UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
MAKNA MAHAR (JEULAMEE) DALAM PENGHARGAAN KELUARGA ISTRI PADA SISTEM PERKAWINAN SUKU ACEH
(Studi Deskriptif Di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara) SKRIPSI
DIAJUKAN OLEH RAFIQAH AYU
050901014
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAKSI
Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap pemberian mahar. Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan. Pada suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya. Bagi perempuan Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di butuhkan adalah proses wawancara dan observasi.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas
berkat dan anugrah-Nya, penulis dapat menyelesaikan mulai dari perkuliahan hingga
pada penyusunan skripsi yang berjudul “MAKNA JEULAMEE (MAHAR) DALAM
PENGHARGAAN KELUARGA ISTRI PADA SISTEM PERKAWINAN SUKU ACEH” (studi
deskriptif : di krueng mane kecamatan muara batu, kabupaten aceh utara). Skripsi ini
disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari Departemen
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan dan
keterbatasan dalam penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dari
para pembaca agar kiranya skripsi ini dapat menjadi berkat dan bermanfaat bagi
pembaca.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, kritikan, saran,
motivasi, serta dukungan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak, terutama orang tua penulis Ibunda yang telah
banyak membantu hingga tak ternilai harganya dan tiada kata yang tepat untuk
kuucapkan atas semua perhatian serta pengorbanannya. Dalam kesempatan ini pula,
penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si sebagai ketua Departemen Sosiologi, Fakultas
3. Ibu Dra. Rosmiani, MA selaku sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, serta selaku dosen
pembimbing sekaligus dosen wali penulis yang banyak membantu dan
membimbing , arahan, saran, serta sumbangan pemikiran dan ide-ide dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, yang telah memberi masukan judul pada penulis
dalam skripsi ini.
5. Seluruh staf pengajar dan administrasi FISIP USU khususnya Departemen
Sosiologi, buat kak Feny, kak Nurbetti, dan kak Devi penulis ucapkan terima
kasih banyak atas segala bantuannya.
6. Bapak Ali Yahya dan Muklis selaku kepala/ wakil daerah Krueng Mane beserta
karyawan kerja yang ramah dalam memberi keterangan kepada peneliti.
7. Ibu Zakiah selaku pegawai kantor camat krueng mane yang telah membantu dan
memberikan keterangan serta data-data yang diperoleh dalam penyelesaian skripsi
ini. Dan tak lupa seluruh informan peneliti yang bersedia diwawancarai dalam
membantu peneliti untuk memperoleh data yang akurat.
8. Teristimewa kepada orang tua penulis, al. Bapak Ilyas Is, dan Ibu Nuriah Hs yang
sangat penulis sayangi dan cintai, yang tak henti-hentinya memberikan semangat,
dukungan, tuntunan, doa dan perhatian yang dilimpahkan kepada penulis. Terima
kasih pada abangku Nuzul Indra, Umi Ida, Pak Wawin, Umi Syah, dan sepupuku
Muslem, Khairul Maiya, Novi, serta keponakanku Naiya, Lia, Zuhra, Ratu yang
selalu memberi dukungan, semangat dan doa kepada penulis. Terima kasih pada
9. Kepada teman-teman seperjuangan Sosiologi Stambuk 2005 : Gorenti, Nova,
Twinz, Sari, Lola, Helna, Iren, Hernita, Yeni, Bancin, Beni, Fridolin, Dedi, Indra,
Bobi, Iman, Willy, Andre, Irda, Yanti, Nana, Ita, Rani Carolina, Rani Khairani,
Penggi, Nia, Ade, Tius, Cen-cen, Nina, Eko, Anas, Frenklin, Purnawan, Muhadi,
Panca, Siska, wida, Jena, dan teman-teman yang tak bisa disebutkan satu persatu.
Kepada senior stambuk 2002 : kak Jijah, kak Fatma, kak Sari beserta senior
lainnya. Kepada senior stambuk 2003 : kak Graes, bang Alek, bang Feri, bang
Dinan, bang Abas beserta senior lainnya. Kepada senior stambuk 2004 : kak Dini,
kak Toeit, bang Alek, kak Anita beserta senior lainnya. Dan kepada junior
2006-2007 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan
dan semangat yang diberikan kepada penulis.
10.Kepada teman-teman diluar kampus : kak Koik, kak Yus, kak Rada, kak Nel,
Desi, Pak bandrek, Ibu percetakan yang selalu memberi semangat, dukungan, dan
hiburan kepada penulis. Serta teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu
Penulis menyadari tidak akan mampu membalas semua kebaikan yang telah
diberikan, karena tanpa peran kalian semua penulis tidak akan mampu menyelesaikan
skripsi ini. Untuk itu, biarlah Allah SWT yang membalas atas kebaikan semua, dan
penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua yang
membacanya.
Medan, Juni 2010
Penulis
(Rafiqah Ayu)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1
1.2.Perumusan Masalah ... 8
1.3.Tujuan Penelitian ... 8
1.4.Manfaat Penelitian ... 9
1.5.Defenisi Konsep ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Institusi Keluarga ... 12
2.2. Fungsi Keluarga ... 13
2.2.1. Fungsi Biologis ... 13
2.2.2. Fungsi Afeksi ... 14
2.2.3. Fungsi Sosialisasi ... 14
2.2.4. Fungsi Ekonomi ... 15
2.2.5. Fungsi Rekreasi ... 15
2.3. Teori Struktural Fungsional ... 23
2.4. Proses Sosialisasi dalam Keluarga ... 25
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 29
3.2. Lokasi Penelitian ... 29
3.3. Unit Analisis Penelitian ... 30
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 30
3.5. Interpretasi Data ... 32
3.7. Keterbatasan Penelitian ... 33
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 35
4.1.2. Demografi ... 35
4.1.2.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ... 36
4.1.2.2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 36
4.1.2.3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 37
4.1.2.4. Sarana dan Prasarana Perhubungan ... 38
4.1.2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 39
4.1.2.6. Pola Pemukiman ... 39
4.1.2.7. Pemanfaatan Sebagian Areal Tanah Krueng Mane ... 40
4.1.2.8. Bentuk Pemerintahan Daerah Krueng Mane ... 41
4.2. Profil Informan... 42
4.3. Interpretasi Data Penelitian... 69
4.3.1. Adat Istiadat Perkawinan Suku Aceh ... 69
4.3.2. Jumlah Mahar yang Berlaku Sekarang ini di Suku Aceh ... 74
4.3.3. Mahar Menurut Agama dalam Sistem Perkawinan Suku Aceh ... 76
4.3.4. Mahar dalam Institusi Keluarga Perempuan Suku Aceh ... 79
4.3.5. Makna Jeulamee (mahar) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh ... 83
4.3.6. Perubahan Adat Istiadat Perkawinan pada Suku Aceh ... 85
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ... 90
5.2. Saran... 92
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAKSI
Masyarakat atau Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak sebagai penganut Islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang. Begitu fanatiknya mereka (masyarakat aceh), sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat istiadatnya, terutama dalam daur hidup keseharian. Dalam adat perkawinan pada masyarakat Aceh harus melalui tahap pemberian mahar. Dalam pelaksanaannya pemberian tersebut melalui keluarga antara keluarga pihak mempelai laki-laki dan pihak keluarga mempelai perempuan. Pada suku Aceh, khususnya kaum perempuan mahar sangat besar artinya. Bagi perempuan Aceh mahar merupakan sebuah harga diri yang dimiliki serta merta laki-laki wajib memenuhi pemberian mahar tersebut kepada kaum perempuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Makna Mahar dalam Penghargaan Keluarga Istri pada Sistem Perkawinan Suku Aceh serta berapakah Jumlah Mahar yang berlaku sekarang ini di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan penelitian kualitatif dengan memakai studi deskriptif. Untuk pengumpulan data yang di butuhkan adalah proses wawancara dan observasi.
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Adat Mahar telah menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sebagian besar
pemuda yang mau menikah. Perspektif pemuda tersebut didasari oleh fakta yang bahwa
sebagian besar pihak mempelai wanita pasti akan mematok mahar yang terbilang fantastis
dan cukup tinggi bagi ukuran masyarakat kita yang mayoritas di dominasi oleh
masyarakat berstatus ekonomi kelas bawah. Ini adalah fakta, dan kondisi ini di perparah
oleh sebagian besar pihak mempelai wanita yang menganggap tingginya patokan jumlah
mahar sebagai sebuah prestise.
Pada pihak mempelai wanita dalam hal ini tidak bisa disebut materialistis ataupun
pragmatis, baik mempelainya ataupun orang tua mempelai yang bersangkutan, karena
mereka hanya mengikuti adat dan pertimbangan lain yang didominasi oleh pengaruh adat
yang kadang tidak memperhitungkan faktor afeksi.
Dalam masyarakat seperti masyarakat Batak, mahar disebut sebagai sinamot yang
artinya biaya mahar dalam sistem adat Batak yang di berikan oleh pihak laki-laki kepada
pihak perempuan. Istilah sinamot merupakan suatu bagian dalam pesta perkawinan yang
akan dilangsungkan.
Besarnya sinamot di tentukan oleh tingkat ekonomi dan pendidikan yang sudah
ditempuh oleh perempuan namun masih bisa di negosiasikan dalam acara marhata
sinamot. Dalam pesta perkawinan adat batak, pihak hula-hula (bride giver) akan
memegang peran yang maha tinggi karena telah memberikan putrinya kepada boru (bride
Oleh karena itu, dia harus disembah dan tabu untuk di tentang. Selanjutnya,
dongan sabutuha adalah tempat bertukar pikiran sekalian dalam menunjang keberhasilan
perhelatan perkawinan tersebut.
Kalau dilihat dalam tata cara perkawinan masyarakat batak secara kerajaan,
perkawinan tersebut di selenggarakan sesuai dengan musyawarah, adapun musyawarah
tersebut dapat dilalui dengan tiga tingkatan yaitu :
1. Musyawarah dalam rumah tangga (tahi ungut-ungut/unung-unung nasibahue).
Disini segala sesuatu penyelenggaraan acara di bahas pertama kali oleh anggota
keluarga inti, yaitu suami istri, atau pun kalau ada anak-anak yang sudah dianggap
dewasa. Dalam musyawarah ini, yang paling pokok di bicarakan adalah masalah
dana (keuangan) untuk penyelenggara pesta besar.
2. Musyawarah keluarga besar (klan), yang kadang disebut dengan tahi sabagas,
yaitu musyawarah yang diadakan dengan kaum kerabat terdekat untuk minta
pertimbangan mengenai maksud yang akan diadakan oleh tuan rumah.
Musyawarah ini sangat penting artinya, karena disini dibahas juga masalah dana
yang dapat dibantu oleh kaum keluarga dekat. Serta rencana penyelenggaraan
pesta besar (horja).
3. Musyawarah dengan tetangga sekampung, atau yang disebut dengan tahi godang
parsahutaan, yaitu musyawarah dengan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap
mewakili masyarakat kampung tersebut. Hal ini juga penting, karena selain
kampong tersebut akan menjadi tuan rumah pelaksaan horja tersebut, juga akan
hadir diantaranya yaitu : kahanggi, anak boru, pisang rahut, mora, hatobangan,
panusunan bulung, harajaon, dan orang kaya (bendahara).(khairuddin, 1997 :
91-92).
Dalam adat masyarakat Minang, mahar disebut sebagai uang jemputan, yaitu
sejumlah uang yang mesti di bayarkan oleh pihak keluarga wanita kepada pihak keluarga
laki-laki (berasal dari daerah Padang atau Padang Pariaman) sebanyak permintaan pihak
keluarga laki-laki.
Uang jemputan yang mesti di bayarkan adalah tergantung kesepakatan dari ninik
mamak pihak keluarga laki-laki, dan di pengaruhi sekali oleh status sosial yang disandang
oleh calon pengantin laki-laki. Misalnya calon pengantin laki-laki seorang dokter,
besarnya uang jemputan yang mesti di bayarkan bisa saja mendekati nilai 50juta rupiah
bahkan lebih.
Hal tersebut di atas bukan sesuai dengan anjuran syariat, bahkan saya melihat
bahwa adat mahar di Aceh yang pada umumnya sangat besar dan memberatkan pihak
laki- laki cenderung jauh dari tatanan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi prinsip
kesederhanaan. Kecenderungan tersebut semata- mata karena tuntutan peradatan yang
sudah terlaksana secara turun- temurun di Tanah Serambi Mekkah ini.
Di satu sisi, adat mahar memang menghadirkan kemaslahatan karena menjadi
suatu komoditi pasar yang kompetitif agar memotivasi para pemuda untuk bekerja keras
dengan berbagai keterampilan ilmu dan usahanya. Dengan demikian mereka bisa
mempersiapkan diri dan berupaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya dalam keluarga.
Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia. Adat
istiadat perkawinan merupakan salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia. Dalam
kebudayaan Indonesia, perkawinan merupakan hal yang sangat sakral dan harus
mengikuti pola kebudayaan yang ketat.
Perkawinan bukan hanya bersatunya dua individu, namun lebih jauh adalah
bersatunya dua keluarga besar. Perkawinan tidak boleh dilakukan serta merta dan
tiba-tiba. Ia menjalani beberapa proses sehingga sampai pada bersatunya dua sejoli dalam
ikatan rumah tangga.
Dalam sistem perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Aceh biasanya yang
terpenting adalah keluarga inti dengan prinsip keturunan Bilateral. Dimana adat istiadat
telah menetapkan sesudah menikah bersifat Matrilokal yaitu, yang mana setelah menjadi
suami akan tinggal dirumah keluarga mempelai perempuan (istri) dalam kurun waktu
lebih kurang satu tahun. Sedangkan anak adalah tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Dalam sistem-sistem tersebut bahwa tampaknya terdapat kombinasi antara
budaya minangkabau dengan Aceh itu sendiri. Garis keturunan perempuan juga
diperhitungkan berdasarkan prinsip Bilateral, yang sedangkan adat telah ditetapkan
sesudah menikah adalah Uxorilikal (yaitu tinggal didalam lingkup keluarga pihak
mempelai perempuan).
Pada masa lampau masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial, antara lain
1. Golongan keluarga sultan merupakan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa.
Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah “ampon” untuk laki-laki
dan “cut” untuk perempuan.
2. Golongan uleebalang merupakan orang-orang dimana keturunan-keturunan dari
bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil dibawah kerajaan.
3. Golongan Ulama yaitu merupakan pemuka agama ang lazim disebut (teungku
atau tengku).
4. dan, Golongan rakyat biasa.
Demikianlah pelapisan-pelapisan yang terjadi dalam suku Aceh pada masa
kesultanan dulu. Pada saat zaman sekarang ini adat istiadat yang dijalankan sekarang ini
dengan adat masa lalu sudah mengalami perbedaan yaitu bertambah modernnya
masyarakat serta tata cara dalam menyusun adat istiadat perkawinan.
Dalam sistem keluarga di Aceh, apabila salah seorang anaknya sudah dewasa,
para orang tua sudah mulai sibuk memikirkan untuk mencari jodoh anaknya. Untuk
mencapai maksud dan tujuan tersebut, secara dini mereka para orang tua mulai
memperhatikan dan menyelidiki muda mudi yang siap untuk berumah tangga.
Pada umumnya orang tua tempo dulu yang pertama diselidiki untuk calon jodoh
anaknya adalah ahklak, ketaatan beribadah, pendidikan, pekerjaan, serta keturunan dari
mana ia barada. Biasanya keturunan kurang dipersoalkan, asalkan mencapai tujuan yang
dimaksud dari ketentuan-ketentuan adat perkawinan, yaitu salah satu tercapainya mas
Tidak ubahnya saat zaman sekarang, sebagian dari pihak orang tua juga masih
melihat status yang dimiliki, pendidikan bahkan jabatan dalam pekerjaan. Hal itu
dilakukan untuk kepentingan dan yang terbaik untuk anaknya. Agar kelak hidup mereka
tanpa kekurangan apa pun.
Dalam acara permulaan perkawinan, tahap pelamaran (ba ranup), biasanya
dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki sebelumnya akan mengutuskan seorang yang
dirasa bijak dalam berbicara, yang biasa disebut “teulangkee” yaitu sebagai pengurusan
dalam peminangan.
Jika theulangke telah mendapat gadis yang dimaksud maka terlebih dahulu dia
akan meninjau status sang gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan
menyampaikan maksud untuk melamar gadis tersebut.
Bila lamaran diterima, keluarga pihak laki-laki akan datang untuk “peukeong
haba”(membicarakan kapan dilangsungkan pernikahan), termasuk menetapkan seberapa
besar uang yang akan diminta (disebut jeulamee), berapa banyak “jamee”(tamu) yang
akan diundang, dan ketentuan hari datangnya “intat raneueb peukong haba”. Acara ini
sekaligus “jak bie tanda”(upacara pertunangan).
Pada acara ini pihak laki-laki akan mengantar berbagai makanan khas daerah
Aceh, seperti buleukat kuneeng dengan isi tumphou (pulut kuning serta isi yang dibuat
dari tepung yang telah diolah), “lee macam boeh kayee” (aneka buah-buahan), serta
seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuai dengan kemampuan keluarga
laki-laki. Dalam adat Aceh, “jinamee”(mahar) adalah pemberian wajib seorang suami
Jumlah jinamee sangat variatif antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini
disesuaikan dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan kemampuan laki-laki.
Jinamee ini tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat yang berlaku sebab ia dapat
menjadi aib bagi keluarga tersebut (Muhammad Umar, 2006 : 159).
Di Krueng Manee Kecamatan Buara Batu Aceh Utara, jinamee yang harus
dibayar oleh laki-laki kepada perempuan biasanya berkisar dari 15, 30, sampai 50 mayam
(1 mayam = 3,3 gram). Di Aceh Pidie, jinamee yang harus dibayar laki-laki kepada
perempuan lebih dari 20 mayam.
Namun, keluarga perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah
menikah. Sedangkan di Aceh selatan umumnya dibawah 10 mayam, tetapi ditambah
dengan “peng hangoh” (uang tunai). Pihak perempuan tidak menyediakan rumah.
Bahkan ada dibeberapa daerah Aceh lainnya hanya 1-2 mayam saja, tanpa tambahan
“peng hangoh” (uang tunai).
Suatu tradisi pada orang Aceh di dalam acara pesta dalam peresmian pernikahan
biasanya acara makan dan minum sangat bervariatif. Perbedaannya cukup mencolok
dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh, lauk pauk yang biasa dimakan bercitra
rasa seperti masakan India.
Lauk pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi).
Selain lauk pauk yang disebutkan diatas, yang termasuk dalam ciri khas makanannya
adalah gulai kambing (kari kambing), “sie reboih”(daging sapi/kambing yang direbus
dan bercampur dengan jeruk perut atau jeruk nipis), “keumamah”(ikan rebus yang
Selain itu, juga ada nasi ciri khas Aceh yaitu bu minyeuk (nasi gurih atau nasi minyak)
serta tradisi minum kopi.
Dari pemaparan latar belakang di atas maka, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian ini agar mengetahui makna jeulamee (mahar) dalam penghargaan keluarga istri
pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng Manee Kecamatan Muara Batu Aceh
Utara.
1.2.Perumusan Masalah
Guna meningkatkan arah jalannya penelitian maka terlebih dahulu dirumuskan
permasalahan yang ada. Dengan itu, Suharsini Arikanto mengatakan bahwa “agar
penelitian dapat dilakukan dan dilaksanakan dengan sebaiknya maka, peneliti harus
merumuskan masalah yang ada sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus
pergi, dan dengan apa” (Arikanto, 2002 : 22).
Berdasarkan uraian diatas maka, penulis merumuskan masalah sebagai beriku :
1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada
sistem Perkawinan Suku Aceh ?
2. Berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku pada saat sekarang ini di Suku
Aceh ?
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Makna Mahar (jeulamee) dalam Penghargaan Keluarga Istri pada
2. Untuk mengetahui berapakah Jumlah Mahar (jeulamee) yang berlaku saat
sekarang ini di Aceh ?
1.4.Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memperluas pengetahuan bagi
peneliti, akademi, dan masyarakat sehubungan dengan Makna Jeulamee (mahar)
dalam penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan Suku Aceh di Krueng
Manee Aceh Utara.
2. Manfaat praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi hasil
penelitian serta juga dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian terkait
selanjutnya, serta diharapkan dapat pula memberikan sumbangan pemikiran bagi
masyarakat sehubungan dengan jeulamee bagi perempuan Aceh yang berada
dalam ruang lingkup keluarga Suku Aceh di Krueng Manee.
1.5.Defenisi Konsep
Konsep merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak
kejadian, keadaan dimana kelompok atau individu menjadi pusat perhatian (Singarimbun,
1989 : 33).
Konsep sangat diperlukan dalam penelitian agar dapat menjaga masalah atau
menjadi pembatasan masalah dan menghindarkan timbulnya kesalahan-kesalahan
defenisi yang dapat mengaburkan penelitian. Beberapa konsep yang dibatasi dengan
1. Makna adalah sesuatu penghargaan yang diserahkan oleh laki-laki kepada
perempuan dan mempunyai arti untuk bertujuan memiliki dan menyimpannya.
2. Jeulamee (mahar) adalah pemberian wajib yang berupa uang atau barang dari
mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad
nikah; mas kawin.
3. Penghargaan adalah suatu pemberian penghormatan yang diberikan kepada
seseorang yang dikagumi dan disenangi.
4. Keluarga adalah suatu wadah atau tempat untuk berhubungan antara ayah, ibu,dan
anak. Serta sebagai rangkaian tali hubungan antara anggota-anggota keluarga
lainnya. Keluarga juga merupakan kelompok pertama yang mengenalkan
nilai-nilai kebudayaan kepada sianak dan disinilah dialami antar aksi dan disiplin
pertama yang dikenalkan kepada anak dalam kehidupan social.
5. Istri adalah hasil pasangan nikah antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai
peran penting dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
6. Sistem adalah tata cara atau aturan yang disusun atas dasar syarat dan nilai-nilai
7. Perkawinan adalah ikatan antara laki-laki dan perempuan, namun lebih jauh
adalah bersatunya dua keluarga besar. Dalam kebudayaan Indonesia, perkawinan
merupakan hal yang sangat sakral dan harus mengikuti pola budaya yang ketat.
8. Suku Aceh adalah salah satu suku bagian Negara Indonesia yang bertindak
sebagai penganut islam yang fanatik, dan sudah sering dikatakan banyak orang.
Begitu fanatiknya mereka, sehingga Islam dijadikan sebagai salah satu jati diri
mereka “ Tetapi masih belum banyak orang yang tau bahwa orang-orang Aceh
pada masa lalu, bahkan sampai dengan masa sekarang, bahkan mungkin sampai
masa mendatang, masih sangat terikat dengan pola kehidupan adat dan adat
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Institusi Keluarga
Keluarga bukan saja sebagai tempat hubungan antara suami dan istri atau
anak-anak dan orang tua, tetapi sebagai suatu rangkaian tali hubungan antara jaringan sosial
anggota-anggota keluarga, dan jaringan yang lebih besar yaitu masyarakat, oleh karena
itu dalam memandang pemilihan jodoh dapat dilihat bahwa masyarakat luas menaruh
perhatian akan hasilnya.
Selalu kedua jaringan yang akan menikah dihubungkan karenanya dan oleh
karena itu juga jaringan-jaringan lain yang lebih jauh tersangkut. Kedua keluarga ini
mempunyai semacam kedudukan dalam sistem lapisan, yang keseimbangannya sebagian
juga tergantung kepada siapa menikah dengan siapa. Perkawinan antara keduanya adalah
petunjuk yang terbaik bahwa garis keluarga yang satu memandang yang lainnya kira-kira
sama secara sosial dan ekonomis.
Bagi keluarga-keluarga itu sendiri yang satu memperoleh dan yang lain
kehilangan satu anggota (jika sang wanita pindah ke keluarga suami, sistem itu disebut
patrilokal jika yang laki-laki masuk ke keluarga istri sistemnya disebut Matrilokal).
Pada dasarnya, proses pemilihan jodoh berlangsung seperti sistem pasar dalam
ekonomi. Sistem ini berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya,
tergantung pada siapa yang mengatur transaksinya, bagaimana pertukaran dan penilaian
Seperti kaum ningrat di Jepang dan Cina masa lampau, transaksi-transaksinya
diatur oleh para tetua secara resmi, sah dan umum oleh laki-laki, meskipun yang
membuat keputusan terakhir biasanya kaum wanita tua. Menurut hukum adat masyarakat
Arab, keluarga laki-laki membayar emas kawin dari sang wanita, sedangkan pada kasta
brahmana di India, keluarga wanitalah yang membayar mahar kawinnya kepada calon
suami.
Hukum itu mungkin juga menentukan semacam pemberian imbalan. Tentu saja
para pelaku dalam proses ini tidak berpendapat bahwa mereka itu melakukan “tawar
menawar”. Orang tua mungkin menganggap bahwa mereka “mencari sesuatu yang
terbaik bagi anak-anak mereka” (William J.Goode, 1991 : 63-65).
2.2. Fungsi Keluarga
Pada dasarnya keluarga mempunyai fungsi-fungsi pokok yaitu fungsi yang sulit
dirubah dan digantikan oleh orang lain. Sedangkan fungsi-fungsi lainya atau fungsi
social, relatif lebih mudah berubah atau mengalami perubahan. Fungsi pokok keluarga :
2.2.1. Fungsi Biologis
Menurut Paul dalam (William, 1988 : 13) suami hendaknya mengisi tugas
pernikahannya kepada istrinya dan juga istri terhadap suami. Jasmani istri bukan
miliknya sendiri tapi juga milik suaminya. Dengan cara yang sama jasmani suami bukan
hanya miliknya sendiri tapi juga dimiliki oleh istrinya. Didalam halnya kita berkeluarga,
keluarga merupakan suatu tempat lahirnya anak-anak, fungsi biologis orang tua adalah
Fungsi ini juga dasar dari kelangsungan hidup masyarakat. Namun fungsi ini juga
dapat membawa perubahan, karena keluarga sekarang cenderung kepada jumlah anak
yang sedikit. Kecenderungan ini disebabkan oleh faktor-faktor :
a. Perubahan tempat tinggal.
b. Perbedaan lingkungan.
c. Penyesuaian diri secara drastis terhadap apa yang ada disekitar, dan lain
sebagainya.
2.2.2. Fungsi Afeksi
Dalam keluarga terjadi hubungan sosial yang penuh dengan kemesraan dan afeksi.
Hubungan afeksi ini tumbuh sebagai akibat hubungan cinta kasih yang menjadi dasar
perkawinan. Dari hubungan cinta kasih inilah lahir hubungan persaudaraan, persahabatan,
kebiasaan, identifikasi, persamaan pandangan mengenai nilai-nilai.
Dasar cinta kasih dan hubungan afeksi ini merupakan faktor penting bagi
perkembangan kepribadian anak. Dalam masyarakat yang makin interpersonal, pribadi
sangat membutuhkan hubungan afeksi seperti yang terdapat dalam keluarga. Suasana
afeksi itu tidak terdapat dalam institusi sosial lainnya.
2.2.3. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini menunjukkan peranan keluarga dalam membentuk
kepribadian anak. Melalui interaksi social dalam keluarga itu anak mempelajari pola-pola
Sementara itu fungsi-fungsi sosial relatif lebih mudah berubah atau mengalami
perubahan antara lain, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan, fungsi pendidikan serta
agama. (Khaeruddin, 2002: 53-54).
Dengan klasifikasi yang agak berbeda, Horton and Hunt (1991 : 274)
mengidentifikasikan beberapa fungsi keluarga antara lain : fungsi pengaturan seks,
reproduksi, afeksi, defenisi status, perlindungan dan ekonomi.
2.2.4. Fungsi Ekonomi
Seiring dengan perubahan waktu dan pertumbuhan mesin-mesin canggih, peran
keluarga yang dulu sebagai lembaga ekonomi secara perlahan-lahan hilang. Bahkan
keluarga yang ada pada mulanya dengan pekerjaan bertani dan berdagang, sekarang tidak
lagi merupakan suatu unit yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri dalam rumah
tangganya.
Kebutuhan sudah tersedia ditoko-toko, pasar dan pabrik. Kebutuhan sudah tidak
lagi disatukan oleh tugas bersama, karena anggota kelurga bekerja secara terpisah. Oleh
karena itu, fungsi ekonomi dalam pengertian produksi kebutuhan perlahan-lahan
menghilang, hanya kesatuan konsumsi saja yang dapat dipersatukan baik dalam keluarga
maupun sahabat.
2.2.5. Fungsi Rekreasi
Fungsi ini bertujuan untuk memberi suasana yang segar dan gembira dalam
tempat-tempat hiburan banyak berkembangdiluar rumah, karena berbagai fasilitas dan aktivitas
rekreasi berkembang dengan pesat.
Sebuah institusi keluarga dapat mempertahankan keutuhan keluarga, apa bila
fungsi-fungsi keluarga dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik, baik itu fungsi pokok
yaitu fungsi biologis, fungsi afeksi, fungsi sosialisasi maupun fungsi sosial yaitu fungsi
ekonomi, fungsi perlindungan serta fungsi rekreasi. Apabila fungsi keluarga tersebut
sudah tidak berjalan dengan baik, maka dapat memungkinkan kegoncangan dalam
keluarga. Didalam suatu keluarga terutama pada suami istri dan keluarga lainnya.
Dari pemaparan diatas sesuai dengan tradisi dalam keluarga besar perempuan dan
kemampuan laki-laki. Pada dasarnya, jeulamee tidak boleh dikurangi dari ketentuan adat
yang berlaku sebab ini dapat menjadi aib bagi keluarga tersebut.
Kalau dilihat ketentuan-ketentuan pemberian jeulamee dibeberapa daerah Aceh
antara lain di Krueng Manee Aceh Utara, jeulamee yang harus dibayar oleh pihak
laki-laki kepada perempuan lebih kurang 20 mayam. Di Aceh Pidie, jeulamee yang harus
dibayar pihak laki-laki kepada perempuan lebih kurang 20 mayam, namun keluarga
perempuan biasanya menyediakan rumah untuk mereka setelah menikah. Di Aceh
Selatan, jeulamee umumnya di bawah 10 mayam, tetapi di tambah dengan “peng
hangoh” (uang tunai), sedang pihak perempuan tidak menyediakan rumah.
Di beberapa daerah Aceh lainnya ada juga yang memberikan 1-2 mayam saja dan
tanpa uang tunai (itu merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak).
Adapun tahapan dan ketentuan upacara adat perkawinan yang dipergunakan oleh
1. Meusah-Sah (berbisik-bisik)
Yang dimaksud berbisik-bisik ialah, apabila sang pemuda dan orang
tuanya sudah menyetujui calon istri anaknya, maka kedua orang tuanya dengan
secara rahasia mengutus/menanyakan pada pihak keluarga si gadis dengan sangat
rahasia (istilahnya berbisik-bisik) karena seandainya pihak keluarga gadis
menolak, maka pihak keluarga pemuda tidak mendapat malu/tidak terhina di mata
mayarakat.
2. Keumalon Praja (melihat bintang)
Dalam kalangan masyarakat Aceh ada kepercayaan, apabila seseorang
akan menikah harus dilihat terlebih dahulu bintang (zodiak), dalam bahasa Aceh
namanya praja, gunanya adalah agar dapat melihat masa depan/ramalan
perjalanan rumah tangganya dimasa mendatang, perhitungan-perhitungan bintang
tersebut diambil dari nama dan tanggal lahir dari keduanya (calon suami dan
calon istri).
Kebiasaan tersebut sudah berlangsung lama, sejak turun-temurun dari orang tua
dulu sampai sekarang, secara umum ada tiga (3) pedoman melihat masa depan
tersebut yaitu :
d. Telaga dikaki bukit, artinya dia akan mendapat rezeki yang diberkati (rumah
tangga bahagia, kaya/senang).
e. Abee Diateh Teukok, artinya abu diatas tunggul kayu, tamsilannya rezeki
mereka tidak berkat, seperti debu diatas tunggul kayu ditiup angin terbang
f. Pohon ketapang dipinggir pantai laut, artinya perumpamaan daun pohon
ketapang, apabila musim gugur, semua daun brguguran jatuh ke bumi, yang
tinggal hanya ranting-ranting, dan apabila datang musim, ditiap-tiap ranting
tumbuh tunas dan pucuk baru, bermunculan pucuk-pucuk baru yang segar,
begitulah tamsilannya bintang calon suami istri, apabila tuhan menghendaki
maka rezeki itu pasti terkabulkan.
3. Cah Ret (rot)/Ngon Peuhah Pinto (merintis jalan/membuka pintu masuk) Setelah melihat praja (bintang/zodiak), dan sudah mendapat satu pedoman
bagi keluarga tersebut, tahap selanjutnya pihak keluarga calon suami (linto baroe)
mulai merintis jalan (cah ret), mencari peluang yang baik mendatangi keluarga
calon istri (dara baroe), setelah jalannya terbuka dan ada sambutan dari pihak
perempuan mereka akan membuka kan pintu masuk (pinto ka teuhah) barulah
pihak dari utusan dari keluarga laki-laki mendatangi orang tua perempuan secara
resmi.
4. Meuduek Wali/meuduek bilek (musyawarah antara pihak laki-laki dan pihak perempuan)
Yang dimaksud meuduek wali ialah musyawarah orang tua calon linto
dengan wali pihak ayah dan wali pihak ibu, dalam musyawarah tersebut biasanya
orang tua linto mewakilkan pimpinan musyawarah kepada orang yang dituakan,
bahwa mereka sekeluarga mempunyai maksud mencari calon istri anaknya,
malam ini dia menyerahkan semua kepada pihak wali untuk menentukan jodoh
5. Seulangkee (orang yang bertanggung jawab)
Yang dimaksud dengan seulangkee, adalah orang yang bertanggung jawab
sebagai utusan sebuah keluarga untuk meminang seorang anak gadis supaya
dapat/bersedia dijodohkan dengan pemuda yang dibawanya, dan juga seulangkee
sebagai orang penghubung timbal balik antara keluarga linto baro dan keluarga
dara baro.
6. Peukong Haba (memperkuat kata)
Yang dimaksud peukong haba adalah memperkuat kata, yaitu hasil
pembicaraan (nigosiasi) antara seulangkee dengan keluarga pihak calon dara baro,
sudah ada ketentuan antara lain : jumlah mahar, ketentuan bertunangan, ketentuan
hari datangnya bertunangan, dan ketentuan adat tunangan lainnya.
Dalam acara “intat peukong haba” ini, yang terutama adalah memberi tanda
ikatan baik berupa uang maupun berupa benda (emas) tanda tersebut umumnya
akan dipotong dari harga/nilai jeulamee.
7. Meuteunangan (bertunangan)
Yaitu suatu ikatan antara seorang pemuda dengan seorang anak gadis,
tempo dulu dalam masa bertunangan, kedua pihak saling menjaga agar tidak
terjadi sesuatu perbuatan yang melanggar norma-norma agama dan
kemasyarakatan serta tidak melanggar aturan adat gampong kedua pihak, karena
akan berakibat buruk kemudian hari.
8. Meugatieb (menikah)
Adalah menikah, dalam upacara menikah pada umumnya setiap keluarga
termaktub dalam al-qur’an dan hadist, dan dalam acara pernikahan ada kalanya
satu kampong dengan lainnya tidak sama penerapan adatnya, yang sama hanyalah
menjalankan hukum dan syari’at islam saja, umpamanya untuk sah satu
pernikahan harus sesuai petunjuk hukum nikah yaitu : ada wali nikah, ada
jeulamee (mahar), ada ijab Kabul, dan saksi nikah.
Akhir-akhir ini pelaksanaan akad nikah sudah beragam macam
pelaksanaannya, ada yang dilaksanakan tiga (3) hari sebelum hari intat linto (tiga
hari sebelum peresmian) pesta, dan ada pula hanya nikah saja, yaitu akad nikah
dilaksanakan jauh sebelum upacara pesta perkawinan, bagi pelaksanaan nikah
tersebut dinamakan nikah gantung, karena pengantin laki-laki tidak pulang ke
rumah pengantin perempuan.
9. Kenduri Peukawen Aneuk (pesta peresmian pernikahan)
Yaitu pesta peresmian perkawinan, dalam acara kenduri tersebut banyak
hal yang menjadi perhatian dari segi adat dan reusam, pelaksanaan adat dalam
upacara perkawinan lebih menonjol dari pelaksanaan hukum dan kanun, terlebih
lagi pada malam/siang intat linto baro, atau pun menerima dara baro, perangkat
atau persyaratan semua terkait dengan adat dan reusam antara lain yaitu :
a. Sebelum linto baro turun dari rumah, linto baro diwajibkan sungkem pada
kedua orang tua, untuk mohon izin, dan diikuti oleh seluruh famili yang ada
dirumah.
b. Setelah turun dari rumah, sebelum berangkat meninggalkan rumah, linto baro
dipeusijuek (ditepungtawari), dan setelah itu salah satu dari orang tua atau
orang yang hadir/peserta linto baro, setelah itu baru linto berangkat dengan
rombongan menuju tujuan.
c. Setelah dekat dengan rumah dara baro, para pengantar linto kembali
berselawat, sebagai tanda rombongan pengantin laki-laki (linto baro) sudah
tiba, apabila hampir dekat dengan rumah penganti wanita (dara baro), utusan
dari keluarga dara baro datang menyongsong/menjemput pengantar dengan
membawa bate ranueb (sirih lampuan) tanda menghomati rombongan
pengantin laki-laki.
d. Setelah rombongan sampai didepan rumah pengantin wanita, pengantin
laki-laki “dipeusijuek” (ditepung tawari) didepan pintu masuk kerumah pengantin
wanita dan setelah itu baru di persilahkan masuk.
e. Setelah masuk kedalam rumah, para tamu sudah duduk, maka acara serah
terima pengantin laki-laki dilaksanakan oleh pemegang adat dalam hukum
perkampungan keduanya, maknanya agar pengantin laki-laki bisa diterima di
kampong pengantin wanita.
f. Setelah acara serah terima selesai, maka kedua pengantin disanding
dipelaminan, serta diikuti acara hidangan makan bersama, dalam acara makan
bersama dahulu ada satu hidangan khusus yang digolongkan acara reusam,
yaitu hidangan khusus Bisan (BU BISAN). Nasi bisan diberikan pada orang
yang ditunjuki mewakili keluarga rombongan pengantin, persiapan nasi bisan
ini biasanya hidangan lauk pauknya di taruh dalam dalung (BENJANA)
khusus, dan bersahaja serta lauk pauknya yang beraneka ragam jenis makanan
g. Setelah acara makan bersama, rombongan pengantar pengantin pulang
kerumah masing-masing, sedangkan pengantin laki-laki bermalam dirumah
pengantin wanita serta ditemani dua orang tua, dalam bahasa Aceh dinamakan
APET. Guna apet tersebut ialah untuk memberi bimbingan dan menuntun mereka nasehat-nasehat yang berguna bagi kedua pengantin.
h. Pada malam antar linto, setelah duek sandeng, kedua pengantin sungkem pada
kedua orang tua dara baro.
i. Pada acara tueng dara baro (pesta penerimaan pengantin wanita), hal tersebut
sama seperti dengan pesta penerimaan pengantin laki-laki (Muhammad Umar,
2006 : 157-165).
Mengenai penilaian kualitas yang berbeda, kehormatan garis keluarga mungkin
lebih ditentukan dari pada ciri perorangan kedua pasangan itu atau kecantikan seorang
wanita mungkin juga sama nilainya dengan kekayaan seorang laki-laki. Bila pembelian
sudah sah maka barang diserahkan dan penggunaan terhadap barang tersebut diserahkan
pada pembeli. Pemahaman bahwa perempuan dilabelkan dengan harga mengandung
konsep bahwa perempuan merupakan properti yang dapat diperjual belikan.
(http://www.mailarchive.com/keluargasejahtera/yahoogroups.com/msg00854.html).
Pada masyarakat kekerabatan Patrilineal, yang mengutamakan keturunan menurut
garis laki-laki berlaku adat perkawinan pembayaran “jeulamee” dimana setelah
perkawinan istri melepaskan kewargaan adat kerabat orang tuanya. Dalam hal ini
kedudukan suami lebih tinggi dari hak kedudukan istri (Hadikusumah, 1987 : 1).
Besar kecilnya emas kawin tentu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa
dan perempuan, sesuai dengan kedudukan, kepandaian, dan kecantikan si gadis
(Koentjaraningrat, 1998 : 101).
Dengan demikian, jeulamee (mahar) merupakan sebagai harta pembelian, seperti
dalam beberapa bahasa Indonesia, jeulamee (bahasa Aceh), pangolin/boli (bahasa Batak
Toba), tukon (bahasa Jawa), dan lainnya. Adanya makna-makna istilah seperti ini maka
menyebabkan perempuan dipandang sebagai kelas nomor dua yaitu kelas yang dikuasai
dan tertindas.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Mahar dapat difingsikan dalam hal
yang bersifat positif dan juga dapat bersifat negatif. Bersifat positif karena lebih
mendekatkan antara keluarga dari pihak laki-laki dengan pihak keluarga perempuan
(apabila mas kawin yang ditetapkan saling setuju). Sedangkan dari segi negatifnya,
diantara masing-masing pihak keluarga ada yang tidak menyetujuinya dalam penentuan
mahar (karena mahalnya mas kawin yang ditentukan), akibatnya masing-masing keluarga
tidak mempunyai kecocokan dalam membentuk hubungan keluarga baru/ adanya
perselisihan.
2.3. Teori Struktural Fungsional
Dalam teori struktural fungsional tiga kritikan postulat dasar analisis struktural
seperti yang dikembangkan oleh antropolog seperti Malinowski dan Radcliffe brown.
Pertama adalah postulat tentang kesatuan fungsional masyarakat. Postulat kedua adalah
fungsionalisme universal. Artinya, dinyatakan bahwa seluruh bentuk kultur dan sosial
serta struktur yang sudah baku mempunyai fungsi positif. Postulat ketiga adalah postulat
baku tak hanya mempunyai fungsi positif tetapi juga mencerminkan bagian-bagian yang
sangat diperlukan untuk berfungsinya masyarakat sebagai kesatuan (Ritzer, 2003 : 138).
Merton juga mengemukakan tentang struktural fungsional yang menekankan
kepada keteraturan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi,
fungsi laten, fungsi manifes, dan keseimbangan.
Paradigma fakta sosial terpaut kepada antar hubungan antara struktur sosial,
pranata sosial dan hubungan antara individu dengan struktur sosial serta antar hubungan
antara individu dengan pranata sosial.
Secara garis besarnya fakta sosial terdiri dari dua tipe. Masing-masing adalah
struktur sosial (social institution) dan pranata sosial (social institution). Secara terperinci
fakta sosial itu terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, posisi,
peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan, dan sebagainya.
Struktural fungsional awal memusatkan perhatian pada fungsi satu struktural
sosial atau pada fungsi satu institusi sosial tertentu saja. Menurut teori ini masyarakat
merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada
satu bagian akan membawa perubahan terhadap yang lain (Ritzer, 2003 : 21).
Menurut Merton fungsi didefenisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang
dapat diamati yang menimbulkan adaptasi atau penyesuaian diri sistem tertentu”. Tetapi
ada bias ideologis bila orang hanya memusatkan pemikiran pada adaptasi atau
Perlu diperhatikan bahwa satu faktor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap
fakta sosial lain. Untuk meralat kelalaian serius dalam struktural fungsional awal ini,
Merton mengembangkan gagasan tentang disfungsi.
Sebagaimana struktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan
bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat
negatif terhadap sistem sosial.
Merton juga memperkenalkan konsep fungsi nyata dan fungsi keseimbangan.
Dalam pengertian sederhana, fungsi nyata adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan
fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tak diharapkan. Penganut teori fungsional ini
memang memandang segala pranata social yang ada dalam satu masyarakat tertentu serta
fungsional dalam artian positif dan negatif (Goodman, 2004 : 141).
Proses Sosialisasi dalam Keluarga
Individu dalam masyarakat akan mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup
dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat
dimana individu itu berada. Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi
adalah interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial sosialisai tidak mungkin berlangsung
dengan sendirinya. Menurut David A. Goslin, sosialisasi adalah proses belajar yang
dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan
norma-norma agar ia dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakat.
Sosialisasi dapat dialami oleh individu sebagai mahkluk sosial sepanjang
kehidupannya sejak ia dilahirkan sampai meninggal dunia. Karena interaksi merupakan
orang-orang disekitar individu tersebut yang mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma
tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun dalam proses sosialisasi membentuk tahapan-tahapannya dan dapat pula
dibedakan sebagai berikut :
1. Tahapan proses sosialisasi primer, yaitu sebagai sosialisasi yang pertama dijalani
individu semasa kecil, melalui mana ia menjalani menjadi anggota masyarakat.
Dalam tahapan ini proses sosialisasi primer juga membentuk kepribadian anak
kedalam dunia umum, dan keluargalah yang berperan sebagai agen sosialisasi.
2. Tahapan proses sosialisasi sekunder, yaitu dapat didefenisikan sebagai proses
yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasikan kedalam sektor baru
dari dunia objektif masyarakatnya. Dalam proses sosialisasi ini mengarahkan pada
terwujudnya sikap profesionalisme (dunia yang lebih khusus), dalam hal ini yang
menjadi agen sosialisasi adalah lembaga pendidikan, peer group, lembaga pekerja,
dan lingkungan yang lebih luas lagi dari kelurga.
Dengan demikian proses sosialisasi dapat berlangsung dengan cara tatap muka,
tetapi hal ini juga dapat dilakukan dalam ukuran jarak jauh tertentu yaitu melalui sarana
media, atau surat menyurat, bisa berlangsung secara formal, baik sengaja maupun tidak
sengaja. Sosialisasi dapat dilakukan demi kepentingan orang yang disosialisasikan atau
pun orang yang melakukan sosialisasi, sehingga kedua kepentingan tersebut bisa sepadan
atau pun dapat bertentangan.
Dalam hal proses sosialisasi keluarga, status sosial ekonomi juga berpengaruh
terhadap proses sosialisasi anak yaitu menurut jenis kelamin. Status sosial ekonomi dapat
cenderung lebih tegas dalam memisahkan peran-peran anak laki-laki denagn anak
perempuan, sebaliknya mereka yang berpendidikan tinggi memerlukan anak perempuan
dan laki-laki secara egaliter.
Beberapa pakar sosiologi pun sudah berusaha membentuk kategori mengenai
bentuk atau pola sosialisasi dalam keluarga. Seperti yang dikategorikan oleh
Bronfenbrenner dan Melvin Khon bahwa ada dua bentuk sosialisasi, yaitu sosialisasi
yang berorientasi pada ketaatan yang disebut dengan sosialisasi dengan cara represif, dan
yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi.
Sosialisasi yang represif menitikberatkan hukuman terhadap perilaku yang salah,
dan sosialisasi yang partisipatori memberikan imbalan untuk perilaku yang baik.
Hukuman dan imbalan pada bentuk yang pertama sering bersifat material, sedangkan
pada bentuk kedua lebih kebentuk simbolis.
Komunikasi orang tua dengan anak pada bentuk sosialisasi yang represif lebih
sering berbentuk perintah dan melalui gerak gerik saja, berbeda dengan ciri komunikasi
yang hanya menggunakan interaksi yang memberikan dua arah dan bersifat universal.
Dalam konsep kelas sosial menurut Melvin Kohn dalam studinya adalah
pengelompokan individu yang menempatkan posisi yang sama dalam skala prestis
(ditentukan oleh tingkat pendidikan, pekerjaan dan penghasilan). Berdasarkan konsep
tersebut Kohn membagikan kelas social dalam empat golongan yaitu :
1. lower-class adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan seperti buruh
bangunan, tukang sapu jalan.
2. working-class adalah pekerja manual yang memiliki keterampilan tertentu, seperti
3. Middle-class adalah pegawai kantoran atau profesional, seperti guru, pegawai
administrasi.
4. Elite-class adalah sama dengan Middle-Class, hanya kekayaan dan berlatar
belakang keluarga yang lebih tinggi (Ihromi 1999 : 30-49).
Dengan demikian sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa proses
sosialisasi individu mempunyai fase-fase tertentu, mulai dari fase sosialisasi dalam rumah
tangga dan sampai fase dalam masyarakat luas. Dalam hal proses sosialisasi juga
mempunyai kegiatan-kegiatan yang mencakup kedalam bentuk proses sosialisasi belajar
(learning), penyesuaian diri dengan lingkungan, dan pengalam mental (Khairuddin 1997 :
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan memakai studi deskriptif. Penelitian kualitatif yang akan dilakukan adalah karena
beberapa pertimbangan; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila
berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung
hakekat hubungan antara peneliti dan informan; ketiga, metode ini lebih peka dan lebih
dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola
nilai yang dihadapi (Moleong, 1993 : 5).
Studi deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan atau melukiskan realitas sosial
kompleks yang ada di masyarakat (Ida Bagoes Mantra, 2004 : 38). Dalam penelitian ini,
peneliti akan menggambarkan secara mendalam tentang Makna Jeulamee (mahar) dalam
penghargaan keluarga istri pada sistem perkawinan suku Aceh di Krueng Manee dalam
Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Krueng Mane Kecamatan Muara Batu Aceh Utara.
Alasan pemilihan lokasi adalah karena Krueng Mane merupakan tempat tinggal peneliti,
dengan ini peneliti lebih mudah dan leluasa menggali informasi sedalam mungkin.
mengetahui sedikitnya tentang makna mahar dalam penghargaan keluarga istri pada
sistem perkawinan suku Aceh.
Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah baik pekerja domestik
maupun publik (yang sudah berkeluarga). Seperti guru, tukang jahit, buruh cuci harian,
dan lain-lain.
3.3. Unit Analisis dan Informan 1. Unit Analisis
Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah perempun Aceh
yang telah berkeluarga dan yang bermukim pula di Aceh Kecamatan Muara Batu Aceh
Utara.
2. Informan
Yang menjadi informan kunci adalah Tokoh adat Aceh (yang mengetahui proses
tahap perkawinan).
Informan pelengkap adalah warga Aceh yang menetap di Kecamatan Muara Batu
Aceh Utara yang membantu peneliti dalam pemberian informasi bagaimana pendapat
mereka dalam pemberian mahar.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang akurat dalam penelitian ini, teknik pengumpulan
A. Data primer
Untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara
penelitian lapangan, yaitu :
1. Metode Wawancara
Metode wawancara biasa disebut juga metode interview. Metode
wawancara proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide)
wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini
adalah wawancara mendalam (dept interview).
Wawncara mendalam (dept interview) adalah merupakan proses Tanya
jawab secara langsung ditujukan terhadap informan dilokasi penelitian dengan
menggunakan panduan atau wawancara.
2. Metode observasi
Observai atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian, data penelitian tersebut dapat
diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap
berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Hal ini ditujukan untuk
B. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan
mengambil informasi dari buku-buku referensi, dokumen majalah, jurnal, internet yang di
anggap relevan dengan masalah yang diteliti.
3.5. Interpretasi Data
Interpretasi data merupakan tahap penyederhanaan data, setelah data dan
informan yang di butuhkan dan di harapkan telah terkumpul. Maka data-data yang telah
di peroleh dalam penelitian ini akan di interpretasikan berdasarkan dukungan teori dalam
tinjauan pustaka yang telah ditetapkan, sampai pada akhirnya akan disusun sebagai
laporan akhir penelitian.
Interpretasi data dapat di mulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagi sumber yaitu dari wawancara mendalam yang telah di tuliskan dalam cacatan
lapangan. Setelah di baca, di pelajari dan ditelaah maka langkah berikutnya adalah
mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.
Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman inti, proses dan pertanyaan yang
perlu dijaga sehingga tetap berada dalam fokus penelitian. Kemudian data disusun dalam
satuan dan di kategorikan. Selanjutnya mengadakan pemeriksaan keabsahan laporan yang
3.6. Jadwal Kegiatan Penelitian
No. Kegiatan Bulan Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Observasi √
2 ACC Judul √
3 Penyusunan Proposal Penelitian √ √ √ 4 Seminar Proposal Penelitian √
5 Revisi Proposal Penelitian √ √
6 Penelitian Kelapangan √
7 Pengumpulan Data dan Analisis Data √
8 Bimbingan √ √
9 Penulisan Laporan Akhir √
10 Sidang Meja Hijau √
3.7. Keterbatasan penelitian
Keterbatasan dalam penelitian ini disebabkan oleh terbatasnya kemampuan dan
Pengalaman yang dimiliki oleh penulis untuk melakukan penelitian ilmiah, terutama
dalam hal metodelogi penelitian (teknik wawancara).
Keterbatasan data melalui buku atau referensi mengenai masyarakat Aceh yang
menyebabkan kurangnya lengkap data-data mengenai profil masyarakat aceh dalam
penelitian.
Adapun kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan penelitian adalah kendala
dalam berbahasa, karena sebagian informan ada yang tidak mengerti dari penjelasan yang
di terangkan oleh peneliti, biarpun sudah dijelaskan dengan bahasa yang sangat sederhana
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1. Deskripsi lokasi penelitian
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi penelitian
Kelurahan Krueng Manee merupakan salah satu kelurahan bagian dari Kecamatan
Muara Batu Aceh Utara. Asal kata krueng manee sendiri bermakna “Krueng” yang
artinya sungai dan “Manee” artinya pohon mane yang berada atau tumbuh dipinggiran
sungai. Menurut warga setempat krueng manee ini dikatakan karena hampir sepanjang
sungai yang ada di Kecamatan Muara Batu banyak ditumbuhi pohon mane, dan menurut
pengakuan warga juga buah dari pohon manee tersebut bisa dijadikan obat-obatan.
Kelurahan Krueng Manee yang terdapat di wilayah Kecamatan Muara Batu Aceh
Utara dengan luas ± 2.38 km2 dan terdiri dari 22 lingkungan yang memiliki batas-batas
wilayah sebagai berikut :
- Selat Malaka disebelah Utara
- Desa Meunasah Baroh di sebelah Timur
- Desa Cot Seurani sebelah Barat
- Dan, Desa Meunasah Pinto sebelah Selatan.
4.1.2. Demografi
Jumlah penduduk Kelurahan Krueng Manee sesuai dengan data Kelurahan sampai
4.1.2.1. Jumlah penduduk berdasarkan Agama
Dalam bidang keagamaan ini yang mana masyarakat tersebut dapat hidup
berdampingan secara rukun dan damai serta tidak mendatangkan konflik-konflik atau
pertikaian antar penduduk yang berbeda agama biar pun sangat tipis perbedaannya, di
kalangan masyarakat tersebut hampir semua kalangan menganut agama islam dan hanya
[image:46.612.125.406.291.440.2]secuil saja yang berbeda.
Table 4.1
Jumlah penduduk berdasarkan agama yang di anut.
No AGAMA JUMLAH
1. Islam 60.10
2. Kristen -
3. Katholik -
4. Hindu -
5. Budha 11
JUMLAH 6.021
Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009
4.1.2.2. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
Dalam bidang pendidikan sebagaimana data yang ada secara keseluruhan
ditemukan penduduk yang tidak pernah mengenyam dunia pendidikan/penduduk buta
Table 4.2
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
NO. TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH
1. Belum sekolah 277
2. Tidak tamat SD/sederajat 49
3. SD/sederajat 970
4. SLTP/sederajat 179
5. SLTA/sederajat 3785
6. Diploma 484
7. S-1 161
8. S-2 97
9. S-3 19
Jumlah 6.021
Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009
4.1.2.3. Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian
Secara umum penduduk yang bertempat tinggal di Kelurahan krueng mane mata
pencahariannya bergerak di sektor swasta baik sebagai buruh maupun kewiraswastaan
sebesar 59 %, sedangkan yang lainnya bergerak di bidang jasa dan pemerintahan.
Table 4.3
Jumlah penduduk berdasarkan mata pencaharian
No Mata pencaharian Jumlah
1. Buruh/swasta 292
2. Pegawai negeri 2.082
3. Penjahit 149
[image:47.612.126.438.609.717.2]5. Tukang kayu 96
6. Montir 29
7. Dokter 19
9. Sopir 39
10. Pengemudi becak 18
11. TNI/ POLRI 120
12. Pengusaha/ wiraswasta 170
13. Lain-lain 2.609
Jumlah 6.021
Profil kelurahan krueng mane Kec.muara batu, 2009
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa mata pencaharian sebagian penduduk
masyarakat Aceh bergerak di bidang sektor swasta. Sebagian wilayah kelurahan Krueng
Mane dipergunakan juga sebagai sarana sektor perekonomian seperti pertokoan baik
perdagangan maupun jasa serta perkantoran umum yang bergerak di bidang swasta yang
bergerak di lingkungan yang masih berhubungan dengan Kec.Muara Batu. Selain itu
terdapat pula pusat pasar tradisional krueng mane (tempat usaha kecil menengah) serta
terminal angkotan umum.
4.1.2.4. Sarana dan Prasarana Perhubungan
Kelurahan krueng mane Kec.muara batu aceh utara termasuk wilayah yang berada
antara kota Lhok Seumawe dengan kota Jeumpa (Bireun). Untuk ruas jalan hanya di
gunakan satu jalur yaitu sebagaimana sering disebut jalan Medan Banda Aceh. Jalan
tersebut dapat di lalui berbagai macam kendaraan baik besar, sedang atau pun kecil.
Selain sarana jalan, ada juga terdapat sarana dan prasarana yang di gunakan secara
peribadatan (Masjid), Pendidikan, Kesehatan, tempat Olah raga serta pelayanan lain
untuk masyarakat secara umum.
Untuk sarana transportasi darat, biasa masyarakat krueng mane menggunakan
sepeda, becak, motor, angkutan umum dan jenis kendaran lainnya. Masyarakat krueng
mane tidak pernah mengalami kesulitan dalam hal saran transportasi, hanya saja kendala
dalam batas waktu penggunaan transportasi tersebut di batasi mulai dari jam 07.00-20.00
WIB malam yang masih kurang kondusif.
4.1.2.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk Kelurahan Krueng Manee 6021 jiwa, bila digolongkan
berdasarkan jenis kelamin yaitu, laki-laki berjumlah 3009 jiwa, sedangkan perempuan
[image:49.612.125.393.457.542.2]berjumlah 3012 jiwa.
Tabel 4.4
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Keterangan Jumlah
1. Laki-laki 3009 jiwa
2. Perempuan 3012 jiwa
Jumlah 6.021 jiwa
Profil kelurahan Krueng Manee Kec. Muara Batu, 2009
4.1.2.6. Pola Pemukiman
Keterkaitan Krueng Mane dengan sekitarnya seperti desa meunasah baroh di
bagian timur, desa cot pinto di bagian selatan dan cot seuranidi bagian barat. Hal ini di
diarea persawahan krueng mane. Tata cara ruang pemukiman yang ada telah
menampakkan keteraturan. Lahan kosong yang cukup luas masih memungkinkan adanya
pengembangan area pemukiman. Pola perumahan memperlihatkan ciri linier di sisi
jaringan jalan yang ada.
Krueng Mane merupakan tempat yang rawan tsunami, pendataran pantai yang
memiliki satuan topografi genangan air pasang surut.Topografi bermanfaat sebagai
pematang pasir pantai yang sebagai kebun campuran, yaitu guna untuk genangan rawa
sebagai persawahan. Untuk kebutuhan rumah tangga, dijumpai pada kedalam 2-3 meter
pada lapisan pasir. Kesadaan air di pemukiman krueng mane dapat dinyatakan kualitas
baik sebagai air baku untuk rumah tangga serta jumlah yang melimpah ruah. (ETESP,
Rencana Pengembangan Desa, 2007).
[image:50.612.126.497.484.722.2]4.1.2.7. Pemanfaatan sebagian Areal Tanah Krueng Mane. Table 4.5
Pemanfaatan sebagian areal tanah Krueng mane
No Jenis Penggunaan
Jumlah
Ha (%)
1 Perumahan 17 25.19
2 Administrasi 0.4 0.59
3 Perdagangan 0.5 0.74
4 Pendidikan 1.4 2.07
5 Industri (Batu Bata) 2 2.96
6 Fasilitas keagamaan 0.3 0.44
7 Pengeringan Ikan 0.4 0.59
10 Kebun Kelapa 15 22.22
11 Area Pantai 5 7.41
12 Badan Air 2.3 3.41
13 Peternakan 0.7 1.04
14 Genangan 2 2.96
TOTAL 67.5 100
Sumber : kelurahan krueng mane Kec. Muara Batu, 2009
4.1.2.8. Bentuk Pemerintahan Daerah Krueng Mane
Krueng Mane merupakan satu desa yang di pimpin oleh seorang kepala desa dan
dibantu oleh wakil-wakil dari masyarakat desa atau orang-orang yang bertanggung jawab
dalam keamanan serta ketertiban desa tersebut :
Ada pun perangkat-perangkat daerah krueng mane antara lain sebagai berikut
[image:51.612.125.504.71.199.2]dilihat dari table :
Tabel 4.6
Perangkat-perangkat Daerah
No Nama Jabatan
1 Ali yahya Kepala Desa
2 Muklisi Sekretaris Desa
3 Husni Imam
4 Zakiyun Ketua Pemuda
5 M. Tayeb Tokoh Masyarakat
6 Mustafa Kepala Dusun
4.2. Profil Informan A. Zuriani
Ibu yang bernama lengkap Zuriani, ia telah lama berumah tangga, tapi sampai
sekarang belum dikaruniai seorang anak pun. Dalam perkawinannya, biar pun tanpa
seorang anak ia dan suaminya cukup senang. Hari-hari yang dilalui ia dan suaminya
berjalan dengan baik. Seperti itu ungkapan singkat ibu Ani awal peneliti berjumpa
dengannya. Ketika peneliti menanyakan tentang seberapa pentingnya suatu mahar dalam
perkawinan, ia langsung menjawab bahwa mahar itu sangat berharga dan penting bagi
kaum perempuan Aceh, di karenakan untuk mengesahnya suatu ikatan dalam hubungan
perkawinan.
Dalam jumlah mahar (jeulame) seorang perempuan itu jika besar, serta merta ada
perasaan bangga dan dihargai, oleh karenanya pihak laki-laki akan dihargai pula oleh
pihak keluarga mempelai perempuan (istri). Bentuk penghargaan tersebut yang diberikan
oleh pihak keluarga perempuan kepada laki-laki (suami) berupa kedudukan status yang
dimiliki dalam keluarga perempuan, sanjungan, pemberian berupa materi yaitu rumah
pribadi, kendaraan, maupun jabatan yang dimiliki oleh orang tua dari pihak keluarga
perempuan.
Namun dengan demikian, jika jumlah mahar (jeulame) yang diberikan tidak
banyak atau lebih sedikit dari perkiraan yang seharusnya, sama saja yang penting semua
keperluan harus ada dan lengkap sesuai dengan kebutuhan yang di perlukan “di
masyarakat aceh lainnya”. Misalnya, isi kamar, banyaknya hantaran, uang pesta adat,
serta lainnya. Bila suatu permintaan tidak sesuai maka kedua belah pihak keluarga dapat
tentukan “kami berdua”, maka kedua keluarga hanya diminta persetujuannya saja,
begitulah penuturan dari ibu Ani.
Mahar perkawinan sangat penting dalam sebuah perkawinan, karena tanpa mahar
sebuah ikatan tidak akan sah atau tidak lengkap persyaratannya dalam kelangsungan
pernikahan. Pada saat perkawinan ibu Ani, mahar yang diterima berjumlah 17 manyam
(56,1 gram), perlengkapan kamar, serta uang tunai Rp. 2 juta untuk keperluan pesta
seperti pakaian adat dan tata riasnya.
Untuk ukuran yang diterima di Aceh pada masyarakat lingkungan Krueng Mane,
jumlah yang di terima termasuk menengah keatas. Karena menurut pengakuan ibu Ani,
dia menikah pada tahun 1995, kalau dilihat dari harga emas dulu dengan sekarang tidak
ada bedanya dari segi kadar emas. Kalau dulu harga emas ± Rp. 90.000/ gram, tapi kalau
sekarang ± Rp. 299.000/ gram. Dengan demikian kalau diuangkan dengan zaman yang
serba mahal sekarang ya sama saja.
Selain dari itu, untuk menentukan jumlah besar kecilnya mahar perkawinan dalam
suatu strata kehidupan bermasyarakat seperti zaman sekarang ini, kebanyakan orang
melihat dari pengaruhnya kecantikan seseorang, status yang dimiliki, pekerjaan dan
tingginya pendidikan. Maka suatu perubahan yang terjadi antara dulu dengan sekarang
tidak beda jauh kalau untuk menentukan pasangan yang terbaik bagi diri sendiri atau pun
dari orang tua untuk anak-anaknya.
Suatu status sangat berperan penting dalam segala bidang, khususnya dalam
mendapat pasangan. Ibu Ani memaparkan sedikit tentang anekdok orang aceh “hana peng
Jadi sumber ketentraman dalam keluarga dari dulu sampai sekarang ini yaitu status
ekonomi yang jelas serta tanpa lepas dari bimbingan orang tua atau pu mertua.
Hubungan dalam keluarga antara suami dan istri sangat berperan penting, dimana
hubungan tersebut harus dapat persetujuan, tanpa ada persetujuan dari keluarga atau pun
keluarga besar, maka suatu jalinan yang akan dijalankan tidak akan ada artinya.
Mengenai peran penting keluarga dalam pernikahan ibu Ani, setiap ada masalah,
hubungan menjadi renggang dan lainnya, maka kami mencoba untuk menyelesaikan
bersama tanpa harus membebani orang lain termasuk orang tua saya sendiri, “maksudnya,
kalau bisa di selesaikan berdua untuk apa harus campur tangan keluarga besar/ orang
tua”. Tapi adakalanya ketika suatu permasalahn besar yang di hadapi tidak ada
penyelesaian, mau tidak mau permasalah tersebut harus diketahui oleh orang tua,baik dari
laki-laki maupun perempuan. Misalnya permasalahan perceraian, suami/ istri selingkuh
dan lainnya, maka peranan penting keluarga dapat turun tangan untuk menyelesaikannya.
Namun, dengan demikian peran keluarga dalam masyarakat Aceh sangat
berpengaruh terhadap pasangan yang baru saja melangsungkan pernikahan/ baru
menjalani kehidupan yang baru. Dikarenakan hubungan yang baru dimulai sangat rentang
dengan perceraian yang diakibatkan kecemburuan yang tidak beralasan. Maka keluarga
atau pun orang tua terutama dari keluarga laki-laki yang mengatur hubungan dalam
keluarga tidak akan pernah luput dari pandangan mereka.
Dalam budaya Patriarkhi yang menganggap laki-laki adalah sebagai pelanjut garis
keturuna