• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL LEMBAGA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Dibentuknya Mahkamah Konstitusi dalam Rangka Reformasi Yudikatif

Penanaman paham konstitusi adalah salah satu cara untuk merealisasikan tujuan nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diuraikan sebelumnya. Paham konstitusi disebut dengan konstitusionalisme (constitutionalism) yakni yang berarti paham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan (limited power). Dalam kaitan dengan negara atau pemerintah, konstitusionalime adalah paham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan negara (limitation of state power) atau pembatasan kekuasaan pemerintahan (limitation of power of government atau limited government).53

Pembatasan kekuasaan tersebutlah yang dibagi dalam tiga pembagian utama dalam UUD 1945, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertical atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki

53

Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi „makna dan aktualisasi‟,

kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti yang dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.54

Dalam perspektif historis yuridis, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif mengalami perubahan yang signifikan pasca amandemen UUD 1945, dimana perubahan sistem ketatanegaraan dari parlementer ke presidensil yang cukup mempengaruhi kewenangan dua kekuasaan tersebut. Sedangkan kekuasaan kehakiman, pasca Amandemen UUD 1945 ke-tiga telah mengalami perubahan dari segi substansi dan kelembagaan55. Yakni, setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka pembentukan MK, MPR menetapkan MA menjalankan fungsi sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah pembahasan yang mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu

54

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006),h.5.

55

Perubahan tersebut mencangkup, Pertama, reformasi dalam hal indepedensi kehakiman yang dipertegas dan diformalkan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Kedua, pembentukan Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru dibentuk setingkat dengan Mahkamah Agung yang hakimnya diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden. Sedangkan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim-Hasssskim Konstitusi. Ketiga, pembentukan Komisi Yudisial, satu lembaga baru lainnya yang memiliki kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan Hakim Agung serta menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

(Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).56

Berdasarkan landasan konstitusional pula, sejarah berdirinya lembaga MK diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 194 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dna kenegaraan modern yang muncul di abad ke-2057.

Ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan58. Dimana kekuasaan kehakiman yang dimaksud adalah kekuasaan kehakiman yang tidak hanya terdiri dari Mahkamah Agung dan

56

Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September 2015 pukul 12.45 wib.

57

Profil Sejarah Berdirinya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September 2015 pukul 13.00 wib.

58

Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id /index .php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 September 2015 pukul 19.57.

Mahkamah Konstitusi, melainkan juga terdiri dari peradilan-peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Terbentuknya MK juga tidak lepas dari kacamata perspektif historis, gagasan untuk terdapatnya lembaga yang dapat menguji undang-undang terhadap UUD 1945 nyatanya telah ada sejak Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan, tanggal 15 Juli 194, yakni ketika Yamin menyampaikan usulan perihal perbandingan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Dibentuknya Mahkamah Agung pada saat itu, menurut Yamin agar melakukan kekuasaan kehakiman dan membanding undang-undang dengan Undang-Undang Dasar. Dan pendapat Balai Agung disampaikan kepada Presiden, yang mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan, dan melakukan aturan pembatalan.59

Hadirnya Mahkamah Konstitusi, sebagai tanda bahwa telah lahir lembaga yang mampu menguji sustansi undang-undang, yang sebelumnya tidak diakomodir pada masa orde baru. Semua produk undang-undang dapat ditinjau substansinya maupun prosedur pembuatannya. Sehingga hak-hak warga negara dan demokrasi dapat terlindungi dari kemungkinan potensi negatif pembentuk undang-undang yang ingin mereduksi bahkan

59Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku VI tentang

Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010,h.17-18.

menggerogoti prinsip-prinsip negara hukum, hak asasi manusia (warga negara) maupun substansi demokrasi.60

Khusus untuk memelihara kebersesuaian dan ketaatasasan UU terhadap UUD 1945, UUD 1945 memberi kewenangan dan tugas itu kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga dalam rumpun kekuasaan kehakiman dengan kewenangan khusus antara lain untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD bahkan membatalkan (sebagian) UU yang pembentukannya telah disepakati bersama oleh DPR dengan Presiden. Sebagai lembaga dalam rumpun kekuasaan yudikatif itu proses kerja Mahkamah Konstitusi adalah proses sebuah lembaga peradilan.61

Dengan menilik beberapa perspektif diatas, pada akhirnya MK merupakan lembaga negara baru buah reformasi ketatanegaraan Republik Indonesia melalui perubahan (amandemen) UUD NRI 1945 diberikan kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

60 Ni‟matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan Gagasan Penyempurnaan,(Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h.1-2.

61

Jakob Tobing, Membangun Jalan Demokrasi (kumpulan pemikiran Jakob Tobing tentang Perubahan UUD 1945), (Jakarta : Konstitusi Press, 2008), h. 251.

Kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

c. Memutus pembubaran partai politik;

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan

e. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Jika diperhatikan secara seksama, seluruh kewenangan yang diberikan kepada MK oleh UUD 1945 tersebut berkaitan dengan upaya untuk mencapai kedua tujuan kembar yakni sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi berdasarkan hukum.62

Agaknya dua istilah tersebut tidaklah berlebihan jika disandingkan satu sama lain, bahwa negara hukum dan demokrasi sangatlah berkesinambungan, karena sulit dibayangkan sebuah negara hukum tanpa demokrasi atau demokrasi tanpa hukum itu sendiri.

Mahkamah Konstitusi sebagai garda konstitusi adalah bentuk realisasi dari dua hal tersebut yakni dijalankannya demokrasi karena mengedepankan hak-hak konstitusional warga negara melalui kewenangan yang melekat yakni pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan menjunjung tinggi hukum karena dilaksanakan kewenangannya

62

Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008,h.9.

berdasarkan amanah UUD 1945 sebagai hukum tertinggi di Indonesia. hal tersebutlah yang senada dengan apa yang ditekankan ole John Norton Moore:

Constitutions should embody the fundamental compact with the people – such constitutions should serve as the highest form of law to which all other laws and governmental actions must conform. As such, constitutions should embody the fundamental precepts of a democratic society rather than serving to incorporate ever-changing laws more appropriately dealt with by statute. Similarly, governmental structures and actions should seriously conform with constitutional norms, and constitutions should not be mere ceremonial or aspirational documents.

Atas dasar hal tersebut, dapat dikatakan bahwa “negara hukum”

mempengaruhi adanya kelaziman sebuah konstitusi untuk memuat hak-hak dasar atau hak asasi (basic rights) setiap warga negara yang kemudian dinyatakan sebagai hak konstitusional. Fungsi utama Mahkamah Konstitusi inilah yang menjamin bahwa konstitusi benar-benar ditaati dan dilaksanakan dalam praktik.63

Maka, dapat dilihat bahwa terbentuknya Mahkamah Konstitusi adalah atas tiga reformasi utama, yakni reformasi konstitusi, reformasi

63Mahkamah Konstitusi, Judicial Review,dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa

yudikatif, yang menjadi hal gemilang bagi reformasi ketatanegaraan Indonesia.

B. Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap UUD NRI 1945

Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting adalah bukan hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukum (Ius curia novit), tetapi mengetahui secara obyektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Pada dasarnya, putusan merupakan salah satu penemuan huum (judge made law/rechtvinding), dengan demikian hakim telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menjatuhkan putusan yang obyektif, adil, dan tidak dipengaruhi oleh unsur apapun kecuali sikap obyektifnya dan rasa keadilan itu semata.

Secara pengertian umum, putusan dapat diartikan suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidnagan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa para pihak. Soedikno Mertokoesoemo menambahkan bahwa bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yag dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai

putusan sebelum diucapkan di persidangan oleh hakim. Putusan yang diucapkan di persidangan (uitspraak) tidka boleh berbeda dengan yang tertulis (vonnis).64

Vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan), salus populi suprema lex (suara rakyat adalah hukum tertinggi). Sebagai asas, adagium tersebut pelaksanaannya diatur dalam sistem ketatanegaraan yang terdapat pada UUD. Artinya, kekuasaan legislatif yang memiliki wewenang luas dalam membentuk undang-undang tidaklah secara mutlak mencerminkan kehendak rakyat seluruhnya. Suara mayoritas seringkali menjadi dominan dalam proses pengambilan keputusan lembaga legislatif sehingga tidak jarang suara legislatif adalah suara mayoritas yang ternyata dapat merugikan hak konstitusional warga negara.65

Pengujian undang-undang (judicial review)66 dimaksudkan untuk menjaga agar undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif tidak bertentangan dengan UUD dan memberi perlindungan hak konstitusional

64

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, h.137-139.

65

Harjono,Tranformasi Demokrasi,(Jakarta:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2009),h.139.

66

Ditegaskan bahwa „review‟ dapat dibedakan dari „appeal‟, seperti yang dikatakan oleh

Brian Thompson, “If one appeals a decision, one is claiming that is wrong or incorrect, and that

the appellate authority should change the decision”. Sedangkan pada judicial review, “the court is

not concerned with the merits of the case, whether the decision was right or wrong, but whether it was lawful or unlawful. Seperti dikatakan oleh Lord Brightman : “Judicial review is concerned,

not with the decision, but with decision making process”. Lihat Saldi Israa, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, h.294. Lihat juga Jimly Ashiddiqie,2002,Judicial Review: Pengawasan terhadap Kekuasaan Legislatif dan Regulatif dalam Perspektif Tata Negara, makalah tidak dipublikasikan,h.5.

warga negara. Di dalam ketentuan UUD banyak disebutkan bahwa untuk hal-hal tertentu diperlukan undang-undang sebagai pelaksanaan ketentuan UUD, namun hal ini tidaklah berarti bahwa lembaga legislatif hanya buat undang-undang yang diperintahkan secara langsung oleh UUD saja (undang-undang organik). 67

Untuk menguji sifat konstitusional dari sebuah undang-undang, maka paham konstitusionalisme adalah paham yang tepat untuk diwujudkan, yakni bahwa setiap kewenangan kenegaraan haruslah dibatasi karena dengan adanya pembatasan tersebut hak-hak masyarakat sipil tetap terjamin. Meskipun lembaga legislatif adalah wakil rakyat dan kepadanya diberikan wewenang yang luas oleh UUD untuk membuat undang-undang, tidak berarti bahwa kewenangan lembaga legislatif tersebut mutlak.68

Dalam pembatasan tersebut, upaya warga negara dalam melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah upaya untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya yang belum di akomodir dengan baik di dalam undang-undang yang belum mencerminkan tiga hal utama dalam sebuah aturan hukum, yakni memberikan kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan. Melalui putusan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, diharapkan tiga hal utama

67

Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.138.

68

tersebut didapatkan oleh warga negara yang dirugikan hak kostitusionalnya.

Pada peradilan di forum Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam

Pasal 24C sebagai “tingkat pertama dan terakhir”. Hal tersebut tentunya

dimaksudkan bahwa terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dilakukan upaya hukum sebagaimana yang tersedia pada peradilan tingkat pertama yang dapat dilakukan banding terhadap putusannya atau upaya hukum lain baik kasasi maupun peninjauan kembali, sehingga putusan tersebut bersifat final.69

Dalam suatu proses hukum di depan, putusan lembaga peradilan haruslah diakhiri dengan memberikan status final. Hal ini diperlukan untuk kepastian hukum. Namun apabila semua upaya hukum telah digunakan maka suatu keharusan, demi kepastian, sebuah putusan haruslah bersifat final artinya tidak ada lagi upaya hukum lain dan oleh karenanya berlakulah res judicata facit ius (putusan pengadilan harus diterima sebagai hukum dalam kenyataan). Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang bersifat final harus diterima sebagai res judicata facit ius.70

Jika putusan MK memiliki sifal final and binding, namun pada putusannya, MK memiliki bentuk-bentuk putusan yang perlu diuraikan

69

Harjono, Tranformasi Demokrasi,h.140.

70

dalam penelitian ini, yaitu pertama, ultra petita adalah putusan yang dikenal pada rezim hukum perdata dan pidana yakni ketika hakim menjatuhkan keputusan hukuman pidana melebihi dari tuntutan jaksa. Dan putusan ultra petita seharusnya tidak berada pada rezim hukum tata negara dikarenakan, yaitu MK memutus dengan putusan yang melebihi apa yang diminta (petitum) pemohon. Menurut Taufiqurrahman Syahuri, wajar apabila MK menjatuhi putusan yang ultra petita dengan menyatakan bahwa suatu undang-undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Kedua, Condionally constitutional, pada posisi putusan ini MK telah memasuki ranah positif legislatif, karena dalam amar putusannya, MK tidak hanya memutus tentang konstitusionalitas suatu undang-undang melainkan juga memberikan syarat baru dalam amar putusannya tersbut. Ketiga, Pembatalan UU dengan tenggat waktu, bentuk putusan ini adalah bentuk putusan yang menunda keberlakuan putusan MK karena terinspirasi oleh pembentukan peraturan perundang-undangan, dimana keberlakuan suatu UU secara efektif dapat ditunda beberapa waktu setelah disahkan.71

Maka, putusan MK dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah bentuk permohonan keadilan dari warga negara, masyarakat, atau segolongan masyarakat yang hak konstitusionalitasnya dirugikan atas

71

produk undang-undang. Suatu putusan adalah hal yang ditunggu masyarakat untuk dapat melindungi hak konstitusionalnya.

BAB IV

ANALISIS IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP PENAMBAHAN NORMA PENETAPAN

TERSANGKA DALAM OBJEK PRAPERADILAN

“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia sebagaimana kamu semua, sedang

kamu mengajukan perkara kepadaku, oleh karena itu, barangkali sebagian kamu lebih mengerti dan lebih mengetahui daripada sebagian lainnya.”

(Hadits Riwayat Bukhari Muslim)

Sebagaimana hadits tersebut, dapat dianalogikan bahwa seseorang dibebankan suatu perkara dan diamanahkan untuk mewujudkan suatu putusan yang berkeadilan. Namun, upaya untuk mewujudkannya tentu harus ditopang dengan berbagai faktor-faktor pendukung, seperti, terkumpulnya bukti-bukti, saksi dan lain sebagainya agar dapat memutus putusan yang berkeadilan dan berkepastian hukum bagi pihak-pihak tertentu, maupun bagi seluruh pihak.

Di Indonesia, perwujudan keadilan dapat ditegakkan melalui paradigma perlindungan hak konstitusional warga negara yang termaktub dalam perubahan UUD 1945. Hal tersebut merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan

ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti.72

Perubahan UUD 1945 menegaskan adanya prinsip checks and balances dimana terbagi adanya tiga kekuasaan utama disamping tersadapat kekuasaan-kekuasaan lainnya yang melengkapi tiga kekuasaan-kekuasaan utama tersebut. Tiga kekuasaan utama tersebut dapat dikategorikan sebagai primary constitutional organs yakni: kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Serta terdapat lembaga-lembaga penunjang atau pendukung (auxiliary state organs). Keseluruhan lembaga-lembaga negara tersebut merupakan bagian-bagian dari negara sebagai suatu organisasi. Konsekuensinya, masing-masing menjalankan fungsi tertentu dan saling berhubungan sehingga memerlukan pengaturan dan pemahaman yang tepat untuk benar-benar berjalan sebagai suatu sistem.73

Dalam reformasi kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi muncul dan dibentuk untuk menjawab kebutuhan masyarakat dalam rangka menegakkan negara hukum yang demokratis dan menghormati serta menegakkan nilai-nilai hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi.

Mahkamah Konstitusi RI sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi demi menegakkan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945, muncul

72

Jimly Asshiddiqie,Menuju Negara Hukum Yang Demokratis,(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h.479.

73

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

akibat adanya perubahan UUD 1945. Dimana dalam perubahan tersebut telah menjadikan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan supremasi telah beralih dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Karena perubahan mendasar inilah maka perlu disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan saling mengendalikan (checks and balances).

Telah sejak lama bangsa Indonesia begitu mendambakan kehadiran sistem kekuasaan kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji produk hukum di bawah Undang-Undang Dasar 1945.74 Oleh sebab itu, desakan akan pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan dibawah undang-undang (UU) melainkan juga di atas UU terhadap UUD. Kewenangan melakukan pengujian UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah sendiri diluar Mahkamah Agung (MA). Atas dasar pemikiran itu, adanya MK yang berdiri sendiri di samping MA menjadi sebuah keniscayaan.75

Pengujian undang-undang merupakan sebuah pengujian atas norma yang nantinya akan mengikat warga negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai sebuah lembaga yang hanya pemberi ajudikasi dan meninggalkan

74

Lihat Uji Konstitusionalitas oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi (Suatu studi tentang adjudikasi Konstitusional sebagai Penyelesaian Sengketa Normatif), (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2006), h. 259.

75

keputusan tersebut untuk Pemerintah jalankan dan untuk pembentuk undang-undang pahami.76 Terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi yang salah satunya adalah melakukan pengujian undang-undang dimana putusan Mahkamah bersifat final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam Pasal 10 ayat (1) UU

No.8 Tahun 2011 yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final ….”adalah bentuk konsekuesi logis keberlakuan putusan tersebut akan mengikat seluruh masyarakat tidak hanya pihak-pihak yang menjadi pemohon (erga omnes)77.

Jika melihat dasar yuridis dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final and binding serta mengikat seluruh pihak (erga omnes), adapun istilah negative legislator yang melekat pada institusi Mahkamah Konstitusi adalah tidak lepas bahwa pembentukan Mahkamah Konstitusi. Yaitu dimana semangatnya melekat pada perspektif historis pembentukan Mahkamah Konstitusi Austria yang dipelopori oleh Hans Kelsen yakni adalah dikarenakan adanya peluang peraturan lebih rendah bertentangan dengan peraturan lebih tinggi,

76

Agung Sudrajat, Implikasi Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Positive Legislator Pada Uji Materiil Undang-Undang Terhadap Proses Legislasi di Indonesia (Studi Kasus: Putusan MK No.10/PUU-VI/2008 tentang Pemuatan Syarata Domisili Calon Anggota DPD dalam UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum,Skripsi S 1 Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2012, h.112.

77

Putusan pengadilan biasa yang telah berkekuatan tetap yang bersifat inter-partes atau yang mengikat di antara pihak-pihak berperkara, putusan mana mengandung penghukuman atau perintah untuk melakukan satu perbuatan atau menyerahkan sesuatu barang sebagai prestasi salah satu pihak berperkara. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan putusan MK dalam pengujian undang-undang. Sebagai satu mekanisme checks and balances putusan MK yang mengabulkan satu permohonan untuk menyatakan satu undang, pasal, ayat dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, terlebih-lebih jika menyangkut pengujian undang-undang yang bersifat beleidsregels, yang bersifat self-executing, tidak selalu mudah untuk diimplementasikan.[Lihat, Maruarar Siahaan, Peran Mahkamah Konstitusi dalam Penegakkan Hukum Konstitusi,Jurnal Hukum No.3 Nol.16 Juli 2009,h.363-364]

sehingga Kelsen dalam istilahnya pada proses legislasi menyatakan, “recognized the need for an institution with power to control or regulate legislation78

ditegaskan kembali bahwa lembaga peradilan berwenang membatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara

Dokumen terkait