• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT HARAPAN MAGELANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT HARAPAN MAGELANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu F"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Diajukan oleh :

Margareta Krisantini Punto Arsi NIM : 078114025

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Diajukan oleh :

Margareta Krisantini Punto Arsi NIM : 078114025

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

Saya tidak patah semangat karena setiap usaha yang

salah adalah satu langkah maju

(Thomas Alva Edison)

)

Karya kecil yang dibuat dengan jerih payah ini saya persembahkan kepada

Yesus Kristus yang selalu menyertai dan mendampingi perjalanan hidupku Kedua orang tuaku yang selalu menyayangi dan mencintaiku serta

memberikan motivasi kepadaku setiap saat

Kedua kakakku yang selalu memberiku motivasi dan panutan yang baik Sahabat-sahabatku yang telah mewarnai hidupku

(6)
(7)

vii

Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi

Penggunaan Antihpertensi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang“. Skripsi ini disusun untuk memenuhi

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Farmasi (S. Farm.).

Selama proses penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah terlibat

memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan sehingga dapat berjalan dengan

lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang

telah membantu baik langsung maupun tidak langsung, yaitu kepada :

1. dr. Hasman Budiono, M.Kes selaku direktur Rumah Sakit Harapan Magelang

yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian.

2. Ibu Shinta selaku sekretariat Rumah Sakit Harapan Magelang atas bantuan

selama perijinan dan penelitian berlangsung.

3. Ibu Ami selaku staff rekam medis bagian rawat inap dan seluruh staff rekam

medis atas ijin, kerjasama dan bantuan saat penelitian berlangsung.

4. dr. Dwi Budi, dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Harapan

Magelang yang telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan

penulis.

5. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta serta sebagai Dosen Pembimbing

(8)

viii

masukan, saran serta motivasi selama penyusunan skripsi.

8. dr. Fenty, M.Kes.,SpPK yang telah berkenan menjadi dosen penguji,

terimakasih untuk saran dan masukannya.

9. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. yang telah berkenan menjadi dosen

penguji, terimakasih untuk saran dan masukannya.

10.Bapak A. Punto WS dan Ibu M.I Kristiastuti, ayahanda dan ibunda tercinta

atas doa, cinta, semangat dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis.

11.Kedua kakanda tersayang, Mas Ardi dan Mas Iwan atas doa dan dukungan

yang diberikan kepada penulis.

12.Mas Wawan, sahabat sekaligus kakak bagi penulis atas cinta, doa, semangat,

dukungan, perhatian, pengorbanan serta canda tawa yang sangat berarti bagi

penulis.

13.Rekan seperjuangan sekaligus sahabat terkasih Titin, Dinar, Mikha, Eva,

Helen, terimakasih atas cinta dan persahabatan yang indah selama ini.

14.Segenap penghuni kos AMAKUSA, Titin, Udin, Ana, Adel, Citra, Ratih,

Dian, Dewi, Uut, Yemi, Metri, Herta, Berta, Mayke, Meli, Sefi, Rina, Ita,

Cyntia, atas kebersamaan, persahabatan, canda tawa dan dukungan selama ini.

15.Teman-teman Farmasi khususnya FKK A 2007 atas segala kenangan, suka

dan duka yang ditorehkan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas

(9)

ix

saran, kritik dan masukan yang bersifat membangun. Semoga karya tulis yang

sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Yogyakarta, 12 Januari 2011

(10)
(11)

xi

hipertensi cukup tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 disertai hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010.

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan deskriptif, pengambilan datanya dilakukan secara retrospektif menggunakan rekam medis pasien. Hasil yang diperoleh menunjukan penderita diabetes melitus tipe 2 disertai hipertensi paling banyak terjadi pada kelompok usia 65-74 tahun (38%) dan pada jenis kelamin laki-laki (59%) dengan lama perawatan paling banyak selama 4, 6 dan 8 hari (21%). Kelas terapi obat yang paling banyak digunakan adalah gizi dan darah, sistem kardiovaskular dan sistem endokrin (100%). Golongan antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah penghambat ACE (48,28%).

Dari hasil analisis Drug Related Problems ditemukan 16 kasus DRPs dengan rincian 2 kasus membutuhkan obat tambahan, 2 kasus pemilihan obat tidak sesuai, 12 kasus dosis tidak tepat, 1 kasus interaksi obat dan 2 kasus efek samping obat. Setelah menjalani terapi di rumah sakit, 28 pasien meninggalkan rumah sakit dalam keadaan membaik.

(12)

xii

with hypertension at the inpatient installation of Harapan Hospital Magelang period July 2009-June 2010.

The study was observational descriptive design, data performed retrospectively using patient records. The results showed the most prevalent in the age 65-74 years (38%) and the male gender (59%) with at most care long for 4, 6 and 8 days (21%). Therapeutic classes of drugs most widely used is the nutrition and blood, cardiovascular system and endocrine system (100%). ACE inhibitors (48.28%) is the most widely used in antihypertensive class.

From the results of analysis of Drug Related Problems found 16 cases of DRPs with details of 2 cases of needs additional drug therapy, 2 cases of improper drug selection, 12 cases of dosage too low and too high, 1 cases of drug interactions and 2 cases of side effects. After treatment in hospital, 28 patients left the hospital in a better condition.

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN .. ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi

PRAKATA ... ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x

INTISARI ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Rumusan Masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian ... 4

3. Manfaat Penelitian ... 6

B. Tujuan ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

(14)

xiv

B. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus ... 11

C. Profil Obat yang Digunakan Pada Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi... 11

D. Profil Antihipertensi yang Digunakan Pada Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi ... 14

1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (Penghambat ACE) ... 14

2. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) ... 16

3. Diuretika ... 17

4. Penghambat Beta ... 18

5. Antagonis Kalsium ... 19

E. Drug Related Problems (DRPs) ... 21

1. Ada Obat Tanpa Indikasi ... 21

2. Membutuhkan Obat Tambahan ... 22

3. Pemilihan Obat yang Tidak Tepat... 23

4. Dosis Tidak Sesuai ... 23

F. Keterangan Empiris ... 24

BAB III METODE PENELITIAN... 25

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 25

B. Definisi Operasional... 25

(15)

xv

1. Tahap Perencanaan... 27

2. Tahap Pengumpulan Data ... 28

3. Tahap Pengolahan Data... 29

G. Tata Cara Analisis Hasil... 29

H. Kelemahan dan Kesulitan Penelitian ... 32

BAB IV PEMBAHASAN ... 33

A. Karakteristik Pasien ... 33

B. Profil Obat ... 38

C. Profil Antihipertensi ... 48

D. Drug Related Problems Penggunaan Antihipertensi pada Pasien Diabetes Melitus dengan Hipertensi ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 62

(16)

xvi

Tabel I. Penggolongan Hipertensi... 10

Tabel II. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Gizi dan

Darah pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah

Sakit Harapan Magelang ... 40

Tabel III. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem

Endokrin Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA

Rumah Sakit Harapan Magelang ... 41

Tabel IV. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem

Kardiovaskular Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di

IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 42

Tabel V. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem

Saraf Pusat pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA

Rumah Sakit Harapan Magelang ... 43

Tabel VI. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat

Antiinfeksi pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA

Rumah Sakit Harapan Magelang ... 44

Tabel VII. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem

Saluran Cerna pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA

(17)

xvii

Tabel IX. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem

Obstretrik, Ginekologik dan Saluran Kemih Kelamin pada Pasien

DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan

Magelang ... 47

Tabel X. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Otot

Skelet dan Sendi pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di

IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 48

Tabel XI. Distribusi Golongan dan Nama Generik Antihipertensi pada Pasien

DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan

Magelang ... 49

Tabel XII. Distribusi Kasus DRPs Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

(18)

xviii

Gambar 2. Mekanisme Kerja Antihipertensi ... 18

Gambar 3. Distribusi Umur Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA

Rumah Sakit Harapan Magelang ... 33

Gambar 4. Distribusi Jenis Kelamin Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di

IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 35

Gambar 5. Distribusi Lama Perawatan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 37

Gambar 6. Distribusi Keadaan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi Pada Saat

Keluar dari Rumah Sakit ... 38

Gambar 7. Distribusi Kelas Terapi Obat Pada Pasien DM Tipe 2 dengan

(19)

xix

Lampiran 2. Blanko Pengambilan Data ... 63

Lampiran 3. Data Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA

Rumah Sakit Harapan Magelang ... 64

(20)

1

Diabetes melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia. Diabetes melitus berhubungan dengan abnormalitas

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Komplikasi kronik dari diabetes

melitus termasuk gangguan mikrovaskuler dan makrovaskuler (Triplitt,

Reasner, Isley, 2008)

Pada tahun 2000, 150 juta penduduk di dunia mengidap diabetes melitus

dan meningkat dua kali lipat pada tahun 2005 (Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinis, 2005). Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat 12,4

juta penderita DM di Indonesia pada tahun 2025 serta menempati urutan ke 4

negara dengan penderita DM terbanyak (Arief, 2007)

Hipertensi berkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah ≥140/90 mmHg. Hipertensi lebih sering ditemukan 1,5 sampai 3 kali pada penderita diabetes

dibandingkan dengan yang tanpa diabetes (WHO, 2006b). Hal ini dikarenakan

pada penderita diabetes melitus tipe 2 mengalami resistensi insulin dan atau

hiperinsulinemia. Kondisi hiperinsulinemia dapat menyebabkan retensi natrium,

meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan meningkatkan kalsium

intraseluler yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah (Sassen dan

(21)

Penderita diabetes dengan hipertensi mempunyai risiko kematian

kardiovaskular dua kali lebih besar dibandingkan penderita diabetes tanpa

hipertensi. Penderita diabetes dengan hipertensi juga meningkatkan risiko

terjadinya retinopati dan nefropati (WHO, 2006b).

Penurunan tekanan darah telah menunjukkan adanya penurunan

terjadinya komplikasi. Setiap penurunan 10 mmHg tekanan darah sistolik

menunjukkan penurunan kematian sebesar 15%, penurunan komplikasi

diabetes sebesar 12% dan penurunan infark miokard sebesar 11%. Oleh karena

itulah, tatalaksana hipertensi pada diabetes harus lebih agresif dengan target

tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg (WHO, 2006a).

Berdasarkan teori mengenai hipertensi, hipertensi mulai muncul pada

usia 55 tahun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2006). Menurut

hasil penelitian, diabetes melitus dengan hipertensi paling banyak diderita pada

kelompok usia di atas 50 tahun serta lebih banyak diderita oleh perempuan

(Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

Pada penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi

digunakan berbagai macam kelas terapi obat. Menurut hasil penelitian

sebelumnya digunakan obat-obat dari 9 kelas terapi obat dengan persentase

pemakaian yang paling banyak adalah golongan kardiovaskular, gizi dan darah,

serta hormonal (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

Antihipertensi yang merupakan drug of choice dalam penatalaksanaan hipertensi pada diabetes melitus adalah obat golongan penghambat ACE dan

(22)

kombinasi adalah golongan diuretik, beta bloker dan antagonis kalsium

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2006)

Penatalaksanaan hipertensi pada penderita diabetes perlu disertai dengan

evaluasi Drug Related Problems untuk mengetahui kesesuaian terapi yang diberikan dengan standar yang berlaku dan untuk memilih terapi yang tepat

sesuai kondisi pasien. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi

baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler yang merupakan penyakit

komplikasi diabetes (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).

Apabila penatalaksanaan hipertensi pada penderita diabetes melitus ini

dilaksanakan dengan baik, akan menghasilkan dampak terapi atau outcome

yang diinginkan. Dampak terapi yang ingin dicapai adalah perbaikan kondisi

pasien. Menurut hasil penelitian sebelumnya, sebagian besar penderita diabetes

melitus dengan hipertensi meninggalkan rumah sakit dalam keadaan membaik

(Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Harapan Magelang karena rumah

sakit ini sering menjadi rujukan bagi pasien dengan kondisi ekonomi menengah

ke atas untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai. Angka kejadian diabetes

melitus di rumah sakit ini menurut data dari rekam medis cukup banyak yaitu

130 kasus selama Juli 2009-Juni 2010. Di rumah sakit ini juga belum pernah

ada penelitian mengenai penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes tipe 2

dengan hipertensi di IRNA. IRNA lebih dipilih karena di instalasi ini

pemberian obat dan pemantauan obat lebih intensif dan lebih terkontrol

(23)

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, penulis

tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai penggunaan antihipertensi

pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di IRNA Rumah Sakit

Harapan Magelang.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan sehubungan dengan pasien diabetes melitus tipe 2 dengan

hipertensi di IRNA Rumah Sakit Magelang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Seperti apakah karakteristik pasien yang meliputi umur, jenis kelamin,

lama perawatan dan keadaan pasien pada waktu keluar dari rumah sakit?

b. Seperti apakah profil obat yang digunakan, meliputi kelas terapi obat, jenis

obat dan aturan pemakaian obat?

c. Seperti apakah profil obat yang digunakan, meliputi golongan obat, jenis

obat dan aturan pemakaian obat?

d. Apakah terdapat drug related problems (DRPs) dalam penggunaan antihipertensi pada pasien tersebut?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai “Evaluasi Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien

(24)

Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai diabetes

melitus tipe 2 antara lain:

a. Kajian Pemilihan Obat Hipoglikemik Oral Pada Terapi Pasien Diabetes

Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Pada Periode November-Desember 2002 (Wijoyo, 2004)

b. Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Pasien Diabetes Melitus Komplikasi

Hipertensi Rawat Inap Periode 2005 Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta (Meirinawati, 2007)

c. Evaluasi Pemilihan dan Penggunaan Obat Antidiabetes pada Kasus

Diabetes Melitus Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Periode Januari-Desember 2005 (Pertiwi, 2007)

d. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Melitus

Tipe 2 Komplikasi Hipertensi Di Rumah Sakit Umum Dr Sardjito

Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008 (Herlinawati, 2009)

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan

sebelumnya dalam hal lokasi pengamatan, waktu pengamatan, objek

pengamatan dan standar acuan yang digunakan. Penelitian Wijoyo (2004) dan

Pertiwi (2007) mengevaluasi penggunaan antidiabetes sedangkan penelitian

ini mengevaluasi penggunaan antihipertensi.

Standar acuan juga menjadi faktor yang membedakan penelitian ini

dengan penelitian sebelumnya. Standar acuan penelitian ini adalah

(25)

Hypertension dalam Pharmacotherapy: A Pathofisiologic Approach (Sassen dan Maclaughin, 2008), Hypertensive Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001), dan Drug Interactions Facts (Tatro, 2007). Standar acuan penelitian Wijoyo (2004) adalah Konsensus Pengelolaan Diabetes (PERKENI, 2002), Meirinawati

(2007), Pertiwi (2007) dan Herlinawati (2009) adalah American Diabetes Association (2005).

Dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini akan dapat menjadi

pelengkap dari penelitian terdahulu.

3. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada umumnya serta

meningkatkan ketepatan penggunaan obat hipertensi pada pasien diabetes

(26)

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum ditujukan untuk mengevaluasi penggunaan

obat hipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di

instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni

2010.

2. Tujuan Khusus

Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka secara khusus penelitian ini

ditujukan untuk mengetahui :

a. Karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi meliputi

umur, jenis kelamin, lama perawatan dan keadaan pasien pada saat keluar

dari rumah sakit.

b. Profil obat yang digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan

hipertensi, meliputi kelas terapi obat, jenis obat dan aturan pemakaian

obat.

c. Profil antihipertensi yang digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2

dengan hipertensi meliputi golongan obat, jenis obat dan aturan pemakaian

obat.

d. Adanya drug related problems (DRPs) dalam penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi antara lain ada

indikasi tanpa obat, membutuhkan obat tambahan, pemilihan obat yang

(27)

sesuai baku standar Hypertensive Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001), Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi (Anonim, 2006), Hypertension dalam

(28)

9

Diabetes melitus adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme yang

ditandai dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah. Hal ini dikarenakan

kelenjar pankreas dari penderita diabetes melitus tidak dapat menghasilkan insulin

dalam jumlah yang cukup atau tubuh penderita yang tidak dapat menggunakan

insulin dengan baik (Richard, 1989).

Gejala-gejala diabetes melitus adalah sering haus (polidipsi), sering merasa

lapar (polifagia) dan sering kencing (poliuria). Diagnosis diabetes ditegakan

dengan hasil pemeriksaan darah dimana kadar glukosa darah pada saat puasa

diatas 126 mg/dl dan glukosa darah 2 jam sesudah makan di atas 200 mg/dl

(Tandra, 2008). Kadar glukosa darah puasa normal adalah 70-110 mg/dl.

Sedangkan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan adalah < 140 mg/dl (Sutedjo,

2009).

Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi tiga yaitu diabetes melitus tipe 1,

diabetes melitus tipe 2 dan diabetes melitus gestasional. Di antara ketiga jenis

diabetes ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah diabetes melitus tipe 2.

Diabetes melitus tipe 2 sering juga disebut dengan DM tidak tergantung

insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus). Penderita DM tipe ini sekitar 90-95% dari semua kasus DM dan umumnya ditemukan pada orang berusia di

(29)

lingkungan seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta

kurangnya aktifitas fisik (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Pada diabetes melitus tipe 2 sering disertai dengan hipertensi yang dapat

menyebabkan timbulnya komplikasi pada penderita diabetes. Hipertensi atau

tekanan darah tinggi merupakan penyakit yang dapat memicu terjadinya serangan

jantung, retinopati, kerusakan ginjal atau stroke (Tandra, 2008).

Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah pada penderita

dengan usia 18 tahun ke atas menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure adalah sebagai berikut :

Tabel I. Penggolongan Hipertensi

Kategori Tekanan Darah Diastolik (mmHg)

Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Normal < 80 < 120

Prehipertensi 80-89 120-139

Hipertensi stage 1 90-99 140-159

Hipertensi stage 2 ≥100 ≥160

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006) Sedangkan berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi dua yaitu

hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial atau sering disebut

hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi yang terjadi tanpa penyebab

yang spesifik. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam golongan ini.

Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal),

penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain (Setiawati dan

(30)

B. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus

Diabetes melitus biasa ditemukan pada usia di atas 45 tahun (Direktorat

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Sedangkan hipertensi mulai timbul

pada usia 55 tahun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diabetes melitus paling banyak diderita

pada kelompok usia di atas 50 tahun dan didominasi oleh perempuan. Pada usia

yang lebih lanjut yaitu di atas 70 tahun, jumlah penderita diabetes melitus disertai

hipertensi sudah berkurang (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

Dari hasil penelitian sebelumnya menyatakan lama perawatan yang paling

banyak (46,67%) adalah 4-6 hari dengan 66,67% hingga 81,3% keadaan pasien

membaik saat meninggalkan rumah sakit (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

C. Profil Obat yang Digunakan Pada Penatalaksanaan DM Tipe 2 dengan Hipertensi

Tujuan utama terapi dari diabetes dengan hipertensi adalah mengurangi

morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan hipertensi serta

meningkatkan kualitas hidup pasien (Motala, 1996).

Sasaran atau target penurunan tekanan darah pada pasien DM yang disertai

hipertensi adalah dibawah 130/80mmHg. Strategi terapi yang dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu non-farmakologi dengan mengubah pola hidup dan

farmakologi dengan obat antihipertensi oral. Modifikasi gaya hidup saja tidak

(31)

tergantung pada tingginya tekanan darah dan adanya indikasi (Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah

gaya hidup menjadi lebih sehat. Modifikasi pola hidup yang dapat dilakukan

untuk menurunkan kadar glukosa dan tekanan darah antara lain menurunkan berat

badan, melakukan latihan fisik seperti aerobik secara teratur, mengurangi

konsumsi garam, kolesterol, lemak jenuh dan membatasi minuman beralkohol

(maksimal 20-30ml sehari). Bagi perokok sebaiknya berhenti merokok (Setiawati

dan Bustami, 1995).

Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang dapat

mengobati dan mencegah penyakit menjadi lebih parah. Pada penelitian

sebelumnya diberikan obat dari 9 kelas terapi obat yaitu golongan kardiovaskular,

hormonal, gizi-darah, sistem saraf pusat, sistem saluran cerna, sistem saluran

nafas, antiradang, analgesik dan antibiotik (Meirinawati, 2007; Herlinawati,

2009).

Pemberian obat golongan gizi dan darah ditujukan untuk meningkatkan

kondisi pasien sehingga proses penyembuhan pasien menjadi lebih cepat

(Meirinawati, 2007). Menurut hasil penelitian Herlinawati (2009), obat golongan

ini digunakan pada semua pasien. Menurut hasil penelitian Meirinawati (2007)

persentase penggunaan obat golongan ini sebesar 43,33%.

Pemberian obat golongan sistem saraf pusat bertujuan untuk mengurangi

rasa cemas pada pasien sehingga pasien menjadi tenang dan dapat beristirahat.

(32)

penyakit (Widyastuti, 2007). Menurut hasil penelitian Herlinawati (2009) dan

Meirinawati (2007) persentase penggunaan obat golongan sistem saraf pusat

berturut-turut adalah 21,88% dan 36,67%.

Obat golongan antiinfeksi dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakteri

yang menyertai penderita diabetes melitus seperti ulkus dan ganggren supaya

tidak menjadi lebih parah. Pasien diabetes melitus juga rentan terhadap penyakit

infeksi terutama infeksi saluran kemih dan infeksi saluran nafas (Herlinawati,

2009). Pada penelitian sebelumnya obat golongan ini digolongkan menjadi

golongan antibiotik dengan persentase pemakaiannya pada hasil penelitian

Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing adalah 62,5% dan

56,67%.

Pemberian golongan sistem saluran cerna perlu diberikan kepada pasien

diabetes melitus untuk mengantisipasi efek samping dari antidiabetik. Hasil

penelitian Herlinawati (2009) menunjukan persentase penggunaan obat golongan

ini adalah 34,38% sedangkan menurut Meirinawati (2007) adalah 30%.

Obat golongan sistem saluran napas digunakan untuk mengobati penyakit

penyerta berupa asma dan batuk (Herlinawati, 2009). Menurut hasil penelitian

Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing adalah 12,5% dan

10%.

Obat golongan sistem obstretik, ginekologik dan saluran kemih digunakan

pada pasien dengan gangguan pada saluran kemih. Pada penelitian sebelumnya

(33)

Pemberian obat golongan otot skelet dan sendi diberikan pada pasien

dengan nyeri sendi dan nyeri otot (Widyastuti, 2007). Pada penelitian Meirinawati

(2007) obat golongan ini digolongkan menjadi golongan obat anti radang,

reumatik, encok dengan persentase penggunaan 10%. Sedangkan pada penelitian

Herlinawati (2009) persentase penggunaannya sebesar 12,5%.

D. Profil Antihipertensi yang Digunakan Pada Penatalaksanaan DM Tipe 2 dengan Hipertensi

Golongan obat yang dapat dipakai untuk mengobati hipertensi pada

penyandang diabetes dengan hipertensi adalah antihipertensi golongan

Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (penghambat ACE), Angiotensin Receptors Blocker (ARB), diuretika, β-bloker, dan antagonis kalsium (Sassen dan MacLaughin, 2008).

1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (penghambat ACE)

Mekanisme kerja penghambat ACE adalah dengan mengurangi

pembentukan angiotensin II sehingga menimbulkan terjadinya vasodilatasi

dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan ekskresi natrium dan air

serta terjadi retensi kalium. Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan darah.

Penghambat ACE merupakan golongan antihipertensi tahap pertama yang

efektif untuk hipertensi ringan, sedang dan berat. Obat yang termasuk

golongan ini adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, kuinapril,

perindopril, silazapril, benazepril, delapril dan fosinopril (Setiawati dan

(34)

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi dengan Indikasi Spesifik

(Sassen dan MacLaughin, 2008)

Penghambat ACE tidak mempunyai efek samping pada lipid atau kadar

glukosa dan dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek samping yang

ditimbulkan berupa hiperkalemia pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal

(Motala, 1996) Obat golongan penghambat ACE dapat berinteraksi dengan

alopurinol yang menyebabkan efek antihipertensi dari golongan penghambat

(35)

Pada hasil penelitian sebelumnya, presentase penggunaan antihipertensi

golongan ini cukup tinggi dengan penggunaan paling banyak kaptopril yaitu

21,9% dan 36,67% (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

2. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) atau Antagonis Angiotensin II

Antagonis Angiotensin II dapat mengurangi komplikasi diabetes dan

merupakan terapi pilihan untuk mengontrol hipertensi pada pasien dengan

diabetes (Whalen dan Stewart, 2008).

Sifat obat golongan ini mirip dengan golongan Penghambat ACE, tetapi

obat ini tidak memecah bradikinin sehingga tidak menimbulkan batuk kering

persisten yang merupakan efek samping dari penghambat ACE. Hal ini

membuat obat golongan ini dapat digunakan sebagai alternatif dari obat

golongan penghambat ACE pada pasien yang tidak dapat mentoleransi batuk

kering persisten akibat penggunaan obat golongan penghambat ACE (Neal,

2006)

Sama halnya dengan obat golongan penghambat ACE, obat golongan

ARB ini juga dapat berinteraksi dengan alopurinol yang menyebabkan efek

antihipertensi dari golongan ARB berkurang (Tatro, 2007)

Pada hasil penelitian Meirinawati (2007), persentase penggunaan obat

golongan ini cukup rendah yaitu sebesar 13,33% dengan penggunaan losartan

pada 1 pasien dan 3 pasien menggunakan valsartan. Hal ini berbeda jauh

dengan hasil penelitian Herlinawati (2009). Persentase penggunaan

(36)

adalah pada penggunaan valsartan yaitu sebesar 71,9% (Meirinawati, 2007;

Herlinawati, 2009).

3. Diuretika

Obat golongan ini menurunkan tekanan darah dengan cara

meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume

plasma dan cairan ekstrasel. Diuretika secara tunggal dapat digunakan untuk

mengobati hipertensi essensial ringan dan sedang. Pada hipertensi yang lebih

berat dapat digunakan kombinasi diuretika dengan obat simpatolitik dan

vasodilator (Benowitz dan Bourne, 1989).

Obat golongan diuretika kuat, misalnya furosemid, dapat digunakan

untuk pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal atau payah jantung.

Diuretika hemat kalium, seperti spironolakton, merupakan diuretika lemah

yang berguna untuk mencegah terjadinya kekurangan kalium sebagai akibat

pemberian diuretika yang lain (Setiawati dan Bustami, 1995).

Dari hasil penelitian sebelumnya persentase penggunaan diuretika

adalah sebesar 16,33% dan 50%. Pada penelitian Meirinawati (2007),

persentase penggunaan furosemid adalah 13,33% dan persentase penggunaan

diuretika tiazid hanya 3,33%. Pada penelitian Herlinawati (2009), persentase

penggunaan furosemid dan hidroklorotiazid masing-masing adalah 15,6% dan

(37)

Gambar 2. Mekanisme Kerja Antihipertensi

(Sassen dan MacLaughin, 2008)

4. Penghambat beta atau β-bloker

Mekanisme antihipertensi dari β-bloker masih belum jelas, namun

sebagai antihipertensi diperkirakan bekerja dengan cara mengurangi denyut

jantung dan kontraktilitas miokard, menghambat pelepasan norepinefrin

melalui hambatan reseptor β-2 prasinaps serta menghambat sekresi renin

melalui hambatan reseptor β-1 di ginjal (Setiawati dan Bustami, 1995).

Obat golongan ini berfungsi untuk mengobati hipertensi, nyeri dada,

(38)

serangan jantung berikutnya. Obat ini bekerja dengan memblok efek

adrenalin dan bekerja di jantung untuk meringankan kerja jantung sehingga

dapat menurunkan tekanan darah (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik, 2006). Contoh obat golongan ini adalah propanolol, nadolol, atenolol

dan pindolol (Setiawati dan Bustami, 1995).

Obat golongan penyekat beta harus digunakan dengan hati-hati pada

penderita diabetes melitus karena obat ini dapat menutupi terjadinya

hipoglikemia terselubung apabila digunakan bersamaan dengan antidiabetika

oral. Selain itu, efek antihipertensi dari golongan ini dapat berkurang akibat

penggunaan bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid. Bradikardi dan

depresi miokardial dapat terjadi apabila digunakan bersama dengan golongan

antagonis kalsium (Tatro, 2007)

Pada hasil penelitian sebelumnya, penggunaan antihipertensi golongan

ini sangat rendah. Bahkan hasil penelitian Meirinawati (2007), tidak

ditemukan adanya penggunaan antihipertensi golongan ini. Hasil penelitian

Herlinawati (2009) menunjukan persentase penggunaan antihipertensi ini

adalah sebesar 6,2% dengan penggunaan bisoprolol dan propanolol

(Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).

5. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium dapat menurunkan kejadian kardiovaskular pada

pasien diabetes dengan hipertensi. Antagonis kalsium dengan β-bloker,

(39)

kombinasi dengan diuretika hanya memberikan efek yang kecil (Setiawati dan

Bustami, 1995).

Antagonis kalsium menurunkan tekanan darah dengan memperlambat

pergerakan kalsium ke dalam sel jantung dan dinding arteri yang membawa

darah dari jantung ke jaringan sehingga arteri menjadi relaks dan dapat

menurunkan tekanan dan aliran darah di jantung (Direktorat Bina Farmasi

Komunitas dan Klinik, 2006).

Antagonis kalsium golongan dihidropiridon mempunyai efek netral

terhadap parameter metabolik baik pada penderita diabetes tipe 2 dengan

hipertensi. Dalam sebuah studi singkat menggunakan diltiazem dan verapamil

(antagonis kalsium golongan non-dihidropiridon) menurunkan proteinuria

pada pasien dengan nefropati diabetes. Namun, dalam studi yang lebih lama

tidak menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus (Pacheco, Parot, Raskin,

2002).

Penggunaan antagonis kalsium pada penelitian sebelumnya cukup

tinggi. Pada penelitian Meirinawati (2007), persentase penggunaan paling

banyak adalah amlodipin besilat yaitu 23,34%. Persentase penggunaan

nifedipin dan diltiazem masing-masing adalah 16,33% dan 3,33%. Menurut

penelitian Herlinawati (2009), persentase penggunaan nifedipin, amlodipin

dan diltiazem berturut-turut adalah 12,5%, 9,4% dan 9,4% (Meirinawati,

(40)

E. Drug Related Problems (DRPs)

Drug Related Problems (DRPs) atau sering disebut dengan Drug Teraphy Problems (DTP) merupakan masalah yang sering timbul dalam pengobatan dan tidak diharapkan oleh pasien. DRPs dibagi menjadi dua

kelompok yaitu Actual DRPs dan Potential DRPs. Actual DRPs adalah masalah yang benar-benar terjadi terkait dengan pengobatan yang diberikan kepada

pasien. Sedangkan Potential DRPs adalah masalah yang diduga akan terjadi berkaitan dengan pengobatan yang akan diterima oleh pasien tersebut. Kedua

jenis DRPs ini membutuhkan campur tangan farmasis untuk mengatasinya

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Masalah yang termasuk dalam DRPs adalah sebagai berikut :

1. Ada obat tanpa indikasi

Obat yang digunakan dalam terapi tidak dibutuhkan karena pasien tidak

mengalami indikasi klinis dari obat bersangkutan pada saat menjalani terapi.

Penyebabnya adalah tidak adanya indikasi medis yang tepat untuk terapi

obat yang diberikan. Misalnya pasien mengalami stress sehingga tekanan

darahnya mencapai 140/80 mmHg dan diberikan antihipertensi. Sebenarnya

pemberian antihipertensi ini kurang tepat karena tekanan darah pasien

melonjak disebabkan oleh stress sehingga cukup dengan terapi non

farmakologis saja (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Selain itu dapat juga disebabkan adanya penggunaan obat yang bersifat

polifarmasi. Misalnya pasien mengalami batuk dan diberi obat batuk yang

(41)

diberikan lagi parasetamol dalam bentuk tablet (Cipolle, Linda, Peter,

2004).

Pemberian obat tanpa indikasi ini tentunya akan merugikan pasien

secara finansial karena membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan.

DRPs kategori ini juga dapat menimbulkan dampak negatif pada pasien

berupa efek samping atau toksisitas (Direktorat Bina Farmasi Komunitas

dan Klinis, 2005).

2. Membutuhkan obat tambahan

Obat tambahan dibutuhkan untuk mengobati atau mencegah

berkembangnya penyakit atau kondisi medis. Obat tambahan juga dapat

terjadi pada kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tambahan untuk

memperoleh efek sinergis atau adiktif (Cipolle, dkk, 2004).

Misalnya pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi yang

memerlukan antidiabetes dan antihipertensi. Namun dalam kenyataannya,

pasien tidak menerima antihipertensi padahal tekanan darah pasien cukup

tinggi. Selain itu, pasien diabetes melitus dengan hipertensi rentan terhadap

penyakit kardiovaskular misalnya jantung sehingga diperlukan obat yang

dapat menjaga jantung untuk mencegah penyakit jantung. Jika tekanan

darah tidak kunjung mencapai target yang diharapkan, dibutuhkan

antihipertensi lain sebagai kombinasi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas

(42)

3. Pemilihan obat yang tidak tepat

Pemilihan obat yang kurang tepat meliputi obat yang digunakan tidak

atau kurang efektif (pasien menerima obat tetapi bukan yang paling efektif

untuk indikasi yang diobati), pasien alergi terhadap obat yang diberikan,

pasien resisten terhadap obat yang digunakan, pemilihan bentuk sediaan

yang kurang tepat dan adanya polifarmasi yaitu pemberian berbagai macam

obat dengan komposisi yang sama secara bersamaan (Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

4. Dosis tidak sesuai

Obat dapat menimbulkan respon yang diinginkan jika dosis yang

diberikan dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, evaluasi pada dosis

obat yang diberikan meliputi jumlah dosisnya yaitu apakah dosis terlalu

rendah, cukup atau terlalu tinggi. Jika dosis terlalu rendah efek obat yang

diharapkan tidak dapat tercapai. Sedangkan jika dosis terlalu tinggi dapat

menyebabkan toksisitas. Selain pemberian dosis, interaksi obat juga dapat

menyebabkan penurunan efek terapi. Dalam dosis yang cukup, obat dapat

menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak diharapkan dalam terapi

(Cipolle, dkk, 2004).

Hasil penelitian terdahulu (Meirinawati, 2007) menunjukan adanya kasus

DRPs sebanyak 7 kasus dari 30 kasus dengan rincian 6 kasus pilihan obat tidak

tepat dan 2 kasus dosis terlalu rendah. Sedangkan hasil penelitian Herlinawati

(43)

tinggi, 2 kasus obat kurang efektif, 1 kasus tidak butuh obat dan 4 kasus butuh

obat dari 32 kasus.

F. Keterangan Empiris

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di

IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang, meliputi karakteriksik pasien, profil obat,

profil antihipertensi dan Drug Related Problems (DRPs).

(44)

25

Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian

deskriptif yang bersifat retrospektif. Observasional karena dalam penelitian ini

tidak terdapat perlakuan terhadap subyek uji. Deskriptif karena penelitian ini

diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan secara

obyektif. Retrospektif karena data yang digunakan dalam penelitian diambil

dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen terdahulu, yaitu data lembar

catatan rekam medik pasien (Notoatmodjo, 2005)

B. Definisi Operasional

1. Pasien adalah penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi yang

menjalani perawatan di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli

2009-Juni 2010.

2. IRNA adalah instalasi rawat inap.

3. Kritertia hipertensi ditentukan dengan melihat diagnosis masuk, diagnosis

kerja dan diagnosis keluar serta tingginya tekanan darah pasien.

4. Karakteristik pasien yang dimaksud meliputi umur, jenis kelamin, lama

perawatan di rumah sakit dan keadaan pasien pada saat keluar dari rumah

sakit.

5. Profil obat yang dimaksud adalah kelas terapi obat, jenis obat dan aturan

(45)

6. Obat yang dievaluasi adalah obat antihipertensi yang diberikan pada

penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi.

7. Drug related problems (DRPs) yang dimaksud meliputi ada indikasi tanpa obat, membutuhkan obat tambahan, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis

terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi yang dikaji berdasarkan Hypertensive

Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001) dan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006) serta interaksi obat dan efek

samping obat yang dikaji berdasarkan Drug Interaction Facts (Tatro, 2007) 8. Efek samping obat yang dimaksud adalah efek samping yang timbul akibat

penggunaan antihipertensi yang dikeluhkan pasien selama dirawat di rumah

sakit dan tercatat di lembar rekam medis.

9. Interaksi obat yang dimaksud adalah kemungkinan adanya interaksi antara

antihipertensi dengan obat lain yang diberikan selama pasien dirawat di rumah

sakit.

10.Nama obat yang dimaksud adalah nama generik, kecuali obat yang

mengandung lebih dari 2 macam zat aktif digunakan nama zat aktif utama

pada obat paten kombinasi.

11.Diagnosis masuk adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis saat pasien

masuk rumah sakit.

12.Diagnosis kerja adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis selama pasien

(46)

13.Diagnosis keluar adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis saat pasien

keluar dari rumah sakit.

C.Subyek Penelitian

Subyek penelitian adalah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi

yang menjalani perawatan di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli

2009-Juni 2010.

D.Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah data rekam medis pasien diabetes

melitus tipe 2 dengan hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

periode Juli 2009-Juni 2010.

E.Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di IRNA Rumah Sakit Harapan, Jalan P.

Senopati 11 Magelang.

F. Tata Cara Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap sebagai berikut:

1. Tahap Perencanaan

Perencanaan dilakukan dengan melakukan studi pustaka mengenai

diabetes khususnya diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi, penentuan

(47)

pengambilan rekam medik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan

Magelang. Kemudian dilanjutkan dengan pencarian informasi mengenai

kemungkinan diadakannya penelitian di Rumah Sakit Harapan Magelang.

2. Tahap Pengumpulan Data

Pengumpulan data didahului dengan mencari tahu jumlah angka kejadian

diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit

Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010 yang diperoleh dari

Sub-Bagian Rekam Medik. Dari Sub-Sub-Bagian Rekam Medik didapatkan printout

yang berisi nomor rekam medik, hasil diagnosis, tanggal keluar dan keadaan

pasien saat keluar dari rumah sakit. Data tersebut digunakan untuk

mendapatkan data pasien diabetes melitus tipe 2 diserai hipertensi dengan

menelusuri lembar rekam medik secara keseluruhan.

Pada saat pengumpulan data digunakan blanko yang berisi identitas

pasien, diagnosis masuk, diagnosis kerja, diagnosis keluar, obat yang

diberikan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan keluhan pasien

saat masuk rumah sakit serta selama pasien menjalani perawatan. Identitas

pasien berisi nama, umur dan jenis kelamin, kelas perawatan, tanggal masuk

dan tanggal keluar pasien serta lama perawatan. Kategori obat yang diberikan

berisi jenis obat, dosis obat, aturan pemakaian obat, waktu pemakaian obat

dan lama pemakaian obat. Pemeriksaan fisik berisi pemeriksaan tekanan

darah, suhu tubuh dan denyut nadi. Pemeriksaan laboratorium yang

(48)

glukosa darah sewaktu, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, asam urat, kolesterol

total, HDL, LDL, trigliserida.

3. Tahap Pengolahan Data

Dari sub bagian rekam medik didapatkan 130 kasus diabetes melitus tipe

2. Dari 130 kasus tersebut didapatkan 29 kasus diabetes melitus tipe 2 dengan

hipertensi. Data yang didapatkan dari 29 kasus tersebut kemudian dilakukan

pengolahan data dengan menyusun dan menggolongkan data dalam

kategori-kategori secara tabel. Kategori yang dimaksud adalah karakteristik pasien,

profil obat, jenis DRPs dan dampak terapi. Data kualitatif akan disajikan

dalam bentuk uraian sedangkan data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk

tabel dan grafik. Kemudian berdasarkan data tersebut akan dilakukan

pembahasan secara naratif.

G.Tata Cara Analisis Hasil

Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif untuk

mengetahui pemilihan dan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe

2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang.

Data yang telah diolah dibuat persentase, dievaluasi menggunakan teori yang

(49)

Data yang didapatkan dievaluasi berdasarkan:

1. Distribusi kelompok umur pasien

Kelompok umur pasien dibagi secara rasional menjadi 5 kelompok

yaitu kelompok umur 35-44 tahun, 45-54 tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun

dan 75-84 tahun. Perhitungan dilakukan pada masing-masing kelompok,

dibagi dengan jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi dan

dikali 100%.

2. Distribusi jenis kelamin pasien

Kelompok jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki.

Perhitungan dilakukan pada masing-masing kelompok, dibagi dengan

jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi dan dikali 100%.

3. Distribusi lama rawat pasien

Lama perawatan dihitung dari pasien masuk rumah sakit hingga pasien

keluar dari rumah sakit. Setelah itu dikelompokan berdasarkan lama

perawatannya dan dilakukan perhitungan pada masing-masing kelompok,

dibagi dengan jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi dan

dikali 100%

4. Distribusi keadaan pasien pada saat keluar dari rumah sakit

Keadaan pasien pada saat keluar dari rumah sakit didapat dari lembar

(50)

meninggalkan rumah sakit. Kelompok keadaan pasien ini dibagi menjadi

dua kelompok yaitu meninggal dan membaik. Perhitungan dilakukan pada

masing-masing kelompok dan dibagi dengan jumlah pasien diabetes

melitus tipe 2 dengan hipertensi.

5. Distribusi kelas terapi obat

Obat yang digunakan pada terapi dikelompokan berdasarkan kelas

terapi obat sesuai dengan IONI 2008 dan didapatkan 9 kelas terapi obat

yaitu sistem endokrin, sistem kardiovaskular, sistem saluran cerna, sistem

saluran napas, sistem saraf pusat, infeksi, obstretik-ginekologik-saluran

kemih, gizi-darah, dan skelet-sendi. Perhitungan dilakukan pada setiap

kelompok kelas terapi obat dengan menjumlah kasus yang menggunakan

kelas terapi obat yang dimaksud, dibagi dengan jumlah total kasus dan

dikali 100%.

6. Distribusi jenis DRPs

Data yang diperoleh kemudian dianalisis adanya DRPs dan

dikelompokan menjadi 6 kategori DRPs. Perhitungan dilakukan dengan

menjumlah kasus DRPs pada seriap kategori dibagi dengan jumlah total

(51)

H. Kelemahan dan Kesulitan Penelitian

Kelemahan penelitian ini adalah tidak dilakukan cross check yang dapat mempertajam analisis. Penelitian ini juga hanya membahas drug related problems

mengenai antihipertensi sehingga tidak diketahui DRPs secara keseluruhan.

Pada saat pengambilan data menggunakan rekam medis, peneliti mengalami

beberapa kesulitan. Kesulitan yang pertama adalah peneliti kurang dapat

membaca dan memahami tulisan dokter yang ada di rekam medis. Kesulitan yang

kedua adalah kesulitan menemukan rekam medis yang dibutuhkan karena sedang

(52)

33

Selama periode Juli 2009 hingga Juni 2010 di IRNA Rumah Sakit Harapan

Magelang ditemukan 29 pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi. Pasien

tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan umur, jenis kelamin, lama

perawatan dan kondisi pasien saat keluar dari rumah sakit.

1. Umur Pasien

Dari data pasien yang diperoleh, pasien dikelompokan secara rasional

menjadi 5 kelompok umur yaitu kelompok umur 35-44 tahun, 45-54 tahun,

55-64 tahun, 65-74 tahun, dan 75-84 tahun. Penderita paling banyak yaitu

sebanyak 38% terdapat pada kelompok usia 65-74 tahun. Kelompok usia

yang lebih lanjut lagi yaitu kelompok usia 75-84 tahun yang mengidap

diabetes dengan hipertensi hanya 10%. Persentase penderita pada kelompok

usia yang paling muda yaitu 35-44 tahun paling rendah yaitu 7%. Kelompok

usia 45-54 tahun sebesar 14% dan kelompok usia 55-64 tahun sebesar 31%.

Gambar 3. Distribusi Umur Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

7%

14%

31% 38%

10% 35-44

(53)

Kelompok usia yang paling banyak mengidap penyakit diabetes melitus

tipe 2 dengan hipertensi adalah pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu

sebanyak 38%. Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan fungsi tubuh pada

pasien usia lanjut. Sedangkan untuk usia yang lebih lanjut yaitu lebih dari 75

tahun kejadian diabetes melitus lebih sedikit yaitu 10% dikarenakan banyak

penderita yang sudah tidak mampu bertahan mengingat adanya teori yang

menyebutkan bahwa angka harapan hidup di Indonesia mencapai 70 tahun

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006)

Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2006) menyatakan hipertensi mulai

muncul pada usia 55 tahun. Hasil penelitian menunjukkan penderita diabetes

melitus dengan hipertensi mulai melonjak pada kelompok usia 55-64 tahun.

Pada kelompok usia sebelumnya, yaitu kelompok usia 45-54 tahun,

ditemukan persentase kejadian sebesar 13%, sedangkan pada kelompok usia

55-64 tahun, angka persentase melonjak lebih dari dua kali lipat yaitu 31%.

Hal ini menunjukan bahwa hipertensi mulai muncul pada usia 55 tahun.

Kesimpulannya, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori yang ada.

Menurut hasil penelitian Meirinawati (2007) menyatakan bahwa

kelompok usia yang paling banyak menderita diabetes melitus dengan

hipertensi adalah kelompok usia 55-64 tahun yaitu sebesar 36,67%.

Kelompok usia 65-74 tahun menduduki peringkat kedua tertinggi yaitu

sebesar 26,67%. Kelompok usia yang lebih lanjut yaitu 75 tahun ke atas

terdapat 13,33%. Hasil penelitian Herlinawati (2009) menyatakan penderita

(54)

peringkat kedua pada kelompok usia 60-69 tahun sebesar 34,4%. Pada

kelompok usia lebih lanjut yang terdapat pada kategori 70-79 tahun dan 80-89

tahun hanya ditemukan sebesar 9,4%.

Hasil kedua penelitian sejenis tersebut hampir sama dengan hasil

penelitian ini yaitu penderita diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi paling

banyak pada kelompok usia lanjut yaitu di atas 55 tahun. Selain itu, dari

kedua penelitian tersebut juga didapat bahwa pada usia yang lebih lanjut yaitu

70 tahun ke atas persentasenya cenderung menurun. Hal ini dikarenakan

banyak penderita yang sudah tidak mampu bertahan mengingat adanya teori

yang menyebutkan bahwa angka harapan hidup di Indonesia mencapai 70

tahun.

2. Jenis Kelamin Pasien

Dari data yang diperoleh didapatkan persentase laki-laki yang mengidap

diabetes dengan hipertensi lebih banyak yaitu 59%. Sedangkan persentase

perempuan yang mengidap diabetes dengan hipertensi adalah 41%.

Gambar 4. Perbandingan Jenis Kelamin Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

59%

41% laki-laki

(55)

Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2006), pada

usia dibawah 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi

dibandingkan perempuan. Sedangkan pada usia antara 55-74 tahun,

perempuan sedikit lebih banyak menderita hipertensi dibanding laki-laki.

Hasil penelitian menunjukan, persentase laki-laki yang menderita diabetes

melitus dengan hipertensi lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini

kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan merokok dan konsumsi minuman

beralkohol yang lebih banyak dilakukan laki-laki dibanding perempuan.

Berdasarkan hasil penelitian Meirinawati (2007) didapatkan hasil bahwa

persentase penderita perempuan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.

Perbandingan persentase perempuan dengan laki-laki adalah 63,33% :

36,67%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Herlinawati (2009)

didapatkan perbandingan persentase perempuan dan laki-laki sebesar 53,1% :

46,9%. Hasil penelitian yang didapat tidak sesuai dengan kedua penelitian

sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan gaya hidup karena

lokasi dan waktu penelitian yang berbeda.

3. Lama Perawatan

Lama rawat bergantung dari kondisi pasien dan kesediaan pasien untuk

dirawat. Dari hasil penelitian didapat hasil yang bervariasi antara 2 hari

sampai 8 hari. Pasien paling banyak dirawat selama 4, 6 dan 8 hari yaitu

sebesar 21%. Sedangkan presentase lama perawatan yang paling sedikit

(56)

penderita diabetes melitus dengan hipertensi harus intensif untuk mengontrol

kadar glukosa darah pasien dan tekanan darah pasien.

Gambar 5. Distribusi Lama Perawatan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

Menurut hasil penelitian Meirinawati (2007) menyatakan pasien paling

banyak tinggal di rumah sakit selama 4-6 hari yaitu sebesar 46,67% pasien.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian karena jika diakumulasikan antara

pasien yang dirawat 4 hari, 5 hari dan 6 hari persentasenya paling besar

daripada kelompok lainnya.

4. Keadaan Pasien pada Saat Keluar dari Rumah Sakit

Hampir seluruh pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di Rumah

Sakit Harapan Magelang meninggalkan rumah sakit dalam keadaan membaik

atau dapat dikatakan pulang atas persetujuan dokter. Menurut rumah sakit, 3%

14%

21%

14% 21%

7%

21% 2 hari

(57)

membaik berarti membaik kondisi umum dari pasien tersebut. Sedangkan satu

pasien meninggal dunia setelah 24 jam dirawat di rumah sakit.

Gambar 6. Perbandingan Keadaan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi Saat Keluar dari Rumah Sakit

Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu

persentase terbesar adalah pasien keluar dari rumah sakit dalam kondisi

membaik. Berdasarkan hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati

(2007) berturut-turut 81,3% dan 66,67% keluar dari rumah sakit dalam

keadaan membaik.

B. Profil Obat

Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan diabetes melitus dengan

hipertensi dibagi menjadi 9 kelas terapi obat. Obat golongan gizi dan darah,

sistem endokrin serta sistem kardiovaskular digunakan pada semua kasus (100%).

Hal ini dikarenakan pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi pada

umumnya membutuhkan ketiga golongan obat tersebut. 97%

3%

(58)

Obat sistem endokrin dan obat sistem kardiovaskular penggunaannya

mencapai 100% atau digunakan pada setiap kasus diabetes melitus yang dengan

hipertensi. Hal ini berkaitan dengan penanganan diabetes melitus dengan

hipertensi. Obat antidiabetes termasuk dalam obat sistem endokrin sehingga obat

golongan ini digunakan pada semua kasus untuk menurunkan dan menjaga kadar

glukosa dalam darah. Begitu pula dengan pemakaian obat sistem kardiovaskular

yang mencakup obat antihipertensi untuk menurunkan dan menjaga tekanan darah

pasien. Obat kelas terapi yang lain digunakan untuk mengobati penyakit,

mencegah penyakit menjadi lebih parah dan dapat juga untuk mempercepat

pemulihan kondisi pasien.

Gambar 7. Distribusi Kelas Terapi Obat Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

(59)

Persentase penggunaan golongan gizi dan darah sebesar 100%. Hasil

penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Herlinawati (2009) yang menyatakan

penggunaan obat golongan ini mencapai 100%. Namun, hasil penelitian ini tidak

sesuai dengan hasil penelitian Meirinawati (2007) yang menyatakan persentase

penggunaan obat golongan ini adalah 44,43. Perbedaan hasil penelitian ini dapat

disebabkan adanya perbedaan kondisi pasien. Obat golongan gizi dan darah yang

digunakan dikelompokan menjadi 5 subkelas terapi yang dapat dilihat pada Tabel

II.

Tabel II. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Gizi dan Darah pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %

NaCl+Aminofilin 1 3,45

(60)

Persentase penggunaan obat sistem endokrin juga mencapai 100%. Hal ini

dikarenakan obat antidiabetika dan insulin yang berguna untuk menjaga dan

menurunkan kadar glukosa darah termasuk dalam golongan obat sistem endokrin.

Persentase penggunaan obat golongan ini pada penelitian sebelumnya juga cukup

tinggi yaitu 87,5% dan 96,67%. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori karena

pada umumnya pasien diabetes melitus membutuhkan insulin atau obat

antidiabetika oral yang termasuk dalam obat golongan sistem endokrin.

Obat golongan sistem endokrin dibagi menjadi dua sub kelas terapi yaitu diabetes

dan kortikosteroid yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel III.

Tabel III. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Endokrin Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %

2. Kortikosteroid Glukokortikoid Metilprednisolon 4 13,79

Dexametason 2 6,90

*∑ = jumlah pasien (n=29)

Obat kardiovaskular merupakan obat yang bekerja pada jantung dan pembuluh

darah. Persentase penggunaaan obat golongan ini mencapai 100% karena obat

antihipertensi termasuk dalam golongan ini. Pada penelitian sebelumnya

(61)

Perbedaan persentase penggunaan obat golongan ini dapat dikarenakan adanya

kondisi pasien yang berbeda. Obat golongan ini terbagi dalam 9 sub kelas terapi

yang secara rinci terlihat pada Tabel IV.

Tabel IV. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Kardiovaskular pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %

1. Aritmia Antiaritmia Adenosin 1 3,45

Amiodarone 1 3,45

2. Antihipertensi Beta-Bloker Bisoprolol 5 17,24

Penghambat ACE Captopril 6 20,69

Lisinopril 5 17,24

Isosorbid mononitrat 5 17,24 Antagonis

Kalsium

Amlodipine 4 13,79

Diltiazem 5 17,24

Nifedipin 2 6,90

Anti Angina Lain Trimetzidin diHCl 1 3,45

4. Diuretika Tiazid Hidroklorotiazid 1 3,45

Diuretika Kuat Furosemid 8 27,59

(62)

Obat golongan sistem saraf pusat dapat digunakan untuk mengurangi rasa

cemas pada pasien sehingga pasien menjadi tenang dan dapat beristirahat.

Menurut hasil penelitian, persentase penggunaan obat sistem saraf pusat adalah

93,10%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Menurut

hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) persentase

penggunaan obat golongan sistem saraf pusat berturut-turut adalah 21,88% dan

36,67%. Perbedaan hasil penelitian ini dikarenakan karena tempat dan waktu

penelitian yang berbeda yang berakibat pada berbedanya kondisi pasien.

Obat golongan sistem saraf pusat yang digunakan terbagi dalam 5 subkelas

terapi yang secara rinci dapat dilihat pada tabel V.

Tabel V. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Saraf Pusat pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑ %

1. Hipnosis dan Ansietas

Hipnosis Zolpidem Tartrat 1 3,45

Ansietas Alprazolam 8 27,59

Dopaminergik Selegilin 1 3,45

(63)

Obat antiinfeksi digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri yang

menyertai diabetes melitus seperti ulkus dan ganggren agar tidak bertambah

parah. Menurut hasil penelitian, obat golongan antiinfeksi cukup sering digunakan

dengan presentase penggunaan 68,97%. Hasil penelitian ini sesuai dengan

penelitian sebelumnya. Namun, pada hasil penelitian sebelumnya obat golongan

ini digolongkan menjadi golongan antibiotik. Persentase pemakaian antibiotik

pada hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing

adalah 62,5% dan 56,67%.

Kelas terapi antiinfeksi dibagi menjadi dua sub kelas terapi yaitu antibakteri

dan antivirus yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel VI.

Tabel VI. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Antiinfeksi pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %

1. Antibakteri Sefalosporin Sefadroksil 2 6,90

Sefixim 2 6,90

Sefotaksim 8 27,59

Seftriakson 2 6,90

Sefdinir 1 3,45

Makrolida Azitromisin 1 3,45

Kuinolon Levofloksasin 11 37,93

Ofloksasin 1 3,45

Pefloksasin 1 3,45

Siprofloksasin 1 3,45

2. Antivirus Metilzoprinol 1 3,45

*∑ = jumlah pasien (n=29)

Obat golongan sistem saluran cerna perlu diberikan kepada pasien diabetes

(64)

dalam terapi khususnya golongan sulfonilurea dan metformin yang dapat

menimbulkan mual dan muntah.

Pemakaian obat golongan sistem saluran cerna pada pasien diabetes melitus

dengan hipertensi di Rumah Sakit Harapan Magelang cukup banyak yaitu dengan

persentase 58,62%. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian

sebelumnya. Hasil penelitian Herlinawati (2009) menunjukan persentase

penggunaan obat golongan ini adalah 34,38%. Sedangkan menurut Meirinawati

(2007) adalah 30%. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena perbedaan

waktu dan lokasi penelitian yang menyebabkan kondisi pasien yang berbeda.

Obat sistem saluran cerna yang digunakan dalam terapi diabetes melitus

dengan hipertensi dibagi menjadi 3 sub kelas. Sub kelas yang paling banyak

digunakan adalah antitukak dengan persentase paling banyak adalah penggunaan

ranitidin yaitu sebanyak 48,28%.

Tabel VII. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Saluran Cerna pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi

di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang

No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %

2 Antitukak Antagonis

Gambar

Tabel I. Penggolongan Hipertensi
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi dengan Indikasi Spesifik
Gambar 2. Mekanisme Kerja Antihipertensi
Gambar 3. Distribusi Umur Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Metode yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan SDM dengan melakukan pelatihan dan pendampingan pemasaran produk bagi pelaku UMKM di Kecamatan Patuk menggunakan sosial

DDL merupakan bahasa atau query yang memungkinkan pengelola atau pengguna basis data untuk membuat dan memberi nama sebuah entitas, atribut, dan hubungan

Salah satu penyebab dari rendahnya nilai siswa karena kurangnya kemampuan guru dalam menerapkan metode pembelajaran yang inovatif sehingga cenderung monoton, serta

Berdasarkan hasil wawancara yang mendalam dengan informan, maka beliau menjelaskan bahwa jumlah pegawai yang ada pada bidang IPDS saat ini masih dirasakan kurang dalam

Dengan menggunakan metode baru, setiap kriteria yang diujikan akan memiliki skala prioritas bobot yang berbeda sehingga nilai yang dihasilkan dari perhitungan pada setiap

eGovernment merupakan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan wahana informasi yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan luas lahan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak