• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produktivitas Getah Menggunakan Stimulansia Anorganik (CAS), Stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Produktivitas Getah Menggunakan Stimulansia Anorganik (CAS), Stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Hutan Pendidikan Gunung Walat dari tahun 2008 hingga April 2011 masih menggunakan stimulansia anorganik untuk memperlancar keluarnya getah. Pada penelitian ini, stimulansia anorganik yang digunakan adalah CAS (Cairan Asam Sulfat) yang merupakan campuran dari 15% asam sulfat dan 2% asam nitrat, sedangkan stimulansia organik merupakan produk dari sebuah perusahaan di Bogor, Jawa Barat, yaitu CV. Permata Hijau Lestari. Komposisi stimulansia organik tersebut beranekaragam, ETRAT 12-40 merupakan perpaduan dari 100 ppm ethylene dan 150 ppm asam sitrat, PGR-12 terdiri atas 200 ppm ethylene, sedangkan ETS adalah kombinasi dari 100 ppm ethylene dan 10% jeruk nipis cair.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, juga telah menggunakan stimulansia organik, namun berbahan dasar jeruk nipis dan lengkuas. Menurut Azis (2010), penggunaan stimulansia organik dari bahan jeruk nipis konsentrasi 50% menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CAS.

Zat Pengatur Tumbuh yang sangat berperan dalam proses keluarnya getah adalah ethylene. Ethylene merupakan senyawa berbentuk gas yang banyak berperan dalam perubahan suatu tanaman, seperti terjadi perubahan dalam membran yang permeabel dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air dapat masuk ke dalam saluran getah dan jaringan–jaringan disekitarnya (Santosa 2011). Secara alami, ethylene ada di dalam tanaman (ethylene endogen).

Menurut Santosa (2011), pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan

dengan mengaktifkan ethylene endogen dan adanya stres (pembuatan luka sadap).

Dengan demikian, peningkatan produksi getah dapat dilakukan dengan memberikan zat yang mengandung ethylene (exsogen) yang akan merangsang pembentukan ethylene endogen pada tanaman sehingga proses metabolisme sekunder dapat ditingkatkan.

Hasil penelitian di Hutan Pendidikan Gunung Walat menunjukkan bahwa stimulansia organik dan ZPT mampu menghasilkan produktivitas rata-rata getah pinus yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stimulansia anorganik. Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari) ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari)

Panen ke- KONTROL ETRAT 12-40 CAS PGR-12 ETS

1 13.23 16.38 22.97 14.77 15.20 mempengaruhi metabolisme sekunder. Pinus mengeluarkan getah sebagai bentuk reaksi akibat pelukaan untuk menutupi sel-sel yang rusak. Pada pemanenan pertama, hasil rata-rata produktivitas getah pada setiap perlakuan tinggi karena keluarnya deposit getah dari sel-sel parenkim. Saat pinus berusaha melakukan

reaksi terhadap pelukaan kedua, deposit getah telah berkurang banyak untuk menanggapi reaksi stres pada pelukaan pertama. Hal ini menyebabkan persediaan getah di dalam pohon sangat sedikit sehingga pada pemanenan getah yang kedua produktivitas rata-rata setiap perlakuan menurun. Pada pelukaan ketiga, pohon pinus sudah dapat beradaptasi dengan mulai membentuk deposit getah yang baru, sehingga hasil produktivitas rata-rata setiap perlakuan di pemanenan ke tiga kembali meningkat. Akan tetapi, pada pelukaan pertama hingga ketiga, penggunaan CAS menghasilkan rata-rata produktivitas getah paling tinggi.

Menurut Santosa (2011), CAS memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dari saluran getah. Cairan Asam Sulfat (CAS) juga mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lebih lama. Akan tetapi, pada pemanenan ke empat atau hari ke 12, produktivitas getah pinus dengan penggunaan CAS mulai berada di bawah stimulansia organik dan ZPT.

Perlakuan yang memberikan hasil produktivitas rata-rata tertinggi pada pemanenan ke empat adalah penggunaan PGR-12 yang merupakan Zat Pengatur Tumbuh (hormon). Hal ini disebabkan ethylene di dalam PGR-12 membutuhkan waktu untuk berubah wujud dari bentuk cair ke bentuk gas. Menurut Weaver (1972) dalam Haryati (2003), pengaruh ethephon tidak jauh berbeda dengan ethylene terhadap tanaman. Ethephon (2-Chloroethyl phosphonic acid) merupakan stimulan yang biasa digunakan untuk meningkatkan lateks karet. Ethephon adalah senyawa bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethylene (Sumarmadji 2002). Etephone akan mengalami dekomposisi pada pH 4,1 atau lebih tinggi dan akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman, sedangkan dalam larutan encer di bawah pH 4 Ethephon akan tetap stabil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pH sitoplasma sel tanaman pada umumnya lebih besar daripada 4. Maka jika Ethephon masuk ke dalam jaringan tanaman, akan menurunkan derajat kemasamannya dan terjadi dekomposisi yang akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman (Dewilde 1970 dalam Haryati 2003).

Setelah pemanenan ke empat atau hari ke 12, ethylene exsogen dari PGR-12 merangsang ethylene endogen di dalam pohon pinus untuk mulai beradaptasi

dengan mekanisme metabolisme sekunder. Pada pemanenan ke lima dan selanjutnya, perlakuan dengan menggunakan CAS hasilnya tetap berada di bawah perlakuan yang menggunakan stimulansia organik dan ZPT. Bahkan pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, perlakuan dengan menggunakan CAS memberikan produktivitas paling rendah. Sebaliknya, produktivitas getah dengan perlakuan ZPT serta campuran stimulansia organik dan ZPT meningkat semenjak pemanenan ke empat, dan mulai stabil pada pemanenan keenam hingga seterusnya.

Pada hasil akhir, perlakuan dengan PGR-12 menghasilkan rata-rata produktivitas getah tertinggi, yaitu sebesar 16,77 g/quarre/hari. Perlakuan dengan ETRAT sebesar 16,29 g/quarre/hari, ETS 15,58 g/quarre/hari, CAS sebesar 8,74 g/quarre/hari sedangkan kontrol (tanpa perlakuan) sebesar 8,30 g/quarre/hari.

Secara umum, kecenderungan hasil rata-rata produktivitas getah ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Grafik kecenderungan produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari).

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, rata-rata produktivitas perlakuan CAS berada di bawah kontrol.

Penggunaan CAS membuat pinus sukar untuk mengeluarkan getah karena sel-sel epitel penghasil getah yang telah mati sehingga, pada saat melakukan pembaharuan luka, kayu gubal terasa keras. Secara fisik, hal ini ditandai dengan berubahnya warna bidang sadapan dari cokelat muda menjadi cokelat tua kehitaman.

Berdasarkan laporan hasil penelitian Pengaruh Pemberian ETRAT terhadap Peningkatan Produktivitas Penyadapan Getah Pinus (Studi Kasus di KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten), produktivitas getah dengan perlakuan CAS juga mengalami penurunan dan ada yang hasil produktivitasnya berada di bawah kontrol (Santosa 2011). Penelitian tersebut dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan dengan penelitian ini tetapi dengan contoh (tempat) yang berbeda, yaitu di RPH Gonggang Utara, RPH Ciguha dan RPH Takokak, KPH Sukabumi.

KONTROL CAS ETRAT 12-40

PGR-12 ETS

Gambar 4 Produktivitas getah pinus dengan masing-masing perlakuan pada panen ke delapan.

Hujan juga berpengaruh terhadap produktivitas getah pinus. Pada Gambar 3, terlihat bahwa hasil rata-rata produktivitas semua perlakuan pada pemanenan ke-10 menurun. Aliran stemflow yang deras pada saat hujan akan menumpahkan getah yang ada dalam penampung sehingga dapat menggurangi produktivitas.

Selain itu, menurut Doan (2007), curah hujan yang tinggi akan menyebabkan kelembaban di sekitar luka sadapan menjadi tinggi dan hal tersebut dapat menyebabkan getah cepat menggumpal.

Pada saat penelitian berlangsung, untuk mengurangi aliran batang, maka di atas koakan dipasang plastik berukuran 20 x 40 cm, seperti yang disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 juga menunjukkan bahwa perlakuan dengan menggunakan stimulansia organik dan ZPT menghasilkan getah yang lebih banyak daripada CAS dan kontrol. Gambar tersebut merupakan salah satu contoh pohon yang

Berdasarkan Tabel 4, persentase tertinggi adalah penggunaan PGR-12, yaitu sebesar 202,12 %, kemudian ETRAT 12-40 196,28% dan ETS 187,75%

sedangkan untuk penggunaan stimulansia anorganik, menghasilkan persentase terhadap kontrol hanya 105,28% saja. Penggunaan stimulansia organik serta kombinasi stimulansia organik dan ZPT menghasilkan persentase peningkatan produktivitas getah yang lebih tinggi dibandingkan dengan stimulansia anorganik.

Hal ini dikarenakan ethylene exsogen yang berada di dalam ETRAT 12-40, PGR-12 dan ETS merangsang ethylene endogen yang berfungsi sebagai pembawa pesan (chemical messenger) untuk melakukan metabolisme sekunder. Peranan asam sitrat pada stimulansia organik yaitu dapat membuka muara saluran getah sehingga getah dapat keluar dengan lancar, dan ethylene serta asam sitrat dapat bekerja bersama-sama dalam proses keluarnya getah. Sedangkan penggunaan CAS, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat memberikan efek panas

sehingga getah lama dalam keadaan cair dan muara saluran getah dapat terbuka lebih lama (Santosa 2011), namun keadaan ini hanya bersifat sementara saja, karena CAS bersifat asam kuat yang dapat merusak kayu, dan lama-kelamaan dapat mengurangi produktivitas getah.

5.3 Pengaruh Stimulansia terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus

Dokumen terkait