• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

C. Profil Antihipertensi

obat.

d. Adanya drug related problems (DRPs) dalam penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi antara lain ada indikasi tanpa obat, membutuhkan obat tambahan, pemilihan obat yang tidak sesuai, dosis tidak sesuai, efek samping obat dan interaksi obat

sesuai baku standar Hypertensive Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001), Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi (Anonim, 2006), Hypertension dalam

Pharmacotherapy: A Pathofisiologic Approach (Sassen dan Maclaughin, 2008) dan Drug Interactions Facts (Tatro, 2007).

9

Diabetes melitus adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah. Hal ini dikarenakan kelenjar pankreas dari penderita diabetes melitus tidak dapat menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup atau tubuh penderita yang tidak dapat menggunakan insulin dengan baik (Richard, 1989).

Gejala-gejala diabetes melitus adalah sering haus (polidipsi), sering merasa lapar (polifagia) dan sering kencing (poliuria). Diagnosis diabetes ditegakan dengan hasil pemeriksaan darah dimana kadar glukosa darah pada saat puasa diatas 126 mg/dl dan glukosa darah 2 jam sesudah makan di atas 200 mg/dl (Tandra, 2008). Kadar glukosa darah puasa normal adalah 70-110 mg/dl. Sedangkan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan adalah < 140 mg/dl (Sutedjo, 2009).

Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi tiga yaitu diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2 dan diabetes melitus gestasional. Di antara ketiga jenis diabetes ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah diabetes melitus tipe 2.

Diabetes melitus tipe 2 sering juga disebut dengan DM tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus). Penderita DM tipe ini sekitar 90-95% dari semua kasus DM dan umumnya ditemukan pada orang berusia di atas 45 tahun. DM tipe 2 ini dapat disebabkan oleh faktor genetik dan pengaruh

lingkungan seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurangnya aktifitas fisik (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Pada diabetes melitus tipe 2 sering disertai dengan hipertensi yang dapat menyebabkan timbulnya komplikasi pada penderita diabetes. Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan penyakit yang dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal atau stroke (Tandra, 2008).

Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah pada penderita dengan usia 18 tahun ke atas menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure adalah sebagai berikut :

Tabel I. Penggolongan Hipertensi

Kategori Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Normal < 80 < 120

Prehipertensi 80-89 120-139

Hipertensi stage 1 90-99 140-159

Hipertensi stage 2 ≥100 ≥160

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006) Sedangkan berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi dua yaitu hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial atau sering disebut hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi yang terjadi tanpa penyebab yang spesifik. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam golongan ini. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain (Setiawati dan Bustami, 1995).

B. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus

Diabetes melitus biasa ditemukan pada usia di atas 45 tahun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Sedangkan hipertensi mulai timbul pada usia 55 tahun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2006). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diabetes melitus paling banyak diderita pada kelompok usia di atas 50 tahun dan didominasi oleh perempuan. Pada usia yang lebih lanjut yaitu di atas 70 tahun, jumlah penderita diabetes melitus disertai hipertensi sudah berkurang (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

Dari hasil penelitian sebelumnya menyatakan lama perawatan yang paling banyak (46,67%) adalah 4-6 hari dengan 66,67% hingga 81,3% keadaan pasien membaik saat meninggalkan rumah sakit (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

C. Profil Obat yang Digunakan Pada Penatalaksanaan DM Tipe 2 dengan Hipertensi

Tujuan utama terapi dari diabetes dengan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan hipertensi serta meningkatkan kualitas hidup pasien (Motala, 1996).

Sasaran atau target penurunan tekanan darah pada pasien DM yang disertai hipertensi adalah dibawah 130/80mmHg. Strategi terapi yang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu non-farmakologi dengan mengubah pola hidup dan farmakologi dengan obat antihipertensi oral. Modifikasi gaya hidup saja tidak cukup untuk pasien diabetes dengan hipertensi. Sedangkan pemilihan obatnya

tergantung pada tingginya tekanan darah dan adanya indikasi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat. Modifikasi pola hidup yang dapat dilakukan untuk menurunkan kadar glukosa dan tekanan darah antara lain menurunkan berat badan, melakukan latihan fisik seperti aerobik secara teratur, mengurangi konsumsi garam, kolesterol, lemak jenuh dan membatasi minuman beralkohol (maksimal 20-30ml sehari). Bagi perokok sebaiknya berhenti merokok (Setiawati dan Bustami, 1995).

Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang dapat mengobati dan mencegah penyakit menjadi lebih parah. Pada penelitian sebelumnya diberikan obat dari 9 kelas terapi obat yaitu golongan kardiovaskular, hormonal, gizi-darah, sistem saraf pusat, sistem saluran cerna, sistem saluran nafas, antiradang, analgesik dan antibiotik (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

Pemberian obat golongan gizi dan darah ditujukan untuk meningkatkan kondisi pasien sehingga proses penyembuhan pasien menjadi lebih cepat (Meirinawati, 2007). Menurut hasil penelitian Herlinawati (2009), obat golongan ini digunakan pada semua pasien. Menurut hasil penelitian Meirinawati (2007) persentase penggunaan obat golongan ini sebesar 43,33%.

Pemberian obat golongan sistem saraf pusat bertujuan untuk mengurangi rasa cemas pada pasien sehingga pasien menjadi tenang dan dapat beristirahat. Istirahat yang cukup dibutuhkan oleh pasien dalam proses penyembuhan suatu

penyakit (Widyastuti, 2007). Menurut hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) persentase penggunaan obat golongan sistem saraf pusat berturut-turut adalah 21,88% dan 36,67%.

Obat golongan antiinfeksi dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakteri yang menyertai penderita diabetes melitus seperti ulkus dan ganggren supaya tidak menjadi lebih parah. Pasien diabetes melitus juga rentan terhadap penyakit infeksi terutama infeksi saluran kemih dan infeksi saluran nafas (Herlinawati, 2009). Pada penelitian sebelumnya obat golongan ini digolongkan menjadi golongan antibiotik dengan persentase pemakaiannya pada hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing adalah 62,5% dan 56,67%.

Pemberian golongan sistem saluran cerna perlu diberikan kepada pasien diabetes melitus untuk mengantisipasi efek samping dari antidiabetik. Hasil penelitian Herlinawati (2009) menunjukan persentase penggunaan obat golongan ini adalah 34,38% sedangkan menurut Meirinawati (2007) adalah 30%.

Obat golongan sistem saluran napas digunakan untuk mengobati penyakit penyerta berupa asma dan batuk (Herlinawati, 2009). Menurut hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing adalah 12,5% dan 10%.

Obat golongan sistem obstretik, ginekologik dan saluran kemih digunakan pada pasien dengan gangguan pada saluran kemih. Pada penelitian sebelumnya tidak terdapat obat golongan ini karena sistem penggolongan obat yang berbeda.

Pemberian obat golongan otot skelet dan sendi diberikan pada pasien dengan nyeri sendi dan nyeri otot (Widyastuti, 2007). Pada penelitian Meirinawati (2007) obat golongan ini digolongkan menjadi golongan obat anti radang, reumatik, encok dengan persentase penggunaan 10%. Sedangkan pada penelitian Herlinawati (2009) persentase penggunaannya sebesar 12,5%.

D. Profil Antihipertensi yang Digunakan Pada Penatalaksanaan DM Tipe 2 dengan Hipertensi

Golongan obat yang dapat dipakai untuk mengobati hipertensi pada penyandang diabetes dengan hipertensi adalah antihipertensi golongan

Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (penghambat ACE), Angiotensin Receptors Blocker (ARB), diuretika, β-bloker, dan antagonis kalsium (Sassen dan MacLaughin, 2008).

1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (penghambat ACE)

Mekanisme kerja penghambat ACE adalah dengan mengurangi pembentukan angiotensin II sehingga menimbulkan terjadinya vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan ekskresi natrium dan air serta terjadi retensi kalium. Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan darah. Penghambat ACE merupakan golongan antihipertensi tahap pertama yang efektif untuk hipertensi ringan, sedang dan berat. Obat yang termasuk golongan ini adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, kuinapril, perindopril, silazapril, benazepril, delapril dan fosinopril (Setiawati dan Bustami, 1995).

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi dengan Indikasi Spesifik

(Sassen dan MacLaughin, 2008)

Penghambat ACE tidak mempunyai efek samping pada lipid atau kadar glukosa dan dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek samping yang ditimbulkan berupa hiperkalemia pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (Motala, 1996) Obat golongan penghambat ACE dapat berinteraksi dengan alopurinol yang menyebabkan efek antihipertensi dari golongan penghambat ACE berkurang (Tatro, 2007)

Pada hasil penelitian sebelumnya, presentase penggunaan antihipertensi golongan ini cukup tinggi dengan penggunaan paling banyak kaptopril yaitu 21,9% dan 36,67% (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

2. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) atau Antagonis Angiotensin II

Antagonis Angiotensin II dapat mengurangi komplikasi diabetes dan merupakan terapi pilihan untuk mengontrol hipertensi pada pasien dengan diabetes (Whalen dan Stewart, 2008).

Sifat obat golongan ini mirip dengan golongan Penghambat ACE, tetapi obat ini tidak memecah bradikinin sehingga tidak menimbulkan batuk kering persisten yang merupakan efek samping dari penghambat ACE. Hal ini membuat obat golongan ini dapat digunakan sebagai alternatif dari obat golongan penghambat ACE pada pasien yang tidak dapat mentoleransi batuk kering persisten akibat penggunaan obat golongan penghambat ACE (Neal, 2006)

Sama halnya dengan obat golongan penghambat ACE, obat golongan ARB ini juga dapat berinteraksi dengan alopurinol yang menyebabkan efek antihipertensi dari golongan ARB berkurang (Tatro, 2007)

Pada hasil penelitian Meirinawati (2007), persentase penggunaan obat golongan ini cukup rendah yaitu sebesar 13,33% dengan penggunaan losartan pada 1 pasien dan 3 pasien menggunakan valsartan. Hal ini berbeda jauh dengan hasil penelitian Herlinawati (2009). Persentase penggunaan antihipertensi golongan ini paling besar yaitu 78,2%. Persentase paling banyak

adalah pada penggunaan valsartan yaitu sebesar 71,9% (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

3. Diuretika

Obat golongan ini menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel. Diuretika secara tunggal dapat digunakan untuk mengobati hipertensi essensial ringan dan sedang. Pada hipertensi yang lebih berat dapat digunakan kombinasi diuretika dengan obat simpatolitik dan vasodilator (Benowitz dan Bourne, 1989).

Obat golongan diuretika kuat, misalnya furosemid, dapat digunakan untuk pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal atau payah jantung. Diuretika hemat kalium, seperti spironolakton, merupakan diuretika lemah yang berguna untuk mencegah terjadinya kekurangan kalium sebagai akibat pemberian diuretika yang lain (Setiawati dan Bustami, 1995).

Dari hasil penelitian sebelumnya persentase penggunaan diuretika adalah sebesar 16,33% dan 50%. Pada penelitian Meirinawati (2007), persentase penggunaan furosemid adalah 13,33% dan persentase penggunaan diuretika tiazid hanya 3,33%. Pada penelitian Herlinawati (2009), persentase penggunaan furosemid dan hidroklorotiazid masing-masing adalah 15,6% dan 34,4%.

Gambar 2. Mekanisme Kerja Antihipertensi

(Sassen dan MacLaughin, 2008)

4. Penghambat beta atau β-bloker

Mekanisme antihipertensi dari β-bloker masih belum jelas, namun sebagai antihipertensi diperkirakan bekerja dengan cara mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard, menghambat pelepasan norepinefrin melalui hambatan reseptor β-2 prasinaps serta menghambat sekresi renin melalui hambatan reseptor β-1 di ginjal (Setiawati dan Bustami, 1995).

Obat golongan ini berfungsi untuk mengobati hipertensi, nyeri dada, dan detak jantung yang tidak teratur serta dapat membantu mencegah

serangan jantung berikutnya. Obat ini bekerja dengan memblok efek adrenalin dan bekerja di jantung untuk meringankan kerja jantung sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006). Contoh obat golongan ini adalah propanolol, nadolol, atenolol dan pindolol (Setiawati dan Bustami, 1995).

Obat golongan penyekat beta harus digunakan dengan hati-hati pada penderita diabetes melitus karena obat ini dapat menutupi terjadinya hipoglikemia terselubung apabila digunakan bersamaan dengan antidiabetika oral. Selain itu, efek antihipertensi dari golongan ini dapat berkurang akibat penggunaan bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid. Bradikardi dan depresi miokardial dapat terjadi apabila digunakan bersama dengan golongan antagonis kalsium (Tatro, 2007)

Pada hasil penelitian sebelumnya, penggunaan antihipertensi golongan ini sangat rendah. Bahkan hasil penelitian Meirinawati (2007), tidak ditemukan adanya penggunaan antihipertensi golongan ini. Hasil penelitian Herlinawati (2009) menunjukan persentase penggunaan antihipertensi ini adalah sebesar 6,2% dengan penggunaan bisoprolol dan propanolol (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

5. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium dapat menurunkan kejadian kardiovaskular pada pasien diabetes dengan hipertensi. Antagonis kalsium dengan β-bloker, penghambat ACE atau α-bloker dapar memberikan efek yang baik. Namun,

kombinasi dengan diuretika hanya memberikan efek yang kecil (Setiawati dan Bustami, 1995).

Antagonis kalsium menurunkan tekanan darah dengan memperlambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung dan dinding arteri yang membawa darah dari jantung ke jaringan sehingga arteri menjadi relaks dan dapat menurunkan tekanan dan aliran darah di jantung (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

Antagonis kalsium golongan dihidropiridon mempunyai efek netral terhadap parameter metabolik baik pada penderita diabetes tipe 2 dengan hipertensi. Dalam sebuah studi singkat menggunakan diltiazem dan verapamil (antagonis kalsium golongan non-dihidropiridon) menurunkan proteinuria pada pasien dengan nefropati diabetes. Namun, dalam studi yang lebih lama tidak menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus (Pacheco, Parot, Raskin, 2002).

Penggunaan antagonis kalsium pada penelitian sebelumnya cukup tinggi. Pada penelitian Meirinawati (2007), persentase penggunaan paling banyak adalah amlodipin besilat yaitu 23,34%. Persentase penggunaan nifedipin dan diltiazem masing-masing adalah 16,33% dan 3,33%. Menurut penelitian Herlinawati (2009), persentase penggunaan nifedipin, amlodipin dan diltiazem berturut-turut adalah 12,5%, 9,4% dan 9,4% (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009)

E. Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) atau sering disebut dengan Drug Teraphy Problems (DTP) merupakan masalah yang sering timbul dalam pengobatan dan tidak diharapkan oleh pasien. DRPs dibagi menjadi dua kelompok yaitu Actual DRPs dan Potential DRPs. Actual DRPs adalah masalah yang benar-benar terjadi terkait dengan pengobatan yang diberikan kepada pasien. Sedangkan Potential DRPs adalah masalah yang diduga akan terjadi berkaitan dengan pengobatan yang akan diterima oleh pasien tersebut. Kedua jenis DRPs ini membutuhkan campur tangan farmasis untuk mengatasinya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Masalah yang termasuk dalam DRPs adalah sebagai berikut : 1. Ada obat tanpa indikasi

Obat yang digunakan dalam terapi tidak dibutuhkan karena pasien tidak mengalami indikasi klinis dari obat bersangkutan pada saat menjalani terapi. Penyebabnya adalah tidak adanya indikasi medis yang tepat untuk terapi obat yang diberikan. Misalnya pasien mengalami stress sehingga tekanan darahnya mencapai 140/80 mmHg dan diberikan antihipertensi. Sebenarnya pemberian antihipertensi ini kurang tepat karena tekanan darah pasien melonjak disebabkan oleh stress sehingga cukup dengan terapi non farmakologis saja (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Selain itu dapat juga disebabkan adanya penggunaan obat yang bersifat polifarmasi. Misalnya pasien mengalami batuk dan diberi obat batuk yang sudah terdapat parasetamol untuk mengatasi demam pasien. namun, pasien

diberikan lagi parasetamol dalam bentuk tablet (Cipolle, Linda, Peter, 2004).

Pemberian obat tanpa indikasi ini tentunya akan merugikan pasien secara finansial karena membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan. DRPs kategori ini juga dapat menimbulkan dampak negatif pada pasien berupa efek samping atau toksisitas (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2005).

2. Membutuhkan obat tambahan

Obat tambahan dibutuhkan untuk mengobati atau mencegah berkembangnya penyakit atau kondisi medis. Obat tambahan juga dapat terjadi pada kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tambahan untuk memperoleh efek sinergis atau adiktif (Cipolle, dkk, 2004).

Misalnya pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi yang memerlukan antidiabetes dan antihipertensi. Namun dalam kenyataannya, pasien tidak menerima antihipertensi padahal tekanan darah pasien cukup tinggi. Selain itu, pasien diabetes melitus dengan hipertensi rentan terhadap penyakit kardiovaskular misalnya jantung sehingga diperlukan obat yang dapat menjaga jantung untuk mencegah penyakit jantung. Jika tekanan darah tidak kunjung mencapai target yang diharapkan, dibutuhkan antihipertensi lain sebagai kombinasi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2005).

3. Pemilihan obat yang tidak tepat

Pemilihan obat yang kurang tepat meliputi obat yang digunakan tidak atau kurang efektif (pasien menerima obat tetapi bukan yang paling efektif untuk indikasi yang diobati), pasien alergi terhadap obat yang diberikan, pasien resisten terhadap obat yang digunakan, pemilihan bentuk sediaan yang kurang tepat dan adanya polifarmasi yaitu pemberian berbagai macam obat dengan komposisi yang sama secara bersamaan (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

4. Dosis tidak sesuai

Obat dapat menimbulkan respon yang diinginkan jika dosis yang diberikan dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, evaluasi pada dosis obat yang diberikan meliputi jumlah dosisnya yaitu apakah dosis terlalu rendah, cukup atau terlalu tinggi. Jika dosis terlalu rendah efek obat yang diharapkan tidak dapat tercapai. Sedangkan jika dosis terlalu tinggi dapat menyebabkan toksisitas. Selain pemberian dosis, interaksi obat juga dapat menyebabkan penurunan efek terapi. Dalam dosis yang cukup, obat dapat menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak diharapkan dalam terapi (Cipolle, dkk, 2004).

Hasil penelitian terdahulu (Meirinawati, 2007) menunjukan adanya kasus DRPs sebanyak 7 kasus dari 30 kasus dengan rincian 6 kasus pilihan obat tidak tepat dan 2 kasus dosis terlalu rendah. Sedangkan hasil penelitian Herlinawati (2009) menunjukan adanya 6 kasus ADR dan interaksi obat, 2 kasus dosis terlalu

tinggi, 2 kasus obat kurang efektif, 1 kasus tidak butuh obat dan 4 kasus butuh obat dari 32 kasus.

F. Keterangan Empiris

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang, meliputi karakteriksik pasien, profil obat, profil antihipertensi dan Drug Related Problems (DRPs).

25

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian deskriptif yang bersifat retrospektif. Observasional karena dalam penelitian ini tidak terdapat perlakuan terhadap subyek uji. Deskriptif karena penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan secara obyektif. Retrospektif karena data yang digunakan dalam penelitian diambil dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen terdahulu, yaitu data lembar catatan rekam medik pasien (Notoatmodjo, 2005)

B. Definisi Operasional

1. Pasien adalah penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi yang menjalani perawatan di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010.

2. IRNA adalah instalasi rawat inap.

3. Kritertia hipertensi ditentukan dengan melihat diagnosis masuk, diagnosis kerja dan diagnosis keluar serta tingginya tekanan darah pasien.

4. Karakteristik pasien yang dimaksud meliputi umur, jenis kelamin, lama perawatan di rumah sakit dan keadaan pasien pada saat keluar dari rumah sakit.

5. Profil obat yang dimaksud adalah kelas terapi obat, jenis obat dan aturan pemakaian obat.

6. Obat yang dievaluasi adalah obat antihipertensi yang diberikan pada penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi.

7. Drug related problems (DRPs) yang dimaksud meliputi ada indikasi tanpa obat, membutuhkan obat tambahan, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi yang dikaji berdasarkan Hypertensive Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001) dan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006) serta interaksi obat dan efek samping obat yang dikaji berdasarkan Drug Interaction Facts (Tatro, 2007) 8. Efek samping obat yang dimaksud adalah efek samping yang timbul akibat

penggunaan antihipertensi yang dikeluhkan pasien selama dirawat di rumah sakit dan tercatat di lembar rekam medis.

9. Interaksi obat yang dimaksud adalah kemungkinan adanya interaksi antara antihipertensi dengan obat lain yang diberikan selama pasien dirawat di rumah sakit.

10.Nama obat yang dimaksud adalah nama generik, kecuali obat yang mengandung lebih dari 2 macam zat aktif digunakan nama zat aktif utama pada obat paten kombinasi.

11.Diagnosis masuk adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis saat pasien masuk rumah sakit.

12.Diagnosis kerja adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis selama pasien dirawat di rumah sakit.

13.Diagnosis keluar adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis saat pasien keluar dari rumah sakit.

C.Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi yang menjalani perawatan di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010.

D.Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah data rekam medis pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010.

E.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di IRNA Rumah Sakit Harapan, Jalan P. Senopati 11 Magelang.

F. Tata Cara Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan

Perencanaan dilakukan dengan melakukan studi pustaka mengenai diabetes khususnya diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi, penentuan masalah beserta cara analisis masalah, dan perijinan yang berkaitan dengan

pengambilan rekam medik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang. Kemudian dilanjutkan dengan pencarian informasi mengenai kemungkinan diadakannya penelitian di Rumah Sakit Harapan Magelang.

2. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data didahului dengan mencari tahu jumlah angka kejadian diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010 yang diperoleh dari Sub-Bagian Rekam Medik. Dari Sub-Sub-Bagian Rekam Medik didapatkan printout

yang berisi nomor rekam medik, hasil diagnosis, tanggal keluar dan keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit. Data tersebut digunakan untuk mendapatkan data pasien diabetes melitus tipe 2 diserai hipertensi dengan menelusuri lembar rekam medik secara keseluruhan.

Pada saat pengumpulan data digunakan blanko yang berisi identitas pasien, diagnosis masuk, diagnosis kerja, diagnosis keluar, obat yang diberikan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan keluhan pasien saat masuk rumah sakit serta selama pasien menjalani perawatan. Identitas pasien berisi nama, umur dan jenis kelamin, kelas perawatan, tanggal masuk dan tanggal keluar pasien serta lama perawatan. Kategori obat yang diberikan berisi jenis obat, dosis obat, aturan pemakaian obat, waktu pemakaian obat dan lama pemakaian obat. Pemeriksaan fisik berisi pemeriksaan tekanan darah, suhu tubuh dan denyut nadi. Pemeriksaan laboratorium yang digunakan meliputi glukosa darah puasa, glukosa darah post prandial,

glukosa darah sewaktu, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, asam urat, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida.

3. Tahap Pengolahan Data

Dari sub bagian rekam medik didapatkan 130 kasus diabetes melitus tipe 2. Dari 130 kasus tersebut didapatkan 29 kasus diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi. Data yang didapatkan dari 29 kasus tersebut kemudian dilakukan

Dokumen terkait