BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.2. Profil Informan
Ibu yang bernama lengkap Zuriani, ia telah lama berumah tangga, tapi sampai sekarang belum dikaruniai seorang anak pun. Dalam perkawinannya, biar pun tanpa seorang anak ia dan suaminya cukup senang. Hari-hari yang dilalui ia dan suaminya berjalan dengan baik. Seperti itu ungkapan singkat ibu Ani awal peneliti berjumpa dengannya. Ketika peneliti menanyakan tentang seberapa pentingnya suatu mahar dalam perkawinan, ia langsung menjawab bahwa mahar itu sangat berharga dan penting bagi kaum perempuan Aceh, di karenakan untuk mengesahnya suatu ikatan dalam hubungan perkawinan.
Dalam jumlah mahar (jeulame) seorang perempuan itu jika besar, serta merta ada perasaan bangga dan dihargai, oleh karenanya pihak laki-laki akan dihargai pula oleh pihak keluarga mempelai perempuan (istri). Bentuk penghargaan tersebut yang diberikan oleh pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (suami) berupa kedudukan status yang dimiliki dalam keluarga perempuan, sanjungan, pemberian berupa materi yaitu rumah pribadi, kendaraan, maupun jabatan yang dimiliki oleh orang tua dari pihak keluarga perempuan.
Namun dengan demikian, jika jumlah mahar (jeulame) yang diberikan tidak banyak atau lebih sedikit dari perkiraan yang seharusnya, sama saja yang penting semua keperluan harus ada dan lengkap sesuai dengan kebutuhan yang di perlukan “di masyarakat aceh lainnya”. Misalnya, isi kamar, banyaknya hantaran, uang pesta adat, serta lainnya. Bila suatu permintaan tidak sesuai maka kedua belah pihak keluarga dapat merunding kembali untuk mendapat solusinya, lagi pula jumlah mahar tersebut sudah di
tentukan “kami berdua”, maka kedua keluarga hanya diminta persetujuannya saja, begitulah penuturan dari ibu Ani.
Mahar perkawinan sangat penting dalam sebuah perkawinan, karena tanpa mahar sebuah ikatan tidak akan sah atau tidak lengkap persyaratannya dalam kelangsungan pernikahan. Pada saat perkawinan ibu Ani, mahar yang diterima berjumlah 17 manyam (56,1 gram), perlengkapan kamar, serta uang tunai Rp. 2 juta untuk keperluan pesta seperti pakaian adat dan tata riasnya.
Untuk ukuran yang diterima di Aceh pada masyarakat lingkungan Krueng Mane, jumlah yang di terima termasuk menengah keatas. Karena menurut pengakuan ibu Ani, dia menikah pada tahun 1995, kalau dilihat dari harga emas dulu dengan sekarang tidak ada bedanya dari segi kadar emas. Kalau dulu harga emas ± Rp. 90.000/ gram, tapi kalau sekarang ± Rp. 299.000/ gram. Dengan demikian kalau diuangkan dengan zaman yang serba mahal sekarang ya sama saja.
Selain dari itu, untuk menentukan jumlah besar kecilnya mahar perkawinan dalam suatu strata kehidupan bermasyarakat seperti zaman sekarang ini, kebanyakan orang melihat dari pengaruhnya kecantikan seseorang, status yang dimiliki, pekerjaan dan tingginya pendidikan. Maka suatu perubahan yang terjadi antara dulu dengan sekarang tidak beda jauh kalau untuk menentukan pasangan yang terbaik bagi diri sendiri atau pun dari orang tua untuk anak-anaknya.
Suatu status sangat berperan penting dalam segala bidang, khususnya dalam mendapat pasangan. Ibu Ani memaparkan sedikit tentang anekdok orang aceh “hana peng hana inong” (gak ada uang gak ada perempuan).
Jadi sumber ketentraman dalam keluarga dari dulu sampai sekarang ini yaitu status ekonomi yang jelas serta tanpa lepas dari bimbingan orang tua atau pu mertua.
Hubungan dalam keluarga antara suami dan istri sangat berperan penting, dimana hubungan tersebut harus dapat persetujuan, tanpa ada persetujuan dari keluarga atau pun keluarga besar, maka suatu jalinan yang akan dijalankan tidak akan ada artinya.
Mengenai peran penting keluarga dalam pernikahan ibu Ani, setiap ada masalah, hubungan menjadi renggang dan lainnya, maka kami mencoba untuk menyelesaikan bersama tanpa harus membebani orang lain termasuk orang tua saya sendiri, “maksudnya, kalau bisa di selesaikan berdua untuk apa harus campur tangan keluarga besar/ orang tua”. Tapi adakalanya ketika suatu permasalahn besar yang di hadapi tidak ada penyelesaian, mau tidak mau permasalah tersebut harus diketahui oleh orang tua,baik dari laki-laki maupun perempuan. Misalnya permasalahan perceraian, suami/ istri selingkuh dan lainnya, maka peranan penting keluarga dapat turun tangan untuk menyelesaikannya. Namun, dengan demikian peran keluarga dalam masyarakat Aceh sangat berpengaruh terhadap pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan/ baru menjalani kehidupan yang baru. Dikarenakan hubungan yang baru dimulai sangat rentang dengan perceraian yang diakibatkan kecemburuan yang tidak beralasan. Maka keluarga atau pun orang tua terutama dari keluarga laki-laki yang mengatur hubungan dalam keluarga tidak akan pernah luput dari pandangan mereka.
Dalam budaya Patriarkhi yang menganggap laki-laki adalah sebagai pelanjut garis keturunan keluarga juga menyebabkan bahwa laki-laki adalah orang yang selalu harus dituruti. Tapi menurut ibu Ani, tidak selamanya laki-laki dituruti sesuai keinginannya, adakalanya kita juga menjalani sesuai dengan keinginan kita sendiri tanpa paksaan dari
pasangan kita. Tanpa melenceng dari kodrat kita sebagai perempuan. Untuk itu dalam rumah tangga kita harus bisa membagi waktu untuk suami, anak serta diri kita sendiri.
Selain dari itu, dalam kehidupan keluarga pun kita sebagai perempuan harus bisa membantu perekonomian dalam keluarga tanpa ada rasa suami terbebani lelah untuk mencari nafkah. Untuk itu perempuan harus bisa membawa diri dalam keluarga, bisa mengatur keluarga, serta beradaptasi dalam keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga sendiri. Sehingga hubungan yang dibangun tidak sia-sia serta mempunyai makna dalam komunitas keluarga itu sendiri.
B. Marziah
Dalam keseharian ibu Marziah bekerja sebagai pembuat kue yang dipasarkan setiap pagi. Kue-kue yang dibuat beraneka ragam kue-kue khas Aceh mulai dari apem tape, bingkang ubi, timpan srikaya, pulot srikaya, serta bingkang tepung roti. Kue-kue yang dibuat cukup lumanyan enak, karena peneliti sewaktu bertamu kerumah ibu Marziah di suguhkan kue-kue bikinannya. Sambil peneliti menikmati hidangan kue-kue tersebut, peneliti bertanya kepada ibu Marziah, apakah setiap harinya kue-kue tersebut habis terjual dipasaran, ibu Marziah langsung menjawab “habiz dong”, Malah kalau di hari libur kuenya kurang banyak dikarenakan peminatnya banyak.
Jumlah keu yang dipersiapkan setiap paginya mencapai ratusan potong kue, ini jelas bahwa kue bikinan ibu Marziah sangat digemari oleh orang banyak. Harga kue tersebut perpotongnya hanya Rp. 600, dan dalam sehariannya ibu Marziah bisa mendapat sekitar ± Rp. 250.000.
Bisa dibilang pendapatan utama dari keluarganya sangat tergantung dari hasil penjualan kue. Karena suami sebagai kepala keluaga tidak bisa lagi mencari nafkah dikarenakan dalam keadaan sakit-sakitan, maka ibu Marziah lah yang turun tangan untuk bertanggung jawab atas keluarganya.
Disamping ibu Marziah menjual kue-kue, dia mempunyai usaha tambak yaitu dari hasil suaminya yang bekerja dulu semasih sehat. Kata ibu marziah suaminya dulu bekerja di lapangan mallikul saleh, yaitu sebagai karyawan perkantoran penerbangan. Kehidupan yang dijalankan dulu cukup lumanyan berada, tapi kalau dilihat dari kondisi keuangan sekarang agak lebih berat. Dikarena anak-anak sudah menginjak keremajaan, pengeluaran pun semakin bertambah, baik disekolahnya maupun di luar sekolah.
Ibu marziah mempunyai empat orang anak diantaranya tiga laki-laki dan satu perempuan, kempat-empatnya sudah duduk di bangku sekolah. Yang pertama di SMA, yang kedua di SLTP, sedangkan yang ketiga dan keempat masih di bangku SD.
Berbicara mata pencaharian yang berada di daerah Aceh khususnya di Krueng Manee, dengan penuturan ibu marziah, sama seperti halnya di daerah-daerah lainnya yang masih berasal dan masih lingkup Negara Indonesia yaitu bertani, dan yang dekat dengan laut ya nelayan, dan yang berada dilereng pegunungan ya berladang.
Namun, selain dari tuturan ibu marziah dalam mata pencaharian baik dilereng pegunungan, dilaut atau disawah kebanyakan khususnya di daerah krueng manee kebanyakan bergerak di bidang pertanian dan sebagai nelayan yaitu dikarenakan dekat dengan pesisir pantai.
Di daerah yang ditempatinya sekarang sangat mudah untuk mencari penghasilan, asalkan sanggup untuk mengerjakannya. Bisa dikatakan laut yang terbentang luas siap
untuk dijamah serta lahan-lahan banyak yang kosong siap ditanami tumbuh-tumbuhan yang bisa diperjual belikan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak mempunyai penghasilan kalau tidak dikarenakan malas. Apalagi setelah tsunami terjadi, pemerintah banyak mendidrikan serta perbaikian pembangunan, baik rumah maupun pertokoan. Orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan bisa bekerja sebagai buruh ditempat pembangunan tersebut.
Ibu marziah tinggal di Krueng Manee ± 20 tahun, sebelum menikah ibu marziah sudah tinggal di Krueng Manee karena ikut kakaknya yang tinggal juga di daerah yang sama. Ibu marziah menikah pada tahun 1991 sampai sekarang masih tetap langgeng perkawinannya itu. Pada saat pernikahannya di langsungkan, mahar (jeulame) yang diberikan pada ibu marziah cukup besar dan jumlah 15 manyam emas, uang tunai sebesar Rp. 2 juta serta perlengkapan kamar.
Banyaknya biaya disebabkan karena setiap tahapnya dimulai dari acara pertunangan hingga pesta perkawinan selesai. Dalam acara pesta adapt selalu ada acara makan bersama mulai dari mufakat (neuduk pakat) sampai tiba pada acara pokok.
Pada saat penentuan mahar (jeulamee), pihak dari keluarga calon mempelai laki- laki bersilahturrahmi kerumah keluarga calon mempelai perempuan. Acara silaturrahmi tersebut sudah diberitahukan oleh pihak dari anaknya masing-masing. Kedua calon mempelai tidak boleh hadir atau pun ikut dalam acara pertunangan dalam penentuan mahar (jeulamee), alasannya yaitu dikarenakan adat istiadat. Kalau kedua mempelai atau pun salah satu dari mempelai hadir, maka kedua mempelai tersebut tidak menghargai dan menghormati yang menjadi wali dari pihak masing-masing serta para tertua adat.
Menurut ibu marziah, yang bertanggung jawab dalam penentuan mahar adalah keluarganya yaitu dari orang tuanya sendiri. Pada saat penentuan mahar untuk perkawinan ibu marziah, istilah “tawar-menawar” terjadi, tetapi hanya sebatas meminta kurang dari ketentuan yang sudah ditetapkan oleh kedua orang tua dari mempelai perempuan sebelumnya. Dalam tawaran tersebut keluarga pihak mempelai perempuan tidak menyetujui tawaran tersebut. Dan dengan itu keluarga dari pihak laki-laki pun ikut apa yang menjadi ketetapan dari pihak perempuan.
Namun dengan demikian, selain peran keluarga dalam penentuan mahar dilakukan, pada acara adat pun orang tua beserta keluarga besar pun ikut turun tangan untuk membantu demi kelancaran pesta adat. Setelah melakukan upacara adat, pihak yang telah menjadi suami akan tinggal bersama keluarga istri dalam kurun waktu satu tahun bahkan lebih.
Peneliti bertanya kepada ibu marziah, kenapa setelah menikah dan menjadi suami istri, pihak dari suami tersebut tinggal bersama dalam keluarga istri atau dalam lingkungan keluarga istri. Ibu marziah menjawab, “itu adalah ketentuan dari adat itu sendiri”.
Menurut ibu marziah, ketentuan untuk tinggal bersama orang tua agar pasang muda suami istri bisa belajar dari apa yang diajarkan oleh orang tua dalam keluarga tersebut. Dimana hubungan yang dibangun dalam perkawinan di usia muda sangat rentan dengan konflik. Maka dari itu, peran keluarga sangat penting dalam kelancaran hubungan yang dibangun diusia muda dini hari. Dan serta merta orang tua telah mengalaminya sebelum kita mengalami.
Disamping itu pula suami dapat belajar dan mempelajari bagaimana menjadi suami yang yang dikehendaki oleh pasangannya, suami pun dapat belajar pada mertua dari laki-laki. Dan pula apabila dalam suatu pekerjaan belum sempurna, maka kita sebagai yang muda ini dapat pula untuk memperbaiki kearah yang lebih baik lagi. Jikalau seorang suami yang masuk ke keluarga istri masih serba minim kemampuan baik dari segi pekerjaan atau penghasilan, maka tindakan yang diambil oleh orang tua dari perempuan akan dimodalin untuk membuka usaha semampunya. Untuk itu peran keluarga sangat penting dalam kehidupan berkeluarga baik dalam lingkup kecil maupun dalam lingkup besar.
Begitulah ibu marziah, perempuan yang bekerja untuk keluarganya. Diusianya yang sekarang mencapai 40 tahun masih tetap semangat . wajahnya yang masih kelihatan muda serta tetap ceria menanti hari esok dan seterusnya. Biarpun dalam keadaan postur tubuhnya yang lumanyan besar, tapi setiap pekerjaan yang dilakukannya selalu cepat dan tepat.
C. Syukriah
Orangnya periang, murah senyum, suka bercanda yang penting hatinya senang. Dengan bahasanya yang hati-hati sambil tersenyum ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sore itu, dihalaman rumahnya yang luas, sangat ramai para ibu-ibu berkumpul. Mulai dari anak-anak hingga remajanya, maklum hari minggu sore, orang- orang yang berada disekitar rumahnya berdatangan kerumahnya dikarenakan tempat atau halaman yang di punyainya sangat rindang dengan pepohonan yang besar-besar.
Didepan rumahnya terdapat kios ponsel serta kios jajanan anak-anak. Maklum saja, karena letak rumahnya menghadap kejalan serta di pinggir jalan raya. Kios-kios tersebut kepunyaan dari ibu Syukriah dan suaminya. Kios-kios tersebut adalah usaha sampingan bagi mereka berdua. Karena, selain ia membuka usaha tersebut, ia adalah seorang guru, sedangkan suaminya adalah seorang wirausahawan.
Dengan statusnya pendidikannya yang tamatan SLTA, cukup beruntung ibu Syukriah mendapat mengajar disekolah dasar yang tidak jauh dari daerah tempat tinggalnya, biarpun ia sebagai guru honor. Tapi dalam hal ia bekerja, ia tetap semangat melakoni pekerjaannya itu.
Ibu Syukriah adalah nama dari seorang ibu yang berusia 32 tahun, ia baru menikah pada April 2008, ± 2 tahun sebelum ia mengenal dengan suaminya sekarang, ia berjumpa di Negara Malaysia. Itu pertemuan pada saat ia menemani ibundanya berobat operasi mata ke Pineng, ibu Syukriah menikah bukan karena dijodohkan melainkan pertemuan tanpa disengaja.
Setelah beberapa saat saling kenal satu sama lain, mereka langsung memutuskan hubungan kearah yang lebih serius yaitu untuk berumah tangga. Karena diusia ibu Syukriah yang 30-an, kesiapan untuk berumah tangga sudah benar-benar siap dan matang.
Pada acara melamar, calon suaminya dan keluarga datang kerumah dengan membawa bingkisan yang telah dibentuk sedemikian rupa cantiknya. Pada acara pelamaran tersebut itu baru antara pihak kelurga mempelai perempuan dengan keluarga mempelai laki-laki serta beberapa tokoh adapt yang berperan penting dalam kelancaran di
dalam pertemuan itu. Acara tersebut untuk menetukan seberapa besar jumlah jeulamee yang harus dipersiapkan oleh pihak dari keluarga laki-laki.
Dihari acara pelamaran, keluarga mempelai laki-laki datang kerumah dengan membawa hantaran yang berupa beberapa keranjang yang sudah dihiasi serta berisikan perlengkapan mandi, kosmetik, pakaian dalam bakal baju, sepatu, sandal, buah-buahan serta masih banyak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Selain itu, keluarga dari mempelai laki-laki juga membawa jeulamee yang menurut kesepakatan berjumlah 30 manyam. Jumlah tersebut sangat besar. Pada pelamaran mahar yang diberikan hanya sebagian dulu, dan pada saat acara akan nikah pernikahan dilangsungkan maka, yang sebagian lagi akan dilunaskan jeulamee tersebut. Begitu menurut permintaan dari pihak keluarga laki-laki dan keluarga mempelai perempuan menyetujuinya. Pada pelamaran kedua mempelai tidak hadir, karena acara tersebut adalah acara antara orang tua dari mempelai laki-laki dengan orang tua dari mempelai perempuan serta tidak tinggal tetua adat dari masing-masing pihak.
Acara pernikahan serta acara adat dilaksanakan secara berbarengan, itu atas kesepekatan kedua pihak keluarga. Maksud dari permintaan tersebut adalah supaya waktu pelaksaan acara tidak berkepanjangan. Dan serta merta pihak keluarga dari mempelai laki-laki sangat jauh dari tempat tinggal mempelai perempuan. Yaitu di Bengkulu. Dalam hal pemberian dan pelaksaan adat tetap menggunakan adat Aceh .
Ketika peneliti bertanya tentang mahar, seberapa pentingkah nilai dan makna jeulamee itu sendiri bagi anda sendiri dalam sebuah perkawinan, ibu Syukriah menjawab bahwa mahar itu sangat penting artinya bagi saya atau pun perempuan yang pada umumnya, dan mahar juga adalah salah satu persyaratan sahnya suatu pernikahan, dalam
adap Aceh mahar itu memang harus ada, dan itu aturan dari agama serta adat yang sudah ada sejak masa lalu. Kalau tidak ada mahar perempuan seakan-akan tidak punya harga diri yang dimiliki oleh perempuan yang menikah tanpa mahar, jadi makna mahar itu adalah sebuah harga diri yang dimiliki oleh perempuan.
Dalam bentuk penerimaan mahar sebesar 30 manyam, itu sudah termasuk tinggi
jumlahnya. Dan sebagai seorang perempuan ia merasa harga dirinya masih dihargai dikeluarganya tanpa di sepelekan oleh orang lain baik kelurga jauh
maupun dekat. Lalu bagaimana dengan jawaban ibu dengan mahar untuk seorang yang masih gadis dengan yang sudah janda dapat disamakan atau harus dibedakan. Ia menjawab, untuk seorang yang sudah janda, mahar yang diperoleh bisa tinggi dan bisa juga rendah, tapi dalam hal ini pandangan saya, untuk janda bisa dibedakan dengan gadis yang pertama kali mendapat mahar.
Jadi menurut ibu Syukriah, bagaimana ketika mahar itu ditentukan oleh adat, agar pihak-pihak dari kalangan atas, menengah, bawah serta merta janda dan masih gadis disama ratakan jumlahnya. Ia menjawab, mahar tidak di tentukan oleh adat yyang menentukan mahar adalah keluarga masing-masing, dan yang sangat berperan ialah keluarga dari pihak perempuan yang menetukan mahar.
D. Nora Devi
Ia menikah dalam usia 30 tahun, bisa dikatakan usia yang sangat matang untuk seorang perempuan. Di usianya yang 30-an ia baru di karuniai satu orang anak perempuan dan pada saat peneliti berjumpa, ia dalam keadaan mengandung anak kedua.
Ketika dimintai wawancara dengannya, ia hanya tersenyum dan terlihat sedikit anggukan kepalanya. Ketika ditanyai tentang apa makna mahar dan makna perkawinan baginya, ia menjawab bahwa perkawinan itu adalah untuk mengikuti sunnah rasul, serta makna mahar dalam sebuah perkawinan merupakan sebuah harga diri perempuan untuk di junjun serta dapat di hargai pula oleh kaum laki-laki. Makna mahar dalam perkawinan itu pula, menurut ia, perempuan tidak dapat dengan mudah untuk dimiliki, harus dengan proses-proses yang ditentukan oleh keluarganya perempuan.
Sebelum dalam tahap perkawinan, ibu Nora sudah mengenal terlebih dahulu bakal yang menjadi suaminya itu, ada beberapa saat ia cuma menjalankan tahap perkenalan “pacaran” tidak lama mereka langsung memutuskan untuk untuk berhubungan lebih serius, yaitu secepatnya akan melangsungkan pesta perkawinan yang disertai oleh peminangan oleh keluarga dari pihak laki-laki.
Dihari acara pelamaran, keluarga dari pihak laki-laki datang kerumah untuk meminang, dalam acara tersebut dihadirkan tetua adapt gampong, dalam acara pertemuan itu, kedua keluarga memutuskan seberapa jumlah mahar yang harus diserahkan, dalam musyawarah itu, keluarga dari orang tua pihak perempuan akan menetapkan jumlah mahar yang harus diserahkan sebesar 15 manyam oleh pihak keluarga laki-laki.
Keluarga yang berada dalam lingkup dari pihak laki-laki, meminta agar mahar dapat dikurangi. Dalam tawaran tersebut, pihak keluarga dari prempuan tidak menyetujuinya. Karena 15 manyam itu merupakan jumlah yang sudah standart, bagi masyarakat yang kehidupan perekonomiannya sedang-sedang saja. Dan setelah itu keluarga dari pihak dari laki-laki hanya mengikuti seberapa yang diminta oleh pihak keluarga mempelai perempuan.
Ibu Nora yang dalam usianya 30-an ia masih tetap semangat, wajahnya yang masih kelihatan muda membuat keluarga dari pihak laki-laki tidak akan ragu memberi mahar seperti yang diminta oleh keluarganya, sebab dari itu juga keluarga dari ibu Nora adalah keluarga yang berkehidupan lebih mapan. Serta merta tingkah laku dari ibu nora sendiri tidak pernah membuat orang tersinggung atau pun sakit hati, ia hanya menjalankan suatu pekerjaan tanpa menyulitkan orang lain, kalau bisa ia dapat membantu otang lain. Itu seperti yang diamati oleh peneliti beberapa saat dalam tuturan ibu nora.
Pada hari pernikahan ibu nora, ia sangat bahagia baru saat ini merasakan kebahagiaan yang tidak terbendung. Dan hari-hari yang akan dilewatkan tidak seperti sebelumnya, ia merasa mempunyai keluarga kecil untuk dibangun semampunya. Dan ia merasa baru mendapat jati diri sebagi perempuan yang lengkap.
Dalam acara akat nikah dan adat pernikahan itu dilakukan secara berbarengan agar waktu yang digunakan tidak boros. Karena dalam acara adat pernikahan yang berada di masyarakat Aceh khususnya di daerah tempat tinggal ibu nora yaitu di Krueng Manee bisa dilakukan dalam sehari tanpa harus berhari-hari untuk adat dalam acara.
Pada acara pernikahan semua ketentuan mahar yang telah ditetapakan sebelumnya, akan diserahkan pada hari itu juga, serta seserahan hantaran yang diharuskan dalam adat untuk melengkapi dari pemberian mahar itu sendiri. Hantaran tersebut berisikan baju, pakain dalam, sepatu, peralatan mandi, peralatan kosmetik, buah-buahan serta masih banyak lainnya. Penerimaan mahar diterima oleh keluarga beserta tetua adat