SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh :
Margareta Krisantini Punto Arsi NIM : 078114025
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Diajukan oleh :
Margareta Krisantini Punto Arsi NIM : 078114025
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
v
Saya tidak patah semangat karena setiap usaha yang
salah adalah satu langkah maju
(Thomas Alva Edison)
)
Karya kecil yang dibuat dengan jerih payah ini saya persembahkan kepada
Yesus Kristus yang selalu menyertai dan mendampingi perjalanan hidupku Kedua orang tuaku yang selalu menyayangi dan mencintaiku serta
memberikan motivasi kepadaku setiap saat
Kedua kakakku yang selalu memberiku motivasi dan panutan yang baik Sahabat-sahabatku yang telah mewarnai hidupku
vii
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi
Penggunaan Antihpertensi pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang“. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Farmasi (S. Farm.).
Selama proses penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah terlibat
memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan sehingga dapat berjalan dengan
lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak yang
telah membantu baik langsung maupun tidak langsung, yaitu kepada :
1. dr. Hasman Budiono, M.Kes selaku direktur Rumah Sakit Harapan Magelang
yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian.
2. Ibu Shinta selaku sekretariat Rumah Sakit Harapan Magelang atas bantuan
selama perijinan dan penelitian berlangsung.
3. Ibu Ami selaku staff rekam medis bagian rawat inap dan seluruh staff rekam
medis atas ijin, kerjasama dan bantuan saat penelitian berlangsung.
4. dr. Dwi Budi, dokter spesialis penyakit dalam Rumah Sakit Harapan
Magelang yang telah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan
penulis.
5. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta serta sebagai Dosen Pembimbing
viii
masukan, saran serta motivasi selama penyusunan skripsi.
8. dr. Fenty, M.Kes.,SpPK yang telah berkenan menjadi dosen penguji,
terimakasih untuk saran dan masukannya.
9. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt. yang telah berkenan menjadi dosen
penguji, terimakasih untuk saran dan masukannya.
10.Bapak A. Punto WS dan Ibu M.I Kristiastuti, ayahanda dan ibunda tercinta
atas doa, cinta, semangat dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis.
11.Kedua kakanda tersayang, Mas Ardi dan Mas Iwan atas doa dan dukungan
yang diberikan kepada penulis.
12.Mas Wawan, sahabat sekaligus kakak bagi penulis atas cinta, doa, semangat,
dukungan, perhatian, pengorbanan serta canda tawa yang sangat berarti bagi
penulis.
13.Rekan seperjuangan sekaligus sahabat terkasih Titin, Dinar, Mikha, Eva,
Helen, terimakasih atas cinta dan persahabatan yang indah selama ini.
14.Segenap penghuni kos AMAKUSA, Titin, Udin, Ana, Adel, Citra, Ratih,
Dian, Dewi, Uut, Yemi, Metri, Herta, Berta, Mayke, Meli, Sefi, Rina, Ita,
Cyntia, atas kebersamaan, persahabatan, canda tawa dan dukungan selama ini.
15.Teman-teman Farmasi khususnya FKK A 2007 atas segala kenangan, suka
dan duka yang ditorehkan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas
ix
saran, kritik dan masukan yang bersifat membangun. Semoga karya tulis yang
sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta, 12 Januari 2011
xi
hipertensi cukup tinggi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi terapi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 disertai hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010.
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan deskriptif, pengambilan datanya dilakukan secara retrospektif menggunakan rekam medis pasien. Hasil yang diperoleh menunjukan penderita diabetes melitus tipe 2 disertai hipertensi paling banyak terjadi pada kelompok usia 65-74 tahun (38%) dan pada jenis kelamin laki-laki (59%) dengan lama perawatan paling banyak selama 4, 6 dan 8 hari (21%). Kelas terapi obat yang paling banyak digunakan adalah gizi dan darah, sistem kardiovaskular dan sistem endokrin (100%). Golongan antihipertensi yang paling banyak digunakan adalah penghambat ACE (48,28%).
Dari hasil analisis Drug Related Problems ditemukan 16 kasus DRPs dengan rincian 2 kasus membutuhkan obat tambahan, 2 kasus pemilihan obat tidak sesuai, 12 kasus dosis tidak tepat, 1 kasus interaksi obat dan 2 kasus efek samping obat. Setelah menjalani terapi di rumah sakit, 28 pasien meninggalkan rumah sakit dalam keadaan membaik.
xii
with hypertension at the inpatient installation of Harapan Hospital Magelang period July 2009-June 2010.
The study was observational descriptive design, data performed retrospectively using patient records. The results showed the most prevalent in the age 65-74 years (38%) and the male gender (59%) with at most care long for 4, 6 and 8 days (21%). Therapeutic classes of drugs most widely used is the nutrition and blood, cardiovascular system and endocrine system (100%). ACE inhibitors (48.28%) is the most widely used in antihypertensive class.
From the results of analysis of Drug Related Problems found 16 cases of DRPs with details of 2 cases of needs additional drug therapy, 2 cases of improper drug selection, 12 cases of dosage too low and too high, 1 cases of drug interactions and 2 cases of side effects. After treatment in hospital, 28 patients left the hospital in a better condition.
xiii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .. ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... vi
PRAKATA ... ... vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... x
INTISARI ... xi
ABSTRACT ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Rumusan Masalah ... 4
2. Keaslian Penelitian ... 4
3. Manfaat Penelitian ... 6
B. Tujuan ... 7
1. Tujuan Umum ... 7
xiv
B. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus ... 11
C. Profil Obat yang Digunakan Pada Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi... 11
D. Profil Antihipertensi yang Digunakan Pada Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi ... 14
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (Penghambat ACE) ... 14
2. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) ... 16
3. Diuretika ... 17
4. Penghambat Beta ... 18
5. Antagonis Kalsium ... 19
E. Drug Related Problems (DRPs) ... 21
1. Ada Obat Tanpa Indikasi ... 21
2. Membutuhkan Obat Tambahan ... 22
3. Pemilihan Obat yang Tidak Tepat... 23
4. Dosis Tidak Sesuai ... 23
F. Keterangan Empiris ... 24
BAB III METODE PENELITIAN... 25
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 25
B. Definisi Operasional... 25
xv
1. Tahap Perencanaan... 27
2. Tahap Pengumpulan Data ... 28
3. Tahap Pengolahan Data... 29
G. Tata Cara Analisis Hasil... 29
H. Kelemahan dan Kesulitan Penelitian ... 32
BAB IV PEMBAHASAN ... 33
A. Karakteristik Pasien ... 33
B. Profil Obat ... 38
C. Profil Antihipertensi ... 48
D. Drug Related Problems Penggunaan Antihipertensi pada Pasien Diabetes Melitus dengan Hipertensi ... 52
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
A. Kesimpulan ... 57
Saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
LAMPIRAN ... 62
xvi
Tabel I. Penggolongan Hipertensi... 10
Tabel II. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Gizi dan
Darah pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah
Sakit Harapan Magelang ... 40
Tabel III. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem
Endokrin Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA
Rumah Sakit Harapan Magelang ... 41
Tabel IV. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem
Kardiovaskular Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di
IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 42
Tabel V. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem
Saraf Pusat pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA
Rumah Sakit Harapan Magelang ... 43
Tabel VI. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat
Antiinfeksi pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA
Rumah Sakit Harapan Magelang ... 44
Tabel VII. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem
Saluran Cerna pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA
xvii
Tabel IX. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem
Obstretrik, Ginekologik dan Saluran Kemih Kelamin pada Pasien
DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan
Magelang ... 47
Tabel X. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Otot
Skelet dan Sendi pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di
IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 48
Tabel XI. Distribusi Golongan dan Nama Generik Antihipertensi pada Pasien
DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan
Magelang ... 49
Tabel XII. Distribusi Kasus DRPs Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
xviii
Gambar 2. Mekanisme Kerja Antihipertensi ... 18
Gambar 3. Distribusi Umur Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA
Rumah Sakit Harapan Magelang ... 33
Gambar 4. Distribusi Jenis Kelamin Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di
IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 35
Gambar 5. Distribusi Lama Perawatan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang ... 37
Gambar 6. Distribusi Keadaan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi Pada Saat
Keluar dari Rumah Sakit ... 38
Gambar 7. Distribusi Kelas Terapi Obat Pada Pasien DM Tipe 2 dengan
xix
Lampiran 2. Blanko Pengambilan Data ... 63
Lampiran 3. Data Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA
Rumah Sakit Harapan Magelang ... 64
1
Diabetes melitus merupakan kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan hiperglikemia. Diabetes melitus berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Komplikasi kronik dari diabetes
melitus termasuk gangguan mikrovaskuler dan makrovaskuler (Triplitt,
Reasner, Isley, 2008)
Pada tahun 2000, 150 juta penduduk di dunia mengidap diabetes melitus
dan meningkat dua kali lipat pada tahun 2005 (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinis, 2005). Di Indonesia sendiri diperkirakan terdapat 12,4
juta penderita DM di Indonesia pada tahun 2025 serta menempati urutan ke 4
negara dengan penderita DM terbanyak (Arief, 2007)
Hipertensi berkaitan dengan peningkatan tekanan darah. Menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah ≥140/90 mmHg. Hipertensi lebih sering ditemukan 1,5 sampai 3 kali pada penderita diabetes
dibandingkan dengan yang tanpa diabetes (WHO, 2006b). Hal ini dikarenakan
pada penderita diabetes melitus tipe 2 mengalami resistensi insulin dan atau
hiperinsulinemia. Kondisi hiperinsulinemia dapat menyebabkan retensi natrium,
meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan meningkatkan kalsium
intraseluler yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah (Sassen dan
Penderita diabetes dengan hipertensi mempunyai risiko kematian
kardiovaskular dua kali lebih besar dibandingkan penderita diabetes tanpa
hipertensi. Penderita diabetes dengan hipertensi juga meningkatkan risiko
terjadinya retinopati dan nefropati (WHO, 2006b).
Penurunan tekanan darah telah menunjukkan adanya penurunan
terjadinya komplikasi. Setiap penurunan 10 mmHg tekanan darah sistolik
menunjukkan penurunan kematian sebesar 15%, penurunan komplikasi
diabetes sebesar 12% dan penurunan infark miokard sebesar 11%. Oleh karena
itulah, tatalaksana hipertensi pada diabetes harus lebih agresif dengan target
tekanan darah kurang dari 130/80 mmHg (WHO, 2006a).
Berdasarkan teori mengenai hipertensi, hipertensi mulai muncul pada
usia 55 tahun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2006). Menurut
hasil penelitian, diabetes melitus dengan hipertensi paling banyak diderita pada
kelompok usia di atas 50 tahun serta lebih banyak diderita oleh perempuan
(Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).
Pada penatalaksanaan diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi
digunakan berbagai macam kelas terapi obat. Menurut hasil penelitian
sebelumnya digunakan obat-obat dari 9 kelas terapi obat dengan persentase
pemakaian yang paling banyak adalah golongan kardiovaskular, gizi dan darah,
serta hormonal (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).
Antihipertensi yang merupakan drug of choice dalam penatalaksanaan hipertensi pada diabetes melitus adalah obat golongan penghambat ACE dan
kombinasi adalah golongan diuretik, beta bloker dan antagonis kalsium
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2006)
Penatalaksanaan hipertensi pada penderita diabetes perlu disertai dengan
evaluasi Drug Related Problems untuk mengetahui kesesuaian terapi yang diberikan dengan standar yang berlaku dan untuk memilih terapi yang tepat
sesuai kondisi pasien. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi
baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler yang merupakan penyakit
komplikasi diabetes (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
Apabila penatalaksanaan hipertensi pada penderita diabetes melitus ini
dilaksanakan dengan baik, akan menghasilkan dampak terapi atau outcome
yang diinginkan. Dampak terapi yang ingin dicapai adalah perbaikan kondisi
pasien. Menurut hasil penelitian sebelumnya, sebagian besar penderita diabetes
melitus dengan hipertensi meninggalkan rumah sakit dalam keadaan membaik
(Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Harapan Magelang karena rumah
sakit ini sering menjadi rujukan bagi pasien dengan kondisi ekonomi menengah
ke atas untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai. Angka kejadian diabetes
melitus di rumah sakit ini menurut data dari rekam medis cukup banyak yaitu
130 kasus selama Juli 2009-Juni 2010. Di rumah sakit ini juga belum pernah
ada penelitian mengenai penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes tipe 2
dengan hipertensi di IRNA. IRNA lebih dipilih karena di instalasi ini
pemberian obat dan pemantauan obat lebih intensif dan lebih terkontrol
Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan di atas, penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai penggunaan antihipertensi
pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di IRNA Rumah Sakit
Harapan Magelang.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan sehubungan dengan pasien diabetes melitus tipe 2 dengan
hipertensi di IRNA Rumah Sakit Magelang dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Seperti apakah karakteristik pasien yang meliputi umur, jenis kelamin,
lama perawatan dan keadaan pasien pada waktu keluar dari rumah sakit?
b. Seperti apakah profil obat yang digunakan, meliputi kelas terapi obat, jenis
obat dan aturan pemakaian obat?
c. Seperti apakah profil obat yang digunakan, meliputi golongan obat, jenis
obat dan aturan pemakaian obat?
d. Apakah terdapat drug related problems (DRPs) dalam penggunaan antihipertensi pada pasien tersebut?
2. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai “Evaluasi Penggunaan Antihipertensi Pada Pasien
Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai diabetes
melitus tipe 2 antara lain:
a. Kajian Pemilihan Obat Hipoglikemik Oral Pada Terapi Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Pada Periode November-Desember 2002 (Wijoyo, 2004)
b. Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Pasien Diabetes Melitus Komplikasi
Hipertensi Rawat Inap Periode 2005 Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta (Meirinawati, 2007)
c. Evaluasi Pemilihan dan Penggunaan Obat Antidiabetes pada Kasus
Diabetes Melitus Instalansi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih
Yogyakarta Periode Januari-Desember 2005 (Pertiwi, 2007)
d. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 Komplikasi Hipertensi Di Rumah Sakit Umum Dr Sardjito
Yogyakarta Periode Tahun 2007-2008 (Herlinawati, 2009)
Penelitian ini berbeda dengan penelitian sejenis yang pernah dilakukan
sebelumnya dalam hal lokasi pengamatan, waktu pengamatan, objek
pengamatan dan standar acuan yang digunakan. Penelitian Wijoyo (2004) dan
Pertiwi (2007) mengevaluasi penggunaan antidiabetes sedangkan penelitian
ini mengevaluasi penggunaan antihipertensi.
Standar acuan juga menjadi faktor yang membedakan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya. Standar acuan penelitian ini adalah
Hypertension dalam Pharmacotherapy: A Pathofisiologic Approach (Sassen dan Maclaughin, 2008), Hypertensive Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001), dan Drug Interactions Facts (Tatro, 2007). Standar acuan penelitian Wijoyo (2004) adalah Konsensus Pengelolaan Diabetes (PERKENI, 2002), Meirinawati
(2007), Pertiwi (2007) dan Herlinawati (2009) adalah American Diabetes Association (2005).
Dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini akan dapat menjadi
pelengkap dari penelitian terdahulu.
3. Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada umumnya serta
meningkatkan ketepatan penggunaan obat hipertensi pada pasien diabetes
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum ditujukan untuk mengevaluasi penggunaan
obat hipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di
instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni
2010.
2. Tujuan Khusus
Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka secara khusus penelitian ini
ditujukan untuk mengetahui :
a. Karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi meliputi
umur, jenis kelamin, lama perawatan dan keadaan pasien pada saat keluar
dari rumah sakit.
b. Profil obat yang digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan
hipertensi, meliputi kelas terapi obat, jenis obat dan aturan pemakaian
obat.
c. Profil antihipertensi yang digunakan pada pasien diabetes melitus tipe 2
dengan hipertensi meliputi golongan obat, jenis obat dan aturan pemakaian
obat.
d. Adanya drug related problems (DRPs) dalam penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi antara lain ada
indikasi tanpa obat, membutuhkan obat tambahan, pemilihan obat yang
sesuai baku standar Hypertensive Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001), Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi (Anonim, 2006), Hypertension dalam
9
Diabetes melitus adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme yang
ditandai dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah. Hal ini dikarenakan
kelenjar pankreas dari penderita diabetes melitus tidak dapat menghasilkan insulin
dalam jumlah yang cukup atau tubuh penderita yang tidak dapat menggunakan
insulin dengan baik (Richard, 1989).
Gejala-gejala diabetes melitus adalah sering haus (polidipsi), sering merasa
lapar (polifagia) dan sering kencing (poliuria). Diagnosis diabetes ditegakan
dengan hasil pemeriksaan darah dimana kadar glukosa darah pada saat puasa
diatas 126 mg/dl dan glukosa darah 2 jam sesudah makan di atas 200 mg/dl
(Tandra, 2008). Kadar glukosa darah puasa normal adalah 70-110 mg/dl.
Sedangkan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan adalah < 140 mg/dl (Sutedjo,
2009).
Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi tiga yaitu diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2 dan diabetes melitus gestasional. Di antara ketiga jenis
diabetes ini yang akan dibahas lebih lanjut adalah diabetes melitus tipe 2.
Diabetes melitus tipe 2 sering juga disebut dengan DM tidak tergantung
insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus). Penderita DM tipe ini sekitar 90-95% dari semua kasus DM dan umumnya ditemukan pada orang berusia di
lingkungan seperti obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta
kurangnya aktifitas fisik (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Pada diabetes melitus tipe 2 sering disertai dengan hipertensi yang dapat
menyebabkan timbulnya komplikasi pada penderita diabetes. Hipertensi atau
tekanan darah tinggi merupakan penyakit yang dapat memicu terjadinya serangan
jantung, retinopati, kerusakan ginjal atau stroke (Tandra, 2008).
Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah pada penderita
dengan usia 18 tahun ke atas menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure adalah sebagai berikut :
Tabel I. Penggolongan Hipertensi
Kategori Tekanan Darah Diastolik (mmHg)
Tekanan Darah Sistolik (mmHg)
Normal < 80 < 120
Prehipertensi 80-89 120-139
Hipertensi stage 1 90-99 140-159
Hipertensi stage 2 ≥100 ≥160
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006) Sedangkan berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi dua yaitu
hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial atau sering disebut
hipertensi primer atau idiopatik adalah hipertensi yang terjadi tanpa penyebab
yang spesifik. Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam golongan ini.
Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal),
penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain (Setiawati dan
B. Karakteristik Pasien Diabetes Melitus
Diabetes melitus biasa ditemukan pada usia di atas 45 tahun (Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Sedangkan hipertensi mulai timbul
pada usia 55 tahun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, diabetes melitus paling banyak diderita
pada kelompok usia di atas 50 tahun dan didominasi oleh perempuan. Pada usia
yang lebih lanjut yaitu di atas 70 tahun, jumlah penderita diabetes melitus disertai
hipertensi sudah berkurang (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).
Dari hasil penelitian sebelumnya menyatakan lama perawatan yang paling
banyak (46,67%) adalah 4-6 hari dengan 66,67% hingga 81,3% keadaan pasien
membaik saat meninggalkan rumah sakit (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).
C. Profil Obat yang Digunakan Pada Penatalaksanaan DM Tipe 2 dengan Hipertensi
Tujuan utama terapi dari diabetes dengan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan hipertensi serta
meningkatkan kualitas hidup pasien (Motala, 1996).
Sasaran atau target penurunan tekanan darah pada pasien DM yang disertai
hipertensi adalah dibawah 130/80mmHg. Strategi terapi yang dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu non-farmakologi dengan mengubah pola hidup dan
farmakologi dengan obat antihipertensi oral. Modifikasi gaya hidup saja tidak
tergantung pada tingginya tekanan darah dan adanya indikasi (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Terapi non farmakologi yang dapat dilakukan adalah dengan mengubah
gaya hidup menjadi lebih sehat. Modifikasi pola hidup yang dapat dilakukan
untuk menurunkan kadar glukosa dan tekanan darah antara lain menurunkan berat
badan, melakukan latihan fisik seperti aerobik secara teratur, mengurangi
konsumsi garam, kolesterol, lemak jenuh dan membatasi minuman beralkohol
(maksimal 20-30ml sehari). Bagi perokok sebaiknya berhenti merokok (Setiawati
dan Bustami, 1995).
Terapi farmakologi dilakukan dengan pemberian obat-obatan yang dapat
mengobati dan mencegah penyakit menjadi lebih parah. Pada penelitian
sebelumnya diberikan obat dari 9 kelas terapi obat yaitu golongan kardiovaskular,
hormonal, gizi-darah, sistem saraf pusat, sistem saluran cerna, sistem saluran
nafas, antiradang, analgesik dan antibiotik (Meirinawati, 2007; Herlinawati,
2009).
Pemberian obat golongan gizi dan darah ditujukan untuk meningkatkan
kondisi pasien sehingga proses penyembuhan pasien menjadi lebih cepat
(Meirinawati, 2007). Menurut hasil penelitian Herlinawati (2009), obat golongan
ini digunakan pada semua pasien. Menurut hasil penelitian Meirinawati (2007)
persentase penggunaan obat golongan ini sebesar 43,33%.
Pemberian obat golongan sistem saraf pusat bertujuan untuk mengurangi
rasa cemas pada pasien sehingga pasien menjadi tenang dan dapat beristirahat.
penyakit (Widyastuti, 2007). Menurut hasil penelitian Herlinawati (2009) dan
Meirinawati (2007) persentase penggunaan obat golongan sistem saraf pusat
berturut-turut adalah 21,88% dan 36,67%.
Obat golongan antiinfeksi dapat digunakan untuk mengobati infeksi bakteri
yang menyertai penderita diabetes melitus seperti ulkus dan ganggren supaya
tidak menjadi lebih parah. Pasien diabetes melitus juga rentan terhadap penyakit
infeksi terutama infeksi saluran kemih dan infeksi saluran nafas (Herlinawati,
2009). Pada penelitian sebelumnya obat golongan ini digolongkan menjadi
golongan antibiotik dengan persentase pemakaiannya pada hasil penelitian
Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing adalah 62,5% dan
56,67%.
Pemberian golongan sistem saluran cerna perlu diberikan kepada pasien
diabetes melitus untuk mengantisipasi efek samping dari antidiabetik. Hasil
penelitian Herlinawati (2009) menunjukan persentase penggunaan obat golongan
ini adalah 34,38% sedangkan menurut Meirinawati (2007) adalah 30%.
Obat golongan sistem saluran napas digunakan untuk mengobati penyakit
penyerta berupa asma dan batuk (Herlinawati, 2009). Menurut hasil penelitian
Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing adalah 12,5% dan
10%.
Obat golongan sistem obstretik, ginekologik dan saluran kemih digunakan
pada pasien dengan gangguan pada saluran kemih. Pada penelitian sebelumnya
Pemberian obat golongan otot skelet dan sendi diberikan pada pasien
dengan nyeri sendi dan nyeri otot (Widyastuti, 2007). Pada penelitian Meirinawati
(2007) obat golongan ini digolongkan menjadi golongan obat anti radang,
reumatik, encok dengan persentase penggunaan 10%. Sedangkan pada penelitian
Herlinawati (2009) persentase penggunaannya sebesar 12,5%.
D. Profil Antihipertensi yang Digunakan Pada Penatalaksanaan DM Tipe 2 dengan Hipertensi
Golongan obat yang dapat dipakai untuk mengobati hipertensi pada
penyandang diabetes dengan hipertensi adalah antihipertensi golongan
Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (penghambat ACE), Angiotensin Receptors Blocker (ARB), diuretika, β-bloker, dan antagonis kalsium (Sassen dan MacLaughin, 2008).
1. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (penghambat ACE)
Mekanisme kerja penghambat ACE adalah dengan mengurangi
pembentukan angiotensin II sehingga menimbulkan terjadinya vasodilatasi
dan penurunan sekresi aldosteron yang menyebabkan ekskresi natrium dan air
serta terjadi retensi kalium. Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan darah.
Penghambat ACE merupakan golongan antihipertensi tahap pertama yang
efektif untuk hipertensi ringan, sedang dan berat. Obat yang termasuk
golongan ini adalah kaptopril, enalapril, lisinopril, ramipril, kuinapril,
perindopril, silazapril, benazepril, delapril dan fosinopril (Setiawati dan
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hipertensi dengan Indikasi Spesifik
(Sassen dan MacLaughin, 2008)
Penghambat ACE tidak mempunyai efek samping pada lipid atau kadar
glukosa dan dapat meningkatkan sensitivitas insulin. Efek samping yang
ditimbulkan berupa hiperkalemia pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(Motala, 1996) Obat golongan penghambat ACE dapat berinteraksi dengan
alopurinol yang menyebabkan efek antihipertensi dari golongan penghambat
Pada hasil penelitian sebelumnya, presentase penggunaan antihipertensi
golongan ini cukup tinggi dengan penggunaan paling banyak kaptopril yaitu
21,9% dan 36,67% (Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).
2. Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) atau Antagonis Angiotensin II
Antagonis Angiotensin II dapat mengurangi komplikasi diabetes dan
merupakan terapi pilihan untuk mengontrol hipertensi pada pasien dengan
diabetes (Whalen dan Stewart, 2008).
Sifat obat golongan ini mirip dengan golongan Penghambat ACE, tetapi
obat ini tidak memecah bradikinin sehingga tidak menimbulkan batuk kering
persisten yang merupakan efek samping dari penghambat ACE. Hal ini
membuat obat golongan ini dapat digunakan sebagai alternatif dari obat
golongan penghambat ACE pada pasien yang tidak dapat mentoleransi batuk
kering persisten akibat penggunaan obat golongan penghambat ACE (Neal,
2006)
Sama halnya dengan obat golongan penghambat ACE, obat golongan
ARB ini juga dapat berinteraksi dengan alopurinol yang menyebabkan efek
antihipertensi dari golongan ARB berkurang (Tatro, 2007)
Pada hasil penelitian Meirinawati (2007), persentase penggunaan obat
golongan ini cukup rendah yaitu sebesar 13,33% dengan penggunaan losartan
pada 1 pasien dan 3 pasien menggunakan valsartan. Hal ini berbeda jauh
dengan hasil penelitian Herlinawati (2009). Persentase penggunaan
adalah pada penggunaan valsartan yaitu sebesar 71,9% (Meirinawati, 2007;
Herlinawati, 2009).
3. Diuretika
Obat golongan ini menurunkan tekanan darah dengan cara
meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume
plasma dan cairan ekstrasel. Diuretika secara tunggal dapat digunakan untuk
mengobati hipertensi essensial ringan dan sedang. Pada hipertensi yang lebih
berat dapat digunakan kombinasi diuretika dengan obat simpatolitik dan
vasodilator (Benowitz dan Bourne, 1989).
Obat golongan diuretika kuat, misalnya furosemid, dapat digunakan
untuk pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal atau payah jantung.
Diuretika hemat kalium, seperti spironolakton, merupakan diuretika lemah
yang berguna untuk mencegah terjadinya kekurangan kalium sebagai akibat
pemberian diuretika yang lain (Setiawati dan Bustami, 1995).
Dari hasil penelitian sebelumnya persentase penggunaan diuretika
adalah sebesar 16,33% dan 50%. Pada penelitian Meirinawati (2007),
persentase penggunaan furosemid adalah 13,33% dan persentase penggunaan
diuretika tiazid hanya 3,33%. Pada penelitian Herlinawati (2009), persentase
penggunaan furosemid dan hidroklorotiazid masing-masing adalah 15,6% dan
Gambar 2. Mekanisme Kerja Antihipertensi
(Sassen dan MacLaughin, 2008)
4. Penghambat beta atau β-bloker
Mekanisme antihipertensi dari β-bloker masih belum jelas, namun
sebagai antihipertensi diperkirakan bekerja dengan cara mengurangi denyut
jantung dan kontraktilitas miokard, menghambat pelepasan norepinefrin
melalui hambatan reseptor β-2 prasinaps serta menghambat sekresi renin
melalui hambatan reseptor β-1 di ginjal (Setiawati dan Bustami, 1995).
Obat golongan ini berfungsi untuk mengobati hipertensi, nyeri dada,
serangan jantung berikutnya. Obat ini bekerja dengan memblok efek
adrenalin dan bekerja di jantung untuk meringankan kerja jantung sehingga
dapat menurunkan tekanan darah (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2006). Contoh obat golongan ini adalah propanolol, nadolol, atenolol
dan pindolol (Setiawati dan Bustami, 1995).
Obat golongan penyekat beta harus digunakan dengan hati-hati pada
penderita diabetes melitus karena obat ini dapat menutupi terjadinya
hipoglikemia terselubung apabila digunakan bersamaan dengan antidiabetika
oral. Selain itu, efek antihipertensi dari golongan ini dapat berkurang akibat
penggunaan bersamaan dengan antiinflamasi nonsteroid. Bradikardi dan
depresi miokardial dapat terjadi apabila digunakan bersama dengan golongan
antagonis kalsium (Tatro, 2007)
Pada hasil penelitian sebelumnya, penggunaan antihipertensi golongan
ini sangat rendah. Bahkan hasil penelitian Meirinawati (2007), tidak
ditemukan adanya penggunaan antihipertensi golongan ini. Hasil penelitian
Herlinawati (2009) menunjukan persentase penggunaan antihipertensi ini
adalah sebesar 6,2% dengan penggunaan bisoprolol dan propanolol
(Meirinawati, 2007; Herlinawati, 2009).
5. Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium dapat menurunkan kejadian kardiovaskular pada
pasien diabetes dengan hipertensi. Antagonis kalsium dengan β-bloker,
kombinasi dengan diuretika hanya memberikan efek yang kecil (Setiawati dan
Bustami, 1995).
Antagonis kalsium menurunkan tekanan darah dengan memperlambat
pergerakan kalsium ke dalam sel jantung dan dinding arteri yang membawa
darah dari jantung ke jaringan sehingga arteri menjadi relaks dan dapat
menurunkan tekanan dan aliran darah di jantung (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2006).
Antagonis kalsium golongan dihidropiridon mempunyai efek netral
terhadap parameter metabolik baik pada penderita diabetes tipe 2 dengan
hipertensi. Dalam sebuah studi singkat menggunakan diltiazem dan verapamil
(antagonis kalsium golongan non-dihidropiridon) menurunkan proteinuria
pada pasien dengan nefropati diabetes. Namun, dalam studi yang lebih lama
tidak menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus (Pacheco, Parot, Raskin,
2002).
Penggunaan antagonis kalsium pada penelitian sebelumnya cukup
tinggi. Pada penelitian Meirinawati (2007), persentase penggunaan paling
banyak adalah amlodipin besilat yaitu 23,34%. Persentase penggunaan
nifedipin dan diltiazem masing-masing adalah 16,33% dan 3,33%. Menurut
penelitian Herlinawati (2009), persentase penggunaan nifedipin, amlodipin
dan diltiazem berturut-turut adalah 12,5%, 9,4% dan 9,4% (Meirinawati,
E. Drug Related Problems (DRPs)
Drug Related Problems (DRPs) atau sering disebut dengan Drug Teraphy Problems (DTP) merupakan masalah yang sering timbul dalam pengobatan dan tidak diharapkan oleh pasien. DRPs dibagi menjadi dua
kelompok yaitu Actual DRPs dan Potential DRPs. Actual DRPs adalah masalah yang benar-benar terjadi terkait dengan pengobatan yang diberikan kepada
pasien. Sedangkan Potential DRPs adalah masalah yang diduga akan terjadi berkaitan dengan pengobatan yang akan diterima oleh pasien tersebut. Kedua
jenis DRPs ini membutuhkan campur tangan farmasis untuk mengatasinya
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Masalah yang termasuk dalam DRPs adalah sebagai berikut :
1. Ada obat tanpa indikasi
Obat yang digunakan dalam terapi tidak dibutuhkan karena pasien tidak
mengalami indikasi klinis dari obat bersangkutan pada saat menjalani terapi.
Penyebabnya adalah tidak adanya indikasi medis yang tepat untuk terapi
obat yang diberikan. Misalnya pasien mengalami stress sehingga tekanan
darahnya mencapai 140/80 mmHg dan diberikan antihipertensi. Sebenarnya
pemberian antihipertensi ini kurang tepat karena tekanan darah pasien
melonjak disebabkan oleh stress sehingga cukup dengan terapi non
farmakologis saja (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
Selain itu dapat juga disebabkan adanya penggunaan obat yang bersifat
polifarmasi. Misalnya pasien mengalami batuk dan diberi obat batuk yang
diberikan lagi parasetamol dalam bentuk tablet (Cipolle, Linda, Peter,
2004).
Pemberian obat tanpa indikasi ini tentunya akan merugikan pasien
secara finansial karena membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan.
DRPs kategori ini juga dapat menimbulkan dampak negatif pada pasien
berupa efek samping atau toksisitas (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinis, 2005).
2. Membutuhkan obat tambahan
Obat tambahan dibutuhkan untuk mengobati atau mencegah
berkembangnya penyakit atau kondisi medis. Obat tambahan juga dapat
terjadi pada kondisi medis yang membutuhkan terapi obat tambahan untuk
memperoleh efek sinergis atau adiktif (Cipolle, dkk, 2004).
Misalnya pada pasien diabetes melitus dengan hipertensi yang
memerlukan antidiabetes dan antihipertensi. Namun dalam kenyataannya,
pasien tidak menerima antihipertensi padahal tekanan darah pasien cukup
tinggi. Selain itu, pasien diabetes melitus dengan hipertensi rentan terhadap
penyakit kardiovaskular misalnya jantung sehingga diperlukan obat yang
dapat menjaga jantung untuk mencegah penyakit jantung. Jika tekanan
darah tidak kunjung mencapai target yang diharapkan, dibutuhkan
antihipertensi lain sebagai kombinasi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
3. Pemilihan obat yang tidak tepat
Pemilihan obat yang kurang tepat meliputi obat yang digunakan tidak
atau kurang efektif (pasien menerima obat tetapi bukan yang paling efektif
untuk indikasi yang diobati), pasien alergi terhadap obat yang diberikan,
pasien resisten terhadap obat yang digunakan, pemilihan bentuk sediaan
yang kurang tepat dan adanya polifarmasi yaitu pemberian berbagai macam
obat dengan komposisi yang sama secara bersamaan (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).
4. Dosis tidak sesuai
Obat dapat menimbulkan respon yang diinginkan jika dosis yang
diberikan dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, evaluasi pada dosis
obat yang diberikan meliputi jumlah dosisnya yaitu apakah dosis terlalu
rendah, cukup atau terlalu tinggi. Jika dosis terlalu rendah efek obat yang
diharapkan tidak dapat tercapai. Sedangkan jika dosis terlalu tinggi dapat
menyebabkan toksisitas. Selain pemberian dosis, interaksi obat juga dapat
menyebabkan penurunan efek terapi. Dalam dosis yang cukup, obat dapat
menimbulkan efek samping yaitu efek yang tidak diharapkan dalam terapi
(Cipolle, dkk, 2004).
Hasil penelitian terdahulu (Meirinawati, 2007) menunjukan adanya kasus
DRPs sebanyak 7 kasus dari 30 kasus dengan rincian 6 kasus pilihan obat tidak
tepat dan 2 kasus dosis terlalu rendah. Sedangkan hasil penelitian Herlinawati
tinggi, 2 kasus obat kurang efektif, 1 kasus tidak butuh obat dan 4 kasus butuh
obat dari 32 kasus.
F. Keterangan Empiris
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
penggunaan antihipertensi pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di
IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang, meliputi karakteriksik pasien, profil obat,
profil antihipertensi dan Drug Related Problems (DRPs).
25
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan rancangan penelitian
deskriptif yang bersifat retrospektif. Observasional karena dalam penelitian ini
tidak terdapat perlakuan terhadap subyek uji. Deskriptif karena penelitian ini
diarahkan untuk mendeskripsikan atau menguraikan suatu keadaan secara
obyektif. Retrospektif karena data yang digunakan dalam penelitian diambil
dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen terdahulu, yaitu data lembar
catatan rekam medik pasien (Notoatmodjo, 2005)
B. Definisi Operasional
1. Pasien adalah penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi yang
menjalani perawatan di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli
2009-Juni 2010.
2. IRNA adalah instalasi rawat inap.
3. Kritertia hipertensi ditentukan dengan melihat diagnosis masuk, diagnosis
kerja dan diagnosis keluar serta tingginya tekanan darah pasien.
4. Karakteristik pasien yang dimaksud meliputi umur, jenis kelamin, lama
perawatan di rumah sakit dan keadaan pasien pada saat keluar dari rumah
sakit.
5. Profil obat yang dimaksud adalah kelas terapi obat, jenis obat dan aturan
6. Obat yang dievaluasi adalah obat antihipertensi yang diberikan pada
penyandang diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi.
7. Drug related problems (DRPs) yang dimaksud meliputi ada indikasi tanpa obat, membutuhkan obat tambahan, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis
terlalu rendah dan dosis terlalu tinggi yang dikaji berdasarkan Hypertensive
Vascular Disease dalam Harrison Principles of Internal Medicine (Williams, G.H., 2001) dan Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006) serta interaksi obat dan efek
samping obat yang dikaji berdasarkan Drug Interaction Facts (Tatro, 2007) 8. Efek samping obat yang dimaksud adalah efek samping yang timbul akibat
penggunaan antihipertensi yang dikeluhkan pasien selama dirawat di rumah
sakit dan tercatat di lembar rekam medis.
9. Interaksi obat yang dimaksud adalah kemungkinan adanya interaksi antara
antihipertensi dengan obat lain yang diberikan selama pasien dirawat di rumah
sakit.
10.Nama obat yang dimaksud adalah nama generik, kecuali obat yang
mengandung lebih dari 2 macam zat aktif digunakan nama zat aktif utama
pada obat paten kombinasi.
11.Diagnosis masuk adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis saat pasien
masuk rumah sakit.
12.Diagnosis kerja adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis selama pasien
13.Diagnosis keluar adalah diagnosis yang ditulis pada rekam medis saat pasien
keluar dari rumah sakit.
C.Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi
yang menjalani perawatan di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang periode Juli
2009-Juni 2010.
D.Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah data rekam medis pasien diabetes
melitus tipe 2 dengan hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
periode Juli 2009-Juni 2010.
E.Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di IRNA Rumah Sakit Harapan, Jalan P.
Senopati 11 Magelang.
F. Tata Cara Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap sebagai berikut:
1. Tahap Perencanaan
Perencanaan dilakukan dengan melakukan studi pustaka mengenai
diabetes khususnya diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi, penentuan
pengambilan rekam medik di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan
Magelang. Kemudian dilanjutkan dengan pencarian informasi mengenai
kemungkinan diadakannya penelitian di Rumah Sakit Harapan Magelang.
2. Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan data didahului dengan mencari tahu jumlah angka kejadian
diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit
Harapan Magelang periode Juli 2009-Juni 2010 yang diperoleh dari
Sub-Bagian Rekam Medik. Dari Sub-Sub-Bagian Rekam Medik didapatkan printout
yang berisi nomor rekam medik, hasil diagnosis, tanggal keluar dan keadaan
pasien saat keluar dari rumah sakit. Data tersebut digunakan untuk
mendapatkan data pasien diabetes melitus tipe 2 diserai hipertensi dengan
menelusuri lembar rekam medik secara keseluruhan.
Pada saat pengumpulan data digunakan blanko yang berisi identitas
pasien, diagnosis masuk, diagnosis kerja, diagnosis keluar, obat yang
diberikan, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan keluhan pasien
saat masuk rumah sakit serta selama pasien menjalani perawatan. Identitas
pasien berisi nama, umur dan jenis kelamin, kelas perawatan, tanggal masuk
dan tanggal keluar pasien serta lama perawatan. Kategori obat yang diberikan
berisi jenis obat, dosis obat, aturan pemakaian obat, waktu pemakaian obat
dan lama pemakaian obat. Pemeriksaan fisik berisi pemeriksaan tekanan
darah, suhu tubuh dan denyut nadi. Pemeriksaan laboratorium yang
glukosa darah sewaktu, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, asam urat, kolesterol
total, HDL, LDL, trigliserida.
3. Tahap Pengolahan Data
Dari sub bagian rekam medik didapatkan 130 kasus diabetes melitus tipe
2. Dari 130 kasus tersebut didapatkan 29 kasus diabetes melitus tipe 2 dengan
hipertensi. Data yang didapatkan dari 29 kasus tersebut kemudian dilakukan
pengolahan data dengan menyusun dan menggolongkan data dalam
kategori-kategori secara tabel. Kategori yang dimaksud adalah karakteristik pasien,
profil obat, jenis DRPs dan dampak terapi. Data kualitatif akan disajikan
dalam bentuk uraian sedangkan data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk
tabel dan grafik. Kemudian berdasarkan data tersebut akan dilakukan
pembahasan secara naratif.
G.Tata Cara Analisis Hasil
Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif untuk
mengetahui pemilihan dan penggunaan obat pada pasien diabetes melitus tipe
2 dengan hipertensi di instalasi rawat inap Rumah Sakit Harapan Magelang.
Data yang telah diolah dibuat persentase, dievaluasi menggunakan teori yang
Data yang didapatkan dievaluasi berdasarkan:
1. Distribusi kelompok umur pasien
Kelompok umur pasien dibagi secara rasional menjadi 5 kelompok
yaitu kelompok umur 35-44 tahun, 45-54 tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun
dan 75-84 tahun. Perhitungan dilakukan pada masing-masing kelompok,
dibagi dengan jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi dan
dikali 100%.
2. Distribusi jenis kelamin pasien
Kelompok jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki.
Perhitungan dilakukan pada masing-masing kelompok, dibagi dengan
jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi dan dikali 100%.
3. Distribusi lama rawat pasien
Lama perawatan dihitung dari pasien masuk rumah sakit hingga pasien
keluar dari rumah sakit. Setelah itu dikelompokan berdasarkan lama
perawatannya dan dilakukan perhitungan pada masing-masing kelompok,
dibagi dengan jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi dan
dikali 100%
4. Distribusi keadaan pasien pada saat keluar dari rumah sakit
Keadaan pasien pada saat keluar dari rumah sakit didapat dari lembar
meninggalkan rumah sakit. Kelompok keadaan pasien ini dibagi menjadi
dua kelompok yaitu meninggal dan membaik. Perhitungan dilakukan pada
masing-masing kelompok dan dibagi dengan jumlah pasien diabetes
melitus tipe 2 dengan hipertensi.
5. Distribusi kelas terapi obat
Obat yang digunakan pada terapi dikelompokan berdasarkan kelas
terapi obat sesuai dengan IONI 2008 dan didapatkan 9 kelas terapi obat
yaitu sistem endokrin, sistem kardiovaskular, sistem saluran cerna, sistem
saluran napas, sistem saraf pusat, infeksi, obstretik-ginekologik-saluran
kemih, gizi-darah, dan skelet-sendi. Perhitungan dilakukan pada setiap
kelompok kelas terapi obat dengan menjumlah kasus yang menggunakan
kelas terapi obat yang dimaksud, dibagi dengan jumlah total kasus dan
dikali 100%.
6. Distribusi jenis DRPs
Data yang diperoleh kemudian dianalisis adanya DRPs dan
dikelompokan menjadi 6 kategori DRPs. Perhitungan dilakukan dengan
menjumlah kasus DRPs pada seriap kategori dibagi dengan jumlah total
H. Kelemahan dan Kesulitan Penelitian
Kelemahan penelitian ini adalah tidak dilakukan cross check yang dapat mempertajam analisis. Penelitian ini juga hanya membahas drug related problems
mengenai antihipertensi sehingga tidak diketahui DRPs secara keseluruhan.
Pada saat pengambilan data menggunakan rekam medis, peneliti mengalami
beberapa kesulitan. Kesulitan yang pertama adalah peneliti kurang dapat
membaca dan memahami tulisan dokter yang ada di rekam medis. Kesulitan yang
kedua adalah kesulitan menemukan rekam medis yang dibutuhkan karena sedang
33
Selama periode Juli 2009 hingga Juni 2010 di IRNA Rumah Sakit Harapan
Magelang ditemukan 29 pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi. Pasien
tersebut kemudian dikelompokkan berdasarkan umur, jenis kelamin, lama
perawatan dan kondisi pasien saat keluar dari rumah sakit.
1. Umur Pasien
Dari data pasien yang diperoleh, pasien dikelompokan secara rasional
menjadi 5 kelompok umur yaitu kelompok umur 35-44 tahun, 45-54 tahun,
55-64 tahun, 65-74 tahun, dan 75-84 tahun. Penderita paling banyak yaitu
sebanyak 38% terdapat pada kelompok usia 65-74 tahun. Kelompok usia
yang lebih lanjut lagi yaitu kelompok usia 75-84 tahun yang mengidap
diabetes dengan hipertensi hanya 10%. Persentase penderita pada kelompok
usia yang paling muda yaitu 35-44 tahun paling rendah yaitu 7%. Kelompok
usia 45-54 tahun sebesar 14% dan kelompok usia 55-64 tahun sebesar 31%.
Gambar 3. Distribusi Umur Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
7%
14%
31% 38%
10% 35-44
Kelompok usia yang paling banyak mengidap penyakit diabetes melitus
tipe 2 dengan hipertensi adalah pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu
sebanyak 38%. Hal ini dikarenakan terjadinya penurunan fungsi tubuh pada
pasien usia lanjut. Sedangkan untuk usia yang lebih lanjut yaitu lebih dari 75
tahun kejadian diabetes melitus lebih sedikit yaitu 10% dikarenakan banyak
penderita yang sudah tidak mampu bertahan mengingat adanya teori yang
menyebutkan bahwa angka harapan hidup di Indonesia mencapai 70 tahun
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006)
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2006) menyatakan hipertensi mulai
muncul pada usia 55 tahun. Hasil penelitian menunjukkan penderita diabetes
melitus dengan hipertensi mulai melonjak pada kelompok usia 55-64 tahun.
Pada kelompok usia sebelumnya, yaitu kelompok usia 45-54 tahun,
ditemukan persentase kejadian sebesar 13%, sedangkan pada kelompok usia
55-64 tahun, angka persentase melonjak lebih dari dua kali lipat yaitu 31%.
Hal ini menunjukan bahwa hipertensi mulai muncul pada usia 55 tahun.
Kesimpulannya, hasil penelitian ini telah sesuai dengan teori yang ada.
Menurut hasil penelitian Meirinawati (2007) menyatakan bahwa
kelompok usia yang paling banyak menderita diabetes melitus dengan
hipertensi adalah kelompok usia 55-64 tahun yaitu sebesar 36,67%.
Kelompok usia 65-74 tahun menduduki peringkat kedua tertinggi yaitu
sebesar 26,67%. Kelompok usia yang lebih lanjut yaitu 75 tahun ke atas
terdapat 13,33%. Hasil penelitian Herlinawati (2009) menyatakan penderita
peringkat kedua pada kelompok usia 60-69 tahun sebesar 34,4%. Pada
kelompok usia lebih lanjut yang terdapat pada kategori 70-79 tahun dan 80-89
tahun hanya ditemukan sebesar 9,4%.
Hasil kedua penelitian sejenis tersebut hampir sama dengan hasil
penelitian ini yaitu penderita diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi paling
banyak pada kelompok usia lanjut yaitu di atas 55 tahun. Selain itu, dari
kedua penelitian tersebut juga didapat bahwa pada usia yang lebih lanjut yaitu
70 tahun ke atas persentasenya cenderung menurun. Hal ini dikarenakan
banyak penderita yang sudah tidak mampu bertahan mengingat adanya teori
yang menyebutkan bahwa angka harapan hidup di Indonesia mencapai 70
tahun.
2. Jenis Kelamin Pasien
Dari data yang diperoleh didapatkan persentase laki-laki yang mengidap
diabetes dengan hipertensi lebih banyak yaitu 59%. Sedangkan persentase
perempuan yang mengidap diabetes dengan hipertensi adalah 41%.
Gambar 4. Perbandingan Jenis Kelamin Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
59%
41% laki-laki
Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik (2006), pada
usia dibawah 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi
dibandingkan perempuan. Sedangkan pada usia antara 55-74 tahun,
perempuan sedikit lebih banyak menderita hipertensi dibanding laki-laki.
Hasil penelitian menunjukan, persentase laki-laki yang menderita diabetes
melitus dengan hipertensi lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh kebiasaan merokok dan konsumsi minuman
beralkohol yang lebih banyak dilakukan laki-laki dibanding perempuan.
Berdasarkan hasil penelitian Meirinawati (2007) didapatkan hasil bahwa
persentase penderita perempuan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki.
Perbandingan persentase perempuan dengan laki-laki adalah 63,33% :
36,67%. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Herlinawati (2009)
didapatkan perbandingan persentase perempuan dan laki-laki sebesar 53,1% :
46,9%. Hasil penelitian yang didapat tidak sesuai dengan kedua penelitian
sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan gaya hidup karena
lokasi dan waktu penelitian yang berbeda.
3. Lama Perawatan
Lama rawat bergantung dari kondisi pasien dan kesediaan pasien untuk
dirawat. Dari hasil penelitian didapat hasil yang bervariasi antara 2 hari
sampai 8 hari. Pasien paling banyak dirawat selama 4, 6 dan 8 hari yaitu
sebesar 21%. Sedangkan presentase lama perawatan yang paling sedikit
penderita diabetes melitus dengan hipertensi harus intensif untuk mengontrol
kadar glukosa darah pasien dan tekanan darah pasien.
Gambar 5. Distribusi Lama Perawatan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
Menurut hasil penelitian Meirinawati (2007) menyatakan pasien paling
banyak tinggal di rumah sakit selama 4-6 hari yaitu sebesar 46,67% pasien.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian karena jika diakumulasikan antara
pasien yang dirawat 4 hari, 5 hari dan 6 hari persentasenya paling besar
daripada kelompok lainnya.
4. Keadaan Pasien pada Saat Keluar dari Rumah Sakit
Hampir seluruh pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi di Rumah
Sakit Harapan Magelang meninggalkan rumah sakit dalam keadaan membaik
atau dapat dikatakan pulang atas persetujuan dokter. Menurut rumah sakit, 3%
14%
21%
14% 21%
7%
21% 2 hari
membaik berarti membaik kondisi umum dari pasien tersebut. Sedangkan satu
pasien meninggal dunia setelah 24 jam dirawat di rumah sakit.
Gambar 6. Perbandingan Keadaan Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi Saat Keluar dari Rumah Sakit
Hasil penelitian sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yaitu
persentase terbesar adalah pasien keluar dari rumah sakit dalam kondisi
membaik. Berdasarkan hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati
(2007) berturut-turut 81,3% dan 66,67% keluar dari rumah sakit dalam
keadaan membaik.
B. Profil Obat
Obat yang digunakan dalam penatalaksanaan diabetes melitus dengan
hipertensi dibagi menjadi 9 kelas terapi obat. Obat golongan gizi dan darah,
sistem endokrin serta sistem kardiovaskular digunakan pada semua kasus (100%).
Hal ini dikarenakan pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi pada
umumnya membutuhkan ketiga golongan obat tersebut. 97%
3%
Obat sistem endokrin dan obat sistem kardiovaskular penggunaannya
mencapai 100% atau digunakan pada setiap kasus diabetes melitus yang dengan
hipertensi. Hal ini berkaitan dengan penanganan diabetes melitus dengan
hipertensi. Obat antidiabetes termasuk dalam obat sistem endokrin sehingga obat
golongan ini digunakan pada semua kasus untuk menurunkan dan menjaga kadar
glukosa dalam darah. Begitu pula dengan pemakaian obat sistem kardiovaskular
yang mencakup obat antihipertensi untuk menurunkan dan menjaga tekanan darah
pasien. Obat kelas terapi yang lain digunakan untuk mengobati penyakit,
mencegah penyakit menjadi lebih parah dan dapat juga untuk mempercepat
pemulihan kondisi pasien.
Gambar 7. Distribusi Kelas Terapi Obat Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
Persentase penggunaan golongan gizi dan darah sebesar 100%. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Herlinawati (2009) yang menyatakan
penggunaan obat golongan ini mencapai 100%. Namun, hasil penelitian ini tidak
sesuai dengan hasil penelitian Meirinawati (2007) yang menyatakan persentase
penggunaan obat golongan ini adalah 44,43. Perbedaan hasil penelitian ini dapat
disebabkan adanya perbedaan kondisi pasien. Obat golongan gizi dan darah yang
digunakan dikelompokan menjadi 5 subkelas terapi yang dapat dilihat pada Tabel
II.
Tabel II. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Gizi dan Darah pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %
NaCl+Aminofilin 1 3,45
Persentase penggunaan obat sistem endokrin juga mencapai 100%. Hal ini
dikarenakan obat antidiabetika dan insulin yang berguna untuk menjaga dan
menurunkan kadar glukosa darah termasuk dalam golongan obat sistem endokrin.
Persentase penggunaan obat golongan ini pada penelitian sebelumnya juga cukup
tinggi yaitu 87,5% dan 96,67%. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori karena
pada umumnya pasien diabetes melitus membutuhkan insulin atau obat
antidiabetika oral yang termasuk dalam obat golongan sistem endokrin.
Obat golongan sistem endokrin dibagi menjadi dua sub kelas terapi yaitu diabetes
dan kortikosteroid yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel III.
Tabel III. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Endokrin Pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %
2. Kortikosteroid Glukokortikoid Metilprednisolon 4 13,79
Dexametason 2 6,90
*∑ = jumlah pasien (n=29)
Obat kardiovaskular merupakan obat yang bekerja pada jantung dan pembuluh
darah. Persentase penggunaaan obat golongan ini mencapai 100% karena obat
antihipertensi termasuk dalam golongan ini. Pada penelitian sebelumnya
Perbedaan persentase penggunaan obat golongan ini dapat dikarenakan adanya
kondisi pasien yang berbeda. Obat golongan ini terbagi dalam 9 sub kelas terapi
yang secara rinci terlihat pada Tabel IV.
Tabel IV. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Kardiovaskular pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %
1. Aritmia Antiaritmia Adenosin 1 3,45
Amiodarone 1 3,45
2. Antihipertensi Beta-Bloker Bisoprolol 5 17,24
Penghambat ACE Captopril 6 20,69
Lisinopril 5 17,24
Isosorbid mononitrat 5 17,24 Antagonis
Kalsium
Amlodipine 4 13,79
Diltiazem 5 17,24
Nifedipin 2 6,90
Anti Angina Lain Trimetzidin diHCl 1 3,45
4. Diuretika Tiazid Hidroklorotiazid 1 3,45
Diuretika Kuat Furosemid 8 27,59
Obat golongan sistem saraf pusat dapat digunakan untuk mengurangi rasa
cemas pada pasien sehingga pasien menjadi tenang dan dapat beristirahat.
Menurut hasil penelitian, persentase penggunaan obat sistem saraf pusat adalah
93,10%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Menurut
hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) persentase
penggunaan obat golongan sistem saraf pusat berturut-turut adalah 21,88% dan
36,67%. Perbedaan hasil penelitian ini dikarenakan karena tempat dan waktu
penelitian yang berbeda yang berakibat pada berbedanya kondisi pasien.
Obat golongan sistem saraf pusat yang digunakan terbagi dalam 5 subkelas
terapi yang secara rinci dapat dilihat pada tabel V.
Tabel V. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Saraf Pusat pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑ %
1. Hipnosis dan Ansietas
Hipnosis Zolpidem Tartrat 1 3,45
Ansietas Alprazolam 8 27,59
Dopaminergik Selegilin 1 3,45
Obat antiinfeksi digunakan untuk mengobati infeksi akibat bakteri yang
menyertai diabetes melitus seperti ulkus dan ganggren agar tidak bertambah
parah. Menurut hasil penelitian, obat golongan antiinfeksi cukup sering digunakan
dengan presentase penggunaan 68,97%. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya. Namun, pada hasil penelitian sebelumnya obat golongan
ini digolongkan menjadi golongan antibiotik. Persentase pemakaian antibiotik
pada hasil penelitian Herlinawati (2009) dan Meirinawati (2007) masing-masing
adalah 62,5% dan 56,67%.
Kelas terapi antiinfeksi dibagi menjadi dua sub kelas terapi yaitu antibakteri
dan antivirus yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel VI.
Tabel VI. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Antiinfeksi pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %
1. Antibakteri Sefalosporin Sefadroksil 2 6,90
Sefixim 2 6,90
Sefotaksim 8 27,59
Seftriakson 2 6,90
Sefdinir 1 3,45
Makrolida Azitromisin 1 3,45
Kuinolon Levofloksasin 11 37,93
Ofloksasin 1 3,45
Pefloksasin 1 3,45
Siprofloksasin 1 3,45
2. Antivirus Metilzoprinol 1 3,45
*∑ = jumlah pasien (n=29)
Obat golongan sistem saluran cerna perlu diberikan kepada pasien diabetes
dalam terapi khususnya golongan sulfonilurea dan metformin yang dapat
menimbulkan mual dan muntah.
Pemakaian obat golongan sistem saluran cerna pada pasien diabetes melitus
dengan hipertensi di Rumah Sakit Harapan Magelang cukup banyak yaitu dengan
persentase 58,62%. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya. Hasil penelitian Herlinawati (2009) menunjukan persentase
penggunaan obat golongan ini adalah 34,38%. Sedangkan menurut Meirinawati
(2007) adalah 30%. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena perbedaan
waktu dan lokasi penelitian yang menyebabkan kondisi pasien yang berbeda.
Obat sistem saluran cerna yang digunakan dalam terapi diabetes melitus
dengan hipertensi dibagi menjadi 3 sub kelas. Sub kelas yang paling banyak
digunakan adalah antitukak dengan persentase paling banyak adalah penggunaan
ranitidin yaitu sebanyak 48,28%.
Tabel VII. Distribusi Golongan, Kelompok dan Nama Generik Obat Sistem Saluran Cerna pada Pasien DM Tipe 2 dengan Hipertensi
di IRNA Rumah Sakit Harapan Magelang
No. Golongan Kelompok Nama Generik ∑* %
2 Antitukak Antagonis