• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna Mahar (Jeulamee) Dalam Penghargaan Keluarga Istri Pada Sistem Perkawinan Suku Aceh(Studi Deskriptif Di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Makna Mahar (Jeulamee) Dalam Penghargaan Keluarga Istri Pada Sistem Perkawinan Suku Aceh(Studi Deskriptif Di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

MAKNA MAHAR (JEULAMEE) DALAM PENGHARGAAN KELUARGA ISTRI PADA SISTEM PERKAWINAN SUKU ACEH

(Studi Deskriptif Di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara) SKRIPSI

DIAJUKAN OLEH RAFIQAH AYU

050901014

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAKSI

Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap pemberian mahar. Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan. Pada suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya. Bagi perempuan Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di butuhkan adalah proses wawancara dan observasi.

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas

berkat dan anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan mulai dari perkuliahan hingga

pada penyusunan skripsi yang berjudul “MAKNA JEULAMEE (MAHAR) DALAM

PENGHARGAAN KELUARGA ISTRI PADA SISTEM PERKAWINAN SUKU ACEH” (studi

deskriptif : di krueng mane kecamatan muara batu, kabupaten aceh utara). Skripsi ini

disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen

Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan

keterbatasan dalam penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari

para pembaca agar kiranya skripsi ini dapat menjadi berkat dan bermanfaat bagi

pembaca.

Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran,

motivasi, serta dukungan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan

banyak terima kasih kepada semua pihak, terutama orang tua penulis Ibunda yang telah

banyak membantu hingga tak ternilai harganya dan tiada kata yang tepat untuk

kuucapkan atas semua perhatian serta pengorbanannya. Dalam kesempatan ini pula,

penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si sebagai ketua Departemen Sosiologi, Fakultas

(4)

3. Ibu Dra. Rosmiani, MA selaku sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, serta selaku dosen

pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang banyak membantu dan

membimbing , arahan, saran, serta sumbangan pemikiran dan ide-ide dalam

penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, yang telah memberi masukan judul pada penulis

dalam skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan administrasi FISIP USU khususnya Departemen

Sosiologi, buat kak Feny, kak Nurbetti, dan kak Devi penulis ucapkan terima

kasih banyak atas segala bantuannya.

6. Bapak Ali Yahya dan Muklis selaku kepala/ wakil daerah Krueng Mane beserta

karyawan kerja yang ramah dalam memberi keterangan kepada peneliti.

7. Ibu Zakiah selaku pegawai kantor camat krueng mane yang telah membantu dan

memberikan keterangan serta data-data yang diperoleh dalam penyelesaian skripsi

ini. Dan tak lupa seluruh informan peneliti yang bersedia diwawancarai dalam

membantu peneliti untuk memperoleh data yang akurat.

8. Teristimewa kepada orang tua penulis, al. Bapak Ilyas Is, dan Ibu Nuriah Hs yang

sangat penulis sayangi dan cintai, yang tak henti-hentinya memberikan semangat,

dukungan, tuntunan, doa dan perhatian yang dilimpahkan kepada penulis. Terima

kasih pada abangku Nuzul Indra, Umi Ida, Pak Wawin, Umi Syah, dan sepupuku

Muslem, Khairul Maiya, Novi, serta keponakanku Naiya, Lia, Zuhra, Ratu yang

selalu memberi dukungan, semangat dan doa kepada penulis. Terima kasih pada

(5)

9. Kepada teman-teman seperjuangan Sosiologi Stambuk 2005 : Gorenti, Nova,

Twinz, Sari, Lola, Helna, Iren, Hernita, Yeni, Bancin, Beni, Fridolin, Dedi, Indra,

Bobi, Iman, Willy, Andre, Irda, Yanti, Nana, Ita, Rani Carolina, Rani Khairani,

Penggi, Nia, Ade, Tius, Cen-cen, Nina, Eko, Anas, Frenklin, Purnawan, Muhadi,

Panca, Siska, wida, Jena, dan teman-teman yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Kepada senior stambuk 2002 : kak Jijah, kak Fatma, kak Sari beserta senior

lainnya. Kepada senior stambuk 2003 : kak Graes, bang Alek, bang Feri, bang

Dinan, bang Abas beserta senior lainnya. Kepada senior stambuk 2004 : kak Dini,

kak Toeit, bang Alek, kak Anita beserta senior lainnya. Dan kepada junior

2006-2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan

dan semangat yang diberikan kepada penulis.

10.Kepada teman-teman diluar kampus : kak Koik, kak Yus, kak Rada, kak Nel,

Desi, Pak bandrek, Ibu percetakan yang selalu memberi semangat, dukungan, dan

hiburan kepada penulis. Serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu

(6)

Penulis menyadari tidak akan mampu membalas semua kebaikan yang telah

diberikan, karena tanpa peran kalian semua penulis tidak akan mampu menyelesaikan

skripsi ini. Untuk itu, biarlah Allah SWT yang membalas atas kebaikan semua, dan

penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua yang

membacanya.

Medan, Juni 2010

Penulis

(Rafiqah Ayu)

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 8

1.3.Tujuan Penelitian ... 8

1.4.Manfaat Penelitian ... 9

1.5.Defenisi Konsep ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Institusi Keluarga ... 12

2.2. Fungsi Keluarga ... 13

2.2.1. Fungsi Biologis ... 13

2.2.2. Fungsi Afeksi ... 14

2.2.3. Fungsi Sosialisasi ... 14

2.2.4. Fungsi Ekonomi ... 15

2.2.5. Fungsi Rekreasi ... 15

2.3. Teori Struktural Fungsional ... 23

2.4. Proses Sosialisasi dalam Keluarga ... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi Penelitian ... 29

3.3. Unit Analisis Penelitian ... 30

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30

3.5. Interpretasi Data ... 32

(8)

3.7. Keterbatasan Penelitian ... 33

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 35

4.1.2. Demografi ... 35

4.1.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ... 36

4.1.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36

4.1.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 37

4.1.2.4. Sarana dan Prasarana Perhubungan ... 38

4.1.2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39

4.1.2.6. Pola Pemukiman ... 39

4.1.2.7. Pemanfaatan Sebagian Areal Tanah Krueng Mane ... 40

4.1.2.8. Bentuk Pemerintahan Daerah Krueng Mane ... 41

4.2. Profil Informan... 42

4.3. Interpretasi Data Penelitian... 69

4.3.1. Adat Istiadat Perkawinan Suku Aceh ... 69

4.3.2. Jumlah Mahar yang Berlaku Sekarang ini di Suku Aceh ... 74

4.3.3. Mahar Menurut Agama dalam Sistem Perkawinan Suku Aceh ... 76

4.3.4. Mahar dalam Institusi Keluarga Perempuan Suku Aceh ... 79

4.3.5. Makna Jeulamee (mahar) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh ... 83

4.3.6. Perubahan Adat Istiadat Perkawinan pada Suku Aceh ... 85

(9)

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan ... 90

5.2. Saran... 92

DAFTAR PUSTAKA

(10)

ABSTRAKSI

Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap pemberian mahar. Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan. Pada suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya. Bagi perempuan Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di butuhkan adalah proses wawancara dan observasi.

(11)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Adat Mahar telah menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sebagian besar

pemuda yang mau menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta yang bahwa

sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mahar yang terbilang fantastis

dan cukup tinggi bagi ukuran masyarakat kita yang mayoritas di dominasi oleh

masyarakat berstatus ekonomi kelas bawah. Ini adalah fakta, dan kondisi ini di perparah

oleh sebagian besar pihak mempelai wanita yang menganggap tingginya patokan jumlah

mahar sebagai sebuah prestise.

Pada pihak mempelai wanita dalam hal ini tidak bisa disebut materialistis ataupun

pragmatis, baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan, karena

mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat

yang kadang tidak memperhitungkan faktor afeksi.

Dalam masyarakat seperti masyarakat Batak, mahar disebut sebagai sinamot yang

artinya biaya mahar dalam sistem adat Batak yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada

pihak perempuan. Istilah sinamot merupakan suatu bagian dalam pesta perkawinan yang

akan dilangsungkan.

Besarnya sinamot di tentukan oleh tingkat ekonomi dan pendidikan yang sudah

ditempuh oleh perempuan namun masih bisa di negosiasikan dalam acara marhata

sinamot. Dalam pesta perkawinan adat batak, pihak hula-hula (bride giver) akan

memegang peran yang maha tinggi karena telah memberikan putrinya kepada boru (bride

(12)

Oleh karena itu, dia harus disembah dan tabu untuk di tentang. Selanjutnya,

dongan sabutuha adalah tempat bertukar pikiran sekalian dalam menunjang keberhasilan

perhelatan perkawinan tersebut.

Kalau dilihat dalam tata cara perkawinan masyarakat batak secara kerajaan,

perkawinan tersebut di selenggarakan sesuai dengan musyawarah, adapun musyawarah

tersebut dapat dilalui dengan tiga tingkatan yaitu :

1. Musyawarah dalam rumah tangga (tahi ungut-ungut/unung-unung nasibahue).

Disini segala sesuatu penyelenggaraan acara di bahas pertama kali oleh anggota

keluarga inti, yaitu suami istri, atau pun kalau ada anak-anak yang sudah dianggap

dewasa. Dalam musyawarah ini, yang paling pokok di bicarakan adalah masalah

dana (keuangan) untuk penyelenggara pesta besar.

2. Musyawarah keluarga besar (klan), yang kadang disebut dengan tahi sabagas,

yaitu musyawarah yang diadakan dengan kaum kerabat terdekat untuk minta

pertimbangan mengenai maksud yang akan diadakan oleh tuan rumah.

Musyawarah ini sangat penting artinya, karena disini dibahas juga masalah dana

yang dapat dibantu oleh kaum keluarga dekat. Serta rencana penyelenggaraan

pesta besar (horja).

3. Musyawarah dengan tetangga sekampung, atau yang disebut dengan tahi godang

parsahutaan, yaitu musyawarah dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap

mewakili masyarakat kampung tersebut. Hal ini juga penting, karena selain

kampong tersebut akan menjadi tuan rumah pelaksaan horja tersebut, juga akan

(13)

hadir diantaranya yaitu : kahanggi, anak boru, pisang rahut, mora, hatobangan,

panusunan bulung, harajaon, dan orang kaya (bendahara).(khairuddin, 1997 :

91-92).

Dalam adat masyarakat Minang, mahar disebut sebagai uang jemputan, yaitu

sejumlah uang yang mesti di bayarkan oleh pihak keluarga wanita kepada pihak keluarga

laki-laki (berasal dari daerah Padang atau Padang Pariaman) sebanyak permintaan pihak

keluarga laki-laki.

Uang jemputan yang mesti di bayarkan adalah tergantung kesepakatan dari ninik

mamak pihak keluarga laki-laki, dan di pengaruhi sekali oleh status sosial yang disandang

oleh calon pengantin laki-laki. Misalnya calon pengantin laki-laki seorang dokter,

besarnya uang jemputan yang mesti di bayarkan bisa saja mendekati nilai 50juta rupiah

bahkan lebih.

Hal tersebut di atas bukan sesuai dengan anjuran syariat, bahkan saya melihat

bahwa adat mahar di Aceh yang pada umumnya sangat besar dan memberatkan pihak

laki- laki cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip

kesederhanaan. Kecenderungan tersebut semata- mata karena tuntutan peradatan yang

sudah terlaksana secara turun- temurun di Tanah Serambi Mekkah ini.

Di satu sisi, adat mahar memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi

suatu komoditi pasar yang kompetitif agar memotivasi para pemuda untuk bekerja keras

dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Dengan demikian mereka bisa

mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam keluarga.

(14)

Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Adat

istiadat perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia. Dalam

kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan harus

mengikuti pola kebudayaan yang ketat.

Perkawinan bukan hanya bersatunya dua individu, namun lebih jauh adalah

bersatunya dua keluarga besar. Perkawinan tidak boleh dilakukan serta merta dan

tiba-tiba. Ia menjalani beberapa proses sehingga sampai pada bersatunya dua sejoli dalam

ikatan rumah tangga.

Dalam sistem perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Aceh biasanya yang

terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan Bilateral. Dimana adat istiadat

telah menetapkan sesudah menikah bersifat Matrilokal yaitu, yang mana setelah menjadi

suami akan tinggal dirumah keluarga mempelai perempuan (istri) dalam kurun waktu

lebih kurang satu tahun. Sedangkan anak adalah tanggung jawab ayah sepenuhnya.

Dalam sistem-sistem tersebut bahwa tampaknya terdapat kombinasi antara

budaya minangkabau dengan Aceh itu sendiri. Garis keturunan perempuan juga

diperhitungkan berdasarkan prinsip Bilateral, yang sedangkan adat telah ditetapkan

sesudah menikah adalah Uxorilikal (yaitu tinggal didalam lingkup keluarga pihak

mempelai perempuan).

Pada masa lampau masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial, antara lain

(15)

1. Golongan keluarga sultan merupakan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa.

Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah “ampon” untuk laki-laki

dan “cut” untuk perempuan.

2. Golongan uleebalang merupakan orang-orang dimana keturunan-keturunan dari

bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil dibawah kerajaan.

3. Golongan Ulama yaitu merupakan pemuka agama ang lazim disebut (teungku

atau tengku).

4. dan, Golongan rakyat biasa.

Demikianlah pelapisan-pelapisan yang terjadi dalam suku Aceh pada masa

kesultanan dulu. Pada saat zaman sekarang ini adat istiadat yang dijalankan sekarang ini

dengan adat masa lalu sudah mengalami perbedaan yaitu bertambah modernnya

masyarakat serta tata cara dalam menyusun adat istiadat perkawinan.

Dalam sistem keluarga di Aceh, apabila salah seorang anaknya sudah dewasa,

para orang tua sudah mulai sibuk memikirkan untuk mencari jodoh anaknya. Untuk

mencapai maksud dan tujuan tersebut, secara dini mereka para orang tua mulai

memperhatikan dan menyelidiki muda mudi yang siap untuk berumah tangga.

Pada umumnya orang tua tempo dulu yang pertama diselidiki untuk calon jodoh

anaknya adalah ahklak, ketaatan beribadah, pendidikan, pekerjaan, serta keturunan dari

mana ia barada. Biasanya keturunan kurang dipersoalkan, asalkan mencapai tujuan yang

dimaksud dari ketentuan-ketentuan adat perkawinan, yaitu salah satu tercapainya mas

(16)

Tidak ubahnya saat zaman sekarang, sebagian dari pihak orang tua juga masih

melihat status yang dimiliki, pendidikan bahkan jabatan dalam pekerjaan. Hal itu

dilakukan untuk kepentingan dan yang terbaik untuk anaknya. Agar kelak hidup mereka

tanpa kekurangan apa pun.

Dalam acara permulaan perkawinan, tahap pelamaran (ba ranup), biasanya

dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki sebelumnya akan mengutuskan seorang yang

dirasa bijak dalam berbicara, yang biasa disebut “teulangkee” yaitu sebagai pengurusan

dalam peminangan.

Jika theulangke telah mendapat gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia

akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan

menyampaikan maksud untuk melamar gadis tersebut.

Bila lamaran diterima, keluarga pihak laki-laki akan datang untuk “peukeong

haba”(membicarakan kapan dilangsungkan pernikahan), termasuk menetapkan seberapa

besar uang yang akan diminta (disebut jeulamee), berapa banyak “jamee”(tamu) yang

akan diundang, dan ketentuan hari datangnya “intat raneueb peukong haba”. Acara ini

sekaligus “jak bie tanda”(upacara pertunangan).

Pada acara ini pihak laki-laki akan mengantar berbagai makanan khas daerah

Aceh, seperti buleukat kuneeng dengan isi tumphou (pulut kuning serta isi yang dibuat

dari tepung yang telah diolah), “lee macam boeh kayee” (aneka buah-buahan), serta

seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuai dengan kemampuan keluarga

laki-laki. Dalam adat Aceh, “jinamee”(mahar) adalah pemberian wajib seorang suami

(17)

Jumlah jinamee sangat variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini

disesuaikan dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki.

Jinamee ini tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat

menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, 2006 : 159).

Di Krueng Manee Kecamatan Buara Batu Aceh Utara, jinamee yang harus

dibayar oleh laki-laki kepada perempuan biasanya berkisar dari 15, 30, sampai 50 mayam

(1 mayam = 3,3 gram). Di Aceh Pidie, jinamee yang harus dibayar laki-laki kepada

perempuan lebih dari 20 mayam.

Namun, keluarga perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah

menikah. Sedangkan di Aceh selatan umumnya dibawah 10 mayam, tetapi ditambah

dengan “peng hangoh” (uang tunai). Pihak perempuan tidak menyediakan rumah.

Bahkan ada dibeberapa daerah Aceh lainnya hanya 1-2 mayam saja, tanpa tambahan

“peng hangoh” (uang tunai).

Suatu tradisi pada orang Aceh di dalam acara pesta dalam peresmian pernikahan

biasanya acara makan dan minum sangat bervariatif. Perbedaannya cukup mencolok

dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh, lauk pauk yang biasa dimakan bercitra

rasa seperti masakan India.

Lauk pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi).

Selain lauk pauk yang disebutkan diatas, yang termasuk dalam ciri khas makanannya

adalah gulai kambing (kari kambing), “sie reboih”(daging sapi/kambing yang direbus

dan bercampur dengan jeruk perut atau jeruk nipis), “keumamah”(ikan rebus yang

(18)

Selain itu, juga ada nasi ciri khas Aceh yaitu bu minyeuk (nasi gurih atau nasi minyak)

serta tradisi minum kopi.

Dari pemaparan latar belakang di atas maka, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian ini agar mengetahui makna jeulamee (mahar) dalam penghargaan keluarga istri

pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng Manee Kecamatan Muara Batu Aceh

Utara.

1.2.Perumusan Masalah

Guna meningkatkan arah jalannya penelitian maka terlebih dahulu dirumuskan

permasalahan yang ada. Dengan itu, Suharsini Arikanto mengatakan bahwa “agar

penelitian dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan sebaiknya maka, peneliti harus

merumuskan masalah yang ada sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus

pergi, dan dengan apa” (Arikanto, 2002 : 22).

Berdasarkan uraian diatas maka, penulis merumuskan masalah sebagai beriku :

1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada

sistem Perkawinan Suku Aceh ?

2. Berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku pada saat sekarang ini di Suku

Aceh ?

1.3.Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada

(19)

2. Untuk mengetahui berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku saat

sekarang ini di Aceh ?

1.4.Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memperluas pengetahuan bagi

peneliti, akademi, dan masyarakat sehubungan dengan Makna Jeulamee (mahar)

dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng

Manee Aceh Utara.

2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi hasil

penelitian serta juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian terkait

selanjutnya, serta diharapkan dapat pula memberikan sumbangan pemikiran bagi

masyarakat sehubungan dengan jeulamee bagi perempuan Aceh yang berada

dalam ruang lingkup keluarga Suku Aceh di Krueng Manee.

1.5.Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak

kejadian, keadaan dimana kelompok atau individu menjadi pusat perhatian (Singarimbun,

1989 : 33).

Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga masalah atau

menjadi pembatasan masalah dan menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan

defenisi yang dapat mengaburkan penelitian. Beberapa konsep yang dibatasi dengan

(20)

1. Makna adalah sesuatu penghargaan yang diserahkan oleh laki-laki kepada

perempuan dan mempunyai arti untuk bertujuan memiliki dan menyimpannya.

2. Jeulamee (mahar) adalah pemberian wajib yang berupa uang atau barang dari

mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad

nikah; mas kawin.

3. Penghargaan adalah suatu pemberian penghormatan yang diberikan kepada

seseorang yang dikagumi dan disenangi.

4. Keluarga adalah suatu wadah atau tempat untuk berhubungan antara ayah, ibu,dan

anak. Serta sebagai rangkaian tali hubungan antara anggota-anggota keluarga

lainnya. Keluarga juga merupakan kelompok pertama yang mengenalkan

nilai-nilai kebudayaan kepada sianak dan disinilah dialami antar aksi dan disiplin

pertama yang dikenalkan kepada anak dalam kehidupan social.

5. Istri adalah hasil pasangan nikah antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai

peran penting dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

6. Sistem adalah tata cara atau aturan yang disusun atas dasar syarat dan nilai-nilai

(21)

7. Perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan, namun lebih jauh

adalah bersatunya dua keluarga besar. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan

merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola budaya yang ketat.

8. Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak

sebagai penganut islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang.

Begitu fanatiknya mereka, sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri

mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh

pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai

masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat

(22)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Institusi Keluarga

Keluarga bukan saja sebagai tempat hubungan antara suami dan istri atau

anak-anak dan orang tua, tetapi sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial

anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu masyarakat, oleh karena

itu dalam memandang pemilihan jodoh dapat dilihat bahwa masyarakat luas menaruh

perhatian akan hasilnya.

Selalu kedua jaringan yang akan menikah dihubungkan karenanya dan oleh

karena itu juga jaringan-jaringan lain yang lebih jauh tersangkut. Kedua keluarga ini

mempunyai semacam kedudukan dalam sistem lapisan, yang keseimbangannya sebagian

juga tergantung kepada siapa menikah dengan siapa. Perkawinan antara keduanya adalah

petunjuk yang terbaik bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira

sama secara sosial dan ekonomis.

Bagi keluarga-keluarga itu sendiri yang satu memperoleh dan yang lain

kehilangan satu anggota (jika sang wanita pindah ke keluarga suami, sistem itu disebut

patrilokal jika yang laki-laki masuk ke keluarga istri sistemnya disebut Matrilokal).

Pada dasarnya, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam

ekonomi. Sistem ini berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya,

tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana pertukaran dan penilaian

(23)

Seperti kaum ningrat di Jepang dan Cina masa lampau, transaksi-transaksinya

diatur oleh para tetua secara resmi, sah dan umum oleh laki-laki, meskipun yang

membuat keputusan terakhir biasanya kaum wanita tua. Menurut hukum adat masyarakat

Arab, keluarga laki-laki membayar emas kawin dari sang wanita, sedangkan pada kasta

brahmana di India, keluarga wanitalah yang membayar mahar kawinnya kepada calon

suami.

Hukum itu mungkin juga menentukan semacam pemberian imbalan. Tentu saja

para pelaku dalam proses ini tidak berpendapat bahwa mereka itu melakukan “tawar

menawar”. Orang tua mungkin menganggap bahwa mereka “mencari sesuatu yang

terbaik bagi anak-anak mereka” (William J.Goode, 1991 : 63-65).

2.2. Fungsi Keluarga

Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yaitu fungsi yang sulit

dirubah dan digantikan oleh orang lain. Sedangkan fungsi-fungsi lainya atau fungsi

social, relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan. Fungsi pokok keluarga :

2.2.1. Fungsi Biologis

Menurut Paul dalam (William, 1988 : 13) suami hendaknya mengisi tugas

pernikahannya kepada istrinya dan juga istri terhadap suami. Jasmani istri bukan

miliknya sendiri tapi juga milik suaminya. Dengan cara yang sama jasmani suami bukan

hanya miliknya sendiri tapi juga dimiliki oleh istrinya. Didalam halnya kita berkeluarga,

keluarga merupakan suatu tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologis orang tua adalah

(24)

Fungsi ini juga dasar dari kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga

dapat membawa perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak

yang sedikit. Kecenderungan ini disebabkan oleh faktor-faktor :

a. Perubahan tempat tinggal.

b. Perbedaan lingkungan.

c. Penyesuaian diri secara drastis terhadap apa yang ada disekitar, dan lain

sebagainya.

2.2.2. Fungsi Afeksi

Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi.

Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar

perkawinan. Dari hubungan cinta kasih inilah lahir hubungan persaudaraan, persahabatan,

kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai.

Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi

perkembangan kepribadian anak. Dalam masyarakat yang makin interpersonal, pribadi

sangat membutuhkan hubungan afeksi seperti yang terdapat dalam keluarga. Suasana

afeksi itu tidak terdapat dalam institusi sosial lainnya.

2.2.3. Fungsi Sosialisasi

Fungsi sosialisasi ini menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk

kepribadian anak. Melalui interaksi social dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola

(25)

Sementara itu fungsi-fungsi sosial relatif lebih mudah berubah atau mengalami

perubahan antara lain, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan, fungsi pendidikan serta

agama. (Khaeruddin, 2002: 53-54).

Dengan klasifikasi yang agak berbeda, Horton and Hunt (1991 : 274)

mengidentifikasikan beberapa fungsi keluarga antara lain : fungsi pengaturan seks,

reproduksi, afeksi, defenisi status, perlindungan dan ekonomi.

2.2.4. Fungsi Ekonomi

Seiring dengan perubahan waktu dan pertumbuhan mesin-mesin canggih, peran

keluarga yang dulu sebagai lembaga ekonomi secara perlahan-lahan hilang. Bahkan

keluarga yang ada pada mulanya dengan pekerjaan bertani dan berdagang, sekarang tidak

lagi merupakan suatu unit yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam rumah

tangganya.

Kebutuhan sudah tersedia ditoko-toko, pasar dan pabrik. Kebutuhan sudah tidak

lagi disatukan oleh tugas bersama, karena anggota kelurga bekerja secara terpisah. Oleh

karena itu, fungsi ekonomi dalam pengertian produksi kebutuhan perlahan-lahan

menghilang, hanya kesatuan konsumsi saja yang dapat dipersatukan baik dalam keluarga

maupun sahabat.

2.2.5. Fungsi Rekreasi

Fungsi ini bertujuan untuk memberi suasana yang segar dan gembira dalam

(26)

tempat-tempat hiburan banyak berkembangdiluar rumah, karena berbagai fasilitas dan aktivitas

rekreasi berkembang dengan pesat.

Sebuah institusi keluarga dapat mempertahankan keutuhan keluarga, apa bila

fungsi-fungsi keluarga dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik, baik itu fungsi pokok

yaitu fungsi biologis, fungsi afeksi, fungsi sosialisasi maupun fungsi sosial yaitu fungsi

ekonomi, fungsi perlindungan serta fungsi rekreasi. Apabila fungsi keluarga tersebut

sudah tidak berjalan dengan baik, maka dapat memungkinkan kegoncangan dalam

keluarga. Didalam suatu keluarga terutama pada suami istri dan keluarga lainnya.

Dari pemaparan diatas sesuai dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan

kemampuan laki-laki. Pada dasarnya, jeulamee tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat

yang berlaku sebab ini dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut.

Kalau dilihat ketentuan-ketentuan pemberian jeulamee dibeberapa daerah Aceh

antara lain di Krueng Manee Aceh Utara, jeulamee yang harus dibayar oleh pihak

laki-laki kepada perempuan lebih kurang 20 mayam. Di Aceh Pidie, jeulamee yang harus

dibayar pihak laki-laki kepada perempuan lebih kurang 20 mayam, namun keluarga

perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah menikah. Di Aceh

Selatan, jeulamee umumnya di bawah 10 mayam, tetapi di tambah dengan “peng

hangoh” (uang tunai), sedang pihak perempuan tidak menyediakan rumah.

Di beberapa daerah Aceh lainnya ada juga yang memberikan 1-2 mayam saja dan

tanpa uang tunai (itu merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak).

Adapun tahapan dan ketentuan upacara adat perkawinan yang dipergunakan oleh

(27)

1. Meusah-Sah (berbisik-bisik)

Yang dimaksud berbisik-bisik ialah, apabila sang pemuda dan orang

tuanya sudah menyetujui calon istri anaknya, maka kedua orang tuanya dengan

secara rahasia mengutus/menanyakan pada pihak keluarga si gadis dengan sangat

rahasia (istilahnya berbisik-bisik) karena seandainya pihak keluarga gadis

menolak, maka pihak keluarga pemuda tidak mendapat malu/tidak terhina di mata

mayarakat.

2. Keumalon Praja (melihat bintang)

Dalam kalangan masyarakat Aceh ada kepercayaan, apabila seseorang

akan menikah harus dilihat terlebih dahulu bintang (zodiak), dalam bahasa Aceh

namanya praja, gunanya adalah agar dapat melihat masa depan/ramalan

perjalanan rumah tangganya dimasa mendatang, perhitungan-perhitungan bintang

tersebut diambil dari nama dan tanggal lahir dari keduanya (calon suami dan

calon istri).

Kebiasaan tersebut sudah berlangsung lama, sejak turun-temurun dari orang tua

dulu sampai sekarang, secara umum ada tiga (3) pedoman melihat masa depan

tersebut yaitu :

d. Telaga dikaki bukit, artinya dia akan mendapat rezeki yang diberkati (rumah

tangga bahagia, kaya/senang).

e. Abee Diateh Teukok, artinya abu diatas tunggul kayu, tamsilannya rezeki

mereka tidak berkat, seperti debu diatas tunggul kayu ditiup angin terbang

(28)

f. Pohon ketapang dipinggir pantai laut, artinya perumpamaan daun pohon

ketapang, apabila musim gugur, semua daun brguguran jatuh ke bumi, yang

tinggal hanya ranting-ranting, dan apabila datang musim, ditiap-tiap ranting

tumbuh tunas dan pucuk baru, bermunculan pucuk-pucuk baru yang segar,

begitulah tamsilannya bintang calon suami istri, apabila tuhan menghendaki

maka rezeki itu pasti terkabulkan.

3. Cah Ret (rot)/Ngon Peuhah Pinto (merintis jalan/membuka pintu masuk) Setelah melihat praja (bintang/zodiak), dan sudah mendapat satu pedoman

bagi keluarga tersebut, tahap selanjutnya pihak keluarga calon suami (linto baroe)

mulai merintis jalan (cah ret), mencari peluang yang baik mendatangi keluarga

calon istri (dara baroe), setelah jalannya terbuka dan ada sambutan dari pihak

perempuan mereka akan membuka kan pintu masuk (pinto ka teuhah) barulah

pihak dari utusan dari keluarga laki-laki mendatangi orang tua perempuan secara

resmi.

4. Meuduek Wali/meuduek bilek (musyawarah antara pihak laki-laki dan pihak perempuan)

Yang dimaksud meuduek wali ialah musyawarah orang tua calon linto

dengan wali pihak ayah dan wali pihak ibu, dalam musyawarah tersebut biasanya

orang tua linto mewakilkan pimpinan musyawarah kepada orang yang dituakan,

bahwa mereka sekeluarga mempunyai maksud mencari calon istri anaknya,

malam ini dia menyerahkan semua kepada pihak wali untuk menentukan jodoh

(29)

5. Seulangkee (orang yang bertanggung jawab)

Yang dimaksud dengan seulangkee, adalah orang yang bertanggung jawab

sebagai utusan sebuah keluarga untuk meminang seorang anak gadis supaya

dapat/bersedia dijodohkan dengan pemuda yang dibawanya, dan juga seulangkee

sebagai orang penghubung timbal balik antara keluarga linto baro dan keluarga

dara baro.

6. Peukong Haba (memperkuat kata)

Yang dimaksud peukong haba adalah memperkuat kata, yaitu hasil

pembicaraan (nigosiasi) antara seulangkee dengan keluarga pihak calon dara baro,

sudah ada ketentuan antara lain : jumlah mahar, ketentuan bertunangan, ketentuan

hari datangnya bertunangan, dan ketentuan adat tunangan lainnya.

Dalam acara “intat peukong haba” ini, yang terutama adalah memberi tanda

ikatan baik berupa uang maupun berupa benda (emas) tanda tersebut umumnya

akan dipotong dari harga/nilai jeulamee.

7. Meuteunangan (bertunangan)

Yaitu suatu ikatan antara seorang pemuda dengan seorang anak gadis,

tempo dulu dalam masa bertunangan, kedua pihak saling menjaga agar tidak

terjadi sesuatu perbuatan yang melanggar norma-norma agama dan

kemasyarakatan serta tidak melanggar aturan adat gampong kedua pihak, karena

akan berakibat buruk kemudian hari.

8. Meugatieb (menikah)

Adalah menikah, dalam upacara menikah pada umumnya setiap keluarga

(30)

termaktub dalam al-qur’an dan hadist, dan dalam acara pernikahan ada kalanya

satu kampong dengan lainnya tidak sama penerapan adatnya, yang sama hanyalah

menjalankan hukum dan syari’at islam saja, umpamanya untuk sah satu

pernikahan harus sesuai petunjuk hukum nikah yaitu : ada wali nikah, ada

jeulamee (mahar), ada ijab Kabul, dan saksi nikah.

Akhir-akhir ini pelaksanaan akad nikah sudah beragam macam

pelaksanaannya, ada yang dilaksanakan tiga (3) hari sebelum hari intat linto (tiga

hari sebelum peresmian) pesta, dan ada pula hanya nikah saja, yaitu akad nikah

dilaksanakan jauh sebelum upacara pesta perkawinan, bagi pelaksanaan nikah

tersebut dinamakan nikah gantung, karena pengantin laki-laki tidak pulang ke

rumah pengantin perempuan.

9. Kenduri Peukawen Aneuk (pesta peresmian pernikahan)

Yaitu pesta peresmian perkawinan, dalam acara kenduri tersebut banyak

hal yang menjadi perhatian dari segi adat dan reusam, pelaksanaan adat dalam

upacara perkawinan lebih menonjol dari pelaksanaan hukum dan kanun, terlebih

lagi pada malam/siang intat linto baro, atau pun menerima dara baro, perangkat

atau persyaratan semua terkait dengan adat dan reusam antara lain yaitu :

a. Sebelum linto baro turun dari rumah, linto baro diwajibkan sungkem pada

kedua orang tua, untuk mohon izin, dan diikuti oleh seluruh famili yang ada

dirumah.

b. Setelah turun dari rumah, sebelum berangkat meninggalkan rumah, linto baro

dipeusijuek (ditepungtawari), dan setelah itu salah satu dari orang tua atau

(31)

orang yang hadir/peserta linto baro, setelah itu baru linto berangkat dengan

rombongan menuju tujuan.

c. Setelah dekat dengan rumah dara baro, para pengantar linto kembali

berselawat, sebagai tanda rombongan pengantin laki-laki (linto baro) sudah

tiba, apabila hampir dekat dengan rumah penganti wanita (dara baro), utusan

dari keluarga dara baro datang menyongsong/menjemput pengantar dengan

membawa bate ranueb (sirih lampuan) tanda menghomati rombongan

pengantin laki-laki.

d. Setelah rombongan sampai didepan rumah pengantin wanita, pengantin

laki-laki “dipeusijuek” (ditepung tawari) didepan pintu masuk kerumah pengantin

wanita dan setelah itu baru di persilahkan masuk.

e. Setelah masuk kedalam rumah, para tamu sudah duduk, maka acara serah

terima pengantin laki-laki dilaksanakan oleh pemegang adat dalam hukum

perkampungan keduanya, maknanya agar pengantin laki-laki bisa diterima di

kampong pengantin wanita.

f. Setelah acara serah terima selesai, maka kedua pengantin disanding

dipelaminan, serta diikuti acara hidangan makan bersama, dalam acara makan

bersama dahulu ada satu hidangan khusus yang digolongkan acara reusam,

yaitu hidangan khusus Bisan (BU BISAN). Nasi bisan diberikan pada orang

yang ditunjuki mewakili keluarga rombongan pengantin, persiapan nasi bisan

ini biasanya hidangan lauk pauknya di taruh dalam dalung (BENJANA)

khusus, dan bersahaja serta lauk pauknya yang beraneka ragam jenis makanan

(32)

g. Setelah acara makan bersama, rombongan pengantar pengantin pulang

kerumah masing-masing, sedangkan pengantin laki-laki bermalam dirumah

pengantin wanita serta ditemani dua orang tua, dalam bahasa Aceh dinamakan

APET. Guna apet tersebut ialah untuk memberi bimbingan dan menuntun mereka nasehat-nasehat yang berguna bagi kedua pengantin.

h. Pada malam antar linto, setelah duek sandeng, kedua pengantin sungkem pada

kedua orang tua dara baro.

i. Pada acara tueng dara baro (pesta penerimaan pengantin wanita), hal tersebut

sama seperti dengan pesta penerimaan pengantin laki-laki (Muhammad Umar,

2006 : 157-165).

Mengenai penilaian kualitas yang berbeda, kehormatan garis keluarga mungkin

lebih ditentukan dari pada ciri perorangan kedua pasangan itu atau kecantikan seorang

wanita mungkin juga sama nilainya dengan kekayaan seorang laki-laki. Bila pembelian

sudah sah maka barang diserahkan dan penggunaan terhadap barang tersebut diserahkan

pada pembeli. Pemahaman bahwa perempuan dilabelkan dengan harga mengandung

konsep bahwa perempuan merupakan properti yang dapat diperjual belikan.

(http://www.mailarchive.com/keluargasejahtera/yahoogroups.com/msg00854.html).

Pada masyarakat kekerabatan Patrilineal, yang mengutamakan keturunan menurut

garis laki-laki berlaku adat perkawinan pembayaran “jeulamee” dimana setelah

perkawinan istri melepaskan kewargaan adat kerabat orang tuanya. Dalam hal ini

kedudukan suami lebih tinggi dari hak kedudukan istri (Hadikusumah, 1987 : 1).

Besar kecilnya emas kawin tentu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa

(33)

dan perempuan, sesuai dengan kedudukan, kepandaian, dan kecantikan si gadis

(Koentjaraningrat, 1998 : 101).

Dengan demikian, jeulamee (mahar) merupakan sebagai harta pembelian, seperti

dalam beberapa bahasa Indonesia, jeulamee (bahasa Aceh), pangolin/boli (bahasa Batak

Toba), tukon (bahasa Jawa), dan lainnya. Adanya makna-makna istilah seperti ini maka

menyebabkan perempuan dipandang sebagai kelas nomor dua yaitu kelas yang dikuasai

dan tertindas.

Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Mahar dapat difingsikan dalam hal

yang bersifat positif dan juga dapat bersifat negatif. Bersifat positif karena lebih

mendekatkan antara keluarga dari pihak laki-laki dengan pihak keluarga perempuan

(apabila mas kawin yang ditetapkan saling setuju). Sedangkan dari segi negatifnya,

diantara masing-masing pihak keluarga ada yang tidak menyetujuinya dalam penentuan

mahar (karena mahalnya mas kawin yang ditentukan), akibatnya masing-masing keluarga

tidak mempunyai kecocokan dalam membentuk hubungan keluarga baru/ adanya

perselisihan.

2.3. Teori Struktural Fungsional

Dalam teori struktural fungsional tiga kritikan postulat dasar analisis struktural

seperti yang dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan Radcliffe brown.

Pertama adalah postulat tentang kesatuan fungsional masyarakat. Postulat kedua adalah

fungsionalisme universal. Artinya, dinyatakan bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial

serta struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Postulat ketiga adalah postulat

(34)

baku tak hanya mempunyai fungsi positif tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang

sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai kesatuan (Ritzer, 2003 : 138).

Merton juga mengemukakan tentang struktural fungsional yang menekankan

kepada keteraturan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi,

fungsi laten, fungsi manifes, dan keseimbangan.

Paradigma fakta sosial terpaut kepada antar hubungan antara struktur sosial,

pranata sosial dan hubungan antara individu dengan struktur sosial serta antar hubungan

antara individu dengan pranata sosial.

Secara garis besarnya fakta sosial terdiri dari dua tipe. Masing-masing adalah

struktur sosial (social institution) dan pranata sosial (social institution). Secara terperinci

fakta sosial itu terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi,

peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan, dan sebagainya.

Struktural fungsional awal memusatkan perhatian pada fungsi satu struktural

sosial atau pada fungsi satu institusi sosial tertentu saja. Menurut teori ini masyarakat

merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang

saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada

satu bagian akan membawa perubahan terhadap yang lain (Ritzer, 2003 : 21).

Menurut Merton fungsi didefenisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang

dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian diri sistem tertentu”. Tetapi

ada bias ideologis bila orang hanya memusatkan pemikiran pada adaptasi atau

(35)

Perlu diperhatikan bahwa satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap

fakta sosial lain. Untuk meralat kelalaian serius dalam struktural fungsional awal ini,

Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi.

Sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan

bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat

negatif terhadap sistem sosial.

Merton juga memperkenalkan konsep fungsi nyata dan fungsi keseimbangan.

Dalam pengertian sederhana, fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan

fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tak diharapkan. Penganut teori fungsional ini

memang memandang segala pranata social yang ada dalam satu masyarakat tertentu serta

fungsional dalam artian positif dan negatif (Goodman, 2004 : 141).

Proses Sosialisasi dalam Keluarga

Individu dalam masyarakat akan mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup

dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat

dimana individu itu berada. Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi

adalah interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial sosialisai tidak mungkin berlangsung

dengan sendirinya. Menurut David A. Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang

dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan

norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakat.

Sosialisasi dapat dialami oleh individu sebagai mahkluk sosial sepanjang

kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Karena interaksi merupakan

(36)

orang-orang disekitar individu tersebut yang mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma

tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Adapun dalam proses sosialisasi membentuk tahapan-tahapannya dan dapat pula

dibedakan sebagai berikut :

1. Tahapan proses sosialisasi primer, yaitu sebagai sosialisasi yang pertama dijalani

individu semasa kecil, melalui mana ia menjalani menjadi anggota masyarakat.

Dalam tahapan ini proses sosialisasi primer juga membentuk kepribadian anak

kedalam dunia umum, dan keluargalah yang berperan sebagai agen sosialisasi.

2. Tahapan proses sosialisasi sekunder, yaitu dapat didefenisikan sebagai proses

yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan kedalam sektor baru

dari dunia objektif masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi ini mengarahkan pada

terwujudnya sikap profesionalisme (dunia yang lebih khusus), dalam hal ini yang

menjadi agen sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer group, lembaga pekerja,

dan lingkungan yang lebih luas lagi dari kelurga.

Dengan demikian proses sosialisasi dapat berlangsung dengan cara tatap muka,

tetapi hal ini juga dapat dilakukan dalam ukuran jarak jauh tertentu yaitu melalui sarana

media, atau surat menyurat, bisa berlangsung secara formal, baik sengaja maupun tidak

sengaja. Sosialisasi dapat dilakukan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau

pun orang yang melakukan sosialisasi, sehingga kedua kepentingan tersebut bisa sepadan

atau pun dapat bertentangan.

Dalam hal proses sosialisasi keluarga, status sosial ekonomi juga berpengaruh

terhadap proses sosialisasi anak yaitu menurut jenis kelamin. Status sosial ekonomi dapat

(37)

cenderung lebih tegas dalam memisahkan peran-peran anak laki-laki denagn anak

perempuan, sebaliknya mereka yang berpendidikan tinggi memerlukan anak perempuan

dan laki-laki secara egaliter.

Beberapa pakar sosiologi pun sudah berusaha membentuk kategori mengenai

bentuk atau pola sosialisasi dalam keluarga. Seperti yang dikategorikan oleh

Bronfenbrenner dan Melvin Khon bahwa ada dua bentuk sosialisasi, yaitu sosialisasi

yang berorientasi pada ketaatan yang disebut dengan sosialisasi dengan cara represif, dan

yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi.

Sosialisasi yang represif menitikberatkan hukuman terhadap perilaku yang salah,

dan sosialisasi yang partisipatori memberikan imbalan untuk perilaku yang baik.

Hukuman dan imbalan pada bentuk yang pertama sering bersifat material, sedangkan

pada bentuk kedua lebih kebentuk simbolis.

Komunikasi orang tua dengan anak pada bentuk sosialisasi yang represif lebih

sering berbentuk perintah dan melalui gerak gerik saja, berbeda dengan ciri komunikasi

yang hanya menggunakan interaksi yang memberikan dua arah dan bersifat universal.

Dalam konsep kelas sosial menurut Melvin Kohn dalam studinya adalah

pengelompokan individu yang menempatkan posisi yang sama dalam skala prestis

(ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan). Berdasarkan konsep

tersebut Kohn membagikan kelas social dalam empat golongan yaitu :

1. lower-class adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan seperti buruh

bangunan, tukang sapu jalan.

2. working-class adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan tertentu, seperti

(38)

3. Middle-class adalah pegawai kantoran atau profesional, seperti guru, pegawai

administrasi.

4. Elite-class adalah sama dengan Middle-Class, hanya kekayaan dan berlatar

belakang keluarga yang lebih tinggi (Ihromi 1999 : 30-49).

Dengan demikian sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa proses

sosialisasi individu mempunyai fase-fase tertentu, mulai dari fase sosialisasi dalam rumah

tangga dan sampai fase dalam masyarakat luas. Dalam hal proses sosialisasi juga

mempunyai kegiatan-kegiatan yang mencakup kedalam bentuk proses sosialisasi belajar

(learning), penyesuaian diri dengan lingkungan, dan pengalam mental (Khairuddin 1997 :

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif

dengan memakai studi deskriptif. Penelitian kualitatif yang akan dilakukan adalah karena

beberapa pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila

berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung

hakekat hubungan antara peneliti dan informan; ketiga, metode ini lebih peka dan lebih

dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola

nilai yang dihadapi (Moleong, 1993 : 5).

Studi deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau melukiskan realitas sosial

kompleks yang ada di masyarakat (Ida Bagoes Mantra, 2004 : 38). Dalam penelitian ini,

peneliti akan menggambarkan secara mendalam tentang Makna Jeulamee (mahar) dalam

penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan suku Aceh di Krueng Manee dalam

Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di lakukan di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.

Alasan pemilihan lokasi adalah karena Krueng Mane merupakan tempat tinggal peneliti,

dengan ini peneliti lebih mudah dan leluasa menggali informasi sedalam mungkin.

(40)

mengetahui sedikitnya tentang makna mahar dalam penghargaan keluarga istri pada

sistem perkawinan suku Aceh.

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah baik pekerja domestik

maupun publik (yang sudah berkeluarga). Seperti guru, tukang jahit, buruh cuci harian,

dan lain-lain.

3.3. Unit Analisis dan Informan 1. Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah perempun Aceh

yang telah berkeluarga dan yang bermukim pula di Aceh Kecamatan Muara Batu Aceh

Utara.

2. Informan

Yang menjadi informan kunci adalah Tokoh adat Aceh (yang mengetahui proses

tahap perkawinan).

Informan pelengkap adalah warga Aceh yang menetap di Kecamatan Muara Batu

Aceh Utara yang membantu peneliti dalam pemberian informasi bagaimana pendapat

mereka dalam pemberian mahar.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, teknik pengumpulan

(41)

A. Data primer

Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara

penelitian lapangan, yaitu :

1. Metode Wawancara

Metode wawancara biasa disebut juga metode interview. Metode

wawancara proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara

tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau

orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)

wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini

adalah wawancara mendalam (dept interview).

Wawncara mendalam (dept interview) adalah merupakan proses Tanya

jawab secara langsung ditujukan terhadap informan dilokasi penelitian dengan

menggunakan panduan atau wawancara.

2. Metode observasi

Observai atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang

digunakan untuk menghimpun data penelitian, data penelitian tersebut dapat

diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap

berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Hal ini ditujukan untuk

(42)

B. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek

penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan

mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet yang di

anggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan

informan yang di butuhkan dan di harapkan telah terkumpul. Maka data-data yang telah

di peroleh dalam penelitian ini akan di interpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam

tinjauan pustaka yang telah ditetapkan, sampai pada akhirnya akan disusun sebagai

laporan akhir penelitian.

Interpretasi data dapat di mulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari

berbagi sumber yaitu dari wawancara mendalam yang telah di tuliskan dalam cacatan

lapangan. Setelah di baca, di pelajari dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah

mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.

Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman inti, proses dan pertanyaan yang

perlu dijaga sehingga tetap berada dalam fokus penelitian. Kemudian data disusun dalam

satuan dan di kategorikan. Selanjutnya mengadakan pemeriksaan keabsahan laporan yang

(43)

3.6. Jadwal Kegiatan Penelitian

No. Kegiatan Bulan Ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 Pra Observasi

2 ACC Judul

3 Penyusunan Proposal Penelitian 4 Seminar Proposal Penelitian

5 Revisi Proposal Penelitian

6 Penelitian Kelapangan

7 Pengumpulan Data dan Analisis Data

8 Bimbingan

9 Penulisan Laporan Akhir

10 Sidang Meja Hijau

3.7. Keterbatasan penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan

Pengalaman yang dimiliki oleh penulis untuk melakukan penelitian ilmiah, terutama

dalam hal metodelogi penelitian (teknik wawancara).

Keterbatasan data melalui buku atau referensi mengenai masyarakat Aceh yang

(44)

menyebabkan kurangnya lengkap data-data mengenai profil masyarakat aceh dalam

penelitian.

Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian adalah kendala

dalam berbahasa, karena sebagian informan ada yang tidak mengerti dari penjelasan yang

di terangkan oleh peneliti, biarpun sudah dijelaskan dengan bahasa yang sangat sederhana

(45)

BAB IV

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi lokasi penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian

Kelurahan Krueng Manee merupakan salah satu kelurahan bagian dari Kecamatan

Muara Batu Aceh Utara. Asal kata krueng manee sendiri bermakna “Krueng” yang

artinya sungai dan “Manee” artinya pohon mane yang berada atau tumbuh dipinggiran

sungai. Menurut warga setempat krueng manee ini dikatakan karena hampir sepanjang

sungai yang ada di Kecamatan Muara Batu banyak ditumbuhi pohon mane, dan menurut

pengakuan warga juga buah dari pohon manee tersebut bisa dijadikan obat-obatan.

Kelurahan Krueng Manee yang terdapat di wilayah Kecamatan Muara Batu Aceh

Utara dengan luas ± 2.38 km2 dan terdiri dari 22 lingkungan yang memiliki batas-batas

wilayah sebagai berikut :

- Selat Malaka disebelah Utara

- Desa Meunasah Baroh di sebelah Timur

- Desa Cot Seurani sebelah Barat

- Dan, Desa Meunasah Pinto sebelah Selatan.

4.1.2. Demografi

Jumlah penduduk Kelurahan Krueng Manee sesuai dengan data Kelurahan sampai

(46)

4.1.2.1. Jumlah penduduk berdasarkan Agama

Dalam bidang keagamaan ini yang mana masyarakat tersebut dapat hidup

berdampingan secara rukun dan damai serta tidak mendatangkan konflik-konflik atau

pertikaian antar penduduk yang berbeda agama biar pun sangat tipis perbedaannya, di

kalangan masyarakat tersebut hampir semua kalangan menganut agama islam dan hanya

[image:46.612.125.406.291.440.2]

secuil saja yang berbeda.

Table 4.1

Jumlah penduduk berdasarkan agama yang di anut.

No AGAMA JUMLAH

1. Islam 60.10

2. Kristen -

3. Katholik -

4. Hindu -

5. Budha 11

JUMLAH 6.021

Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009

4.1.2.2. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

Dalam bidang pendidikan sebagaimana data yang ada secara keseluruhan

ditemukan penduduk yang tidak pernah mengenyam dunia pendidikan/penduduk buta

(47)
[image:47.612.123.382.123.357.2]

Table 4.2

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

NO. TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH

1. Belum sekolah 277

2. Tidak tamat SD/sederajat 49

3. SD/sederajat 970

4. SLTP/sederajat 179

5. SLTA/sederajat 3785

6. Diploma 484

7. S-1 161

8. S-2 97

9. S-3 19

Jumlah 6.021

Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009

4.1.2.3. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian

Secara umum penduduk yang bertempat tinggal di Kelurahan krueng mane mata

pencahariannya bergerak di sektor swasta baik sebagai buruh maupun kewiraswastaan

sebesar 59 %, sedangkan yang lainnya bergerak di bidang jasa dan pemerintahan.

Table 4.3

Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian

No Mata pencaharian Jumlah

1. Buruh/swasta 292

2. Pegawai negeri 2.082

3. Penjahit 149

[image:47.612.126.438.609.717.2]
(48)

5. Tukang kayu 96

6. Montir 29

7. Dokter 19

9. Sopir 39

10. Pengemudi becak 18

11. TNI/ POLRI 120

12. Pengusaha/ wiraswasta 170

13. Lain-lain 2.609

Jumlah 6.021

Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian sebagian penduduk

masyarakat Aceh bergerak di bidang sektor swasta. Sebagian wilayah kelurahan Krueng

Mane dipergunakan juga sebagai sarana sektor perekonomian seperti pertokoan baik

perdagangan maupun jasa serta perkantoran umum yang bergerak di bidang swasta yang

bergerak di lingkungan yang masih berhubungan dengan Kec.Muara Batu. Selain itu

terdapat pula pusat pasar tradisional krueng mane (tempat usaha kecil menengah) serta

terminal angkotan umum.

4.1.2.4. Sarana dan Prasarana Perhubungan

Kelurahan krueng mane Kec.muara batu aceh utara termasuk wilayah yang berada

antara kota Lhok Seumawe dengan kota Jeumpa (Bireun). Untuk ruas jalan hanya di

gunakan satu jalur yaitu sebagaimana sering disebut jalan Medan Banda Aceh. Jalan

tersebut dapat di lalui berbagai macam kendaraan baik besar, sedang atau pun kecil.

Selain sarana jalan, ada juga terdapat sarana dan prasarana yang di gunakan secara

(49)

peribadatan (Masjid), Pendidikan, Kesehatan, tempat Olah raga serta pelayanan lain

untuk masyarakat secara umum.

Untuk sarana transportasi darat, biasa masyarakat krueng mane menggunakan

sepeda, becak, motor, angkutan umum dan jenis kendaran lainnya. Masyarakat krueng

mane tidak pernah mengalami kesulitan dalam hal saran transportasi, hanya saja kendala

dalam batas waktu penggunaan transportasi tersebut di batasi mulai dari jam 07.00-20.00

WIB malam yang masih kurang kondusif.

4.1.2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

Jumlah penduduk Kelurahan Krueng Manee 6021 jiwa, bila digolongkan

berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki berjumlah 3009 jiwa, sedangkan perempuan

[image:49.612.125.393.457.542.2]

berjumlah 3012 jiwa.

Tabel 4.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Keterangan Jumlah

1. Laki-laki 3009 jiwa

2. Perempuan 3012 jiwa

Jumlah 6.021 jiwa

Profil kelurahan Krueng Manee Kec. Muara Batu, 2009

4.1.2.6. Pola Pemukiman

Keterkaitan Krueng Mane dengan sekitarnya seperti desa meunasah baroh di

bagian timur, desa cot pinto di bagian selatan dan cot seuranidi bagian barat. Hal ini di

(50)

diarea persawahan krueng mane. Tata cara ruang pemukiman yang ada telah

menampakkan keteraturan. Lahan kosong yang cukup luas masih memungkinkan adanya

pengembangan area pemukiman. Pola perumahan memperlihatkan ciri linier di sisi

jaringan jalan yang ada.

Krueng Mane merupakan tempat yang rawan tsunami, pendataran pantai yang

memiliki satuan topografi genangan air pasang surut.Topografi bermanfaat sebagai

pematang pasir pantai yang sebagai kebun campuran, yaitu guna untuk genangan rawa

sebagai persawahan. Untuk kebutuhan rumah tangga, dijumpai pada kedalam 2-3 meter

pada lapisan pasir. Kesadaan air di pemukiman krueng mane dapat dinyatakan kualitas

baik sebagai air baku untuk rumah tangga serta jumlah yang melimpah ruah. (ETESP,

Rencana Pengembangan Desa, 2007).

[image:50.612.126.497.484.722.2]

4.1.2.7. Pemanfaatan sebagian Areal Tanah Krueng Mane. Table 4.5

Pemanfaatan sebagian areal tanah Krueng mane

No Jenis Penggunaan

Jumlah

Ha (%)

1 Perumahan 17 25.19

2 Administrasi 0.4 0.59

3 Perdagangan 0.5 0.74

4 Pendidikan 1.4 2.07

5 Industri (Batu Bata) 2 2.96

6 Fasilitas keagamaan 0.3 0.44

7 Pengeringan Ikan 0.4 0.59

(51)

10 Kebun Kelapa 15 22.22

11 Area Pantai 5 7.41

12 Badan Air 2.3 3.41

13 Peternakan 0.7 1.04

14 Genangan 2 2.96

TOTAL 67.5 100

Sumber : kelurahan krueng mane Kec. Muara Batu, 2009

4.1.2.8. Bentuk Pemerintahan Daerah Krueng Mane

Krueng Mane merupakan satu desa yang di pimpin oleh seorang kepala desa dan

dibantu oleh wakil-wakil dari masyarakat desa atau orang-orang yang bertanggung jawab

dalam keamanan serta ketertiban desa tersebut :

Ada pun perangkat-perangkat daerah krueng mane antara lain sebagai berikut

[image:51.612.125.504.71.199.2]

dilihat dari table :

Tabel 4.6

Perangkat-perangkat Daerah

No Nama Jabatan

1 Ali yahya Kepala Desa

2 Muklisi Sekretaris Desa

3 Husni Imam

4 Zakiyun Ketua Pemuda

5 M. Tayeb Tokoh Masyarakat

6 Mustafa Kepala Dusun

(52)

4.2. Profil Informan A. Zuriani

Ibu yang bernama lengkap Zuriani, ia telah lama berumah tangga, tapi sampai

sekarang belum dikaruniai seorang anak pun. Dalam perkawinannya, biar pun tanpa

seorang anak ia dan suaminya cukup senang. Hari-hari yang dilalui ia dan suaminya

berjalan dengan baik. Seperti itu ungkapan singkat ibu Ani awal peneliti berjumpa

dengannya. Ketika peneliti menanyakan tentang seberapa pentingnya suatu mahar dalam

perkawinan, ia langsung menjawab bahwa mahar itu sangat berharga dan penting bagi

kaum perempuan Aceh, di karenakan untuk mengesahnya suatu ikatan dalam hubungan

perkawinan.

Dalam jumlah mahar (jeulame) seorang perempuan itu jika besar, serta merta ada

perasaan bangga dan dihargai, oleh karenanya pihak laki-laki akan dihargai pula oleh

pihak keluarga mempelai perempuan (istri). Bentuk penghargaan tersebut yang diberikan

oleh pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (suami) berupa kedudukan status yang

dimiliki dalam keluarga perempuan, sanjungan, pemberian berupa materi yaitu rumah

pribadi, kendaraan, maupun jabatan yang dimiliki oleh orang tua dari pihak keluarga

perempuan.

Namun dengan demikian, jika jumlah mahar (jeulame) yang diberikan tidak

banyak atau lebih sedikit dari perkiraan yang seharusnya, sama saja yang penting semua

keperluan harus ada dan lengkap sesuai dengan kebutuhan yang di perlukan “di

masyarakat aceh lainnya”. Misalnya, isi kamar, banyaknya hantaran, uang pesta adat,

serta lainnya. Bila suatu permintaan tidak sesuai maka kedua belah pihak keluarga dapat

(53)

tentukan “kami berdua”, maka kedua keluarga hanya diminta persetujuannya saja,

begitulah penuturan dari ibu Ani.

Mahar perkawinan sangat penting dalam sebuah perkawinan, karena tanpa mahar

sebuah ikatan tidak akan sah atau tidak lengkap persyaratannya dalam kelangsungan

pernikahan. Pada saat perkawinan ibu Ani, mahar yang diterima berjumlah 17 manyam

(56,1 gram), perlengkapan kamar, serta uang tunai Rp. 2 juta untuk keperluan pesta

seperti pakaian adat dan tata riasnya.

Untuk ukuran yang diterima di Aceh pada masyarakat lingkungan Krueng Mane,

jumlah yang di terima termasuk menengah keatas. Karena menurut pengakuan ibu Ani,

dia menikah pada tahun 1995, kalau dilihat dari harga emas dulu dengan sekarang tidak

ada bedanya dari segi kadar emas. Kalau dulu harga emas ± Rp. 90.000/ gram, tapi kalau

sekarang ± Rp. 299.000/ gram. Dengan demikian kalau diuangkan dengan zaman yang

serba mahal sekarang ya sama saja.

Selain dari itu, untuk menentukan jumlah besar kecilnya mahar perkawinan dalam

suatu strata kehidupan bermasyarakat seperti zaman sekarang ini, kebanyakan orang

melihat dari pengaruhnya kecantikan seseorang, status yang dimiliki, pekerjaan dan

tingginya pendidikan. Maka suatu perubahan yang terjadi antara dulu dengan sekarang

tidak beda jauh kalau untuk menentukan pasangan yang terbaik bagi diri sendiri atau pun

dari orang tua untuk anak-anaknya.

Suatu status sangat berperan penting dalam segala bidang, khususnya dalam

mendapat pasangan. Ibu Ani memaparkan sedikit tentang anekdok orang aceh “hana peng

(54)

Jadi sumber ketentraman dalam keluarga dari dulu sampai sekarang ini yaitu status

ekonomi yang jelas serta tanpa lepas dari bimbingan orang tua atau pu mertua.

Hubungan dalam keluarga antara suami dan istri sangat berperan penting, dimana

hubungan tersebut harus dapat persetujuan, tanpa ada persetujuan dari keluarga atau pun

keluarga besar, maka suatu jalinan yang akan dijalankan tidak akan ada artinya.

Mengenai peran penting keluarga dalam pernikahan ibu Ani, setiap ada masalah,

hubungan menjadi renggang dan lainnya, maka kami mencoba untuk menyelesaikan

bersama tanpa harus membebani orang lain termasuk orang tua saya sendiri, “maksudnya,

kalau bisa di selesaikan berdua untuk apa harus campur tangan keluarga besar/ orang

tua”. Tapi adakalanya ketika suatu permasalahn besar yang di hadapi tidak ada

penyelesaian, mau tidak mau permasalah tersebut harus diketahui oleh orang tua,baik dari

laki-laki maupun perempuan. Misalnya permasalahan perceraian, suami/ istri selingkuh

dan lainnya, maka peranan penting keluarga dapat turun tangan untuk menyelesaikannya.

Namun, dengan demikian peran keluarga dalam masyarakat Aceh sangat

berpengaruh terhadap pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan/ baru

menjalani kehidupan yang baru. Dikarenakan hubungan yang baru dimulai sangat rentang

dengan perceraian yang diakibatkan kecemburuan yang tidak beralasan. Maka keluarga

atau pun orang tua terutama dari keluarga laki-laki yang mengatur hubungan dalam

keluarga tidak akan pernah luput dari pandangan mereka.

Dalam budaya Patriarkhi yang menganggap laki-laki adalah sebagai pelanjut garis

keturuna

Gambar

Table 4.1
Table 4.3
Tabel 4.4
Table 4.5
+2

Referensi

Dokumen terkait