• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGGUNAAN STIMULANSIA ORGANIK DAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) TERHADAP PRODUKTIVITAS PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH PENGGUNAAN STIMULANSIA ORGANIK DAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) TERHADAP PRODUKTIVITAS PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

IKA NUGRAHA DARMASTUTI SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.

Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2011

Ika Nugraha Darmastuti NRP E14070034

(3)

Organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh GUNAWAN SANTOSA.

Getah pinus merupakan Hasil Hutan Bukan Kayu yang dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Permintaan getah pinus yang semakin meningkat di Indonesia maupun di dunia menyebabkan perlunya upaya peningkatan produktivitas getah. Salah satu caranya adalah dengan pemberian stimulansia. Namun, stimulansia yang sering dikenal adalah stimulansia anorganik berupa cairan asam sulfat (CAS) yang dapat menyebabkan kerusakan pada pohon pinus, lingkungan, dan mengganggu kesehatan penyadap getah serta olahannya tidak dapat dijadikan food grade. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan stimulansia organik dan ZPT yang dapat meningkatkan produktivitas getah pinus, tidak merusak pohon dan lingkungan, aman bagi penyadap getah serta dapat dijadikan food grade.

Ada lima perlakuan dalam penelitian ini, yaitu kontrol, ETRAT 12-40, CAS, PGR-12, dan ETS. Perlakuan kontrol tidak diberikan stimulansia apapun, ETRAT 12-40 dan ETS menggunakan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), PGR-12 merupakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), dan CAS merupakan stimulansia anorganik. Zat Pengatur Tumbuh yang digunakan adalah ethylene, karena ethylene exsogen dapat mempengaruhi ethylene endogen di dalam pohon untuk melaksanakan proses metabolisme sekunder

Berdasarkan penelitian, rata-rata produktivitas tertinggi adalah dengan perlakuan PGR-12 yaitu sebesar 16,77 gram/quarre/hari, sedangkan CAS hanya 8,74 gram/quarre/hari. Penggunaan PGR-12 juga memiliki persentase peningkatan produktivitas getah tertinggi terhadap kontrol, yaitu sebesar 202,12 % sedangkan CAS sebesar 105,28 %. Selain itu, dari segi analisis biaya, perlakuan dengan PGR-12 menghasilkan nilai tambah produktivitas getah yang tertinggi, yaitu sebesar Rp 94,37/quarre/hari, sedangkan CAS sebesar Rp 3,92/quarre/hari.

Oleh karena itu, stimulansia organik dan ZPT lebih baik digunakan daripada stimulansia anorganik.

Perlakuan dengan PGR-12 memiliki hasil rata-rata produktivitas getah pinus, persentase peningkatan produktivitas getah, dan nilai tambah produktivitas getah pinus tertinggi. Akan tetapi, untuk aplikasi di lapangan, PGR-12 belum dapat digunakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, karena berdasarkan Perhutani Unit III Jawa Barat yang telah melakukan penelitian internal, stimulansia yang cocok digunakan di Jawa Barat adalah ETRAT 12-40. Selain itu, berdasarkan Uji Duncan, perlakuan dengan ETRAT 12-40 tidak berbeda nyata dengan PGR-12. Penggunaan ETRAT 12-40 juga lebih disarankan, karena dari komposisi, konsentrasi ethylenenya (ZPT) lebih rendah daripada PGR-12. Jadi, untuk aplikasinya di Hutan Pendidikan Gunung Walat lebih efisien menggunakan ETRAT 12-40.

Kata Kunci: Stimulansia getah pinus, produktivitas getah pinus, Zat Pengatur Tumbuh (ZPT), ethylene

(4)

and Plant Growth Regulator on The Productivity of Pine Resin Tapping in Gunung Walat University Forest. Under Supervision of GUNAWAN SANTOSA.

Pine resin is a non-wood forest product that can be processed into Gum Rosin and turpentine. The enhancement of pine resin demand in Indonesia even in the world led to find the ways to increase the productivity of the resin. One way is by administering stimulant. However, the most well known stimulant is made anorganic form sulfate acid (CAS) which can cause damage to pine trees, the environment, and influence the health of tappers and other dairy can not be used as food grade. Therefore, this study used organic and PGR stimulant that can increase the productivity of pine tapping, cannot damage the pine trees, environment, and safe for tappers and can be used as food grade.

There were five treatments in this study, according to: control, 12-40 ETRAT, CAS, PGR-12 and ETS. Control treatment was not given a stimulant, ETRAT 12-40 and ETS using organic stimulant and Plant Growth Regulator (PGR), PGR-12 is Plant Growth Regulator (PGR), and CAS is an anorganic stimulant. Plant Growth Regulator used is Ethylene, because ethylene eksogen can affect ethylene endogen in the trees for doing sekunder metabolism process.

Based on this research, the highest average percentage productivity is by PGR-12 treatment that is equal to 16.77 grams/quarre/day, while the CAS is only 8.74 grams/quarre/day. The use of PGR-12 also has the highest percentage increase in resin productivity of the control, that is equal to 202.12% and 105.28% for CAS. Moreover, in terms of cost analysis, treatment with PGR-12 produces the highest value-added of productivity of the pine resin tapping, amounting to Rp 94.37/quarre/day, while the CAS is Rp 3.92/quarre/day.

Therefore, organic stimulant and PGR are better used than inorganic stimulant.

Treatment with PGR-12 have the highest values of average productivity of pine resin, the percentage increase of productivity, and value-added productivity of pine resin. However, for applications in the field, PGR-12 can not be used in Gunung Walat Forest Education, because based on Perhutani Unit III West Java who has conducted internal research, a suitable stimulant used in West Java is ETRAT 12-40. In addition, based on Duncan test, treatment with 12-40 ETRAT not significantly different from PGR-12. Use of ETRAT 12-40 are also more advisable, because of the composition, concentration ethylene (PGR) is lower than the PGR-12. Hence, application ETRAT 12-40 in Gunung Walat University Forest more efficient.

Keywords: pine resin stimulant, pine resin productivity, plant growth regulator (PGR), ethylene

(5)

PRODUKTIVITAS PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

IKA NUGRAHA DARMASTUTI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(6)

Judul Skripsi : Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat

Nama : Ika Nugraha Darmastuti NRP : E14070034

Menyetujui : Dosen Pembimbing,

Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS NIP. 19641102 198803 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan,

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001

Tanggal Lulus :

(7)

Puji syukur kehadirat Allah swt yang telah memberikan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat”.

Penelitian dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 20 Februari hingga 8 April 2011. Hutan pendidikan Gunung Walat menggunakan stimulansia anorganik berupa CAS (Cairan Asam Sulfat) untuk meningkatkan produktivitas getah pinus sejak tahun 2008. Akan tetapi, CAS dapat menyebabkan kerusakan pada pohon pinus, lingkungan, serta mengganggu kesehatan penyadap getah. Selain itu, produk olahannya tidak dapat dijadikan food grade. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yang tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga aman bagi pohon pinus, lingkungan, penyadap getah serta dapat digunakan sebagai food grade. Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) lebih baik diaplikasikan daripada stimulansia anorganik (CAS).

Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2011

Penulis

(8)

Penulis bernama lengkap Ika Nugraha Darmastuti, dilahirkan di Sleman, Yogyakarta pada tanggal 26 September 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara.

Ayah penulis bernama Sudarmo dan ibu bernama Titik Rahayu Nugraha Siswati.

Pendidikan formal yang telah ditempuh oleh penulis yaitu SD Negeri 19 Bengkulu pada tahun 1995 hingga 2000, kemudian dilanjutkan di SD Negeri 5 Beji, Pemalang dan lulus pada tahun 2001, SMP Negeri 2 Pemalang pada tahun 2001-2004, dan SMA Negeri 1 Pemalang pada tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikannya dan diterima di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI).

Penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Inventarisasi Hutan (2009-2010), Pemanenan Hutan (2010-2011 dan 2011-2012), dan Analisis Biaya (2011-2012). Selain kegiatan akademis, penulis juga aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yaitu Staf Divisi Keprofesian Himpunan Profesi Forest Manajemen Student Club (FMSC) pada tahun 2008-2009, Paduan Suara Masyarakat Roemput FAHUTAN (2008-2010), dan Staf Divisi Pengembangan Usaha Desa Lembaga Struktural Bina Desa BEM KM (2010-2011).

Selama pendidikan, penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Sancang-Kamojang, Jawa Barat, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Finnantara Intiga, Kalimantan Barat. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS.

(9)

Puji Syukur ke hadirat Allah swt yang telah melancarkan penelitian dan pembuatan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Ayahanda Sudarmo dan Ibunda Titik Rahayu N.S. serta Adikku Adika Nugraha D. yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, dan doanya.

2. Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, bantuan dan arahan dalam studi penulis dan penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. Ir. Juang Rata Matangaran, MS. selaku dosen ketua sidang atas bantuan, masukan dan arahannya.

4. Dr. Ir. Omo Rusdiana, MSc. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

5. Pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian ini.

6. Pak Yaya dan Pak Lili yang telah membantu dalam proses pengambilan data di lapangan.

7. Ridi Arif, Puspitasari, Nurul Haqiqi, Ika Octavia, Rika, Indri, Ida dan Bayu A atas bantuan, semangat dan dukungannya.

8. Teman-teman Kost Windhy atas kasih sayangnya.

9. Kakak-kakak kelas angkatan 43 Departemen Manajemen Hutan.

10. Teman-teman seperjuangan angkatan 44 Departemen Manajemen Hutan.

11. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Bogor, November 2011

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ……….

DAFTAR TABEL ……….

DAFTAR GAMBAR ……….

DAFTAR LAMPIRAN ……….

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………...

1.2 Rumusan Masalah ………..

1.3 Tujuan Penelitian ………...

1.4 Manfaat Penelitian ……….

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Pinus ………

2.2 Pinus sebagai Penghasil Getah ………..

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Getah Pinus ………

2.4 Stimulansia Anorganik dan Organik ……….

2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) ……….

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ………

3.2 Alat dan Bahan ………..

3.3 Metode Pengumpulan Data ………...…………

3.3.1 Metode Pengumpulan Data Sekunder ………....….

3.3.2 Metode Pengumpulan Data Primer ……….

3.4 Rancangan Percobaan ………

3.5 Analisis Data ………..

3.5.1 Analisis Pengaruh Masing- Masing Perlakuan …………...…

3.5.2 Analisis Biaya Penerapan Stimulansia ………

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat ……….

4.2 Letak dan Luas Areal ……….

iv vi vii viii

1 2 2 2

4 4 6 7 9

12 12 12 12 12 14 16 16 17

19 20 Halaman

(11)

4.3 Topografi dan Iklim ………..

4.4 Tanah dan Hidrologi ……….

4.5 Vegetasi ………...

4.6 Penduduk ………...

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Lokasi Penelitian ...

5.2 Produktivitas Getah Menggunakan Stimulansia Anorganik (CAS), Stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) ...

5.3 Pengaruh Stimulansia terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus ...

5.4 Nilai Tambah Penggunaan Stimulansia ...

5.5 Pemilihan Stimulansia yang Sesuai untuk Diaplikasikan ...

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ………...

6.2 Saran ………...…………...

DAFTAR PUSTAKA ………...

LAMPIRAN ………...

20 20 21 21

23

24

30 31 32

35 35 36 38

(12)

DAFTAR TABEL

1. Bagan rancangan percobaan ………

2. Struktur tabel analisis sidik ragam untuk rancangan acak lengkap satu faktor dengan ulangan yang sama ………...

3. Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/panen) ………...

4. Persentase peningkatan produktivitas getah pinus pada kontrol (tanpa perlakuan), stimulansia organik dan stimulansia anorganik ………...

5. Analisis ragam penggunaan stimulansia terhadap produktivitas getah pinus ………...

6. Hasil Uji Duncan pengaruh stimulansia terhadap produktivitas getah pinus dilihat dari segi perlakuan yang berbeda ………...

7. Analisis biaya stimulansia ………...

15

16

25

29

30

30 31 Halaman No

(13)

DAFTAR GAMBAR

1. Arah pemberian perlakuan pada pohon contoh ………...

2. Kondisi lokasi dan pohon contoh penelitian di blok Cikatomas, HPGW....

3. Grafik kecenderungan produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (gram/quarre/hari) .………...

4. Produktivitas getah pinus dengan masing-masing perlakuan pada panen ke delapan ………...

13 23

27

28 Halaman No

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Produktivitas getah pinus selama 15 kali panen dengan perlakuan kontrol ...

2. Produktivitas getah pinus selama 15 kali panen dengan perlakuan ETRAT 12-40 ………...

3. Produktivitas getah pinus selama 15 kali panen dengan perlakuan CAS..

4. Produktivitas getah pinus selama 15 kali panen dengan perlakuan PGR- 12 ...

5. Produktivitas getah pinus selama 15 kali panen dengan perlakuan ETS..

6. Rekapitulasi rata-rata poduktivitas getah (gram/quarre/3hari)...

7. Hasil analisis sidik ragam dan Uji Duncan ……….

8. Dokumentasi penelitian ………...

39

40 41

42 43 44 45 47 Halaman No

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan mempunyai manfaat penting bagi kehidupan, yaitu adanya hasil hutan berupa kayu dan bukan kayu. Menurut Suharisno (2008), jumlah dari semua kelompok Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sebanyak 557 jenis. Namun, yang sudah berkembang dan mendapat perhatian dari pemerintah maupun pengusaha masih terbatas pada sepuluh jenis yang merupakan HHBK unggulan nasional, yaitu: gondorukem, bambu, arang, kemiri, getah jelutung, gambir, sutera alam, lebah, madu, gaharu, dan rotan.

Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) mempunyai kontribusi penting bagi pembangunan berkelanjutan, yaitu kelestarian hutan untuk generasi yang akan datang. Getah pinus merupakan salah satu HHBK yang dapat diolah menjadi gondorukem dan terpentin. Berdasarkan FAO (2010), Indonesia berada di urutan terbesar ke dua setelah Cina dalam perdagangan getah pinus internasional.

Produksi getah dari Cina sebesar 430.000 ton (60% dari total produksi di dunia) sedangkan Indonesia menghasilkan 69.000 ton (10% dari total produksi di dunia).

Menurut Perhutani (2006), getah pinus merupakan salah satu komoditi yang memiliki jumlah permintaan tinggi baik di pasar lokal maupun internasional, dimana 80% produksinya dialokasikan untuk kebutuhan ekspor ke Eropa, India, Korea Selatan, Jepang dan Amerika. Berdasarkan data Perhutani (2011), pada tahun 2010, produksi gondorukem Perhutani Indonesia sebesar 55.000 ton dan terpentin sebesar 11.700 ton. Sedangkan permintaan gondorukem di dunia naik sampai 1 juta ton per tahun. Oleh karena itu, produksi gondorukem Indonesia untuk tahun 2011 ditargetkan sebesar 65.000 ton dan terpentin 15.000 ton.

Permintaan getah pinus di Indonesia maupun di dunia semakin meningkat.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas getah pinus di Indonesia. Meningkatkan produktivitas getah pinus dapat dilakukan dengan cara pemberian stimulansia. Namun, stimulansia yang sering dikenal adalah stimulansia anorganik berupa cairan asam sulfat yang dapat menyebabkan kerusakan pada pohon pinus, lingkungan, dan mengganggu kesehatan penyadap

(16)

getah serta olahannya tidak dapat dijadikan food grade. Menurut LIPI (2004), uap asam sulfat dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan tenggorokan serta mengganggu paru-paru. Selain itu, cairan asam sulfat juga dapat merusak kulit dan menimbulkan kebutaan jika terkena mata.

Pengelolaan hutan pinus lestari memerlukan stimulansia yang tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas getah pinus, tetapi juga harus aman bagi penyadap getah serta tidak merusak pohon dan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan stimulansia organik dan ZPT yang dapat meningkatkan produktivitas getah pinus, tidak merusak pohon dan lingkungan, aman bagi penyadap getah serta getahnya dapat dijadikan food grade.

1.2 Rumusan Masalah

Getah pinus merupakan hasil hutan yang penting untuk memenuhi kebutuhan industri. Seiring dengan pertumbuhan industri yang semakin pesat, permintaan getah pinus di Indonesia dan di dunia semakin meningkat. Selama ini, peningkatan produksi getah dilakukan dengan menggunakan stimulansia anorganik, misalnya asam sulfat yang dapat berdampak buruk bagi pohon, lingkungan, dan penyadap. Oleh karena itu, stimulansia organik sangat diperlukan untuk menggantikan stimulansia anorganik demi mencapai pengelolaan hutan lestari, keselamatan kerja penyadap dan peningkatan produktivitas getah yang lebih tinggi.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pengaruh penggunaan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) terhadap produktivitas getah pinus.

2. Menghitung nilai tambah produktivitas penyadapan getah pinus dari penggunaan stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT).

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua pihak yang memerlukan informasi tentang penyadapan getah pinus menggunakan stimulansia

(17)

organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Bagi pengelola Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah informasi dan bahan pertimbangan dalam upaya peningkatan produktivitas getah pinus dengan aman dan ramah lingkungan. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai acuan dan informasi dalam pemecahan masalah dan pembuatan keputusan suatu kasus nyata yang terkait atau lainnya.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyebaran dan Tempat Tumbuh Pinus

Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus atau tusam atau Pinus merkusii Jungh et de Vriese berasal dari famili Pinaceae. Pohon ini biasa juga disebut dengan pohon Damar Batu, Damar Bunga, Huyam, Kayu Sala, Kayu Sugi, Uyam dan Tusam (Sumatera) atau Pinus (Jawa). Daerah penyebaran P. merkusii di Indonesia yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan seluruh Jawa.

Menurut Mirov (1967), penyebaran dan tempat tumbuh P. merkusii adalah di bagian Selatan Shan (Burma) di ketinggian 150-750 m dpl. Daerah ini merupakan batas paling utara tempat tumbuh P. merkusii yaitu di 20° LU, kemudian di Laos bagian tengah sekelompok P. merkusii tumbuh di ketinggian 700 m dpl sedangkan di Kamboja, P. merkusii tumbuh di ketinggian 100-300 m dpl. Selain itu, P. merkusii juga ditemukan di daratan tinggi (1000 m dpl) di barat daya Kamboja yang merupakan tempat tumbuh tegakan murni P. merkusii paling luas, sedangkan di Vietnam, berada pada ketinggian 500-1200 m dpl dan tumbuh dengan jarang di pegunungan-pegunungan Vietnam serta di Red River di Lao Kai.

Tusam dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai C, pada ketinggian 200-1700 m dari permukaan laut, kadang- kadang tumbuh di bawah 200 m dan mendekati daerah pantai (Priyono dan Siswamartana 2002).

2.2 Pinus sebagai Penghasil Getah

Menurut Atmosuseno dan Duljapar (1996), kegunaan pinus sangat banyak.

Kayunya dapat digunakan untuk triplek, veneer, pulp, sutera tiruan dan bahan pelarut. Getahnya dapat dijadikan gondorukem, sabun, perekat, cat dan bahan kosmetik.

Hillis (1987) menyatakan bahwa getah yang dihasilkan pohon P. merkusii digolongkan sebagai oleoresin yang merupakan cairan asam-asam resin dalam

(19)

terpentin yang menetes ke luar apabila saluran resin pada kayu atau kulit pohon jenis daun jarum tersayat atau pecah. Penamaan oleoresin ini dipakai untuk membedakan getah yang berasal dari getah (natural resin) yang muncul pada kulit atau dalam rongga-rongga jaringan kayu dari berbagai genus anggota Dipterocarpaceae atau Leguminoceae dan Caesalpiniaceae.

Saluran getah atau saluran damar sering juga disebut sebagai saluran interseluller (intercelluler canal) karena memang saluran ini merupakan ruang- ruang antar sel epitel yang memanjang. Berdasarkan proses terbentuknya, saluran ini terjadi karena tiga cara, yaitu:

1. Lysigenous, dimana satu atau beberapa sel epitel hancur sehingga menjadi saluran

2. Schizogenous, beberapa sel epitel saling memisahkan diri atau menjauhkan diri sehingga terbentuk saluran. Sel-sel yang mengelilingi rongga saluran ini membelah diri menjadi sel epitel dan mengeluarkan getah ke saluran yang bersangkutan

3. Schizolysigenous, merupakan modifikasi dari Lysigenous dan Schizogenous yaitu penghancuran dan pemisahan.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya, saluran interseluler ini dapat dibagi atas dua macam, yaitu saluran damar karena luka (traumatic) dan saluran damar normal (merupakan struktur yang normal dalam kayu) (Pandit dan Kurniawan 2008).

Menurut Santosa (2011), saluran getah traumatis terbentuk diakibatkan oleh beberapa hal berikut :

1. Pohon mengembangkan saluran traumatik untuk mengantisipasi perubahan lingkungan yang terlalu ekstrim (misalnya: suhu dan kekeringan) agar pertumbuhan sel tidak terganggu.

2. Pembentukan getah meningkat akibat terjadinya luka atau stres berkepanjangan.

Pandit dan Ramdan (2002) menyatakan bahwa perbedaan saluran luka traumatik dengan saluran damar normal aksial adalah penyebarannya dalam deretan tangensial dan biasanya hanya terbatas pada bagian kayu awal. Dinding sel epitel yang membatasi saluran ini biasanya tebal dan bernoktah.

(20)

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Getah Pinus

Besarnya produksi getah pinus dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, dalam dan perlakuan. Faktor luar berupa bonita (kualitas tempat tumbuh), cuaca, ketinggian tempat tumbuh dan kerapatan pohon (Sahid 2010).

Peningkatan produksi getah pinus akibat pemberian stimulansia menunjukkan bahwa semakin tinggi tempat, peningkatan produksi akan semakin menurun. Hal ini dimungkinkan karena faktor eksternal berupa suhu udara yang rendah serta berkurangnya penyinaran matahari. Karakeristik dari pemberian stimulansia sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa suhu, kadar O2 dan kondisi cuaca (Santosa 2011).

Penjarangan sangat berpengaruh terhadap produktivitas getah. Penjarangan bertujuan agar cahaya matahari dapat masuk ke sekitar pohon dan luka sadapan yang menyebabkan aliran getah akan lancar (Doan 2007).

Menurut Doan (2007), pohon yang tumbuh pada lahan dengan nilai bonita yang besar, dapat menghasilkan getah dalam jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pohon dengan yang tumbuh pada lahan yang memiliki nilai bonita kecil.

Doan (2007) dalam hasil penelitiannya, juga menyebutkan bahwa pohon pinus yang banyak menghasilkan getah memiliki ukuran tajuk yang lebat dan lebar. Tajuk yang besar memungkinkan pohon dapat menerima cahaya matahari yang lebih banyak.

Selanjutnya Wibowo (2006) menyebutkan bahwa semakin besar kelas diameter yang disadap cenderung semakin besar produksi getah pinus yang dihasilkan. Rahmawati (2004) dalam penelitiannya juga berpendapat mengenai hubungan produktivitas penyadapan getah terhadap diameter pohon, yaitu produksi getah yang dihasilkan semakin bertambah pada pertambahan diameternya, dan mencapai hasil optimum pada selang diameter 53-59 cm kemudian menurun kembali pada selang berikutnya. Akan tetapi, ada pohon dengan diameter kecil yang mengeluarkan getah cukup banyak meskipun dengan jumlah koakan yang sedikit. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor perbedaan energi yang didapat pada setiap pohon untuk berfotosintesis yang bersumber dari

(21)

sinar matahari untuk menghasilkan sejumlah produk sisa hasil dari fotosintesis tersebut yang berupa getah.

Faktor perlakuan yang berpengaruh terhadap produksi getah adalah bentuk sadapan, jumlah, pembaharuan luka dan stimulansia. Adhi (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang nyata dari perbedaan jumlah koakan terhadap produksi getah pinus. Semakin banyak koakan, produksi getah per pohon semakin besar namun produksi getah per koakan akan semakin kecil. Pertambahan produksi akibat penambahan koakan meningkat sampai pada jumlah koakan empat dan selanjutnya produksi getah cenderung menurun. Jumlah koakan optimal untuk penyadapan pohon pinus berdiameter 40-50 cm adalah empat koakan per pohon.

Banyaknya produksi getah dapat juga disebabkan oleh faktor penggunaan H2SO4 atau yang sering disebut juga Crash Program yang dapat melipat gandakan hasil produksi getah karena memiliki fungsi membuat luka sadapan selalu terbuka dan getah tidak mudah membeku (Rahmawati 2004).

2.4 Stimulansia Anorganik dan Organik

Riyanto (1980) dalam Doan (2007) menyatakan bahwa pengaruh dari penggunaan stimulansia dalam proses penyadapan getah pinus adalah sebagai berikut :

1. Saluran getah akan terhidrolisir sehingga tekanan dinding banyak berkurang yang berakibat getah keluar lebih banyak.

2. Sel-sel parenkim akan terhidrolisir yang mengakibatkan cairan sel akan keluar dan diserap oleh getah sehingga getah yang encer semakin banyak dan keluar melebihi normal.

3. Asam merupakan penyangga sehingga getah sukar membentuk rantai sikliknya dan tetap dalam bentuk aldehida sehingga getah tetap encer dan keluar melebihi normal.

Stimulansia yang biasa digunakan untuk meningkatkan produksi getah pinus adalah penggunaan stimulansia anorganik berupa asam kuat (campuran H2SO4 dan HNO3). Menurut Santosa (2011) mekanisme stimulan ini adalah :

(22)

1. Memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair sehingga mudah mengalir keluar dari saluran getah.

2. Mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lebih lama.

Stimulansia pada hakekatnya berfungsi sebagai perangsang etilena pada tanaman dan selanjutnya menaikkan tekanan osmosis serta tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah bertambah cepat dan lebih lama. Etilena pada hakekatnya adalah suatu hormon pertumbuhan yang banyak berperan pada perubahan suatu tanaman, antara lain terjadi perubahan dalam membran yang permeable dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air masuk dalam saluran getah dan jaringan-jaringan disekitarnya (Moir 1970 dalam Hidayati 2005). Menurut Hillis (1987), bahwa masuknya air kedalam lumen sel epitel maka sel tersebut akan kembali membesar dan selanjutnya akan menekan resin yang berada didalam saluran damar sehingga resin hancur dan resin terdorong keluar. Setelah itu sel epitel akan memproduksi zat resin kembali untuk mengisi saluran damar tersebut.

Selain stimulansia anorganik, dikembangkan pula stimulansia organik.

Menurut Azis (2010), produktivitas getah pada stimulansia jeruk nipis 50% lebih banyak dua kali lipat dibandingkan dengan stimulansia jeruk nipis pekat.

Perbedaan ini diduga karena konsentrasi yang berbeda sehingga zat bioaktif yang terlarut didalam larutan mengalami proses yang berbeda ketika stimulansia disemprotkan pada luka (quarre) dimana stimulansia jeruk nipis pekat tidak mengeluarkan getah lebih banyak tetapi diduga merusak jaringan sel parenkim (sel getah) karena konsentrasi asam yang tinggi sehingga aliran getah lebih cepat berhenti.

Jeruk nipis mengandung asam sitrat yang menimbulkan rasa asam saat dikonsumsi. Asam sitrat atau asam β-3-hidroksi trikarbosiklis, 2-hidroksi-1,2,3- propana trikarbosiklis, mempunyai rumus kimia C6H8O7. Winarno dan Laksmi (1974) dalam Azis (2010) mengatakan bahwa asam sitrat bersifat sebagai chelating agent (komponen penghambat) yaitu senyawa yang dapat mengikat logam-logam divalen seperti Mn, Mg, dan Fe yang sangat diperlukan sebagai katalisator (senyawa yang membantu mempercepat suatu reaksi) dalam reaksi-

(23)

reaksi biologis. Karena itu reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat, dimana asam sitrat dapat berperan seperti asam sulfat yaitu mampu menghambat getah untuk membentuk rantai siklik dan tetap dalam bentuk aldehida sehingga getah tetap encer. Selain itu, asam organik yang terkandung dalam jeruk nipis (asam sitrat) juga mampu menghasilkan getah lebih banyak daripada asam anorganik (asam sulfat), hal ini dikarenakan struktur kimia asam sitrat memiliki satu gugus hidroksil (OH) dan tiga gugus karboksil (COOH) (Kirk dan Othmer 1985) yang mampu membentuk ikatan hidrogen yang lebih kuat terhadap molekul air pada saluran getah dibandingkan dengan asam sulfat yang hanya memiliki 2 gugus hidroksil (OH). Dengan adanya ikatan hidrogen yang lebih kuat, maka semakin banyak sel getah yang terhidrolisis sehingga getah keluar lebih banyak (Azis 2010).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Peningkatan produksi getah pinus selain menggunakan stimulansia, juga dapat dengan meningkatkan peran Zat Pengatur Tumbuh (ZPT). Wattimena (1988) menyatakan bahwa ethylene berfungsi sebagai hormon tanaman dan berperan pada berbagai proses fisiologis. Tanaman sendiri memproduksi ethylene melalui proses metabolisme selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Ethylene diproduksi pada jaringan-jaringan dan organ tanaman seperti buah, bunga, daun, batang, akar, umbi dan biji

Zat Pengatur Tumbuh merupakan substansi kimia yang konsentrasinya sangat rendah dan mengendalikan pertumbuhan serta perkembangan tanaman. Zat Pengatur Tumbuh (Plant Growth Regulation) sering disebut pula hormon pertumbuhan atau fitohormon (Gardner et al. 1991). Jenis-jenis fitohormon dikelompokkan menjadi lima bagian, yaitu: auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan ethylene.

Masing- masing jenis fitohormon memiliki fungsi masing-masing dan terkadang saling melengkapi satu sama lain. Dari lima kelompok jenis fitohormon, ethylene (C2H4) merupakan salah satu hormon yang unik karena berbentuk gas.

(24)

Dewi (2008) menambahkan bahwa ethylene adalah suatu gas yang dapat digolongkan sebagai pengatur pertumbuhan dan dapat disebut sebagai hormon karena telah memenuhi persyaratan sebagai hormon, yaitu dihasilkan oleh tanaman, bersifat mobile dalam jaringan tanaman dan merupakan senyawa organik.

Menurut Wattimena (1988), tanaman memproduksi ethylene melalui proses metabolisme selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut.

Dewi (2008) menyatakan bahwa pembentukan ethylene dalam jaringan-jaringan tanaman dapat dirangsang oleh adanya kerusakan-kerusakan mekanis.

Ethylene memiliki fungsi di berbagai proses fisiologis seperti menstimulan pemasakan buah, menstimulan absisi daun, penghambat pertumbuhan akar, meningkatkan permeabilitas membran, merangsang pembentukan bunga dan lain sebagainya (Moore 1979).

Fungsi ethylene tersebut dimanfaatkan di bidang pertanian untuk penanganan pasca panen, yaitu dalam proses penyimpanan buah. Pada pisang, sirsak, pepaya dan buah klimaterik lainnya, ethylene berguna untuk mempercepat pematangan buah karena buah yang sudah dipetik masih melakukan respirasi dan menghasilkan ethylene untuk mempercepat pematangan buah. Dewi (2008) mendefinisikan klimaterik sebagai suatu periode mendadak yang unik bagi buah dimana selama proses, terjadi serangkaian perubahan biologis diawali dengan proses sintesis ethylene. Mulyana (2011) menggunakan kain kassa dan serat nilon yang dikombinasikan dengan KMnO4 dengan bobot 2,25-6,75 sebagai bahan pembungkus oksidator ethylene untuk mempertahankan umur simpan buah pisang Raja Bulu.

Menurut Dewi (2008), ethylene adalah senyawa yang larut di dalam lemak. Oleh karena itu, ethylene dapat larut dan menembus ke dalam membran mitokondria. Apabila mitokondria pada fase pra klimaterik diekrasi kemudian ditambah ethylene, ternyata terjadi pengembangan volume yang akan meningkatkan permeabilitas sel sehingga bahan-bahan dari luar mitokondria akan dapat masuk. Dengan perubahan-perubahan permeabilitas sel akan memungkinkan interaksi yang lebih besar antara substrat buah dengan enzim- enzim pematangan.

(25)

Selain fungsi-fungsi yang disebutkan sebelumnya, salah satu fungsi ethylene adalah merangsang eksudasi (pengeluaran getah atau lateks) Wattimena (1988). Pada aplikasinya di bidang pertanian, ethylene dimanfaatkan sebagai stimulan dalam penyadapan getah karet (lateks). Menurut Sumarmadji (2002), dalam usaha perkebunan karet, digunakan stimulan lateks berupa etefon, atau dalam merk dagang Ethrel atau Cepha. Senyawa ini bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethylene. Pemberian etefon secara langsung memberi ethylene tinggi tetapi nilainya terus menurun.

Penggunaan stimulan etefon dalam kegiatan penyadapan lateks memberikan dampak yang negatif, yaitu berkurangnya masa eksploitasi karet, persentase Kering Alur Sadap (KAS) yang tinggi, terhambatnya perkembangan lilit batang, dan produktivitas tanaman yang semakin menurun. Oleh karena itu, harus diaplikasikan dalam dosis yang rendah dan mempertimbangkan potensi, sifat, serta karakteristik klon (Tistama dan Siregar 2005).

(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Februari sampai dengan 8 April 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

3. 2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, kadukul, talang sadap, paku, palu, golok, kuas, sprayer, kantong plastik ukuran 12 x 25 cm, plastik transparan ukuran 20 x 40 cm, kalkulator, timbangan digital, software SPSS 16, kamera digital dan alat tulis. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan adalah cat kayu warna putih, spidol permanen, Cairan Asam Sulfat (CAS), dan produk dari CV. Permata Hijau Lestari berupa ETRAT 12-40, PGR-12, serta ETS.

3. 3 Metode Pengumpulan Data

3. 3.1 Metode Pengumpulan Data Sekunder

Metode ini merupakan kegiatan mengumpulkan data sekunder mengenai kondisi umum lokasi penelitian, meliputi sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), letak dan luas, topografi, iklim, keadaan tanah, vegetasi dan satwa serta penduduk.

3.3.2 Metode Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat untuk mengetahui dan membandingkan produktivitas getah P. merkusii antara kontrol (tidak diberi perlakuan) dengan yang diberikan perlakuan (stimulansia) dalam satuan gram/pohon/3hari. Pengumpulan data meliputi kegiatan:

1. Menyiapkan alat dan bahan serta survey lokasi.

2. Memilih 20 pohon contoh P. merkusii Jungh et de Vriese dengan kondisi sehat dan memiliki diameter minimal 35 cm. Pada masing- masing pohon dibuat lima koakan untuk lima jenis perlakuan, yaitu kontrol, ETRAT 12-40, Cairan Asam Sulfat (CAS), PGR-12, dan ETS.

(27)

3. Menandai 20 pohon contoh dengan cat kayu plastik sesuai dengan perlakuan yang akan diberikan.

4. Membuat pelukaan awal dengan metode quarre terhadap pohon P.

merkusii beserta penyemprotan cairan stimulansia atau Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sebanyak 1 cc/ koakan ( satu kali semprotan).

a. Pembuatan luka awal dengan metode Quarre (koakan)

a.1. Membersihkan semak di sekitar pohon dan membersihkan kulit pohon dengan golok sedalam 3 mm dan lebar 20 cm (tinggi untuk sadapan awal 20 cm dari permukaan tanah) .

a.2. Membuat koakan pada batang berukuran 10 x 10 cm dan kedalaman 2 cm mengunakan kadukul.

a.3. Memasang talang sadap pada bagian bawah koakan dan memasang paku agar talang tertancap kuat a.4. Menyemprotkan cairan stimulansia atau Zat Pengatur

Tumbuh (ZPT) sebanyak 1 cc/koakan (1 kali semprotan)

a.5. Memasang kantong plastik berukuran 12 x 25 cm untuk menampung getah (dikaitkan pada paku) dan disesuaikan dengan talang sadap.

a.6. Memberi tanda pada plastik dengan spidol sesuai jenis perlakuan yang diberikan (stimulansia).

a.7. Memasang plastik berukuran 20 x 40 cm untuk menghalangi aliran batang.

5. Melakukan pemanenan getah setiap tiga hari sekali disertai dengan memperbarui quarre setinggi 5 mm dan penyemprotan cairan stimulansia sebanyak 1cc/quarre/3hari. (Pemanenan dilakukan sebanyak lima belas kali).

6. Menimbang hasil panen getah dengan timbangan digital.

7. Mencatat hasil timbangan ke dalam tally sheet.

8. Penentuan arah sadapan untuk masing-masing perlakuan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

(28)

a. Pohon pertama: arah sadapan yang menghadap ke utara merupakan perlakuan 1, yaitu kontrol. Kemudian dengan arah berlawanan jarum jam (Gambar 1), koakan kedua diberikan perlakuan kedua yaitu ETRAT 12-40. Selanjutnya koakan ketiga dengan perlakuan ketiga yaitu pemberian Cairan Asam Sulfat (CAS) dan seterusnya.

b. Pohon kedua: arah sadapan yang menghadap ke utara merupakan perlakuan kelima yaitu pemberian ETS. Kemudian dengan arah berlawanan jarum jam (Gambar 1), koakan kedua merupakan perlakuan pertama (kontrol), koakan ketiga merupakan perlakuan kedua dan seterusnya.

c. Pohon ketiga dan seterusnya mengikuti pola pohon pertama dan kedua sesuai dengan arah yang berlawanan dengan jarum jam (Gambar 1).

Utara

Pohon 1 Pohon 2

Gambar 1 Arah pemberian perlakuan pada pohon contoh.

Keterangan gambar:

1. Kontrol 2. ETRAT 12-40

3. CAS (Cairan Asam Sulfat) 4. PGR-12

5. ETS

3. 4 Rancangan Percobaan

Penelitian ini dirancang dengan hanya melibatkan satu faktor dengan beberapa taraf sebagai perlakuan. Faktor tersebut adalah pemberian jenis stimulansia yang berbeda-beda tiap perlakuannya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap (Completely randomize design) dimana respon diperoleh dari perlakuan yang berbeda-beda yaitu yaitu kontrol,

1

2 5

3 4

5

1 4

2 3

(29)

ETRAT 12-40, Cairan Asam Sulfat (CAS), PGR-12, dan ETS. Penelitian ini menggunakan 20 pohon contoh yang masing-masing pohon diberikan 5 jenis perlakuan dengan pengambilan getah (panen) sebanyak 15 kali, sehingga ada 100 data setiap kali pemanenan getah. Pohon contoh yang digunakan dalam penelitian dipilih secara acak dengan diameter minimal 35 cm dan sehat. Bagan rancangan percobaan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1 Bagan rancangan percobaan

Pohon contoh

Perlakuan

kontrol ETRAT 12-40 CAS PGR 12 ETS

1 Y11k Y21k Y31k Y41k Y51k

2 Y12k Y22k Y32k Y42k Y52k

3 Y13k Y23k Y33k Y43k Y53k

4 Y14k Y24k Y34k Y44k Y54k

5 Y15k Y25k Y35k Y45k Y55k

6 Y16k Y26k Y36k Y46k Y56k

…. …. …. …. …. ….

…. …. …. …. …. ….

…. …. …. …. …. ….

20 Y120k Y220k Y320k Y420k Y520k

Rata-rata ∑Y1/n ∑Y2/n ∑Y3/n ∑Y4/n ∑Y5/n

Model persamaan rancangan acak lengkap satu faktor yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + τ i + ɛijk

Keterangan :

Yijk = Produktivitas getah pinus pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan periode panen ke-k µ = Nilai Rataan Umum

τ i = Pengaruh Perlakuan ke-i

ɛijk = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i , ulangan ke-j dan periode panen ke-k i = 1, 2,3,4,5

1 : Tanpa perlakuan (kontrol) 2 : Pemberian ETRAT 12-40 3 : Pemberian CAS

4 : Pemberian PGR 5 : Pemberian ETS

j = Ulangan pohon contoh (1,2,3,…,20) k = Frekuensi panen getah pinus (1,2,3,…,15) n = Jumlah Pohon Contoh (20 Pohon)

(30)

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis Pengaruh Masing-Masing Perlakuan

Untuk mengetahui pengaruh faktor perlakuan pemberian stimulansia terhadap peningkatan produktivitas getah pinus maka dilakukan analisis sidik ragam atau Analysis of Variance (ANOVA). Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam untuk rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan menggunakan ulangan yang sama. Perhitungan analisis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

Faktor Korelasi (FK) =( ∑ )2/rt JKT = ∑ 2 – FK JKR = ∑ ̅2 – FK

JKS = JKT-JKR

Hasil perhitungan jumlah kuadrat setiap faktor selanjutnya ditabulasikan dalam bentuk tabel analisis sidik ragam seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Struktur tabel analisis sidik ragam untuk rancangan acak lengkap satu faktor dengan ulangan yang sama

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat

Tengah (KT) F Hitung

Regresi t-1 JKR KTR KTR/KTS

Sisa t(r-1) JKS KTS

Total tr-1 JKT

Hipotesis :

Pengujian terhadap pengaruh faktor stimulansia H0 : τ1 = τ2 = …….τi = 0

H1 : sekurangnya ada satu τi ≠ 0

Terima H0 : Perbedaan taraf perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 99% (α=0,01).

Terima H1 : Sekurangnya ada taraf perlakuan yang memberikan pengaruh nyata terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 99% (α=0,01).

Hasil uji F-hitung yang diperoleh dari ANOVA dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan 99% (α = 0,01) dengan kaidah :

(31)

1. Jika F-hitung < F-tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga perlakuan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap produktivitas getah pinus pada selang kepercayaan 99% (α = 0,01).

2. Jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak, H1 diterima sehingga perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas getah pinus pada selang kepercayaan 99% (α = 0,01).

Selanjutnya, setelah uji F apabila perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas getah pinus, maka dilakukan uji lanjut berupa Uji Duncan dengan menggunakan Software SPSS 16 untuk mengetahui perlakuan yang saling berbeda nyata.

3.5.2 Analisis Biaya Penerapan Stimulansia

Stimulansia yang dibutuhkan selama penelitian yaitu untuk kebutuhan 20 pohon (masing-masing stimulansia) dengan periode panen sebanyak 15 kali. Hal- hal yang harus dihitung dalam analisis biaya penerapan stimulansia adalah sebagai berikut :

1. Biaya stimulansia Bi = Hi/ 1000/ 3 dimana:

Bi = Biaya stimulansia ke-i yang dikeluarkan setiap 1 kali penyemprotan (Rp/quarre/hari)

Hi = Harga stimulansia ke-i (Rp/liter)

Asumsi : satu kali semprotan adalah 1 ml/quarre/3 hari 2. Peningkatan produksi getah

Pi = Qi – R dimana :

Pi = Peningkatan produksi getah untuk stimulansia ke-i (g/quarre/hari)

Qi = Produksi perlakuan stimulansia ke-i (g/quarre/hari)

R = Produksi getah pada pohon contoh kontrol/tanpa perlakuan (g/quarre/hari)

(32)

3. Pendapatan hasil peningkatan getah Zi =

x C

dimana :

Zi = Pendapatan hasil peningkatan getah dari stimulansia ke-i (Rp/quarre/hari)

C = Harga getah pinus (Rp/kg) 4. Nilai tambah penggunaan stimulansia Ri = Zi – Bi

dimana :

Ri = Nilai tambah penggunaan stimulansia ke-i (Rp/quarre/hari) Zi = Pendapatan hasil peningkatan getah dari stimulansia ke-i

(Rp/quarre/hari)

Bi = Biaya stimulansia ke-i yang dikeluarkan setiap 1 kali penyemprotan (Rp/quarre/hari)

(33)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

Pada tahun 1951 kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia). Hutan yang ditanam pada tahun 1951-1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar basecamp. Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian pada tahun 1967 untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Tahun 1968 Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Kemudian tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Hutan Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

Surat Keputusan Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 1973 diterbitkan. Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp), sengon (Paraserianthes falcataria), meranti (Shorea sp), dan akasia (Acacia mangium).

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan, pengelolaan kawasan hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas

(34)

Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Januari 1993.

Status hukum kawasan HPGW pada tahun 2005 dikuatkan oleh diterbitkannya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan (FAHUTAN IPB 2009).

4.2 Letak dan Luas Areal

Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada 106°48'27''BT sampai 106°50'29''BT dan -6°54'23''LS sampai -6°55'35''LS.

Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi. Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomas) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (FAHUTAN IPB 2009).

4.3 Topografi dan Iklim

HPGW terletak pada ketinggian 460-715 m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam. Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29° C dan minimum 19° C di malam hari (FAHUTAN IPB 2009).

4.4 Tanah dan Hidrologi

Tanah Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah kompleks dari podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian di barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst (gamping). Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan sumber air bersih yang penting bagi masyarakat

(35)

sekitarnya terutama di bagian selatan yang mempunyai anak sungai yang mengalir sepanjang tahun, yaitu anak sungai Cipeureu, Citangkalak, Cikabayan, Cikatomas dan Legok Pusar. Kawasan HPGW masuk ke dalam sistem pengelolaan DAS Cimandiri (FAHUTAN IPB 2009).

4.5 Vegetasi

Tegakan Hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis lorantifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), Dalbergia latifolia, Gliricidae sp, Shorea sp, dan akasia (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis. Potensi tegakan hutan ± 10.855 m3 kayu damar, 9.471 m3 kayu pinus, 464 m3 puspa, 132 m3 sengon, dan 88 m3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus.

Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul (FAHUTAN IPB 2009).

Di areal HPGW terdapat beraneka ragam jenis satwa liar yang meliputi jenis-jenis mamalia, reptilia, burung dan ikan. Dari kelompok jenis mamalia terdapat babi hutan (Sus scrofa), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), meong congkok (Felis bengalensis), tupai (Callociurus sp. J), trenggiling (Manis javanica), musang (Paradoxurus hermaphroditic). Dari kelompok jenis burung (Aves) terdapat sekitar 20 jenis burung, antara lain: Elang Jawa, Emprit, Kutilang dan lain-lain. Jenis-jenis reptilia antara lain biawak, ular dan bunglon. Terdapat berbagai jenis ikan sungai seperti ikan lubang dan jenis ikan lainnya. Ikan lubang adalah ikan sejenis lele yang memiliki warna agak merah. Selain itu terdapat pula lebah hutan (Apis dorsata) (FAHUTAN IPB 2009).

4.6 Penduduk

Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian

(36)

dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan lahan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program agroforestry HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap.

Penyadap getah pinus berjumlah 32 penyadap dengan karakteristik yang beragam baik dari segi pendidikan dan umur. Mayoritas penyadap berdomisili di desa sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat yakni Desa Nangerang, Desa Citalahap, Desa Cipereu dan Desa Cijati. Penghasilan rata-rata yang diperoleh penyadap dari hasil menyadap getah pinus adalah Rp. 400.000-Rp. 500.000/bulan (FAHUTAN IPB 2009).

.

(37)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Lokasi Penelitian

Penelitian Pengaruh Penggunaan Stimulansia Organik dan ZPT terhadap Produktivitas Penyadapan Getah Pinus di Hutan Pendidikan Gunung Walat dilaksanakan di blok khusus untuk penelitian, yaitu blok Cikatomas di sekitar menara TVRI pada ketinggian 691-716 mdpl. Blok Cikatomas didominasi oleh tegakan P. merkusii dan P. oocarpa. Akan tetapi, yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah P. merkusii saja. Pohon pinus yang dipilih memiliki selang diameter 35 cm sampai dengan 65 cm dan sehat.

Gambar 2 Kondisi lokasi dan pohon contoh penelitian di Blok Cikatomas, HPGW.

(38)

Pohon P. merkusii yang dijadikan contoh penelitian berjumlah 20 pohon dengan lima perlakuan. Secara berurutan lima perlakuan tersebut adalah kontrol, ETRAT 12-40, Cairan Asam Sulfat (CAS), PGR-12, dan ETS. Perlakuan pertama (kontrol) tidak menggunakan stimulansia apapun, perlakuan ke tiga (CAS) merupakan stimulansia anorganik, perlakuan ke empat menggunakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) sedangkan perlakuan ke dua dan ke lima merupakan kombinasi dari stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT).

5.2 Produktivitas Getah Menggunakan Stimulansia Anorganik (CAS), Stimulansia organik dan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Hutan Pendidikan Gunung Walat dari tahun 2008 hingga April 2011 masih menggunakan stimulansia anorganik untuk memperlancar keluarnya getah. Pada penelitian ini, stimulansia anorganik yang digunakan adalah CAS (Cairan Asam Sulfat) yang merupakan campuran dari 15% asam sulfat dan 2% asam nitrat, sedangkan stimulansia organik merupakan produk dari sebuah perusahaan di Bogor, Jawa Barat, yaitu CV. Permata Hijau Lestari. Komposisi stimulansia organik tersebut beranekaragam, ETRAT 12-40 merupakan perpaduan dari 100 ppm ethylene dan 150 ppm asam sitrat, PGR-12 terdiri atas 200 ppm ethylene, sedangkan ETS adalah kombinasi dari 100 ppm ethylene dan 10% jeruk nipis cair.

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, juga telah menggunakan stimulansia organik, namun berbahan dasar jeruk nipis dan lengkuas. Menurut Azis (2010), penggunaan stimulansia organik dari bahan jeruk nipis konsentrasi 50% menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan CAS.

Zat Pengatur Tumbuh yang sangat berperan dalam proses keluarnya getah adalah ethylene. Ethylene merupakan senyawa berbentuk gas yang banyak berperan dalam perubahan suatu tanaman, seperti terjadi perubahan dalam membran yang permeabel dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air dapat masuk ke dalam saluran getah dan jaringan–jaringan disekitarnya (Santosa 2011). Secara alami, ethylene ada di dalam tanaman (ethylene endogen).

Menurut Santosa (2011), pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan

(39)

dengan mengaktifkan ethylene endogen dan adanya stres (pembuatan luka sadap).

Dengan demikian, peningkatan produksi getah dapat dilakukan dengan memberikan zat yang mengandung ethylene (exsogen) yang akan merangsang pembentukan ethylene endogen pada tanaman sehingga proses metabolisme sekunder dapat ditingkatkan.

Hasil penelitian di Hutan Pendidikan Gunung Walat menunjukkan bahwa stimulansia organik dan ZPT mampu menghasilkan produktivitas rata-rata getah pinus yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan stimulansia anorganik. Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari) ditampilkan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari)

Panen ke- KONTROL ETRAT 12-40 CAS PGR-12 ETS

1 13.23 16.38 22.97 14.77 15.20

2 5.18 8.28 17.50 6.93 7.33

3 8.58 14.87 16.03 13.47 12.73

4 9.23 14.28 12.68 15.87 15.70

5 7.60 17.82 10.35 17.32 15.98

6 8.87 17.33 9.67 19.87 16.37

7 7.82 18.22 8.23 20.12 17.90

8 7.30 18.12 6.17 19.83 17.78

9 7.70 18.50 5.82 19.20 16.33

10 6.33 15.23 3.63 15.48 15.67

11 9.08 17.88 3.47 19.02 18.27

12 7.58 17.65 3.31 17.50 16.78

13 7.05 16.18 3.30 16.95 16.70

14 8.82 15.77 3.97 16.63 15.60

15 10.11 17.83 3.97 18.67 15.38

Total 124.49 244.35 131.06 251.62 233.73

Rata-rata 8.30 16.29 8.74 16.77 15.58

Pelukaan awal pada pohon Pinus menyebabkan stres pada batang yang mempengaruhi metabolisme sekunder. Pinus mengeluarkan getah sebagai bentuk reaksi akibat pelukaan untuk menutupi sel-sel yang rusak. Pada pemanenan pertama, hasil rata-rata produktivitas getah pada setiap perlakuan tinggi karena keluarnya deposit getah dari sel-sel parenkim. Saat pinus berusaha melakukan

(40)

reaksi terhadap pelukaan kedua, deposit getah telah berkurang banyak untuk menanggapi reaksi stres pada pelukaan pertama. Hal ini menyebabkan persediaan getah di dalam pohon sangat sedikit sehingga pada pemanenan getah yang kedua produktivitas rata-rata setiap perlakuan menurun. Pada pelukaan ketiga, pohon pinus sudah dapat beradaptasi dengan mulai membentuk deposit getah yang baru, sehingga hasil produktivitas rata-rata setiap perlakuan di pemanenan ke tiga kembali meningkat. Akan tetapi, pada pelukaan pertama hingga ketiga, penggunaan CAS menghasilkan rata-rata produktivitas getah paling tinggi.

Menurut Santosa (2011), CAS memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dari saluran getah. Cairan Asam Sulfat (CAS) juga mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lebih lama. Akan tetapi, pada pemanenan ke empat atau hari ke 12, produktivitas getah pinus dengan penggunaan CAS mulai berada di bawah stimulansia organik dan ZPT.

Perlakuan yang memberikan hasil produktivitas rata-rata tertinggi pada pemanenan ke empat adalah penggunaan PGR-12 yang merupakan Zat Pengatur Tumbuh (hormon). Hal ini disebabkan ethylene di dalam PGR-12 membutuhkan waktu untuk berubah wujud dari bentuk cair ke bentuk gas. Menurut Weaver (1972) dalam Haryati (2003), pengaruh ethephon tidak jauh berbeda dengan ethylene terhadap tanaman. Ethephon (2-Chloroethyl phosphonic acid) merupakan stimulan yang biasa digunakan untuk meningkatkan lateks karet. Ethephon adalah senyawa bersifat asam yang dikenal sebagai generator ethylene (Sumarmadji 2002). Etephone akan mengalami dekomposisi pada pH 4,1 atau lebih tinggi dan akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman, sedangkan dalam larutan encer di bawah pH 4 Ethephon akan tetap stabil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pH sitoplasma sel tanaman pada umumnya lebih besar daripada 4. Maka jika Ethephon masuk ke dalam jaringan tanaman, akan menurunkan derajat kemasamannya dan terjadi dekomposisi yang akan melepaskan ethylene pada jaringan tanaman (Dewilde 1970 dalam Haryati 2003).

Setelah pemanenan ke empat atau hari ke 12, ethylene exsogen dari PGR- 12 merangsang ethylene endogen di dalam pohon pinus untuk mulai beradaptasi

(41)

dengan mekanisme metabolisme sekunder. Pada pemanenan ke lima dan selanjutnya, perlakuan dengan menggunakan CAS hasilnya tetap berada di bawah perlakuan yang menggunakan stimulansia organik dan ZPT. Bahkan pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, perlakuan dengan menggunakan CAS memberikan produktivitas paling rendah. Sebaliknya, produktivitas getah dengan perlakuan ZPT serta campuran stimulansia organik dan ZPT meningkat semenjak pemanenan ke empat, dan mulai stabil pada pemanenan keenam hingga seterusnya.

Pada hasil akhir, perlakuan dengan PGR-12 menghasilkan rata-rata produktivitas getah tertinggi, yaitu sebesar 16,77 g/quarre/hari. Perlakuan dengan ETRAT sebesar 16,29 g/quarre/hari, ETS 15,58 g/quarre/hari, CAS sebesar 8,74 g/quarre/hari sedangkan kontrol (tanpa perlakuan) sebesar 8,30 g/quarre/hari.

Secara umum, kecenderungan hasil rata-rata produktivitas getah ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Grafik kecenderungan produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari).

Berdasarkan Gambar 3, dapat dilihat bahwa pada pemanenan ke delapan dan seterusnya, rata-rata produktivitas perlakuan CAS berada di bawah kontrol.

Penggunaan CAS membuat pinus sukar untuk mengeluarkan getah karena sel-sel epitel penghasil getah yang telah mati sehingga, pada saat melakukan pembaharuan luka, kayu gubal terasa keras. Secara fisik, hal ini ditandai dengan berubahnya warna bidang sadapan dari cokelat muda menjadi cokelat tua kehitaman.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Produktivitas rata-rata- getah pinus (gram/quarre/hari)

Panen ke-

KONTROL ETRAT 12-40 CAS

PGR-12 ETS

Gambar

Tabel  3   Produktivitas  rata-rata  getah pinus berdasarkan perlakuan dan frekuensi  panen (g/quarre/hari)
Gambar 3   G rafik kecenderungan produktivitas rata-rata getah pinus berdasarkan   perlakuan dan frekuensi panen (g/quarre/hari)
Gambar  4    Produktivitas  getah  pinus  dengan  masing-masing  perlakuan  pada  panen ke delapan
Tabel  4    Persentase  peningkatan  produktivitas  getah  pinus  pada  kontrol  (tanpa      perlakuan), stimulansia organik, dan stimulansia anorganik
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan persepsi mahasiswa yaitu mahasiswa akuntansi strata-1 FEB USU dengan mahasiswa akuntansi FS IAIN SU tentang akuntasi

diatas telah dianulir oleh Surat Mahkamah Agung Nomor : 32/TUADA-AG/III-UM/IX/1993 yang antara lain berisi bahwa ketentuan Pasal 84 ayat (4) Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989

Hasil analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir menggunakan PHA menunjukkan bahwa kriteria yang berpegaruh besar terhadap tujuan analisis

[r]

Manfaat pertumbuhan ini bisa dihitung dengan menggunakan metode PEGR yang merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur manfaat pertumbuhan ekonomi bagi

Jadi kesimpulannya, dengan efektifnya informasi yang diberikan melalui iklan tersebut, yang berupaya untuk mengenalkan merek dari produk yang ditawarkan, sehingga

Pelaksanaan prosedur simpan-pinjam di Koperasi Pegawai Republik Indonesia Murakabi Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sragen bisa dikatakan terlaksana dengan baik,

Pengertian pola komunikasi dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk hubungan yang terjadi pada pasangan suami istri yang usia pernikahannya di bawah 5 tahun dalam