STUDI PERBANDINGAN PENAMPILAN UMUM
DAN KECERNAAN PAKAN PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
SKRIPSI ADE SURYA ELITA
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
ADE SURYA ELITA. D24101008. 2006. Studi Perbandingan Penampilan Umum dan Kecernaan Pakan pada Kambing dan Domba Lokal. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Drh. Aminuddin Parakkasi, MSc Pembimbing Anggota : Ir. Lilis Khotijah, MSi
Menurut Devendra dan Burns (1994) kambing dan domba memiliki sistem pencernaan yang serupa, sehingga kedua jenis ternak ini sering dianggap sama. Namun menurut Tomaszewska et al. (1993) terdapat perbedaan dalam tingkah laku dan fisiologi pencernaan. Adanya persamaan dan perbedaan tersebut dapat menyebabkan persamaan dan perbedaan pada penampilan. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penampilan kedua ternak tersebut maka perlu dilakukan studi perbandingan penampilan kambing dan domba lokal dengan perlakuan yang sama.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja. Analisa dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai Juli 2005. Ternak yang digunakan adalah 10 ekor kambing dan 10 ekor domba lokal lepas sapih yang masing – masing 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Rataan bobot awal kambing jantan 10,92 kg +1,56 kambing betina 9,68 kg + 1,02 dan domba jantan 14,16 kg + 2,56 domba betina 13,4 kg + 3,15.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelomok (RAK) Faktorial (2 x 2). Faktor A adalah spesies ternak (kambing dan domba) dan faktor B adalah jenis kelamin. Pengaruh perlakuan dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA). Peubah yang diamati adalah konsumsi bahan kering, bahan organik ransum, konsumsi air minum, kecernaan bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot badan, konversi ransum, kadar air feses dan BJ urin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ternak sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi konsumsi bahan kering, bahan organik, konsumsi air minum, konversi ransum dan berat jenis urine, namun jenis kelamin, dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh. Jenis ternak, jenis kelamin dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot badan, dan kadar air feses. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kambing dan domba memiliki perbedaan yang nyata dalam konsumsi bahan kering, bahan organik, air minum, konversi ransum dan berat jenis urine namun tidak ada perbedaan antara jenis kelamin.
ABSTRACT
Comparative Study of Perfomance and Digestibility on Local Goats
and Sheeps
A. S. Elita., A. Parakkasi, and L. Khotijah
The objective of this research was to compare the perfomance local goats and sheeps . This research use 5 male goats, 5 female goats, 5 male sheeps and 5 female sheeps, that given the same feed based on each body weigth of the livestock. The experimental design was a factorial Randomised Block Design, any significant results were further analysed by Duncan test. The result showed that species influenced significantly, for dry matter consumption, organic matter, water consumption, feed convertion and urine density. But sex and the interaction between species and sex did not different. Species, sex and its interaction did not different for dry matter, organic matter digestibility, daily gain and faeces moisture.
STUDI PERBANDINGAN PENAMPILAN UMUM DAN KECERNAAN PAKAN PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
ADE SURYA ELITA D24101008
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
STUDI PERBANDINGAN PENAMPILAN UMUM DAN KECERNAAN PAKAN PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
Oleh
ADE SURYA ELITA D24101008
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 12 Juni 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Drh. Aminuddin Parakkasi, MSc Ir. Lilis Khotijah, MSi NIP. 130 188 194 NIP. 131 999 587
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Agustus 1983 di Kerinci – Jambi. Penulis
adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak H. Herman Arif, BcHk
dan Ibu Hj. Ernawati.
Pendidikan penulis di mulai tahun 1989 di Sekolah Dasar Negeri No. 59/ III
Muara Semerah dan lulus tahun 1995. Kemudian pada tahun 1995 penulis
melanjutkan pendidikan ke SMP N 1 Air Hangat dan lulus tahun 1998. Kemudian
pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan ke SMU N 1 Air Hangat dan lulus
tahun 2001
Pada tahun yang sama, penulis terdaftar sebagai mahasiswi Institut Pertanian
Bogor (IPB) pada program studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Departemen
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala
nikmat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Studi Perbandingan Penampilan Umum dan Kecernaann Pakan pada Kambing dan Domba Lokal ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai bulan April hingga Juli 2005 di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak
Daging dan Kerja.
Kambing dan domba merupakan ternak ruminansia yang memiliki sistem
saluran pencernaan yang serupa namun berbeda dalam tingkah laku dan fisiologi
pencernaan. Adanya persamaan dan perbedaan tersebut dapat menyebabkan
persaamaan dan perbedaan pada penampilan kedua ternak tersebut. Tujuan dari
pelitian ini adalah untuk mempelajari dan membandingkan penampilan (konsumsi
bahan kering, bahan organik, konsumsi air minum, pertambahan bobot badan,
kecernaan bahan kering dan bahan organik, konversi ransum, kadar air feses dan
berat jenis urine) kambing dan domba lokal dengan perlakuan yang sama.
Skiripsi ini ditulis untuk memberikan penjelasan tentang persamaan dan
perbedaan kambing dan domba lokal khususnya pada penampilan.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Bogor, Juni 2006
DAFTAR ISI
Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum ... 14
Konsumsi Bahan Kering ... 14
Konsumsi Bahan Organik ... 17
Hubungan Konsumsi Air Minum dengan Bahan kering ... 19
Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik ... 20
Koefisien Cerna Bahan Kering ... 20
Koefisien Cerna Bahan Organik ... 21
Pertambahan Bobot Badan ... 23
Konversi Ransum ... 24
Feses ... 26
Urine ... 28
BJ Urine ... 29
KESIMPULAN ... 30
UCAPAN TERIMA KASIH ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Perbedaan Kambing dan Domba ... 5
2. Komposisi Bahan Makanan Kambing dan Domba berdasarkan Perhitungan ... 12
3. Kandungan Zat Makanan ... 12
4. Rataan Konsumsi Bahan Kering (g/e/h) ... 15
5. Rataan Konsumsi Bahan Kering Metabolis (g/kgBB^0,75) ... 15
6. Rataan Konsumsi Bahan Organik (g/e/h) ... 17
7. Rataan Konsumsi Bahan Oraganik Metaboilis (g/kgBB^0,75) .... 17
8. Rataan Konsumsi Air Minum (ml/e/h) ... 18
9. Rataan Koefisien cerna Bahan Kering (%) ... 20
10. Rataan Koefisien cerna Bahan Organik (%) ... 21
11. Rataan Pertambahan Bobot Badan (g/e/h) ... 23
12. Rataan Konversi Ransum (g/pbb) ... 25
13. Rataan Bahan Kering Feses (%) ... 26
14. Rataan Kadar Air Feses (%) ... 27
15. Rataan Volume Urine (ml) ... 28
16. Rataan BJ Urine (g/ml) ... 29
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kurva Pertumbuhan ... 8
2. Ransum ... 11
3. Histogram Konsumsi Bahan Kering ... 17
4. Histogram Konsumsi Bahan Organik ... 18
5. Histogram Konsumsi Air Minum ... 18
5. Kurva Hubungan Konsumsi Bahan Kering dengan Air Minum ... 19
6. Histogram Koefisien cerna Bahan Kering ... 21
7. Histogram Koefisien cerna Bahan Organik ... 22
8. Histogram Pertambahan Bobot Badan ... 24
9. Histogram Konversi Ransum ... 26
10. Histogram Bahan Kering Feses ... 26
11. Kurva Hubungan Kadar Air Feses dengan Air Minum ... 27
12. Histogram Volume Urine ... 28
13. Histogram Bj Urine ... 29
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering (g/e/h) ... 36
2. Uji Jarak Duncan Konsumsi Bahan Kering ... 36
3. Konsumsi Bahan Kering Metabolis (g/kgBB^0,75) ... 36
4. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik Ransum (g/e/h) ... 37
5. Uji Jarak Duncan Konsumsi Bahan Organik ... 37
6. Konsumsi Bahan Organik Metabolis (g/kgBB^0,75) ... 37
7. Sidik Ragam Konsumsi Air Minum (ml/e/h) ... 38
10. Uji Jarak Duncan Konsumsi Air Minum ... 38
11. Regresi Hubungan Konsumsi Bahan Kering dengan Air Minum ... 38
12. Sidik Ragam Koefisien cerna Bahan Kering Ransum (%) ... 38
13. Sidik Ragam Koefisien cerna Bahan Organik Ransum (%) ... 39
14. Sidik Ragam Pertambahan Bobot Badan (g/e/h) ... 39
15. Sidik Ragam Bahan Kering Feses (%) ... 39
16. Sidik Ragam Kadar Air Feses (%) ... 40
17. Regresi Hubungan Kadar Air Feses dengan Air Minum ... 40
18. Sidik Ragam Volume Urine (ml) ... 40
19. Uji Jarak Duncan Volume Urine ... 40
20. Sidik Ragam Berat Jenis Urine (g/ml) ... 41
21. Uji Jarak Duncan Berat Jenis Urine ... 41
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jenis ternak kambing dan domba memiliki sifat fisik yang berbeda namun
oleh sebagian masyarakat sering dianggap bahwa kedua ternak tersebut sama.
Menurut Devendra dan Burns (1994) kambing dan domba memiliki sistem saluran
pencernaan yang serupa, namun menurut Tomaszewska et al. (1993) terdapat
perbedaan antara kambing dan domba dalam tingkah laku dan fisiologi pencernaan
antara lain: 1)aktivitas dan cara makan kambing meramban, pemakan semak dan
lebih banyak memilih, sedangkan domba merumput dan kurang banyak memilih;
2)kambing memiliki alat perasa lebih tajam dari domba; 3)kambing memiliki tingkat
sekresi saliva yang lebih besar dari domba; 4)kambing lebih efisien mencerna
hijauan kasar dan waktu penyimpanan pakan dalam saluran pencernaan lebih lama
dibandingkan domba; 5)kambing memiliki konsentrasi NH3 dalam rumen lebih
tinggi dari pada domba; 6)kambing lebih tahan terhadap tanin sedangkan domba
kurang tahan.
Adanya persamaan dan perbedaan kambing dan domba tersebut dapat
menyebabkan persamaan dan perbedaan terhadap penampilan pada perlakuan yang
sama. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penampilan kedua ternak
tersebut maka perlu dilakukan studi perbandingan penampilan kambing dan domba.
Perumusan Masalah
Menurut Devendra dan Burns (1994) kambing dan domba memiliki sistem
saluran pencernaan yang serupa, sehingga kedua jenis ternak ini sering dianggap
sama, namun menurut Tomaszewska et al. (1993) terdapat perbedaan antara kambing
dan domba dalam tingkah laku dan fisiologi pencernaan. Adanya persamaan dan
perbedaan tersebut dapat menyebabkan persamaan dan perbedaan terhadap
penampilan secara umum. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penampilan
kambing dan domba lokal maka perlu dilakukan penelitian studi perbandingan
penampilan kambing dan domba dengan perlakuan yang sama.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan membandingkan konsumsi
pertambahan bobot badan, konversi pakan, kadar air feses dan berat jenis (BJ) urin
TINJAUAN PUSTAKA
Kambing
Kambing yang tersebar luas di daerah tropis dan subtropis memiliki
kemampuan beradaptasi pada berbagai lingkungan. Menurut Devendra dan McLeroy
(1982) klasifikasi kambing sebagai berikut:
Famili : Bovidae
Ordo : Artidactyla
Sub ordo : Ruminantia
Genus : Capra atau Hemitaragus, yang terdiri dari Capra hircus, Capra ibex,
Capra caucasica, Capra pyrenaica dan Capra falconeri.
Menurut Devendra dan Burns (1994) kambing Kacang merupakan kambing
asli Malaysia dan Indonesia. Kambing Kacang merupakan kambing yang lincah,
mampu beradaptasi dengan baik dan tersebar luas diberbagai wilayah. Kegunaan
utamanya adalah sebagai penghasil daging. Mempunyai kulit yang relatif tipis
dengan bulu yang kasar. Bobot dewasa 25 kg pada yang jantan dan 20 kg pada yang
betina. Tinggi gumba masing – masing 60 – 65 cm pada yang jantan dan 56 cm pada
yang betina.
Menurut Soedomo (1984) kambing Kacang tahan terhadap keadaan buruk,
lincah, mudah menyesuaikan diri dan tersebar luas di daerah. Kambing ini terutama
untuk produksi daging, memiliki kulit tipis, rambut kasar dan pejantannya
mempunyai surai dengan rambut panjang kasar. Rumich (1968) menyatakan
kambing Kacang sebagai kambing yang berukuran kecil dengan tinggi 50 – 60 cm
dengan berat badan 30 kg. Warna bervariasi dengan perbedaan latar belakang warna
hitam, coklat atau putih atau kombinasi warna – warna tersebut. Betina melahirkan
anak pertama pada umur 12 - 13 bulan dan kelahiran kembar dua sering terjadi.
Domba
Menurut Ensminger (1991) klasifikasi domba adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animal
Phylum : Chordata (hewan bertulang belakang)
Kelas : Mamalia
Famili : Bovidae
Genus : Ovis
Spesies : Ovis aries
Ada beberapa karakteristik yang digunakan untuk mengklasifikasikan bangsa
domba di daerah tropis antara lain, bentuk dan tipe ekor (gemuk, tipis dan panjang),
bulu yang menutupi tubuh (wol atau bulu), ukuran dan bentuk tubuh, warna bulu,
ada atau tidaknya tanduk, prolificacy (perkembangbiakannya, kesuburan) dan
tergantung tujuan pemeliharaan (daging, susu, wol atau kulit) (Gatenby,1986).
Menurut Tomaszewska et al. (1993) di Indonesia dikenal tiga bangsa domba
yaitu; domba Jawa Ekor Kurus (JEK), domba Jawa Ekor Gemuk (JEG) dan domba
Sumatra Ekor Kurus (SEK). Perbedaan masing – masing jenis domba ini dapat
dilihat dari sifat – sifat luarnya antara lain misalnya domba JEK dan SEK
mempunyai ekor kurus dan panjang. Warna bulu domba JEK bervariasi, pada jantan
umumnya bertanduk. Domba SEK umumnya berwarna coklat muda dan pada yang
jantan jarang yang bertanduk, kedua jenis domba ini rata – rata bulunya kasar dan
tersebar tidak teratur dibagian tubuhnya. Domba JEK mempunyai beberapa
kelompok atau populasi lokal yang diberi nama sesuai dengan daerah atau tempat
keberadaannya, seperti domba Garut dan Priangan. Domba JEG mempunyai ekor
yang tebal, gemuk dan pendek, umumnya dikenal sebagai penghasil wol, berwarna
putih dan tidak bertanduk. Daerah penyebaran populasi domba ini di Jawa Timur, di
pelihara terisolasi sebagai contohnya di pulai Lombok.
Menurut Mason (1980) warna bulu domba Lokal umunya putih dengan
bercak hitam sekitar mata, hidung atau bagian lainnya. Tinggi pundak domba dewasa
57 cm, bobot potongnya 19 kg. Ekor umumnya pendek, tipis dan tidak menunjukkan
Perbedaan Kambing dan Domba
Menurut Tomaszewska et al. (1993) kambing dan domba memiliki perbedaan
dalam tingkah laku makan dan fisiologi saluran pencernaan sebagai berikut :
No. Karakter Kambing Domba 9. Efisiensi pencernaan Lebih efisien Kurang efisien
hijauan kasar
10. Waktu penyimpanan Lebih lama Lebih pendek pakan dalam
13. Kecepatan penggunaan Lebih nyata Kurang nyata lemak selama waktu
Lanjutan
Konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup pokok
dan menentukan produksi. Tingkat konsumsi ternak di pengaruhi oleh berbagai
faktor yang kompleks yang terdiri dari hewan, makanan yang diberikan dan
lingkungan tempat hewan tersebut dipelihara (Parakkasi,1999). Menurut Aregheore
(2001) konsumsi merupakan faktor yang penting dalam menentukan jumlah dan
efisiensi produktifitas ruminansia, dimana ukuran tubuh ternak sangat mempengaruhi
konsumsi pakan.
Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah pakan yang dimakan oleh ternak;
zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup
pokok maupun keperluan produksi ternak (Tillman et al., 1991). Menurut Cheeke
(1999) konsumsi pakan dipengaruhi oleh palatabilitas, level energi, protein dan
konsentrasi asam amino, komposisi hijauan, temperatur lingkungan, pertumbuhan
dan laktasi dan ukuran metabolik tubuh. Menurut Tamminga dan Van Vuuran (1988)
secara umum konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan,
karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin
meningkatnya berat badan sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah lebih
banyak.
Menurut Keskin et al. (2003) yang melakukan penelitian tentang tingkah
laku makan pada domba Awassi dan kambing Shami (Damascus), domba Awassi
memiliki konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan kambing Shami hal ini karena
pada umur yang sama domba Awassi memiliki bobot hidup yang lebih besar
Konsumsi Air Minum
Air adalah zat makanan yang penting, ternak akan lebih menderita dengan
kekurangan air dari pada kekurangan makan (Tillman et al., 1991). Air memiliki dua
fungsi dasar yaitu sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai zat yang
mengontrol temperatur tubuh (Church dan Pond, 1988). Menurut Parakkasi (1999)
kebutuhan air minum dipengaruhi oleh konsumsi bahan kering ransum, jenis bahan
makanan, kelembaban, angin dan temperatur. Menurut Devendra dan Burns (1994)
kebutuhan air dipengaruhi oleh faktor lingkungan, jumlah bahan kering yang
dikonsumsi, keadaan makanan, kondisi fisioligis, temperatur air minum, temperatur
lingkungan, kekerapan minum dan genotipe ternak.
Tillman et al. (1991) menyatakan bahwa kebutuhan air minum domba yang
sedang tumbuh pada suhu lebih dari 200 C adalah 3 liter/kg bahan kering
terkonsumsi. Menurut Devendra dan McLeroy (1982) kambing merupakan ternak
yang efisien dalam menggunakan air minum, pada suhu 380 C kebutuhan air minum
kambing setengah dari kebutuhan air domba. Menurut Church (1971) konsumsi air
minum dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat konsumsi ransum,
tingkat produksi hewan, tingkat pertumbuhan dan bobot badan hewan.
Kecernaan pakan
Kecernaan pakan adalah bagian pakan yang tidak dieksresikan dalam feses
dan selanjutnya dapat diasumsikan sebagai bagian yang diserap oleh ternak. Selisih
antara zat makanan yang dikandung dalam bahan makanan dengan zat makanan yang
ada dalam feses merupakan bagian zat makanan yang dicerna (Mc Donald et al.,
1995). Biasanya dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam
persentase maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1991).
Tingkat kecernaan zat makanan di pengaruhi oleh spesies ternak, bentuk fisik
ransum, jumlah bahan makanan yang diberikan, komposisi ransum dan pengaruh
terhadap perbandingan dari zat makanan lainnnya (Maynard dan Loosli, 1956).
Menurut Ranjhan dan Pathak (1979) faktor yang mempengaruhi kecernaan pakan
adalah umur ternak, jumlah pakan, pengolahan pakan, komposisi pakan, dan rasio
komposisi. Selain itu menurut Mackie et al. (2002) adanya aktivitas mikroba dalam
kambing, domba, rusa, sapi, kerbau memiliki keragaman spesies bakteri dan
protozoa yang hampir sama.
Alcaide et al. (2000) melaporkan bahwa kambing dan domba memiliki
kecernaan bahan kering dan bahan organik yang sama hal ini karena kambing dan
domba memiliki kemampuan yang sama dalam mencerna hijauan yang berkualitas
baik. Menurut Quick dan Dehority (1986) yang membandingkan tingkah laku makan
dan kecernaan kambing Toggenburg, Alpine, domba Dorset dan St. Croix memiliki
kecernaan bahan kering dan serat yang sama pada perlakuan yang sama.
Pertambahan Bobot Badan
Salah satu kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan ialah
dengan pengukuran pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan yang
diperoleh dari percobaan pada ternak merupakan hasil metabolisme zat – zat
makanan yang dikonsumsi. Makin baik kualitas pakan yang dikonsumsi ternak akan
diikuti dengan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi (Church dan Pond,1988).
Menurut Lawrence dan Fowler (1997) pertumbuhan adalah perubahan skala
dan bentuk serta peningkatan dalam massa tubuh. Menurut Tillman et al. (1991)
pertumbuhan mempunyai tahap – tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi
pada saat sampai pubertas dan tahap lambat terjadi pada saat kedewasaan tubuh telah
tercapai. Tahap – tahap pertumbuhan hewan membentuk gambaran sigmoid pada
grafik pertumbuhan. Adapun bentuk kurva sigmoid dapat dilihat pada Gambar 1;
Umur (tahun)
Gambar 1. Kurva pertumbuhan
B
obot Badan (K
Menurut NRC (1985) Pertambahan berat badan dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain konsumsi pakan, jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan,
kondisi fisiologis ternak dan tata laksana.
Konversi ransum
Konversi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak
untuk menghasilkan satuan bobot badan. Konversi ransum dapat digunakan untuk
mengetahui efisiensi suatu peternakan (Nesheim dan Card, 1972). Keefisienan
ransum dapat dilihat dari nilai konversi ransum, semakin rendah nilai konversi
ransum maka efisiensi penggunaan ransum makin tinggi.
Menurut Pond et al. (1995) konversi ransum khususnya ternak ruminansia
kecil dipengaruhi oleh kualitas ransum, nilai kecernaan dan efisiensi pemanfaatan zat
gizi dalam proses metabolisme didalam jaringan tubuh ternak. Makin baik kualitas
ransum yang dikonsumsi ternak akan diikuti oleh pertambahan bobot badan yang
lebih tinggi dan makin efisien penggunaan ransumnya. Menurut Nesheim dan Card
(1972) faktor yang turut berperan dalam konversi ransum adalah temperatur
lingkungan, potensi genetik, nutrisi, kandungan energi dan penyakit.
Menurut Devendra dan Burns (1994) laju aliran pakan dan pola fermentasi
rumen dalam saluran pencernaan merupakan alasan untuk mengetahui bahwa
kambing mempunyai efisiensi pencernaan yang lebih tinggi. Dayal et al. (1995)
melaporkan bahwa kambing memiliki waktu retensi pakan dalam saluran pencernaan
lebih lama dibandingkan domba.
Pelet
Pelet dikenal sebagai bentuk mass dari bahan pakan yang dibentuk dengan
cara menekan dan didapatkan melalui lubang cetakan secara mekanis (Hartadi
et al.,1990). Menurut Moore (1964) pakan berbentuk pelet dapat; (a) mengurangi
waktu pengunyahan dan mastikasi (b) mengurangi sekresi saliva (c) menurunkan
ruminasi (d) meningkatkan fermentasi dalam rumen (e) menurunkan rasio asetat dan
propionat dalam rumen (f) menurunkan pH dalam rumen (g) meningkatkan laju
aliran partikel pakan dari rumen (h) meningkatkan konsumsi bahan kering (i)
meningkatkan palatabilitas pakan.
Behnke (1994) menyatakan bahwa pemberian pakan bentuk pelet dapat
pakan berbentuk mash. Peningkatan perfomance ini disebabkan oleh pakan bentuk
pelet memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah:
1. Pakan yang terbuang lebih sedikit
2. Mencegah terjadinya pemilihan pakan oleh ternak
3. Meningkatkan kekompakkan pakan
4. Energi yang terbuang lebih rendah selama pengunyahan
5. Meningkatkan palatabilitas.
Feses
Menurut Dukes (1970) feses mengandung air, bahan yang tidak dapat
dicerna, bakteri, bahan anorganik dan produk fermentasi bakteri. Menurut
Taiganides (1978) dalam Strauch (1982) banyaknya feses dan urin yang dihasilkan
adalah sebesar 10 % dari berat ternak, sedangkan rasio feses dan urin yang dihasilkan
ternak adalah babi 1,2 : 1 (55 % feces, dan 45 % urin), sapi potong 2,4 : 1 (71 %
feces, dan 29 % urin), domba 1 : 1 (50 % feces, dan 50 % urin), dan sapi perah
2,2 : 1 (69 %, 31% urin). Menurut Hafez (1969) kadar air feses normal sapi
80 – 85 %, sedangkan domba, kuda 50 – 65 % pada ransum yang mengadung hijauan
kering. Kadar air feses di pengaruhi oleh spesies dan ransum. Tingginya serat kasar
dalam ransum yang dikonsumsi akan meningkatkan kadar air feses.
Urine
Menurut Taiganides (1978) dalam Strauch (1982) urin merupakam salah satu
limbah cair yang dihasilkan dari industri peternakan. Urin dibentuk didaerah ginjal
setelah dieliminasi dari tubuh melalui saluran kencing (urinary) dan berasal dari
metabolisme nitrogendalam tubuh (urea, asam urat dan kreatin) serta 90 % urin
terdiri dari air. Urin yang dihasilkan di pengaruhi oleh makanan, aktivitas ternak,
suhu eksternal, konsumsi air, dan musim. Menurut Girindra (1989) kisaran Bj urin
normal untuk kambing dan domba adalah 1,01 – 1,04 g/ml. Apabila urin berkurang
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan
Kerja, Fakultas Peternakan IPB. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Kimia
Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB, mulai dari
bulan April sampai Juli 2005.
Materi
Ternak
Penelitian ini menggunakan 10 ekor kambing dan 10 ekor domba lokal lepas
sapih, yang masing – masing terdiri dari 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Rataan
bobot awal kambing jantan 10,92 kg + 1,56 dan kambing betina 9,68 kg + 1,02.
Rataan bobot badan domba jantan 14,16 kg + 2,56 dan domba betina 13,4 kg + 3,15.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 20 buah, merupakan
kandang metabolis individu yang berukuran 120 x 70 cm dengan ketinggian 150 cm.
Ransum
Ransum yang digunakan terdiri dari rumput lapang dan konsentrat dengan
perbandingan 40: 60. Ransum diberikan dalam bentuk pelet yang berukuran panjang
2,4 cm dan diameter 1 cm seperti pada Gambar 2. Bahan pakan yang digunakan
dalam penyusunan ransum adalah jagung kuning, bungkil kedele, pollard, dedak
padi, minyak kelapa sawit, premix dan rumput lapang. Adapun komposisi bahan
makanan dalam ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 1, dan kandungan zat
Tabel 1. Komposisi Bahan Makanan Kambing dan Domba berdasarkan
Keterangan: *dapat dilihat pada Lampiran 1.
Tabel 2. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian berdasarkan Bahan
Keterangan: 1) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2005)
2)
Hasil Analisa Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2005)
3)
Prosedur
Pembuatan Pelet
Rumput lapang di keringkan dengan matahari kemudian digiling dengan
saringan yang berukuran 2 mm. Rumput yang digiling halus dicampur dengan bahan
makanan konsentrat menggunakan mixer sampai homogen, kemudian di bentuk
pellet, pembuatan pellet dilakukan di Balai Penelitian Ternak, Ciawi.
Rancangan Percobaan
Rancangan Percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
pola faktorial (RAK Faktorial 2 x 2). Faktor A adalah jenis ternak: kambing dan
domba, faktor B adalah jenis kelamin: jantan dan betina. Adapun model
matematikanya sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993)
Yijk = μ + ρi + αj + βj + (αβ)ij +εijk Keterangan
Yijk : Nilai pengamatan dari faktor A pada perlakuan ke- i dan pada
perlakuan ke-j dalam ulangan ke- k.
μ : Rataan umum ρi : pengaruh blok αj : Pengaruh faktor A βj : Pengaruh faktor B
(αβ)ij : Interaksi dari faktor A dan faktor B
εijk : Galat percobaan
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Konsumsi
a. Konsumsi ransum
Konsumsi ransum = Pemberian (gram) – Sisa (gram)
b. Konsumsi Air Minum
2. Kecernaan bahan kering dan bahan organik
3. Pertambahan Bobot Badan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum
Konsumsi Bahan Kering Ransum
Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh
ternak, dimana zat makanan yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi
kebutuhan hidup pokok dan untuk produksi hewan tersebut (Tillman et al.,1991).
Rataan konsumsi bahan kering ransum pada kambing dan domba dapat dilihat pada
Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Rataan Konsumsi Bahan Kering Ransum (gram/ekor/hari)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 445,02 + 68,71 517,74 + 115,26 481,38 a
Betina 421,57 + 45,88 527,65 + 89,36 474,61a
Rataan 433,30 b 522,70 a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Tabel 4.Rataan Konsumsi Bahan Kering Metabolis (gram/kgBB 0,75)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 62,22 + 4,14 63,60 + 8,30 64,95 a
Betina 63,63 + 1,84 65,88 + 2,26 64,76 a
Rataan 62,93a 64,74a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil analisis statistik menunjukkan jenis ternak berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap konsumsi bahan kering rasum, namun jenis kelamin, dan interaksi
kedua faktor tidak berpengaruh. Tingginya konsumsi bahan kering pada ternak
domba diduga karena domba memiliki bobot badan yang lebih besar dibandingkan
kambing. Hal ini sesuai dengan pernyataan Parakkasi (1999) bahwa tingkat konsumsi
ternak dipengaruhi oleh hewan, makanan yang diberikan, lingkungan tempat hewan
tersebut dipelihara. Faktor hewan dipengaruhi oleh bobot badan atau ukuran
bangsa. Menurut Aregheore (2001) konsumsi merupakan faktor yang penting dalam
menentukan jumlah dan efisiensi produktivitas ruminansia, dimana ukuran tubuh
ternak sangat mempengaruhi konsumsi pakan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Salim et al. (2002) bahwa
domba memiliki konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan kambing pada umur yang
sama dengan rataan bobot badan 9,80 dan 9,77 kg. Menurut Keskin et al. (2003)
yang melakukan penelitian tentang tingkah laku makan pada domba Awassi dan
kambing Shami (Damascus) menyatakan bahwa domba Awassi memiliki konsumsi
yang lebih tinggi dibandingkan kambing Shami hal ini karena pada umur yang sama
domba Awassi memiliki bobot hidup yang lebih besar dibandingkan kambing Shami.
Tingginya konsumsi bahan kering pada domba juga diduga karena kapasitas
saluran pencernaan pada domba lebih besar dibandingkan kambing. Semakin besar
bobot badan maka kapasitas saluran pencernaan akan semakin meningkat sehingga
mampu menampung pakan dalam jumlah lebih banyak. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Naim (1986) bahwa jika dibandingkan antara kambing dengan domba
pada umur yang sama, maka total jaringan alat pencernaan pada domba secara
statistik lebih berat dibandingkan kambing. Menurut Tamminga dan Van Vuuran
(1988) secara umum konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat
badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan
semakin meningkatnya berat badan sehingga mampu menampung pakan dalam
jumlah lebih banyak.
Rataan kosumsi bahan kering kambing dan domba dalam penelitian ini yaitu
433,30 dan 522,70 g/ekor/hari. Menurut NRC (1981) kebutuhan bahan kering
kambing dengan bobot + 10 kg adalah 3,6 % dari bobot badan yaitu 360
g/ekor/hari. Berarti nilai konsumsi bahan kering ransum untuk kambing sesuai
dengan NRC (1981). Namun nilai konsumsi bahan kering untuk domba lebih rendah
dari standar NRC (1985) yakni domba dengan bobot badan + 14 kg membutuhkan
bahan kering 5 % dari bobot badan yaitu 700 g/ekor/hari. Hal ini karena perbedaan
lingkungan penelitian dan bangsa ternak yang digunakan, dimana didaerah tempret
konsumsi lebih tinggi dibandingkan daerah tropis. Histogram konsumsi bahan
0
Gambar 3. Histogram Konsumsi Bahan Kering Ransum pada Kambing dan Domba (g/ekor/hari)
Konsumsi Bahan Organik Ransum
Konsumsi bahan organik ransum merupakan hasil dari konsumsi bahan
kering dikalikan dengan kandungan bahan organik pakan. Rataan konsumsi bahan
organik ransum pada kambing dan domba dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.
Tabel 5.Rataan Konsumsi Bahan Organik Ransum (gram/ekor/hari)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 360,33 + 55,64 419,21 + 93,33 389,77a
Betina 341,34 + 37,15 427,24 + 72,35 384,29a
Rataan 350,84 b 423,23 a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Tabel 6. Rataan Konsumsi Bahan Organik Metabolis (gram/kg BB^0,75)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 50,39 + 3,36 51,49 + 6,72 50,94a
Betina 51,52 + 1,49 53,34 + 1,83 52,43a
Rataan 50,60a 52,42a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis ternak berpengaruh sangat
nyata (P<0,01) terhadap konsumsi bahan organik ransum, namun jenis kelamin, dan
dalam penelitian ini karena tingkat konsumsi bahan kering domba lebih tinggi
dibandingkan kambing. Menurut Sutardi (1980) bahan organik merupakan bagian
dari bahan kering, sehingga meningkatnya konsumsi bahan kering maka konsumsi
bahan organik akan meningkat pula.
Histogram konsumsi bahan organik ransum kambing dan domba dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Histogram Konsumsi Bahan Organik Ransum pada Kambing dan Domba (g/ekor/hari)
Konsumsi Air Minum
Air adalah zat makanan yang penting, ternak akan lebih menderita dengan
kurangnya air dari pada kekurangan pakan (Tillman et al.,1991). Rataan konsumsi
air minum kambing dan domba dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan konsumsi air minum (ml /ekor /hari)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 924,73 + 208,6 1409,28 + 387,03 1167,01 a
Betina 985,55 + 147,79 1479,34 + 390,35 1232,45 a
Rataan 955,14b 1444,31a
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01)
Hasil analisa statistik menunjukkan jenis ternak berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap konsumsi air minum, namun jenis kelamin dan interaksi kedua
faktor tidak berpengaruh. Tingginya konsumsi air minum pada domba karena
tingginya konsumsi bahan kering pada ternak tersebut. Hal ini didukung oleh
sejalan dengan meningkatnya konsumsi bahan kering dan sebaliknya. Rendahnya
konsumsi air minum pada kambing disebabkan kambing lebih efisien dalam
penggunaan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dibandingkan domba. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Devendra dan McLeroy (1982) bahwa, kambing adalah
ternak yang efisien dalam menggunakan air karena laju aliran air per unit bobot
badan rendah. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sulisyanto (1986)
bahwa konsumsi air minum domba nyata lebih tinggi dibandingkan kambing.
Histogram konsumsi air minum pada kambing dan domba dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Histogram Konsumsi Air Minum pada Kambing dan Domba (ml/e/h)
Hubungan Konsumsi Bahan Kering dengan Air Minum
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa hubungan konsumsi bahan kering
dengan air minum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jenis ternak dan jenis
kelamin. Akan tatapi interaksi kedua faktor berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
hubungan konsumsi bahan kering dengan air minum. Kurva hubungan konsumsi air
minum dengan bahan kering dapat dilihat pada Gambar 6.
300 350 400 450 500 550 600 650
Konsumsi Bahan Kering Ransum (g/e/h)
Hubungan konsumsi bahan kering (x) dengan air minum (y) memiliki
persamaan y = 448+1.44x dimana setiap kenaikan 100 gram konsumsi bahan kering
akan meningkatkan konsumsi air minum sebesar 144 ml.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan
oleh Firmansjah (1985) yang membandingkan konsumsi air minum rusa dan
kambing dengan tiga jenis hijauan, bahwa interaksi hubungan konsumsi air minum
dengan bahan kering pada rusa dan kambing tidak berbeda nyata. Adanya perbedaan
hasil yang diperoleh disebabkan oleh perbedaan tingkat konsumsi bahan kering. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Church (1971) bahwa konsumsi air minum dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain tingkat konsumsi ransum, tingkat produksi hewan,
tingkat pertumbuhan dan bobot badan hewan.
Koefisien Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik
Koefisien Cerna Bahan Kering
Nilai kecernaan adalah persentase bahan makanan terkonsumsi yang tidak
didapatkan dalam feses dan dapat diserap oleh saluran pencernaan; jika dinyatakan
dalam persen, maka disebut koefisien cerna (Tillman et al., 1991). Koefisien cerna
bahan kering ransum dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8.Rataan Koefisien Cerna Bahan Kering (%)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 56,96 + 2,23 55,00 + 2,22 55,98a
Betina 56,81 + 4,08 59,67 + 2,79 58,24a
Rataan 56,89a 57,34a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jenis ternak, jenis kelamin dan
interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan bahan
kering ransum. Hal ini diduga karena adanya kesamaan spesies mikroba pada kedua
ternak tersebut, sehingga akan memiliki kemampuan yang sama dalam mencerna
pakan. Menurut Thalib et al. (2002) kambing, domba, rusa, sapi dan kerbau
memiliki keragaman spesies bakteri dan protozoa yang hampir sama. Alcaide et al.
bahan organik yang sama hal ini karena kambing dan domba memiliki kemampuan
yang sama dalam mencerna ransum yang berkualitas baik.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Quick dan Dehority (1986) yang membandingkan tingkah laku makan dan kecernaan
bahan kering kambing Toggenburg, Alpine, dan domba Dorset dan St. Croix bahwa
kambing dan domba tersebut memiliki kecernaan bahan kering dan serat yang sama
pada perlakuan yang sama. Hasil kecernaan bahan kering dalam penelitian ini juga
sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Sulistyanto (1986) yang membandingkan
daya cerna bahan kering dan bahan organik Setaria splendida (Stapf) pada domba
dan kambing bahwa kambing dan domba memiliki kecernaan bahan kering yang
sama. Histogram koefisen cerna bahan kering ransum pada kambing dan domba
dapat dilihat pada Gambar 7.
52
Gambar 7. Histogram Koefisien Cerna Bahan Kering Kambing dan Domba (%)
Kofisien Cerna Bahan Organik
Nilai kecernaan bahan organik menunjukkan jumlah zat – zat makanan seperti lemak, karbohidrat, protein yang dapat dicerna oleh ternak. Rataan koefisien
cerna bahan organik dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Rataan Koefisien Cerna Bahan Organik (%)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 58,85 + 2,13 59,13 + 2,84 58,99a
Betina 60,07 + 4,90 62,35 + 2,66 61,21a
Hasil analisis statistik menunjukkan jenis ternak, jenis kelamin dan interkasi
kedua faktor tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan bahan organik
ransum. Hal ini menunjukkan kambing dan domba memiliki kemampuan yang sama
dalam mencerna bahan organik. Tidak adanya perbedaan kecernaan bahan organik
kambing dan domba dalam penelitian ini diduga kedua jenis ternak memiliki spesies
mikroba yang sama dalam mencerna bahan organik, sehingga menghasilkan
kecernaan yang sama. Menurut Thalib et al. (2000) efektifitas mikroba sebagai
pencerna substrat atau bahan pakan tidak saja ditentukan oleh komposisi populasi
mikroba tetapi juga komposisi spesies mikroba itu sendiri.
Kecernaan bahan organik dalam penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Sulistyanto (1986) yang membandingkan daya cerna bahan kering dan bahan organik
Setaria splendida (Stapf) pada domba dan kambing bahwa kambing dan domba
memiliki kecernaan bahan organik yang sama.
Histogram kecernaan bahan organik kambing dan domba dapat dilihat pada
Gambar 8.
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan umumnya dinyatakan dengan pengukuran kenaikan bobot
badan yang dilakukan dengan penimbangan berulang yaitu tiap hari, tiap minggu,
atau tiap bulan (Tillman et al., 1991). Rataan pertambahan bobot badan dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Rataan Pertambahan bobot badan (gram/ekor/hari)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 70,28 + 24,49 68,03 + 14,80 69,12a
Betina 71,54 + 13,10 59,03 + 12,57 65,23a
Rataan 70,91a 63,53a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil analisis statistik menunjukkan jenis ternak, jenis kelamin dan interaksi
kedua faktor tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan.
Hal ini menunjukkan kambing dan domba memiliki kemampuan yang sama untuk
pertumbuhan. Tidak terdapatnya perbedaan yang nyata terhadap pertambahan bobot
badan mungkin terkait dengan kecernaan pakan yang sama. Disamping itu juga
karena nilai gizi pakan yang dikonsumsi sama, sehingga ketersediaan zat – zat
makanan untuk kebutuhan tubuh sama. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Sulistyanto (1986) yang membandingkan daya cerna bahan kering dan
bahan organik Setaria splendida (stapf) pada domba dan kambing, dimana
pertambahan bobot badan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Menurut NRC (1981) kambing dengan bobot badan 10 – 20 kg untuk
menghasilkan pertambahan bobot badan antara 50 – 100 g dibutuhkan konsumsi
protein kasar 44 – 58 g dan energi tercerna (DE) antara 1,38 – 1,820 Mkal/e/h.
Berdasarkan ketentuan kebutuhan tersebut jumlah protein kasar dalam penelitian ini
53,53 g/e/h masih berada dalam kisaran yang dibutuhkan untuk menghasilkan
pertambahan bobot badan 50 g/h, namun energi tercerna 1,13 Mkal/e/h kurang dari
yang dibutuhkan untuk pertambahan bobot badan 50 g/h. Pertambahan bobot badan
yang dicapai kambing dalam penelitian ini sesuai dengan jumlah ransum yang
Menurut NRC (1985) domba dengan bobot badan 10 – 20 kg untuk
menghasilkan pertambahan bobot badan 100 g/h dibutuhkan protein kasar 84 – 112
g/h dan energi tercerna 1,8 – 3,5 Mkal/h. Berdasarkan ketentuan kebutuhan tersebut
jumlah protein kasar yang dikonsumsi domba dalam penelitian ini 64,57 g/e/h dan
energi tercerna 1,29 Mkal/e/h kurang dari yang dibutuhkan untuk menghasilkan
pertambahan bobot badan 100 g/h. Pertambahan bobot badan yang dicapai domba
dalam penelitian ini belum maksimal hal ini mungkin karena konsumsi ransum yang
kurang mendekati standar kebutuhan sesuai dengan bobot badan.
Histogram pertambahan bobot badan kambing dan domba dapat dilihat pada Gambar 9.
Konversi Ransum
Konversi ransum merupakan jumlah ransum yang dikonsumsi untuk
menghasilkan satuan bobot badan. Tingkat efisiensi ransum dapat diketahui dari
perhitungan nilai konversi ransum. Semakin kecil angka konversi ransum
mencerminkan efisiensi penggunaan ransum yang semakin baik. Rataan konversi
ransum kambing dan domba dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rataan Konversi ransum (g/pbb)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 6,97 + 2,47 7,90 + 1,74 7,44a
Betina 6,00 + 0,93 8,34 + 1,77 7,17a
Rataan 6,49a 8,12b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berberbeda nyata (P<0,05)
Hasil anilisis statistik menunjukkan jenis ternak berpengaruh nyata (P< 0,05)
terhadap konversi ransum, namun jenis kelamin, dan interaksi kedua faktor tidak
berpengaruh. Hasil ini menunjukkan bahwa kambing lebih efisien dibandingkan
domba. Hal ini diduga karena waktu penyimpanan pakan dalam saluran pencernaan
lebih lama dibandingkan domba, sehingga penyerapan zat – zat makanan di dalam
tubuh ternak untuk meningkatkan pertambahan bobot badan cukup tinggi. Menurut
Devendra dan Burns (1994) pola fermentasi rumen dalam saluran pencernaan
merupakan alasan untuk mengetahui bahwa kambing mempunyai efisiensi
pencernaan yang lebih tinggi. Dayal et al. (1995) melaporkan kambing memiliki
waktu retensi pakan dalam saluran pencernaan lebih lama dibandingkan domba.
Konversi ransum pada penelitian ini untuk kambing yaitu 6,49 dan domba
8,12. Angka konversi ini masih kurang efisien dibandingkan standar NRC. Menurut
standar NRC (1985) angka konversi yang baik untuk pertumbuhan adalah sebesar
empat. Konversi ransum pada ruminansia di pengaruhi oleh kualitas ransum, nilai
kecernaan dan efisiensi pemanfaatan zat gizi dalam proses metabolisme didalam
jaringan tubuh ternak. Makin baik kualitas ransum yang dikonsumsi ternak, akan
diikuti oleh pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dan makin efisien
0
Gambar 10. Histogram Konversi Ransum Kambing dan Domba (g/pbb)
Feses
Feses merupakan hasil sisa metabolisme yang tidak diserap oleh tubuh yang
mengandung air, bahan yang tidak dapat dicerna, bakteri, bahan anorganik dan
produk fermentasi bakteri. Rataan bahan kering feses pada kambing dan domba
dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rataan Bahan Kering Feses (%)
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 42,71 + 8,40 39,80 + 8,98 41,26a
Betina 42,25 + 4,03 39,25 + 6,92 40,75a
Rataan 42,48a 39,53a
Hasil analisa statistik menunjukkan jenis ternak, jenis kelamin, interaksi
kedua faktor tidak berpengaruh. Hal ini diduga karena adanya kecernaan bahan
kering yang sama pada kedua ternak tersebut, sehingga menghasilkan bahan kering
feses yang juga tidak berbeda. Histogram feses kambing dan domba dapat dilihat
pada Gambar 11.
Kadar air feses menunjukkan banyaknya air yang dieksresi oleh ternak
melalui feses. Rataan kadar air feses kambing dan domba dapat dilihat pada Tabel
13.
Tabel 13. Rataan Kadar Air Feses Kambing dan Domba
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 57,29 + 8,39 60,20 + 8,98 58,75a
Betina 57,75 + 4,03 60,75 + 6,92 59,25a
Rataan 57,52a 60,48a
Keterangan: Superskrip yang sama pada baris dan kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05)
Hasil anlisis statistik menunjukkan jenis ternak, jenis kelamin, dan interaksi
kedua faktor tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air feses. Menurut
Hafez (1969) domba, kuda yang diberi ransum hijauan kering memiliki kadar air
feses normal 50 – 65 %, sedangkan pada sapi 80 - 85 %. Kadar air feses dalam
penelitian ini berkisar dari 57,52 – 60, 48 % berada dalam kisaran yang normal.
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa jenis ternak, jenis kelamin dan
interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap hubungan kadar air
feses dengan konsumsi air minum. Hal ini menunjukkan kambing dan domba
memiliki kemampuan yang sama dalam menahan air feses hal ini ditunjukkan oleh
kadar bahan kering feses yang juga tidak berbeda. Kurva hubungan kadar air feses
dengan konsumsi air minum dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Kurva Hubungan Kadar Air Feses dengan Air Minum
Urine
Urine merupakan produk eksresi utama vertebrata yang disekresikan oleh
ginjal sebagai cairan atau semi solid yang kaya akan produk akhir metabolisme
protein, garam dan pigment. Urine dibentuk di daerah ginjal setelah dieliminasi dari
tubuh melalui saluran kencing (urinary) dan berasal dari metabolisme nitrogen dalam
tubuh. Rataan volume urin kambing dan domba dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Rataan Volume Urine (ml )
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 233,64 + 93,30 468, 28 + 99,70 350,96a
Betina 207,28 + 49,17 314,34 + 118,11 260,81a
Rataan 220,46 b 391,31 a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa jenis ternak berpengaruh nyata
terhadap volume urine (P<0,05), namun jenis kelamin, dan interaksi kedua faktor
tidak berpengaruh. Tingginya volume urine domba dalam penelitian ini karena
tingginya konsumsi air minum domba dibandingkan kambing. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Taiganides (1978) dalam Strauch (1982) urine yang dihasilkan ternak
dipengaruhi oleh makanan, aktivitas ternak, suhu eksternal, konsumsi air minum dan
musim. Histogram volume urine kambing dan domba dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Histogram Volume Urine Kambing dan Domba (ml)
BJ Urine
BJ urine adalah hasil bagi massa dengan volume urin. Rataan BJ Urine pada
kambing dan domba dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Rataan BJ urine kambing dan domba (g/ml )
Jenis Kelamin Jenis Ternak Rataan
Kambing Domba
Jantan 1,03 + 0,01 1,01 + 0,004 1,02a
Betina 1,03 + 0,01 1,02 + 0,02 1,03a
Rataan 1,03a 1,02b
Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil analisis statistik menunjukkan jenis ternak berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap BJ urin, namun jenis kelamin, interaksi kedua faktor tidak berpengaruh.
Menurut Girindra (1989) kisaran Bj urine normal untuk kambing dan domba adalah
1,015 – 1,045. Kisaran BJ urine dalam panelitian ini 1,01- 1,04 berarti berada dalam
kisaran BJ urine normal. Tingginya Bj urine kambing karena volume urine lebih
rendah yang disebabkan oleh konsumsi air minum yang rendah. Menurut Girindra
(1989) apabila urine berkurang maka Bj urine akan meningkat dan sebaliknya.
Histogram Bj Urine Kambing dan Domba dapat dilihat pada Gambar 15.
1
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsumsi bahan
kering, bahan organik, air minum, dan volume urine domba lebih tinggi dari pada
kambing. Kambing dan domba memiliki kemampuan yang sama dalam mencerna
bahan kering dan bahan organik dan memiliki kemampuan yang sama dalam
pertambahan bobot badan. Kambing lebih efisien dibandingkan domba. Berat jenis
urine kambing lebih tinggi dibandingkan domba. Perbedaan jenis kelamin pada
kambing dan domba tidak berpengaruh terhadap konsumsi bahan kering, bahan
organik, air minum, kecernaan bahan kering dan bahan organik, pertambahan bobot
badan, konversi ransum, bahan kering feses, kadar air feses, volume urine dan bj
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis ingim mengucapkan terima kasih kepada Prof.
Dr. Drh. Aminuddin Parakkasi selaku pembimbing utama dan Ir. Lilis Khotijah Msi
selaku pembimbing anggota, yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan
selama penulis melakukan penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini.
Rasa terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada ibu, Bapak, da Iwan, ni
Dian, da Bujang, keponakan ku M. Atthorik dan seluruh keluarga besar di Kerinci,
yang senantiasa berdoa, mencurahkan kasih sayang serta memberikan semangat baru
bagi penulis.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada pak Jaja, pak Nisbah dan
pak Darmawan atas bantuannya dikandang dan di laboratorium. Tak lupa juga
kepada teman – teman sepenelitian Sofi, Iis, Lani, Ima, Nisa, Gres, Musahidin, pak
Dodi. Warga Radar 36 dan IMK- B salam kompak selalu. Serta teman – teman
seperjuangan di INMT “ 38 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2006
DAFTAR PUSTAKA
Alcaide, E.M., A. I. M. Garcia and J. F. Agulera. 2000. A comparative study of nutrient digestibility kinetics of degradation and passage and rumen fermentation pattern in goat and sheep offered good quality diets. Livest. Produc. Scie. 64:215 – 223.
Aregheore, E. M. 2001. Nutritive value and utilization of three grass species by crossbred Anglo – Nubian goats in Samoa. J. Anim. Sci. 14 (10) : 1353 – 1364.
Behnke, K. C. 1994. Processing factor influencing pellet quality. http : // www. engormix. Com / Processing_factors_influencing_pellet_e _a_ articles 83_POR. htm [ 17 Februari 2006]
Cheeke, P. R. 1991. Applied Animal Nutrition. Feeds and Feeding. 2nd Edition. Departemen of Animal Science. Printice Hall, Inc. New Jersey. p: 265 – 275.
Church, D. C.and W. G. Pond. 1998. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3rd Edition. John Willey and Sons. New York. p : 295 – 297.
Dayal, J. S., C. Sreedhar, T. J. Reddy and N. P. Purushotham. 1995. Comparative nutritive evaluation of maize husk in sheep and goat. J. Indian Vet. 72. :1045 – 1049.
Devendra, C dan M. Burns. 1994. Produksi kambing di Daerah Tropis. Penerbit ITB Bandung. hlm: 12 – 35.
Devendra, C and McLeroy, 1982. Goat and Sheep Production in the Tropics.
Intermediate Tropical Agricultural Series. Longham, London. New York. p: 9 – 11.
Dukes, H. 1970. Physiology of Domestic Animals. 8th Edition. Cornell University Press. Ithaca and London. p: 410 – 414.
Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. 9th Edition. Interstate Publisher, Inc. Printed in the United State of America. p : 571- 575.
Firmansjah. 1985. Pengaruh pemberian tiga jenis hijauan terhadap konsumsi kecernaan dan konsumsi air pada rusa dan kambing. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Gatenby, R. M. 1986. Sheep Production in the Tropics and Subtropics. Longman Group Ltd. England. p: 18 – 25.
Girindra, A. 1989. Biokimia Patologi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm: 18 – 23.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan ke – 4. Fakultas Peternakan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hlm: 30 – 35
Keskin, M., A. Sahin, O. Blcer, S. Cul, S. Kaya, A. Sari and M. Duru. 2003. Feeding Behavior of Awassi Sheep and Shami (Damascus) Goats. J. Turk. Vet. Anim. Sci. 29 :435 – 439.
Lawrence, T. L. J and V. R. Fowler.1997. Growth of Farm Animals. Center for Agriculture and Biosciences International (CAB International) Cambridge. p : 1- 8.
Mackie, R. I., C. S. McSweeney dan A. V. Klieve. 2002. Microbial Ecology of the Ovine Rumen. Dalam : M. Freer dan H. Dove (Ed). Sheep Nutrition. CSIRO Plant Industry, Canberra Australia. p: 73 – 80.
Mason, I. L. 1980. Proloific Tropical Sheep. FAO. Animal Production and Health Paper. Food And Agriculture Organization of United Nations. Rome p: 66 – 68.
Maynard, L. A., dan J. K. Loosli, 1956. Animal Nutrition. 4th Edition. McGrawhill Book Company, Inc. New York, Toronto, London. p: 264 – 275.
Mc Donald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Green Halgh and C. A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. Longman Scientific and Technical. Capublished in the United States with John Wiley and Sons. Inc., New York. p: 221 – 237.
Moore, L. A. 1964. Symposium on forage utilization: Nutritive Value of forages as affected by physical form. Part 1. General Principles involved with ruminants and effect of feeding pelleted or wafered forage to dairy cattle. Dalam: Schneider, B. H. dan W. P. Flatt. 1975. The Evaluation of Feeds through Digestibility Experiments. The University of Georgia Press. Athens, p: 292 -297.
Naim, M. 1986. Studi perbandingan kapasitas digesta dan alat pencernaan antara kambing dan domba pada dua tingkat umur setelah dipuasakan 17 jam. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
National Research Council. 1981. Nutrient Requirements of Goats. National Academy Press. Washington D. C. p:10 – 17.
National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. 6th Revised Edition. National Academy Press. Washington D. C. p: 45 – 50.
Nesheim, M. C and L. E. Card. 1972. Poultry Production. 11th Edition. Lea and Febiger, Philadelphia. p : 235 – 239.
Parakkasi , A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia. Jakarta. hlm. 23 – 48.
Quick, T. C. and Dehority. 1986. A comparative study of feeding behavior and digestive function in Dairy goats Wool sheep and Hair sheep. J. Anim. Sci. 63 (5):1516 – 1526.
Ranjhan, S. K. and N. N. Pathak .1979. Mangment and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi. p : 133 – 135.
Rumich. 1984. The Goat of Indonesia. FAO Regional of fice. Bangkok. Dalam: Soedomo, R. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE Yogyakarta. hlm. 186 – 190.
Salim, M. H., M. Shahjalaj., A. M. M. Tareque and F. Kabir. 2002. Effects of concentrate supplementation on growth and reproductive perfomance of female sheep and goat under grazing condition. J. Pakistan Nutrition . 1(4) :191-193.
Soedomo, R. 1984. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. BPFE Yogyakarta.
hlm. 185 –187.
Sulistyanto, B. H. 1986. Daya cerna bahan kering dan bahan organik setaria splendida (Stapf) pada domba dan kambing. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. hlm: 60 – 65.
Taiganides, E. P. 1982. Animal Waste Management and Waste Water Treatment. Dalam. Strauch, D. 1982.World Animal Science. Animal Production and Environmental Health. Elsivier Science Publisher B. V. Amsterdam. p: 91 -98.
Tamminga, S. and A. M. Van Vuuran. 1988. Formation and utilization of end products of lignocellulose degradation in ruminants. J. Anim. Feed Sci. Tech. 21: 141-159.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo.1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Ke –V. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hlm: 249 – 267.
Thalib, A., Y. Widiawati, H. Hamid dan Mulyani. 2000. Identifikasi morfologis uji aktivitas mikroba rumen dari hewan – hewan ruminansia yang telah teradaptasi pada substrat selulosa dan hemiselulosa. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 18 – 19 September 2000. Pusat Penelitian Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. hlm: 341 – 348.
Lampiran 1. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering Ransum (g/ekor/hari)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 84351,44 21087,85 9,03 0,0013
Faktor 1 1 39961,80 39961,80 17,10 0,0014
Faktor 2 1 229,16 229,16 0,10 0,7595
Faktor1*Faktor 2 1 1391,78 1391,78 0,60 0,4551
Error 12 28035,50 2336,29
Total 19 153969,68
Lampiran 2. Uji Jarak Duncan Konsumsi Bahan Kering Ransum
Duncan Rataan Faktor 1
A 522,70 2
B 433,80 1
Lampiran 3. Konsumsi Bahan Kering Metabolis (g/Kg BB^0,75 )
DB JK KT F hit Pr >F
Blok 4 74,80 17,70 0,74 0,5830
Faktor1 1 16,45 16,45 0,65 0,4356
Faktor 2 1 17,07 17,07 0,68 0,4273
Faktor1 * Faktor 2 1 0,98 0,98 0,04 0,8468
Error 12 303,53 25,29 0,62
Lampiran 4. Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik Ransum (g/ekor/ hari)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 55300,98 13825,24 9,03 0,0013
Faktor 1 1 26200,11 26200,11 17,10 0,0014
Faktor 2 1 150,15 150,15 0,10 0,7596
Faktor 1*
Faktor2
1 912,33 912,33 0,60 0,4552
Error 12 18381,02 1531,75
Total 19 100944,59
Lampiran 5. Uji Jarak Duncan Konsumsi Bahan Organik Ransum
Duncan Rataan Faktor 1
A 423,22 2
B 350,83 1
Lampiran 6. Konsumsi Bahan Organik Metabolis (g/ Kg BB^0,75)
DB JK KT F hit Pr >F
Blok 4 52,07 13,01 0,80 0,5500
Faktor 1 1 10,80 10,80 0,66 0,4320
Faktor 2 1 11,19 11,19 0,68 0,4241
Faktor 1*Faktor 2 1 0,64 0,64 0,04 0,8464
Error 12 196,14 16,34 0,65
Lampiran 7. Sidik Ragam Konsumsi Air Minum (ml/ekor/hari)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 659686,19 164921,55 2,44 0,1036
Faktor 1 1 1196436,44 1196436,44 17,72 0,0012
Faktor 2 1 21413,28 21413,28 0,32 0,5837
Faktor 1* Faktor 2 1 106,63 106,63 0,00 0,9690
Error 12 810444,47 67537,04
Total 19 26880887,01
Lampiran 8. Uji Jarak Duncan Konsumsi Air Minum
Duncan Rataan Faktor 1
A 1444,3 2
B 955,1 1
Lampiran 9. Regresi Hubungan Konsumsi Bahan Kering dengan Air Minum
Sumber DB SS MS F hit Pr > F
Regresi 1 317284 317248 4,66 0,045
Error 18 1225329 68074
Total 19 1542577
Lampiran 10. Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Kering Ransum (%)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 29,37 7,34 0,82 0,5390
Faktor 1 1 1,04 1,04 0,12 0,7398
Faktor 2 1 25,493 25,49 2,83 0,1182
Faktor 1* Faktor 2 1 28,89 28,89 3,21 0,0984
Error 12 107,99 8,99
Lampiran 11. Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik Ransum (%)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 55300,98 13825,24 9,03 0,0013
Faktor 1 1 26200,11 26200,11 17,10 0,0014
Faktor 2 1 150,15 150,15 0,10 0,7596
Faktor 1*Faktor 2 1 912,33 912,33 0,60 0,4552
Error 12 18381,02 1531,75
Total 19 100944,59
Lampiran 12. Sidik Ragam Pertambahan Bobot badan (g/ekor/hari)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 1973,13 493,28 2,26 0,1236
Faktor 1 1 272,84 272,84 1,25 0,2858
Faktor 2 1 74,85 74,85 0,34 0,5693
Faktor 1* Faktor
2
1 131,53 131,53 0,60 0,4529
Error 12 2623,12 218,59
Total 19 5075,47
Lampiran 13. Sidik Ragam Bahan Kering Feses (%)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 433,29 108,32 3,04 0,0602
Faktor 1 1 43,60 43,60 1,22 0,2901
Faktor 2 1 1,27 1,27 0,04 0,8536
Faktor 1*Faktor
2
1 0,01 0,01 0,00 0,9851
Error 12 427,13 35,59
Lampiran 14. Sidik Ragam Kadar Air Feses (%)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 433,29 108,32 3,04 0,0602
Faktor 1 1 43,60 43,60 1,22 0,2901
Faktor 2 1 1,26 1,26 0,04 0,8536
Faktor 1*Faktor
2
1 0,013 0,013 0,00 0,9851
Error 12 427,13 427,13
Total 19 905,31
Lampiran 15. Regresi Hubungan Kadar Air Feses dengan Bahan Kering
Sumber DB SS MS F hit Pr > F
Regresi 1 109800 109800 1,38 0,256
Error 18 1432777 7599
Total 19 1542577
Lampiran 16. Sidik Ragam Vulume urin (ml)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 35428,85 8857,21 1,02 0,4376
Faktor 1 1 145948,61 145948,61 16,74 0,0015
Faktor 2 1 40635,11 40635,11 4,66 0,0518
Faktor1 *
Faktor2
1 20345,82 20345,82 2,33 0,1525
Error 12 104625,18 8718,76
Total 19 346983,58
Lampiran 17.Uji Jarak Duncan Volume Urine
Duncan Rataan Faktor 1
A 391,31 2
Lampiran 18. Sidik Ragam Bj Urin (g/ ml)
DB JK KT F hit Pr > F
Blok 4 0,00073 0,00018 1,90 0,1744
Faktor 1 1 0,00061 0,00061 6,31 0,0273
Faktor 2 1 0,000045 0,000045 0,47 0,5062
Faktor 1*Faktor
2
1 0,00013 0,00013 1,30 0,2757
Error 12 0,0012 0,000096
Total 19 0,0027
Lampiran 19. Uji Jarak Duncan Bj urin
Duncan Rataan Faktor 1
A 1,027 1
Lampiran 20. Kandungan Premix Topmix setiap 10 kg
Keterangan: *) Topmix diproduksi oleh Medion – Bandung – Indonesia IU : International Unit
STUDI PERBANDINGAN PENAMPILAN UMUM
DAN KECERNAAN PAKAN PADA KAMBING
DAN DOMBA LOKAL
SKRIPSI ADE SURYA ELITA
PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
ADE SURYA ELITA. D24101008. 2006. Studi Perbandingan Penampilan Umum dan Kecernaan Pakan pada Kambing dan Domba Lokal. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Drh. Aminuddin Parakkasi, MSc Pembimbing Anggota : Ir. Lilis Khotijah, MSi
Menurut Devendra dan Burns (1994) kambing dan domba memiliki sistem pencernaan yang serupa, sehingga kedua jenis ternak ini sering dianggap sama. Namun menurut Tomaszewska et al. (1993) terdapat perbedaan dalam tingkah laku dan fisiologi pencernaan. Adanya persamaan dan perbedaan tersebut dapat menyebabkan persamaan dan perbedaan pada penampilan. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penampilan kedua ternak tersebut maka perlu dilakukan studi perbandingan penampilan kambing dan domba lokal dengan perlakuan yang sama.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja. Analisa dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan April sampai Juli 2005. Ternak yang digunakan adalah 10 ekor kambing dan 10 ekor domba lokal lepas sapih yang masing – masing 5 ekor jantan dan 5 ekor betina. Rataan bobot awal kambing jantan 10,92 kg +1,56 kambing betina 9,68 kg + 1,02 dan domba jantan 14,16 kg + 2,56 domba betina 13,4 kg + 3,15.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelomok (RAK) Faktorial (2 x 2). Faktor A adalah spesies ternak (kambing dan domba) dan faktor B adalah jenis kelamin. Pengaruh perlakuan dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA). Peubah yang diamati adalah konsumsi bahan kering, bahan organik ransum, konsumsi air minum, kecernaan bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot badan, konversi ransum, kadar air feses dan BJ urin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis ternak sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi konsumsi bahan kering, bahan organik, konsumsi air minum, konversi ransum dan berat jenis urine, namun jenis kelamin, dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh. Jenis ternak, jenis kelamin dan interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan bahan kering, bahan organik, pertambahan bobot badan, dan kadar air feses. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kambing dan domba memiliki perbedaan yang nyata dalam konsumsi bahan kering, bahan organik, air minum, konversi ransum dan berat jenis urine namun tidak ada perbedaan antara jenis kelamin.