 3-5% a. Dari Makanan b. Dari endogenous
ENERGI TERMETABOLISME ( ME )
Produk Panas Atau
Heat Increament : 10-40%
1. Panas Fermentasi
2. Panas Metabolisme Zat Makanan
ENERGI NETTO (NE m+p)
Untuk Hidup Pokok ( NEm) Untuk Produksi (NEp)
1. Metabolisme Basal 1. Pertumbuhan
2. Aktivitas (tanpa kehendak) 2. Penggemukan 3. Untuk Memanaskan Tubuh 3. Air Susu
4. Wol 5. Kerja
Gambar1. Skema Konvensional Metabolisme Energi (Parakkasi,1999).
Energi termetabolisme (ME) adalah konsumsi energi bruto dikurangi energi
feses, energi urin, dan energi dalam bentuk gas metan (CH4) (Church, 1971). Jumlah
energi yang hilang berupa metan yang terbentuk pada fermentasi rumen berkisar
7 hilang melalui urin berkisar antara 3-5% GE makanan (Banarjee, 1978). Beberapa
faktor yang mempengaruhi energi metabolis yaitu sifat fisik dan kimia dari ransum,
tingkat dan metode pemberian ransum, serta status produktivitas ternak (Parakkasi,
1999).
Energi termetabolisme adalah jumlah energi yang dapat dimanfaatkan oleh
sel tubuh yang berasal dari energi tercerna (Blaxter, 1969). Energi metabolis tersebut
digunakan untuk mengganti bagian-bagian tubuh yang rusak dan mati sebagai
kebutuhan hidup pokok, selanjutnya kelebihan energi yang dikonsumsi akan
dialokasikan untuk pertumbuhan, penggemukan, produksi susu, wool, dan reproduksi
(Church, 1971).
Menurut NRC (1981) kebutuhan energi termetabolisme untuk hidup pokok
pada kambing adalah 101,34 Kkal ME/kg BB0,75, sedangkan menurut Devendra dan Burns (1994) kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada kambing kacang
di Malaysia adalah 92,94 Kkal ME/kg BB0,75. Kearl (1982) melaporkan bahwa kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada domba adalah 93,69 Kkal/kg
BB0,75.
NDF (Neutral Detergent Fiber) dan ADF (Acid Detergent Fiber)
Dalam sistem analisa Van Soest (USDA), komponen hijauan pakan dibagi
menjadi beberapa fraksi berdasarkan kelarutannya dalam deterjen. Secara garis besar,
bahan hijauan dibagi menjadi isi sel dan dinding sel (NDF). Isi sel terdiri dari
fraksi-fraksi protein, karbohidrat non struktural, mineral dan lemak yang mudah larut dalam
pelarut deterjen netral. Dinding sel yang tidak larut dalam pelarut deterjen netral
(NDF) dibagi menjadi beberapa fraksi berdasarkan kelarutannya dalam pelarut
deterjen asam. Fraksi yang larut terdiri dari hemiselulosa dan protein dinding sel (N
dinding sel), sedangkan yang tidak larut adalah selulosa, lignin, lignoselulosa, dan
silika atau dikenal dengan serat deterjen asam (Acid Detergent Fiber/ADF). Selain
bahan organik, dinding sel juga mengandung silika (SiO2). Dinding sel (NDF)
biasanya erat hubungannya dengan konsumsi sedangkan ADF erat hubungannya
dengan kecernaan (Parakkasi, 1999). Secara sistematis pembagian hijauan menurut
8
Kecernaan zat makanan didefinisikan sebagai jumlah zat makanan yang tidak
dieksresikan melalui feses dengan asumsi bahwa zat makanan tersebut dicerna oleh
hewan (McDonald et al., 1995). Apabila dinyatakan dalam persentase makan disebut
koefisien cerna (Tillman et al., 1991). Menurut Ranjhan dan Pathak (1979)
kecernaan bahan makanan dapat dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian
pakan, cara pengolahan dan pemberian pakan, komposisi pakan, dan kadar zat
makanan yang dikandungnya. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kecernaan
pakan khususnya pakan hijauan adalah populasi mikroba dan laju alir makanan
(Tomaszewska et al., 1993).
Ternak ruminansia dapat memecah dan menggunakan sebagian karbohidrat
struktural (selulosa dan hemiselulosa) dengan bantuan mikroba rumen (Hungate,
1966). Ikatan lignin dengan komponen selulosa dan hemiselulosa dinding sel
bertindak sebagai penghalang dari kerja enzim-enzim yang dikeluarkan oleh mikroba
di dalam rumen. Terhambatnya aktivitas mikroba disebabkan oleh dinding sel yang
terlignifikasi tidak cukup berpori untuk memungkinkan difusi enzim terutama
selulase, sehingga mikroba hanya dapat menyerang permukaan dari dinding selnya
saja (Tomaszewska et al., 1993). Parakkasi (1999) menyatakan bahwa dengan
adanya bantuan mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang
mengandung karbohidrat struktural (karbohidrat pembangun); kandungan lignin dan
silika pada bahan makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis (ME),
9 lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang
keluar melalui feses.
Lingkungan rumen yang asam dengan pH<6,0 juga dapat menghambat
pencernaan serat. Hal ini karena bakteri selulolitik tidak dapat bertahan dan tumbuh
pada pH rendah, akibat penambahan karbohidrat non struktural dalam jumlah
sedang. Selain menghambat pertumbuhan, sensitivitas terhadap pH rendah juga
membatasi aktivitas selulase (Ørskov dan Ryle, 1990). Kisaran pH yang ideal untuk
pencernaan selulosa adalah 6,4-6,8 (Erdman, 1988).
Menurut Devendra dan Burns (1994), terdapat beberapa faktor yang saling
berinteraksi dalam hal fisiologi pencernaan dan penggunaan serat. Faktor-faktor
tersebut antara lain ukuran partikel pakan, konsentrasi jasad renik pencerna selulosa,
laju fermentasi, kecepatan perjalanan ingesta, dan waktu retensi. Selanjutnya
Devendra (1978) dan Johnson (1981) menjelaskan, terdapat perbedaan dalam
kemampuan mencerna bahan pakan antara kambing dengan ternak ruminansia lain.
Kelebihan ternak kambing dengan domba atau sapi adalah kambing lebih mampu
beradaptasi dengan lingkungan yang rawan gizi karena kambing mempunyai
10 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan April sampai bulan Juli 2005. Pelaksanaan
penelitian in vivo dilakukan di Laboratorium lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja
(Kandang B) dan analisa sampel dilakukan di Laboratoruim Kimia Nutrisi Ternak
Daging dan Kerja (NTDK), dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan IPB.
Materi Ternak
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 ekor kambing dan
domba lokal lepas sapih, masing-masing 5 ekor kambing jantan dan 5 ekor kambing
betina, serta 5 ekor domba jantan dan 5 ekor domba betina. Bobot badan awal ternak
rata-rata pada kambing 10,30 ± 1,30 kg, domba 13,97 ± 2,48 kg, jantan 12,74 ± 1,69
kg dan betina 11,53 ± 2,01 kg. Ternak yang digunakan diperoleh dari peternakan
rakyat, di kampung Cibuntu, Bogor, Jawa Barat. Ternak-ternak yang digunakan
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
a b c d
Keterangan :
a = Domba Jantan, b = Domba Betina, c = Kambing Jantan, d = Kambing Betina
Gambar 3. Foto Ternak Penelitian
Kandang dan Peralatan
Ternak ditempatkan pada 20 buah kandang metabolis individu berukuran 120
cm x 70 cm x 150 cm (p x l x t), dibuat dari bambu dan kayu. Setiap kandang
dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum berupa ember plastik. Pada saat
pengumpulan data, kandang dilengkapi dengan alat penampung feses dan
11 Ransum
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum dalam bentuk
pellet, yang terdiri dari hijauan (rumput lapang) dan konsentrat. Perbandingan antara
hijauan dan konsentrat adalah 40 : 60. Konsentrat terdiri atas jagung kuning, bungkil
kedele, pollard, dedak padi, minyak kelapa sawit dan premix. Bahan-bahan yang
digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Ternak (BPT), Ciawi Bogor dan
pembuatan pellet juga dilakukan di Balai tersebut. Komposisi dan kandungan zat
makanan ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Komposisi Bahan Makanan Kambing dan Domba.
Bahan Makanan Jumlah (%)
Jagung kuning 12,5
Bungkil Kedele 21,0
Pollard 7,0
Tabel 2.Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan BK.
12 Energi Bruto (Mkal/kg) 3,79*
Energi Metabolis (Mkal/kg) 2,57** 1,31 2,15
* Hasil Analisa Lab. Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB. ** Berdasarkan perhitungan
a : Kebutuhan Zat Makanan untuk kambing dengan bobot badan 10-20kg (NRC, 1981). b : Kebutuhan Zat Makanan untuk domba dengan bobot badan 10-20kg (NRC, 1985).
Rancangan Percobaan
Rancangan Percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
pola Faktorial (RAK Faktorial ) 2 x 2 dengan 5 kelompok (pengelompokan berdasar
pada bobot badan). Faktor A adalah spesies (kambing dan domba) dan Faktor B
adalah jenis kelamin (jantan dan betina). Analisis data dilakukan dengan sidik ragam
(ANOVA) dan jika hasil yang diperoleh berbeda, maka dilanjutkan dengan uji jarak
Duncan (menggunakan paket program SAS 6 (SAS, 1995)). Adapun model
matematikanya sebagai berikut (Steel dan Torrie,1993)
Yijk = μ + ρi + αj + βj + (αβ)ij +
ε
ijkRansum yang diberikan dalam penelitian ini dalam bentuk pellet. Sebelum
penelitian berlangsung dilakukan masa pengadaptasian (preliminary) ternak selama
satu minggu, dengan tujuan untuk melatih ternak agar terbiasa mengkonsumsi pellet
dan untuk menghilangkan pengaruh pakan yang sebelumnya. Pemberian pakan
dilakukan dua kali sehari dan air minum diberikan secara ad libitum.
Peubah Yang Diamati
1. Konsumsi Energi Bruto (EB) = Konsumsi BK x EB ransum
13 3. Energi Termetabolis (ME) = Konsumsi EB – EB feses yang keluar
– EB urin yang keluar.
Rumput lapang segar dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering
udara, dan di oven dalam oven 60 0C. Kemudian dari masing-masing bahan (hijauan kering dan konsentrat) digiling sampai halus (saringan 2 mm). Bahan yang telah
digiling dimasukkan kedalam mixer hingga homogen. Setelah homogen, campuran
tadi dimasukkan kedalam mesin pellet. Ukuran pellet yang dibuat berukuran panjang
2,4 cm dan diameter 1cm. Pellet yang dihasilkan diangin-anginkan sampai kering
dan dimasukkan kedalam karung.
Pengambilan Contoh Untuk Analisa 1. Feses
Metode yang digunakan untuk mengukur kecernaan energi dan serat (NDF
dan ADF) ransum yang diberikan adalah metode koleksi total. Selama penelitian
seluruhnya dilakukan koleksi total sebanyak 2 kali (pertengahan dan akhir masa
penelitian). Masing-masing koleksi dilakukan selama 3 hari berturut-turut.
14 dibagian bawah kandang. Feses dikumpulkan dalam kantong plastik setiap 1-2 jam
sekali selama 3 x 24 jam. Feses yang diperoleh pada tiap masa koleksi terlebih
dahulu ditimbang sehingga diperoleh bobot feses segar. Feses segar kemudian
dikeringkan di bawah sinar matahari dan diambil 20% dari jumlah tersebut,
selanjutnya feses dikeringkan dalam oven bersuhu 60 oC selama 24 jam dan digiling halus dengan ukuran saringan sebesar 20-30 mesh (1 mm). Untuk mengetahui kadar
bahan kering feses maka feses dimasukkan kedalam oven bersuhu 105oC selama 24 jam hingga mencapai berat yang konstan. Setelah diketahui kadar bahan keringnya
maka dilanjutkan dengan analisa sampel.
2. Urin
Pengambilan urin dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada pertengahan dan
akhir penelitian. Urin yang keluar ditampung dan dimasukkan kedalam wadah yang
telah disediakan dan telah ditetesi H2SO4 20% sebanyak 2-3 tetes. Penambahan
H2SO4 20% bertujuan untuk mencegah kemungkinan terjadinya penguapan nitrogen.
Contoh urin untuk analisa diambil sebanyak 5% dari total urin yang dikeluarkan oleh
masing-masing ternak, kemudian disimpan dalam freezer. Contoh urin dari setiap
penampungan dikompositkan dan diambil untuk dianalisa kandungan energinya. 3. Cairan Rumen
Pengambilan contoh cairan rumen untuk mengetahui VFA total dilakukan 2
kali selama penelitian yaitu pada pertengahan dan akhir penelitian. Tahap-tahap
pengambilan cairan rumen dapat dilihat pada Gambar 4.
A B
D
15 Keterangan :
A = Pengambilan cairan rumen dilakukan dengan cara meletakkan ternak
diatas kayu handling dan diikat dengan posisi tubuh ternak tengkurap.
B = Selang dimasukkan kedalam rongga mulut ternak hingga mencapai
rumen dan cairan rumen akan mengalir keluar.
C = Cairan rumen yang keluar disaring menggunakan kain kasa dan
ditampung dalam tabung film, kemudian ditutup rapat.
Tahap Analisa Contoh. 1. Analisa NDF
Analisa NDF dilakukan dengan metode Van Soest (Goering dan Van soest,
1970). Sampel feses maupun ransum berukuran 20-30 mesh (1 mm) sebanyak 1 gram
dimasukkan kedalam labu reflux dan ditambahkan 100 ml larutan deterjen netral
(larutan NDS). Sampel yang ada dalam labu reflux dipanaskan 5-10 menit hingga
mendidih, setelah mendidih dilanjutkan pemanasan diatas reflux tersebut selama 60
menit. Untuk mencegah buih yang berlebihan maka panas pada reflux dapat
dikurangi atau dengan menambahkan decalin. Setelah 60 menit labu reflux yang
berisi sampel didinginkan selama 5-10 menit dan disaring dengan menggunakan alat
penghisap (pompa vacum) yang dilengkapi dengan kertas saring dan cawan.
Kemudian sampel dibilas dengan menggunakan air hangat dan aceton. Hasil
penyaringan dan kertas saring dimasukkan kedalam cawan porselin dan dipanaskan
dalam oven bersuhu 105oC selama satu malam. Kertas saring (Whatman No. 41) dan cawan porselin yang digunakan ditimbang terlebih dahulu sebelum digunakan.
Sampel yang telah dikeringkan di dalam oven didinginkan dalam eksikator dan
ditimbang berat akhirnya.
Larutan NDS, terdiri dari (untuk 1 liter) :
Aquadest 1 liter
Sodium Lauryl Sulfate = 30 g
16 Sodium Hydrogen Phosphate Anhydrous (Na2HPO4) = 4,56 g
Sodium Borate Decahydrate (Na2B4O7) = 6,81g
2-ethoxyethanol = 10 ml
Decalin
pH larutan = 6,9 - 7,1 (netral)
2. Analisa NDF
Pada prinsipnya analisa ADF hampir sama dengan analisa NDF. Pada analisa
ADF larutan yang digunakan adalah larutan deterjen asam. Sampel yang telah
disaring dan di oven pada suhu 105oC didinginkan dalam eksikator, kemudian ditimbang beratnya.
Larutan ADS, terdiri dari (untuk 1 liter) :
Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) = 20 g
H2SO4 1 N = 27,74 ml Decalin
pH larutan = 2-3 (asam)
3. Analisa Total VFA
Produksi VFA total dapat ditentukan dengan metode destilasi uap (General
Laboratory Procedure, 1966). Langkah pertama dalam analisa ini adalah 5 ml NaOH
0,5 N dimasukkan kedalam labu Erlenmeyer dan dipasangkan ditempat
penampungan hasil destilasi. Supernatan berupa cairan rumen sebanyak 5 ml
dimasukkan kedalam tabung destilasi dan ditambahkan H2SO4 15% sebanyak 1 ml.
Uap air hasil pemanasan akan mendesak VFA dan akan terkondensasi oleh
pendingin. Air yang terbentuk dari hasil kondensasi ditampung dalam labu
Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N hingga mencapai volume 300 ml dan
ditambahkan indicator phenolphthalein 2-3 tetes sampai cairan berwarna merah
jambu. Larutan ini kemudian dititrasi dengan menggunakan HCl 0,5 N sampai warna
titrat menjadi tidak berwarna.
Perhitungan :
17 Keterangan : V = volume titran
4. Analisa Energi Bruto
Sampel sebanyak 1 gram dibentuk pellet. Sampel dimasukkan kedalam
cawan kecil, kemudian dilewatkan kawat platina sepanjang 10 cm dan dimasukkan
kedalam Bomb Calorimeter dan diisi oksigen sebanyak 25 atmosfer. Bomb
Calorimeter dimasukkan ke dalam jaket yang sudah diisi air kemudian ditutup.
Diukur suhu awalnya (a) dengan menekan tombol/knob. Sampel dibakar selama 5
menit. Kemudian suhu distabilkan dengan menekan tombol/knob dan dicatat sebagai
suhu akhir (b). Kawat platina yang terbakar diukur sebagai k cm.
Perhitungan :
Sampel Berat
Titran V.
k. Koreksi F.
x a) (b Bruto
Energi = − −
Keterangan : a = suhu awal air dalam jaket bomb calorimeter.
b = suhu akhir air dalam jaket bomb calorimeter
k = panjang kawat platina yang terbakar
18 HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Energi Bruto
Energi yang cukup sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang normal.
Kekurangan energi pada ternak, khususnya ternak dalam masa pertumbuhan akan
menghambat pertumbuhan ternak tersebut. Konsumsi energi bruto pada kambing dan
domba berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rataan Konsumsi Energi Bruto pada Kambing dan Domba.
Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kambing dan domba berbeda sangat
nyata (P<0,01) dalam mengkonsumsi energi bruto. Konsumsi energi bruto pada
domba lebih tinggi dibandingkan konsumsi energi bruto pada kambing. Wilkinson
dan Stark (1985) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi konsumsi energi
adalah jenis dan kualitas ransum, ferkuensi makan, bobot badan, dan tingkat
produksi ternak. Pada penelitian ini jenis ransum dan frekuensi makan pada kedua
spesies tersebut adalah sama, sedangkan bobot badan pada domba dan kambing yang
digunakan berbeda, dimana bobot badan rata-rata pada domba relatif lebih besar
dibanding dengan kambing. Church (1971) menyatakan bahwa semakin besar bobot
19 Konsumsi energi bruto per bobot badan metabolis tidak berbeda untuk semua
perlakuan, hal ini dikarenakan konsumsi bobot badan metabolis tidak dipengaruhi
oleh besarnya bobot badan setiap ternak serta tidak dipengaruhi oleh gaya gravitasi
bumi. Konsumsi perbobot badan metabolis ini merupakan konsumsi yang mendakati
nilai sebenarnya.
Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 3) rataan konsumsi energi bruto
pada kambing dan domba berturut-turut sebesar 1642,19 ± 217,16 Kkal/e/h (242,34
± 11,97 Kkal/kg BB0,75) dan 1981,02 ± 387,75 Kkal/e/h (248,53 ± 19,87 Kkal/kg BB0,75). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mulyadi (1992) yaitu rataan konsumsi energi bruto untuk
kambing kacang dengan bobot badan ±10 kg dan energi bruto pakan 4,39 Mkal/kg
BK sebesar 232,80 Kkal/kg BB0,75. Begitu juga dengan konsumsi energi bruto pada domba yang dilaporkan oleh Mathius et al. (1996), dimana rataan konsumsi energi
domba lokal fase pertumbuhan dengan bobot badan ±13 kg dan energi bruto pakan
3,77 Mkal/kg BK sebesar 1383,27 kkal/e/h. Berbedanya perolehan konsumsi energi
bruto pada penelitian ini dengan penelitian terdahulu kemungkinan disebabkan oleh
perbedaan kandungan energi pakan yang diberikan. Wilkinson dan Stark (1985)
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi energi adalah
jenis dan kualitas ransum. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi
konsentrasi energi pakan maka konsumsi energi akan semakin rendah.
Energi Tercerna
Energi tercerna dari makanan adalah selisih antara konsumsi energi bruto
dengan energi bruto yang keluar melalui feses. Energi feses sebagian besar berasal
dari bahan makanan yang tidak tercerna dan hanya sedikit yang merupakan metabolit
yang dihasilkan oleh saluran pencernaan (Edey, 1983). Rataan energi yang terbuang
melalui feses dan rataan energi tercerna (DE) pada kambing dan domba penelitian
20 Tabel 4. Rataan Energi Bruto Feses dan Presentase Energi Bruto Feses pada Kambing dan Domba.
Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
Energi Feses
(Kkal/e/h)
Jantan 613,63 ±106,25 696,66 ± 92,77 655,15±99,51
Betina 605,48 ±116,76 669,65 ± 71,99 637,57±94,38
Rata-rata 609,56 ±111,51 683,16 ± 82,38
Tabel 5.Rataan Energi Tercerna (DE) pada Kambing dan Domba.
Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan spesies (kambing dan
21 interaksi kedua faktor tidak berbeda terhadap energi tercerna (Tabel 5). Pada Tabel 5
dapat dilihat bahwa energi tercerna pada domba lebih tinggi dibandingkan dengan
kambing. Menurut Llyod (1982) energi tercerna dapat dipengaruhi oleh sifat fisik
dan kimia bahan makanan, tingkat konsumsi dan spesies ternak. Mengingat pada
penelitian ini sifat fisik dan kimia bahan makanan yang diberikan adalah sama, maka
perbedaan energi tercerna pada kambing dan domba dipengaruhi oleh perbedaan
spesies dan tingkat konsumsinya. Hal ini sejalan dengan hasil yang diperoleh dalam
penelitian ini, yakni konsumsi energi bruto pada domba nyata lebih tinggi dibanding
kambing (Tabel 3).
Energi tercerna merupakan selisih antara konsumsi energi bruto dengan
energi feses (Church, 1971). Pada Tabel 3 diketahui bahwa konsumsi energi bruto
domba lebih tinggi dibanding kambing, akan tetapi pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa
nilai rataan energi feses pada kambing dan domba tidak berbeda. Hal ini diduga
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya nilai energi tercerna domba
dibanding kambing. Persentase energi bruto yang keluar melalui feses pada
penelitian ini berkisar antara 33,94-41,46% dari konsumsi energi bruto. Dengan
demikian nilai tersebut masih berada dalam kisaran yang dinyatakan oleh Parakkasi
(1999) yakni sebesar 20-60%.
Menurut NRC (1981) kambing dengan bobot badan antara 10-20 kg
memerlukan energi tercerna antara 700-1180 Kkal/e/h untuk kebutuhan hidup
pokoknya. Rataan energi tercerna pada kambing dalam penelitian ini sebesar
1135,15 ± 146,12 Kkal/e/h (150,05 ± 13,69 Kkal/kg BB0,75), dengan demikian jumlah energi yang dapat dicerna pada kambing dalam penelitian ini masih berada
dalam kisaran yang disarankan oleh NRC (1981).
Dalam penelitian ini diperoleh data rataan energi tercerna pada domba
sebesar 1388,48 ± 308,07 Kkal/e/h atau setara dengan 160,70 ± 18,82 Kkal/kg
BB0,75. Menurut NRC (1985) kebutuhan energi tercerna untuk hidup pokok pada domba sebesar 265 kkal DE/kg BB0,75, sedangkan menurut Tomaszewska et al.
(1993) kebutuhan energi tercerna untuk hidup pokok pada domba lokal adalah 119
Kkal/kg BB0,75. Nilai yang diperoleh dalam penelitian ini masih berada diatas kebutuhan pokok yang dilaporkan oleh Tomaszewska et al. (1993), akan tetapi lebih
22 Energi metabolis (ME)
Energi adalah komponen paling utama yang ada dalam pakan ternak. Energi
metabolis merupakan energi makanan yang tersedia untuk metabolisme setelah
energi tercerna dikurangi dengan energi yang hilang melalui urin (Parakkasi, 1999).
Rataan energi yang keluar melalui urin pada kambing dan domba selama penelitian
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Energi Urin pada Kambing dan Domba.
Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
Superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata
(P<0,01).
Berdasarkan hasil yang didapat (Tabel 6) bahwa spesies (kambing dan
domba) dan jenis kelamin (jantan dan betina) tidak berbeda terhadap energi yang
keluar melalui urin, akan tetapi interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh
terhadap pengeluaran energi melalui urin. Pada ternak kambing, ternak jantan dan
betina tidak berbeda dalam hal pengeluaran energi melalui urin, akan tetapi pada
ternak domba energi urin pada betina lebih tinggi dibanding ternak jantan. Tingginya
energi urin pada domba betina diduga dipengaruhi oleh tingginya bahan kering yang
keluar melalui urin pada ternek tersebut. Elita (2006) melaporkan bahwa bahan
kering urin domba betina relatif lebih tinggi dibanding domba jantan. Dengan kata
lain, semakin meningkatkan bahan padatan (bahan kering) pada urin, maka akan
meningkatkan kandungan energi bruto pada urin. Parakkasi (1999) menyatakan
bahwa pengukuran energi urin dapat dilakukan dengan membakar bagian padat
(bahan kering) urin dengan bomb-kalorimeter. Rataan energi bruto urin pada
23 dengan 0,63-1,12% dari konsumsi energi bruto. Nilai ini relatif lebih rendah dari
yang dilaporkan oleh Parakkasi (1999) yakni sebesar 3-5% dari konsumsi energi
bruto.
Energi metabolis dari ransum yang dikonsumsi oleh kambing dan domba
selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Energi Metabolis pada Kambing dan Domba.
Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan spesies (kambing dan
domba) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap energi metabolis, akan tetapi
perbedaan jenis kelamin dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh terhadap
energi metabolis. Energi metabolis domba lebih tinggi dibanding kambing. Menurut
Parakkasi (1999) faktor yang mempengaruhi energi metabolis yaitu sifat fisik dan
kimia dari ransum, level dan frekuensi pemberian makan, serta status produktivitas
ternak. Mengingat sifat fisik dan kimia ransum, serta level dan frekuensi pemberian
makan pada penelitian ini sama, maka faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi
metabolis tinggal status produktivitas ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa
24 pertumbuhan. Tingginya energi metabolis pada domba dalam penelitian ini diduga
domba membutuhkan energi metabolis yang lebih besar untuk hidup pokoknya
dibandingkan dengan kambing. Disamping itu, tingginya energi metabolis pada
ternak domba kemungkinan dipengaruhi oleh konsumsi energi bruto dan energi
tercerna pada spesies ternak tersebut, dimana pada Tabel 4 dan 5 diketahui bahwa
rataan energi tercerna domba nyata lebih tinggi dibanding kambing.
Rataan energi metabolis pada kambing dalam penelitian ini sebesar 1093,64
Kkal/e/h atau setara dengan 145,01Kkal/kg BB0,75. Menurut NRC (1981) kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada kambing adalah 765 Kkal/e/h atau 101,34
Kkal/kg BB0,75, sedangkan menurut Devendra dan Burns (1994) kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada kambing kacang di Malaysia adalah 92,94
Kkal/kg BB0,75. Dengan demikian energi metabolis untuk kambing kacang pada penelitian ini berada diatas kebutuhan hidup pokok yang disarankan. Begitu juga
dengan energi metabolis pada domba, dimana energi metabolis domba dalam
penelitian ini sebesar 1283,37 Kkal/e/h atau setara dengan 144,90 Kkal/kg BB0,75. Kearl (1982) melaporkan bahwa kebutuhan energi metabolis untuk hidup pokok pada
domba adalah 93,69 Kkal/kg BB0,75. Retensi energi metabolis yang positif mengakibatkan ternak-ternak tersebut dapat memanfaatkan ketersediaan energi untuk
tujuan produksi sesuai dengan potensi genetiknya, yang pada umunya pada ternak
muda digunakan dalam bentuk pertambahan bobot badan.
Efisiensi Penggunaan Energi
Efisiensi penggunaan energi dapat dinyatakan sebagai rasio antara unit
pertambahan bobot badan dengan unit konsumsi energi. Nilai efisiensi energi
menunjukkan unit pertambahan bobot badan yang dicapai akibat konsumsi setiap
unit energi. Efisiensi penggunaan energi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Efisiensi Penggunaan Energi pada Kambing dan Domba.
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 0,062 ± 0,021 0,048 ± 0,008 0,055±0,015
Betina 0,070 ± 0,012 0,046 ± 0,013 0,058±0,013
25 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).
Berdasarkan hasil sidik ragam diperoleh bahwa kambing dan domba berbeda
nyata (P<0,05) terhadap efisiensi penggunaan energi, dimana efisiensi penggunaan
energi pada kambing lebih tinggi dari domba. Hal ini menunjukkan bahwa energi
metabolis yang dibutuhkan untuk menghasilkan tiap gram pertambahan bobot badan
pada kambing lebih rendah dibanding domba. Menurut NRC (1981) kebutuhan
energi metabolis untuk hidup pokok pada kambing adalah 765 Kkal/e/h. Dalam
penelitian ini, rataan energi metabolis pada ternak kambing sebesar 1093,64 Kkal/e/h
(Tabel 7). Dengan demikian kelebihan energi metabolis yang dikonsumsi yakni
328,64 Kkal/e/h (1093,64-765) Kkal/e/h, digunakan untuk tujuan produksi atau
untuk pertambahan bobot badan. Jumlah tersebut memberikan respons rataan
pertambahan bobot badan sebesar 70,91 g/e/h (Elita, 2006). Data tersebut memberi
gambaran bahwa untuk setiap 1 gram pertambahan bobot badan dibutuhkan energi
metabolis sebesar 4,63 Kkal. Sedangkan kebutuhan energi metabolis untuk
menaikkan 1 gram bobot badan domba dalam penelitian ini sebesar 5,25 Kkal,
dengan pertambahan bobot badan pada domba sebesar 63,53 g/e/h. Menurut
Devendra dan Burns (1994) untuk menaikkan 1 gram bobot badan pada kambing
kacang dibutuhkan energi metabolis sebesar 5-10 Kkal, sedangkan untuk domba
lokal sebesar 4 Kkal (Mathius et al.,1996). Berbedanya energi metabolis yang
digunakan untuk produksi pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh ternak
yang digunakan memiliki kemampuan atau potensi genetik yang berbeda
dibandingkan dengan ternak yang digunakan pada penelitian terdahulu.
Konsumsi NDF
NDF adalah faktor utama yang mempengaruhi tingkat konsumsi (Parakkasi,
1999). Semakin banyak bahan makanan mengandung NDF atau dinding sel tanaman
dalam ransum maka tingkat konsumsi akan semakin rendah, hal ini disebabkan
tingginya kandungan serat terutama kandungan NDF dalam pakan yang bersifat
bulky dan kaku akan membutuhkan ruang yang lebih banyak di dalam rumen.
Peningkatan NDF dalam ransum menyebabkan ruang rumen akan cepat terisi oleh
26 akan cepat merasa kenyang dan konsumsi akan menurun. Konsumsi NDF pada
kambing dan domba dapat dilihat dalam Tabel 9.
Tabel 9. Rataan Konsumsi NDF pada Kambing dan Domba Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
Konsumsi NDF
(g/e/h)
Jantan 220,69 ± 34,07 256,75 ± 57,16 238,72±45,62
Betina 209,06 ± 22,75 261,66 ± 44,31 235,36±33,53
Rata-rata 214,87 ± 28,41b 259,21 ± 50,74a
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa spesies kambing dan domba
berpengaruh sangat nyata (P<0,01) dalam hal konsumsi NDF, akan tetapi perbedaan
jenis kelamin dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh terhadap konsumsi NDF
(P>0,05). Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa konsumsi NDF domba lebih tinggi
dibanding kambing. Menurut Blaxter (1969) tingkat konsumsi dinding sel tanaman
(NDF) dipengaruhi oleh kapasitas lambung, fermentasi dalam rumen dan gerak laju
digesta melalui saluran pencernaan. Tingginya konsumsi NDF pada domba dalam
penelitian ini diduga karena domba memiliki kapasitas lambung yang lebih besar
dibanding kambing. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Saefudin
(1990) bahwa domba mempunyai bobot jaringan rumen-retikulum dan jaringan
abomasum yang lebih berat daripada kambing (P<0,05). Kelebihan sifat fisik alat
pencernaan ini memungkinkan domba lebih mampu mengkonsumsi makanan yang
lebih banyak daripada kambing, karena kapasitas lambung yang lebih besar akan
mempengaruhi jumlah makanan yang dapat ditampung dalam lambung menjadi lebih
banyak.
Rataan konsumsi NDF pada kambing dan domba dalam penelitian ini
masing-masing sebesar 214,87 g/e/h (31,71 g/kg BB0,75) dan 259,21 g/e/h (32,52 g/kg BB0,75). Nilai rataan konsumsi NDF pada domba dalam penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mathius et al. (1996), yaitu sebesar
27 bobot badan sebesar 13,8±1,1kg. Parakkasi (1999) menyatakan tingkat konsumsi
dapat dipengaruhi oleh makanan yang diberikan, lingkungan tempat ternak, dan
hewannya itu sendiri. Perbedaan nilai yang diperoleh pada penelitian ini dengan
penelitian terdahulu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan pakan yang diberikan,
dimana ransum pellet pada penelitian Mathius et al. (1996) memiliki kandungan
NDF yang lebih rendah yaitu 43% BK, sedangkan bobot badan domba yang
digunakan relatif sama. Selain itu, Hungate (1966) menyatakan bahwa ruminansia
yang memperoleh pakan berserat tinggi, volume total alat pencernaanya akan lebih
tinggi dari pada yang memperoleh pakan berserat rendah.
Kecernaan NDF
Keistimewaan ruminansia adalah kemampuannya dalam mencerna dan
menggunakan materi dinding sel tanaman atau NDF. Materi dinding sel tanaman ini
sebagian besar terdiri dari hemiselulosa, selulosa, lignin, lignoselulosa dan silika
(Vans Soest, 1982). Selulosa dan hemiselulosa dapat dicerna oleh mikroba rumen
dalam waktu yang relatif lama, sedangkan lignin dan silika tidak dapat dicerna.
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa bila bahan makanan memiliki kandungan lignin
atau silika yang cukup tinggi, maka relatif lebih banyak bahan makanan tersebut
yang keluar melalui feses. Pengeluaran NDF melalui feses dan kecernaan NDF pada
Kambing dan Domba dalam penelitian dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11.
Tabel 10. Rataan NDF Feses pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
NDF Feses
(g/e/h)
Jantan 141,73 ± 28,67 154,71 ± 17,24 148,22±22,96
Betina 128,69 ± 24,03 150,77 ± 19,51 139,73±21,77
28 Tabel 11. Kecernaan NDF pada Kambing dan Domba (%).
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 41,57 ± 7,61 37,24 ± 3,99 39,40 ± 5,80
Betina 40,61 ± 6,58 42,62 ± 3,55 41,62 ± 5,07
Rataan 41,09 ± 7,09 39,93 ± 3,77
Hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa kambing dan domba baik jantan
maupun betina tidak berpengaruh terhadap kecernaan NDF, begitu juga terhadap
interaksi kedua faktor tersebut. Hal ini diduga dalam penelitian ini ransum yang
digunakan memiliki komposisi kimia yang sama, sehingga akan memberikan tingkat
kecernaan NDF yang sama. Menurut Ranjhan dan Pathak (1979) kecernaan bahan
makanan dipengaruhi oleh umur ternak, level pemberian pakan, dan komposisi kimia
bahan makanan.
Gerak laju digesta dalam saluran pencernaan (flow rate) merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecernaan pakan (Tomaszewska et al., 1993).
Tidak berbedanya nilai kecernaan NDF pada kambing dan domba pada penelitian ini
diduga dipengaruhi oleh gerak laju digesta yang relatif sama antara kambing dan
domba. Istidamah (2006) melaporkan bahwa gerak laju digesta pada kambing dan
domba relatif sama. Dengan gerak laju digesta yang sama pada kambing dan domba,
maka jumlah feses yang dikeluarkan oleh kedua spesies ternak tersebut relatif sama.
Hal ini dapat terlihat pada bahan kering dan NDF feses yang tidak berbeda pada
kambing dan domba dalam penelitian ini. Johnson (1981) menjelaskan gerak laju
digesta dalam saluran pencernaan dapat mempengaruhi kecernaan dari bahan
makanan, karena pada gerak laju digesta yang cepat akan menyebabkan
berkurangnya waktu retensi dalam rumen dan terjadinya penurunan proses
fermentasi sehingga banyak digesta yang lolos didegradasi oleh mikroba rumen dan
kecernaanpun akan rendah.
Pada Tabel 11 dapat dilihat kecernaan NDF pada kambing dan domba
masing-masing sebesar 41,09% dan 39,93%. Nilai ini lebih rendah dari hasil
penelitian yang dilaporkan oleh Haryanto (2002) yaitu sebesar 44,2% untuk
29 secara ad libitum. Perbedaan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan
penelitian terdahulu diduga dipengaruhi oleh bentuk fisik pakan yang diberikan,
dimana dalam penelitian ini ransum yang diberikan dalam bentuk pellet, sedangkan
dalam penelitian Haryanto et al. (2002) menggunakan ransum segar. Parakkasi
(1999) menyatakan bahwa penggilingan dan pelleting pada ransum akan berpengaruh
terhadap kecernaan ransum itu sendiri, karena proses penggilingan dan pelleting akan
meningkatkan laju digesta dalam saluran pencernaan. Tomaszewska et al. (1993)
menambahkan bahwa semakin cepat laju digesta maka akan tidak cukup waktu yang
diberikan bagi mikroorganisme untuk menghancurkan makanan, dan
mikroorganisme yang melekat pada dinding sel (NDF) akan segera dipindahkan
keluar meninggalkan rumen, sehingga akan mengurangi populasi mikroba rumen dan
menurunkan nilai kecernaan.
Konsumsi ADF
ADF (Acid Detergent Fiber) merupakan bagian dari dinding sel tanaman
yang tidak dapat larut dalam deterjen asam yang tersusun dari selulosa, lignin, dan
silika (Van Soest, 1982). ADF merupakan faktor utama yang mempengaruhi
kecernaan dari bahan makanan (Parakkasi, 1999). Semakin tinggi kandungan ADF
dalam bahan makanan maka tingkat kecernaan dari bahan makanan tersebut akan
semakin rendah. Konsumsi ADF pada kambing dan domba berdasarkan penelitian
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan Konsumsi ADF pada Kambing dan Domba. Peubah Jenis
Kelamin
Jenis Ternak Rata-rata
Kambing Domba
Konsumsi ADF
(g/e/h)
Jantan 115,22±17,79 134,04±29,84 124,63±23,82
Betina 109,14±11,88 136,61±23,14 122,86±17,51
Rata-rata 112,18±14,84b 135,33±26,49a
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).