4 KEADAAN UMUM MASYARAKAT DAN LOKASI PENELITIAN
4.5 Profil Desa Lokasi Penelitian
Pada aras makro penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan memilih etnis Bugis dan Makassar sebagai sampel utama. Propinsi Sulsel setidaknya memiliki empat etnis asli; Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Berdasarkan jumlah penduduk dan letak geografisnya, etnis Bugis adalah etnis yang paling banyak penduduknya dan paling luas wilayahnya. Kemudian di susul oleh etnis Makassar. Secara historis, kedua etnis ini sama-sama memiliki tradisi kekuasaan di jazirah Sulawesi. Simbol kekuasaan yang paling fenomenal dalam sejarah ditandai oleh kepemimpinan Arung Palaka pada etnis Bugis dan Sultan Hasanuddin mewakili etnis Makassar. Karena sama-sama memiliki tradisi kekuasaan dari fase tradisional sampai fase sekularisme (reformasi), kedua etnis tersebut selalu mengalami kontestasi merebut panggung kekuasaan.
Meskipun terdapat banyak kerajaan kecil yang berkedudukan di beberapa kabupaten di Sulsel, akan tetapi kerajaan utama di Sulsel adalah kerajaan Bone yang menjadi representasi etnis Bugis dan kerajaan Gowa yang menjadi kebanggaan etnis Makassar. Gambaran tersebut menjadi salah satu sebab pada penelitian ini untuk memilih Kabupaten Bone mewakili etnis Bugis dan Kabupaten Gowa mewakili etnis Makassar untuk level mezzo.
Sedangkan pada aras mikro penelitian ini menentukan empat Desa utama sebagai sampel; masing-masing dua Desa mewakili dua etnis. Etnis Bugis diwakili oleh Desa Ancu Kecamatan Kajuara dan Desa Benteng Tellue Kecamatan Amali Kabupaten Bone. Sedangkan pada etnis Makassar diwakili oleh Desa Manjapai Kecamatan Bontonompo dan Desa Manuju Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa.
Desa Ancu
Desa Ancu adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, terletak persis di pinggir pantai Teluk Bone, sekitar 72 km dari
108
ibu kota Kabupaten Bone. Berbatasan dengan Kelurahan Awang Tangka di sebelah selatan, Desa Angkue dan Desa Pude di sebelah utara, dan Desa Raja di sebelah barat, sementara di bagian timur berbatasan dengan Teluk Bone.
Mata pencaharian utama warga di Desa Ancu adalah pada bidang pertanian
dan nelayan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat
mendapatkannya di salah satu pasar lokal yang terdapat di Bojo yang beraktivitas satu kali dalam seminggu, yakni setiap hari selasa.
Desa Ancu, sebelum memasuki masa kemerdekaan adalah salah satu desa yang memiliki sejarah kekuasaan, karena salah satu wilayah dari kekuasaan
kerajaan (akkarungeng) Awang Tangka. Di Kecamatan Kajuara saat sebelum
memasuki masa kemerdekaan dan masih menggunakan sistem pemerintahan
kerajaan, Kecamatan Kajuara terbagi dalam tiga wilayah Akkarungeng‘, Awang
Tangka, Tarasu dan Gona. Ketiga nama akkarungeng tersebut kini masing-masing
menjadi satu Desa, Desa Tarasu, Desa Gona, sedangkan untuk Awang Tangka menjadi sistem pemerintahan kelurahan. Di awal kemerdekaan Indonesia, para keluarga bangsawan yang saat itu memegang kekuasaan kerajaan masih berlanjut dengan diangkat menjadi kepala distrik.
Desa Ancu, secara administratif, terbagi dalam dua wilayah dusun dengan empat rukun tetangga (RT). Penduduk Desa Ancu pada tahun 2007 tercatat sebanyak 818 jiwa dengan pembagian, laki-laki sebanyak 365 jiwa dan perempuan 453 jiwa yang terdiri dari 172 kepala rumah tangga dengan tingkat kepadatan penduduk 234/Km².
Desa Benteng Tellue
Desa Benteng Tellue juga dikenal dengan nama Tabbae‘. Desa ini berada di
Kecamatan Amali Kabupaten Bone. Secara geografis, posisi desa berada pada daerah pedalaman, berbatasan langsung dengan dua kabupaten; Wajo dan Soppeng. Meskipun secara geografis posisi desa sangat marginal dari kota Kabupaten Bone, akan tetapi tingkat popularitas desa Benteng Tellue melampaui desa dan kelurahan di Kabupaten Bone, bahkan sangat popular di Sulsel.
Desa Benteng Tellue terletak di bagian Utara Bone yang berjarak ± 49 km
dari Watampone (ibukota Kabupaten Bone), ± 8 km dari Taretta ibu kota
109
Penduduk desa Benteng Tellue berjumlah ± 1584 jiwa dengan jumlah
Kepala Keluarga (KK) mencapai 575 rumah tangga yang terdiri dari tiga dusun, yakni dusun Tabba‘e sebanyak 569 jiwa dengan 187 KK, dusun Botto‘ dengan 678 jiwa meliputi 301 KK, dan dusun Curikki sejumlah 377 jiwa dengan 90 KK.
Secara geografis letak desa Benteng Tellue berada di daerah berbukit yang cukup subur dengan komoditas pertanian utama saat ini adalah kakao, jagung, pisang. Kakao dipetik seminggu atau dua minggu sekali dan dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jagung kuning sebagai tanaman berjangka pendek ditanam dan dipanen dua kali setahun. Sementara pisang dipanen seminggu dua kali juga sebagai komoditas yang menjadi penghasilan utama juga bagi banyak warga Desa. Pisang hasil pertanian warga desa Benteng Tellue diangkut oleh beberapa truk hingga puluhan per minggunya ke beberapa pasar lokal di Makassar dan Gowa. Komoditas lainnya adalah Padi, Kelapa, Ubi kayu, Ubi Jalar, Kacang Tanah, kacang Ijo, dan tembakau.
Desa Manjapai
Desa Manjapai adalah desa yang terletak pada dataran rendah di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa. Kira-kira 5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Gowa, atau sekitar 20 kilometer dari Kota Makassar. Desa Manjapai memiliki empat dusun
yang memiliki luas masing-masing; Kaluarrang (71,26 ha); Data ( 239,33ha);
Karebasse (62,73ha); dan Jannaya (79,75ha). Jadi luas keseluruhan desa Manjapai
adalah : 453,07 ha persegi. Terletak pada dataran rendah di pinggir pantai.
Pada awal perkembangan Kerajaan Gowa, Desa Manjapai menjadi salah satu daerah yang memproduksi elite-elite Istana Kesultanan Gowa. Setelah Gowa takluk pada Belanda, peranan elite-elite Manjapai terus mengalami penurunan fungsi politik dan ekonominya. Desa Manjapai kembali menjadi mesin produksi elite ketika Belanda menyerah dan Indonesia merdeka.
Selain melalui tentara, para elite di desa Manjapai juga diproduksi melalui organisasi Muhammadyah. Pada awal tahun 1950-an, Muhammadyah mulai mewarnai kehidupan keagamaan dan pendidikan masyarakat Desa Manjapai.
110
Desa Manuju
Desa Manuju berada di Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa berada pada posisi di atas 500 dari permukaan laut. Sebagian wilayah Desa Manuju digenangi Dam Bili-Bili, dam terbesar di Sulawesi Selatan.
Dengan posisinya di atas 500 dpl, kondisi klimatologi Desa Manuju sangat cocok untuk ditanami tanaman perkebunan seperti durian, kakao, rambutan dan tanaman tahunan lainnya. Kehidupan ekonomi masyarakat Manuju sebagian besar menggantungkan diri pada sector pertanian sawah dan perkebunan.
Pada pertengahan abad 16, kehidupan politik Kerajaan Gowa sangat memperhitungkan keberadaan Manuju. Karena Manuju adalah salah satu dari
Sembilan anggota Bate Salapang yang memiliki otoritas politik yang sangat tinggi
untuk turut menentukan nasib politik Istana Kerajaan Gowa
Salah satu literatur yang memuat informasi sejarah Manuju adalah buku kecil yang berjudul ‗Sejarah kerajaan Borisallo dan Manuju‘ yang ditulis oleh Zainuddin Tika dan kawan-kawan (2008). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kerajaan Borisallo dan kerajaan Manuju adalah dua kerajaan bersaudara dalam
kerajaan Gowa yang masuk menjadi anggota Bate Salapanga sejak tahun 1565,
yakni masa Raja Gowa XII I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng
Bontolangkasa. Selanjutnya, keanggotaan Borisallo dan Manuju dalam Bate
Salapanga diperkuat pada masa pemerintahan I Mallingkaang Daeng Nyonri pada
tahun 1894 dan bahkan di sebutkan hingga hari ini (Zainuddin Tika, dkk, 2008). Berdasarkan kedudukan politik masa lalunya, Desa Manuju memiliki tradisi
kekuasaan yang berbasiskan aristokrasi (kekaraengan). Para penguasa di Desa
Manuju selalu bersumber dari genetika kekaraengan. Dari pertengahan abad 16
hingga kini, desa yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng itu selalu dipimpin
oleh kalangan karaeng.
Informasi seputar kekaraengan Manuju dapat ditelusuri eksistensinya pada
tahun 1900 saat Manujumenjadi salah satu anggota Bate Salapanga dengan gelar
‗Karaeng‘ di mana delapan di antaranya adalah Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo, Gallarang Saumata, Gallarang Sudiang, Gallarang Paccellekang, Karaeng Pattallassang, Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Informasi ini sejalan dengan tuturan lisan dari warga dusun Panyikkokang (salah satu dusun
di desa Manuju) yang menyebutkan bahwa keberadaan ‗Karaeng Manuju‘
111
5 TRANSFORMASI PEMBENTUKAN ELITE PADA ETNIS
BUGIS DAN MAKASSAR DARI FASE TRADISIONAL KE
FASE SEKULARISME
Pada bagian ini akan diuraikan proses sosiologis pembentukan elite etnis Bugis (Bone) dan etnis Makassar (Gowa), pada empat fase utama; fase tradisional, fase feudalisme, fase Islam moderenisme dan fase sekularisme. Bab ini sekaligus berusaha menjawab pertanyaan tentang bagaimana transformasi, proses dan pola interaksi elite Bugis dan Makassar dalam usahanya meraih, menjaga dan memperluas kekuasaan politik dan ekonominya, mulai dari fase tradisional hingga fase sekularisme.
Penentuan fase-fase tersebut di atas merupakan hasil perpaduan konstruksi sejarah dan konstruksi peneliti setelah menafsirkan sejumlah makna yang diuraikan oleh actor maupun komunitas yang menjadi sumber dalam penelitian ini. Fase yang paling banyak memberi keragaman makna baik dari konstruksi sejarah maupun tafsiran dari actor maupun komunitas adalah fase tradisional dan feudalism. Sedangkan fase Islam modern dan sekularisme, adalah fase yang menurut penafsiran sejarah dan actor memiliki kesamaan konstruksi.
Tahapan pembentukan elite Bugis Bone dan Makassar Gowa tersebut di atas dianalisis dengan menggunakan teori tiga tahapan perubahan masyarakat
Comte (1838)40 dan Gibson (2005;2007) tentang transformasi kekuasaan pada
masyarakat Sulawesi Selatan. Comte menyebut tiga tahapan perubahan
masyarakat; 1) teologi, 2) metafisis, dan 3) positif. Sementara Gibson melihat
transformasi kekuasaan yang terjadi pada etnis Bugis dan Makassar menonjolkan tiga fase penting; tradisional, Islam dan modern.
Pada fase tradisional, proses sosiologis pembentukan elite etnis Bugis dan Makassar didominasi oleh permainan simbol dan mitos. Pada fase ini, untuk memperkokohkan dirinya sebagai pemegang tongkat kekuasaan, elite Bugis dan Makassar menyajikan politik mitos. Mitos yang paling berpengaruh adalah;
tomanurung. Sebuah konsep yang dirancang oleh para elite untuk mendapatkan
legitimasi kekuasaan dari massa. Proses ini menurut Gaventa (2005:11) dapat
40 Lihat Ankersmit, 1987; Feibleman, 1986; Hadiwijono, 1998; Johnson, 1994; dan Laeyendecker,
112
digolongkan sebagai proses yang bermain pada ruang kekuasaan tertutup (closed space power), dimana para actor elite merumuskan kebijakan politik secara terbatas untuk ditaati oleh public. Konsep ini kemudian menjadi inti dari pengembangan kekuasaan tradisional. Menurut Max Weber, relasi kekuasaan tradisional adalah kekuasaan yang bersandar pada aturan turun-temurun yang dipercaya oleh sebagian besar pendukungnya. Dari sinilah kemudian dilahirkan actor yang memiliki otoritas memperkuat pengetahuan simbolik yang menjadi dasar kekuasaan tradisional. Aktor-aktor yang memiliki kewenangan menjadi pemimpin adalah mereka yang memiliki struktur pengetahuan simbolik paling
tinggi. Mereka ini memiliki apa yang disebut Collins dengan cultural capital.
Pesan simbolik dari konsep tomanurung pada kasus pembentukan elite
Bugis dan Makassar, terletak pada legitimasi dan justifikasi kekuasaan para elite.
Menurut Shibutani dalam Charon, (1989: 39), disebut sebagai pengetahuan
simbolik, apabila ada sesuatu yang lain yang lebih penting dibalik sebuah peristiwa
tertentu. Tomanurung adalah sebuah peristiwa kekuasaan pada kalangan elite, pesan
utama dari peristiwa itu adalah pengakuan public atas kekuasaan yang digenggam
para elite yang merancang peristiwa tomanurung.
Fase kedua yang dibicarakan pada bagian ini adalah fase Feudalisme. Pada masa ini, tanah bagi para elite Bugis dan Makassar dijadikan sebagai tata- produksi kekuasaan. Collins dalam Ritzer (ed), 1990: 71), menyebut fase ini sebagai kondisi perebutan barang langka. Hadirnya ideologi kapitalisme Eropa ikut mendorong terjadinya konflik perebutan tanah sebagai alat untuk reproduksi kekuasaan. Pada fase inilah rasionalitas ekonomi dan basis prinsip kehidupan industrial dimulai.
Fase Islam dan moderenisme dalam proses pembentukan elite Bugis dan Makassar ditandai dengan perubahan regulasi pemerintah colonial, perkembangan dunia pendidikan dan pertumbuhan organisasi sosial masyarakat dan organisasi politik pada awal tahun 1900-an. Pangkal perselisihan antara elite Bugis (Bone) dengan elite etnis Makassar (Gowa) bermula dari kedatangan Islam, yang menjadi agama resmi Istana Gowa, dan hendak di perluas pengaruhnya sampai ke kerajaan Bugis di jazirah Sulawesi. Pada fase ini, terjadi resistensi terhadap menguatnya
113 kapitalisme internasional. Masa inilah awal lahirnya kesadaran moral dan intelektualitas yang tinggi pada elite Bugis dan Makassar.
Sedangkan fase sekularisme adalah fase yang berlangsung antara 1905 hingga 2010. Para elite Bugis dan Makassar pada periode sekularisme ini
cenderung mengandalkan tindakan kekuasaan yang bersifat pragmatis, utilities,
rasional, efisien dan transaksional.
Secara teoritis, proses pembentukan elite modern di Indonesia sangat ditentukan oleh beberapa hal; regulasi regim yang berkuasa, latar pendidikan, gerakan sosial dan identitas politik seseorang. Fakta ini cocok dengan pandangan Sutherland (1983), dan Niel (1984).
Berikut adalah gambar Abstraksi Teori Transformasi Pembentukan Elite politik elite dan massa etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa.
Gambar 5. Abstraksi Teori Transformasi Pembentukan Elite Politik Elite Dan Massa Etnis Bugis Bone Dan Etnis Makassar Gowa
Jika diabstraksikan pada perspektif Comte (1838), Weber dan temuan Gibson (2005;2007) fase pembentukan elite politik etnis Bugis dan Makassar, memiliki pola yang relative sama, terutama pada fase-fase perubahannya, hal ini tampak pada gambar 5 di atas.
Teori tiga tahapnya Comte, memiliki hubungan dengan reorganisasi
114
sosial. Tahap teologi diasosiasikan dengan kepercayaan pada otoritas absolut,
kebenaran ilahi dari raja, dan golongan sosial yang berbau militer. Dengan kata
lain, golongan sosial didapatkan melalui otoritas atas. Lalu dalam tahap metafisis
ada kepercayaan pada hukum-hukum abstrak. Dan yang terakhir tahap positive
yang diasosiasikan dengan perkembangan masyarakat industri. Dalam tahap ini, kegiatan ekonomi menjadi perhatian dan terdapat para elite dalam ahli ilmu pengetahuan yang mengorganisasikan kelompok masyarakat.
Teori tiga tahap dari Comte dapat ditafsirkan sebagai; tahap teologis, adalah periode feudalisme, tahap metafisis merupakan periode absolutisme dan tahap
positif yang mendasari masyarakat modern dan industri. Teori ini mirip dengan
yang dikemukakan oleh Gibson (2005;2007) bahwa pada etnis Bugis dan Makassar terjadi tiga tahapan atau fase transformasi kekuasaan; yakni fase; tradisional, Islam dan modern.
Mengacu pada teori Comte dan Gibson; transformasi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa dapat ditafsirkan bahwa fase tradisional dalam pembentukan elite etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa dapat disejajarkan sebagai fase teologis. Fase feudalisme yang dialami oleh etnis Bugis dan Makassar mengandung nilai-nilai positivistic dan materialistic. Sedangkan fase Islam modern, adalah fase dimana nilai budaya dan tradisi dinegasikan, pada fase ini, nilai-nilai budaya mulai meluruh. Fase terakhir dalam transformasi kekuasaan etnis Bugis dan Makassar adalah; sekularisme. Fase ini ditandai dengan
pemikiran dan tindakan kekuasaan yang bersifat pragmatisme; utilitarian (nilai
guna), efisiensi, dan rasionalitas. Pada fase ini, tindakan rasionalitas nilai
(berorientasi nilai) tindakan ―yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran
akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang
terlepas dari prospek keberhasilannya‖ (Weber, 1921/1968;24-25).
Bila dianalisis menggunakan teori tindakan rasionalitas nilainya Weber, maka fase kekuasaan tradisional menurut Gibson & fase teologis menurut Comte, sama dengan fase supranatural menurut Weber. Dan fase feudalisme menurut studi ini sejajar dengan fase positifistik (materialistik) menurut Comte, dan Weber menyebutnya sebagai fase rasionalitas ekonomi. Sedangkan fase Islam modern dan fase sekularisme menurut studi ini merupakan transformasi yang dapat
115 disejajarkan dengan perkembangan menuju dinegasikannya kapitalisme
internasional dan didewakannya scientism.
Konsekuensi dari tumbuhnya sikap pragmatisme dan rasionalitas ekonomi, maka etika materialism semakin menguat, akan tetapi pada saat yang bersamaan meningkat pula kesadaran universal seperti demokratisme politik dan ekonomi. Dengan demikian, semakin ke belakang (menuju fase sekularisme) proses produksi elite (kekuasaan) pada etnis Bugis Bone dan etnis Makassar Gowa mengalami pergeseran dari kekuatan simbol budaya dan etika lokal, digantikan secara perlahan oleh ideologi baru yang berbasis pada rasionalitas ekonomi, modernitas, intelektualitas, aliansi dan jejaring. Untuk menyederhanakan ideologi baru ini, studi ini menyebutnya sebagai ideologi kuasa dan uang. Dengan mempertimbangkan aspek aliansi dan jejaring, reproduksi kekuasaan pada etnis Bugis Bone dan Makassar Gowa pada aras makro khususnya, tidak cukup dengan rasionalitas uang dan kuasa, akan tetapi perlu kemampuan meng-hibridisasi kebudayaan politik antar etnis (Bugis dan Makassar).
5.1 Fase Tradisional Pembentukan Elite Etnis Bugis dan Makassar; Permainan Simbol dan Mitos
Bagaimana cara meneropong interaksi sosial etnis Bugis dan Makassar pada masa silam? Terutama bila dikaitkan dengan era sebelum kedatangan masyarakat luar (asing) yang melakukan interaksi dengan kerajaan Bugis dan Makassar, yang
diperkirakan baru di mulai sekitar abad-16.41 Sejarah tentang kerajaan-kerajaan
bumiputera, khususnya mengenai perkembangan awal kerajaan, umumnya hanya
bersifat mitologis.42 Proses perkembangan awal kerjaan-kerajaan di Bugis dan
Makassar hanya dikenal melalui mitos, tidak ditemukan literatur akademik yang menunjukkan sebuah proses yang faktual, terutama yang berhubungan dengan proses pembentukan kerajaan, dan siapa aktor yang terlibat. Mitos yang paling menonjol tentang kemunculan masa awal kerajaan Bugis dan Makassar adalah
41 Untuk melihat soal ini, catatan Anthony Reid, dalam tulisannya; ―Kebangkitan Makassar‖,
dalam SejarahModern Awal Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 2004). 42 Tentang mitos ini dapat ditelusuri pada karya; H.D. Mangemba,
Kenallah Sulawesi Selatan
(Djakarta: Timun Mas, 1956), dan Abd. Razak Daeng Patunru, SejarahGowa (Makassar: Yayasan
116
Tomanurung. Bagi orang Bugis dan Makassar, Tomanurung adalah penguasa
pertama yang turun dari langit, untuk memimpin orang Bugis dan Makassar. Tomanurung digambarkan sebagai manusia paripurna, yang memiliki kemampuan khusus untuk menyelesaikan problem-problem sosial. Kedatangan Tomanurung pada masyarakat Bugis dan Makassar dijelaskan sebagai kemunculan tokoh baru yang kuat yang mendapat legitimasi sebagai pemimpin dari masyarakat Bugis dan Makassar. Masyarakat sebelum kemunculan
Tomanurung digambarkan berada dalam keadaan yang kacau dan tidak ada
pemimpin yang ditaati. Masa kedatangan aktor Tomanurung di Bugis dan
Makassar digambarkan hampir bersamaan, yaitu sekitar tahun 1300 – 1400.43
Munculnya fenomena ini diperkirakan berhubungan dengan semakin
meningkatnya kompleksitas struktur sosial.44 Kopleksitas sosial ini membuat
aktor-aktor dan komunitas sosial mengalami eskalasi konflik memperebutkan
sumberdaya yang semakin terbatas.45
Dengan semakin meningkatnya kompleksitas sosial, masyarakat etnis Bugis maupun etnis Makassar menkonstruksikan sistem hubungan masyarakat dengan
kekuasaan melalui konstruksi Gaukang dan Kalompoang, yaitu pola hubungan
masyarakat dengan kekuasaan. Karena itu, untuk melihat hubungan antara
perkembangan masyarakat dengan sistem sosial dan politik masyarakat Bugis dan Makassar, utamanya orang-orang Bone dan Gowa, maka kita akan melihat kembali proses terbentuknya masyarakat di kawasan ini yang dalam naskah-
naskah tradisional bermula dengan penemuan benda gaukang. Benda ini
biasanya berbentuk khas seperti batu, biji buah, besi dan kayu. 46
43 Mattula adalah salah seorang yang paling sering menjelaskan soal Tomanurung, salah satunya
dalam karyanya; Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Ujung Pandang:
Lephas, 1998), hlm. 39-74.
44 Meskipun struktur sosialnya sudah kompleks, tetapi sistem perekonomian masyarakat masih
sangat sederhana. Pada massa ini belum dikenal persawahan dan perkebunan, Lihat Reid (1983).
45 Soal inidapat ditelusuri melalui teori Lewis A. Coser yang tertarik pada model sosiologi yang
bertumpu pada struktur sosial.
46 Menurut berbagai sumber, benda yang berbentuk khas itu disucikan, atau dikeramatkan oleh
pemilik dan komunitasnya. Kemudian diberi simbol, tanda dan makna. Dengan simbol, tanda dan makna itu, muncul tindakan-tindakan mistis terhadap benda-benda tersebut. Oleh pemilik dan komunitasnya benda-benda itu dijadikan sebagai wadah kekuatan yang berasal dari luar dirinya. Biasanya, saat benda-benda itu ditemukan kerap dihubungkan dengan sebuah peristiwa fenomenal yang ajaib. Tempat dimana benda itu ditemukan, biasanya menjadi awal pemukiman baru dan menjadi pusat dari pemukiman. Benda gaukang dan penemunya mendapat tempat
117
Untuk memperkuat kewibawaan Gaukang, terdapat sejumlah benda-benda
kebesaran lainnya disebut kalompoang.47 Benda-benda kebesaran ini yang
mendampingi gaukang, semuanya di pandang sebagai benda suci dan diyakini
memiliki kesaktian. Benda-benda ini disimpan dan di rawat oleh penguasa.
Seseorang yang akan dilantik sebagai raja harus memiliki kalompoang.
Karena diyakini, pemegang kalompoang akan memegang ketaatan rakyat.
Tempat-tempat dimana gaukang disemayamkan, akan berkembang menjadi
kampung atau lembang. Sebagai tanggungjawab dari komunitas induk, akan
memberikan bagian batu kepada setiap kelompok yang membangun komunitas
baru. Konsekuensinya, komunitas baru harus tunduk kepada komunitas gaukang
awal. Inilah sistem sosial yang dibangun oleh elit-elit komunitas gaukang awal,
untuk mengikat hubungan dengan komunitas-komunitas baru. Kampung-kampung
baru ini kemudian diikat kedalam satu kesatuan pemerintahan yang di sebut bori.
Dengan bertambahnya komunitas-komunitas baru, maka kompleksitas sosial juga bertambah dan semakain rumit, kondisi ini melahirkan persoalan sosial baru.
Perselisihan antar bori adalah salah satu persoalan sosial yang muncul akibat
bertambahnya komunitas-komunitas baru. Kondisi ini memaksa para pemimpin
dan elit bori mencari jalan keluar dengan membentuk sistem pemerintahan yang
baru berupa konfederasi atau paqrasangang. Konfederasi ini menghasilkan
Dewan Hadat yang beranggotakan secara ex-officio para pemimpin bori. Di Gowa
(Makassar) konfederasi ini beranggotakan sembilan kesatuan kelompok
masyarakat (Kasuwiyang Salapang).48 Pemimpinan tertinggi dari konfederasi
Gowa biasanya dipilih salah satu dari anggota Dewan Hadat, yang dikenal sebagai