4 KEADAAN UMUM MASYARAKAT DAN LOKASI PENELITIAN
4.3 Stratifikasi Sosial dan Transformasi Elite Masyarakat Bugis dan
Friedericy menggambarkan dengan jelas pelapisan masyarakat Bugis dan Makassar yang disusunnya dalam buku kesusasteraan asli Bugis dan Makassar, La Galigo. Menurut Friedericy, masyarakat Bugis dan Makassar memiliki tiga
lapisan utama: a) Ana‟karaeng dalam bahasa Makassar. Lapisan ini adalah
lapisan kaum kerabat raja-raja; b) To maradeka dalam bahasa Makassar,
98
Dalam usahanya untuk menemukan latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat, Friedericy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La Galigo dan ia berkesimpulan, bahwa masyarakat Bugis dan Makassar
pada awalnya hanya terdiri dari dua lapisan masyarakat. Sedangkan lapisan Ata
adalah hasil perkembangan sosial yang terjadi karena adanya perkembangan organisasi-organisasi sosial pribumi di Sulawesi Selatan.
Pada abad ke-20 lapisan ata dihilangkan karena larangan dari pemerintah
kolonial dan desakan dari tokoh-tokoh agama. Sesudah perang dunia ke-2, arti dari
perbedaan antara lapisan karaeng, to maradeka, dan ata semakin berkurang. Dalam
kehidupan masyarakat juga sudah mulai berkurang dengan cepat, walaupun masih dipakai, akan tetapi tidak lagi mempunyai arti seperti masa lalu (fase tradisional dan fase Islam modern), pada masa sekarang, makna stratifikasi social pada etnis Bugis dan Makassar justru sering diperkecil dengan sengaja. Sebab Stratifikasi sosial lama, sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan.
Sedangkan stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi Selatan dalam Latoa (Mattulada, 1977) memberikan peranan dalam kehidupan, bukan hanya menurut penjiwaan. Pada umumnya persekutuan orang Bugis berdasarkan prinsip genealogis atau persekutuan kekerabatan, sehingga orang Bugis dan Makassar tidak terlalu terikat kepada wilayah tertentu dalam mencari nafkah.
Orang Bugis dan Makassar dimana saja mereka berkumpul bersama-sama
dalam suatu persekutuan genealogis selalu dijumpai adanya: 1. Ajjoareng (orang
yang menjadi pemimpin) bernama Arung (Bugis) dan Ponggawa (Makassar)
adalah tokoh yang dijadikan sumbu kegiatan integratif dan perkembangan hidup kebudayaan secara keseluruhan. Sejak Kerajaan Bone kehilangan kedaulatannya
pada tahun 1950 istilah ajjoareng (pemimpin) tidak lagi berarti aparat kekuasaan
pemerintahan formal; 2. Joa (pengikut) pada zaman dulu terdiri atas lapisan
masyarakat maradeka (merdeka) yang menunjukkan kesetiaan kepada ajjoareng
(pemimpin). Dalam proses integrasi kegiatan antar lingkaran pusat dan lingkaran
di luarnya diatur oleh Pangadereng (pedoman hidup) yang meliputi semua
lingkaran kehidupan (Mattulada, 1984; Thosiba 2002).
Sekarang tidak ada lagi arung (Bugis) atau pampawa ade (penjaga adat)
99 kelompok elite baru yang terdiri atas aparat kekuasaan negara, seperti gubernur dan bupati/walikota, golongan cendekiawan, militer dan pemilik modal. Setelah masa penjajahan Belanda golongan elite kembali menempati kedudukan elite yang baru, dengan komposisi elite inilah yang berlangsung sampai kemerdekaan RI,
sebagai berikut: (1). Kaum Anakarung (bangsawan) yang setia kepada Belanda
dan golongan bangsawan yang berpendidikan (ambtenaar) sebagai kelas utama.
(2). Kaum ambtenaar gubernermen, kalangan cendekiawan yang mendapatkan
pendidikan formal dan kalangan ulama Islam/adat serta pemimpin gerakan sosial sebagai kelas menengah. (3). Kaum hartawan, pedagang dan pengusaha, sebagai elite kelas dasar (Mattulada 1984, Thosiba 2002).
Pelapisan sosial dalam etnis Makassar, setidaknya adalah: (1). Karaeng
(bangsawan), terdiri dari bangsawan murni (anak ti'no'), bangsawan setengah
murni (anak sipue) dan bangsawan darah (anak cerak) dan bangsawan rendah
(anak karaeng sala). (2). Tumaradeka ( orang biasa dari lapisan menengah yang
merdeka), terdiri dari orang baik-baik (tubajik) dan orang kebanyakan
(Tusamarak). (3). Ata (abdi), sebagai lapisan bawah yang terdiri dari abdi karena
keturunan (ata sossorang), abdi yang diusir dari lingkungan keluarganya (ata
nibuang) dan abdi yang digadaikan/tidak mampu bayar utang (tumangngirang).
Sedangkan pelapisan sosial dalam masyarakat Bugis, khususnya di Bone
adalah: (1). Bangsawan Bone (anakarung to Bone) terdiri dari anak bangsawan
penuh (anakarung matase) yang terbagi lagi menjadi putra mahkota (anakarung
mattola) dan putra/putri raja (anakarung matase) dan bangsawan (anakarung)
yang terbagi lagi menjadi bangsawan warga istana (anakarung ri bolang),
bangsawan separuh (anakarung sipue) dan bangsawan berdarah campuran (anak
cerak). (2). Orang merdeka (to maradeka) terdiri dari kepala kaum/anang (to deceng) dan rakyat kebanyakan (to sama). (3). Hamba (ata) yang terdiri dari
hamba karena keturunan (ata mana) dan hamba baru (ata mabuang).35
Sejak To Manurung disepakati sebagai elite sentral dalam kehidupan
masyarakat, terjadi pengelompokan elite baik secara struktural dan fungsional.
Secara struktural ada kelompok elite bangsawan yang disebut Arung (raja),
35
Mattulada. 1975. Latoa Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar:
100
Anakarung, Gallarang, Karaeng, Ana karaeng, Puang dan Daeng serta Matoadi, Ulu anang dan Ampu lembang. Pada pengelompokan elite yang bersifat vertikal,
antara elite terjadi stratifikasi sesuai dengan posisi dan kekuasaan yang dimiliki dalam pemerintahan. Disamping terjadi pengelompokan elite secara struktural terjadi pula pengelompokan secara fungsional, dimana elite dikelompokkan sesuai dengan kemampuan, kelebihan dan fungsinya dalam masyarakat. Ada kelompok
elite seperti cendekiawan dan akademisi (tu caradde), pengusaha atau orang kaya
(tu kalumannyang), pemberani atau pahlawan (tu barani), pemimpin pemerintahan
(to mapparenta) dan pemimpin kerohanian (tu panrita). Sedangkan kelompok elite
secara fungsional lebih bersifat horizontal. Setiap orang berhak menjadi bagian dari kelompok elite sepanjang memiliki kompetensi sesuai dasar pengelompokan, tanpa harus menjelaskan atau membedakan asal usul dan status sosial lainnya.
Terbukanya peluang untuk menjadi elite bagi setiap orang, menyebabkan munculnya berbagai pengelompokan elite di Sulawesi Selatan. Setiap elite membentuk kelompok sesuai dengan profesinya. Ada kelompok militer, pengusaha, partai politik, suku, bangsawan, ulama dan berbagai kelompok elite lainnya.
Sedangkan budaya masyarakat Bugis dan Makassar menurut sumber di daerah penelitian, dapat dilihat dari nilai dasar budaya politiknya yang terdiri dari
enam nilai yang disebut sebagai enam pegangan (enam akkateneningeng), yakni;
(i) Konsisten (ada tongeng), seseorang dapat dijadikan pemimpin karena kata-
katanya dapat dipegang; (ii) Kejujuran (lempuk), seorang raja atau pemimpin
memelihara kejujuran dan tidak mengambil hak rakyatnya; (iii) Ketegasan
(getteng), ketegasan dan keteguhan seorang pemimpin berpegang pada prinsip
sebagai pengayom masyarakat; (iv) Kepatutan (asittinajang), seseorang diangkat
menjadi pemimpin berdasarkan kepatutan atau kepantasan, yang berhubungan
dengan kemampuan jasmani dan rohani; (v) Saling menghargai (sipakatau), antara
setiap individu dalam berinteraksi harus saling menghargai; (vi) Tawakal (mappesona ri pawinruk seuwae), nilai religius yang menjadi pedoman seorang
pemimpin dalam bertindak, karena ada pertanggungjawaban kepada penciptanya.
Selain keenam pedoman hidup yang disebut pangadereng, etnis Bugis dan
etnis Makassar, juga memegang kuat yang namanya Siri' Na Pacce (perasaan
101 dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang secara fenomenal mewarnai
kebudayaan di seluruh suku asli di Sulawesi Selatan. Secara harfiah Siri ' dalam
bahasa Bugis dan bahasa Makassar berarti rasa malu, dan lebih dihayati sebagai
makna kultural. Makna kultural siri' diartikan sebagai sistem nilai kultural
kepribadian sebagai anggota masyarakat etnis Bugis dan Makassar.
Menurut Erlington bahwa siri‟ bagi orang Bugis merupakan tujuan hidup
yang paling tinggi, karena itu penting untuk menjaga siri'nya, itu sebabnya, jika
seseorang bangsawan tinggi yang cukup bijaksana dan punya keluarga besar secara otomatis punya pengaruh sosial yang besar dalam masyarakat. Karena jika
banyak orang yang bersatu karena siri' (maseddi siri') dengannya, maka akan
mendengarkan petunjuk dan nasehatnya, sebagai salah satu cara menjaga siri'
(harga diri) keluarga atau kelompoknya. Orang Bugis dan Makassar lebih menerima nasehat dari orang tuanya atau keluarganya daripada orang lain. Dengan alasan ini, masyarakat Sulawesi Selatan hanya mengenal dua golongan yaitu keluarga dan orang lain.
Konsep yang berpadanan dengan siri ' adalah Pacce (Makassar), Pesse (Bugis)
yang berarti sependeritaan. Pacce berfungsi sebagai pemersatu, penggalang
solidaritas, serta pemuliaan humanitas (sipakatau) sebagai motivasi kesetiakawanan
sosial suku bangsa Bugis dan Makassar, sehingga bagi orang Bugis dan Makassar Siri
‟ dan Pacce adalah ikatan pemersatu dalam upaya menegakkan serta memulihkan
harga diri (siri ').