• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORITIS

A. Realisasi Negara Hukum dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap

Negara Indonesia merupakan Negara Hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, pendapat tentang kriteria suatu negara hukum memiliki banyak perspektif, namun terdapat keterangan pokok yang akhirnya dituangkan dalam UUD 1945, keterangan tersebut dihasilkan dari pembahasan yang diuraikan dalam perubahan UUD 1945 mengenai nomenklatur Negara Hukum, dimana ditegaskan oleh Agun Gunandjar Sudarsa, bahwa negara Indonesia dapat disebut sebagai negara hukum dengan 4 persyaratan yakni31 :

1. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum;

3. Adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, merdeka;

4. Adanya peradilan administrasi negara.

Jika ditinjau dari empat persyaratan tersebut maka dapat diketahui, elemen penting dan utama terciptanya negara hukum yakni

31

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku II Sendi-sendi/Fundamen Negara, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.

adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Penjaminan tersebut dapat direalisasikan dari sistem yang dibentuk oleh negara, baik sistem kelembagaan negara maupun sistem sosial.

Salah satu usaha pencapaian suatu negara hukum yang menjamin adanya perlindungan hak asasi manusia, ditilik dalam amandemen UUD 1945 terdapat usulan dan pembahasan tentang judicial review, maka dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang dilekatkan kewenangan untuk melakukan judicial review tersebut. Dimana pada awal pembahasan, hanya ada keinginan untuk memperkuat posisi dan peran MA. Salah satunya dengan memberikan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD kepada MA. Dalam usulannya, Hamdan Zoelva menyampaikan usulan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama dan terakhir, serta memiliki kewenangan utama yaitu, memutuskan kewenangan mengajukan uji terhadap undang-undang, memutus perselisihan antar lembaga negara, kemudian kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.32

Dalam implementasi penegakkan ide negara hukum yang termaktub dengan jelas dalam UUD 1945 sebagai dasar berjalannya penyelenggaraan negara, adanya kewenangan dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mekanisme yang begitu

32

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2010.

membanggakan untuk dapat melindungi hak warga negara yang ditumpah ruahkan dalam norma-norma yang termaktub dalam undang-undang.

Reformasi kekuasaan kehakiman melalui didirikannya Mahkamah Konstitusi tentu menjadi hal gemilang untuk meninggalkan kemunduran bangsa dimana pada periode Pra Reformasi yang masih sangat jauh dari perlindungan hak asasi manusia.

Pengujian undang-undang (judicial review) adalah sebuah mekanisme yang hadir untuk dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia. Ditegaskan oleh Taufiqurrahman Syahuri bahwa hak uji konstitusionalitas adalah hal yang dapat dilaksanakan ketika masyarakat mempersoalkan produk undang-undang disebabkan adanya kerugian konstitusinal oleh segolongan masyarakat.33

Kewenangan tersebut dilekatkan kepada Mahkamah Konstitusi dan termaktub dengan jelas dalam UUD 1945, Pasal 24C yakni untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, dimana hak konstitusionalitas dari setiap warga negara akan terjamin dengan adanya mekanisme tersebut.

Adapun hal ini merupakan konsekuensi dari kedudukan UUD sebagai sebuah hukum tertinggi34. Makna dari pernyataan tersebut adalah

33

Taufiqurrahman Syahuri, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, h.112 34

Hans Kelsen menyebutkan bahwa UUD menduduki tempat tertinggi dalam hukum nasional, sebab itu merupakan landasan sistem hukum nasional. Undang-Undang Dasar merupakan fundamental law. Untuk itu Hans Kelsen menunjuk hak menguji sebagai mekanisme

bahwa sebagai hukum, UUD harus mempunyai sifat normatif yang mengikat. Dalam sifatnya yang normatif tersebut, apalagi terjadi pelanggaran, ia harus ditegakkan dengan mekanisme hukum atau melalui peradilan dan bukan lewat mekanisme politik35.

Kehadiran sistem pengujian konstitusional ini ataupun

mekanisme „judicial review‟ yang terus berkembang dalam praktek di berbagai negara demokrasi, pada umumnya, disambut sangat antusias, baik di dunia akademis maupun praktek, bahkan tidak kurang oleh lingkungan cabang kekuasaan kehakiman sendiri (judiciary). Seperti dikemukakan oleh Lee Bridges, Georges Meszaros dan Maurice Sunkin36,

Judicial review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary itself, as means by which the citizen can obtain redress against oppressive government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to prevent and check the abuse executive power.”

Pada umumnya, mekanisme pengujian hukum ini diterima sebagai cara negara hukum modern mengendalikan dan mengimbangi

guarantees of the constitution”. Jadi dapat dikatakan bahwa hak menguji merupakan konsekuensi

dari konstitusi tertulis, atau yang oleh Kelsen disebut konstitusi dalam arti formal, atau konstitusi dalam arti sempit.

35

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), h. 486

36

Jimly Ashiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

(check and balance) kecenderungan kekuasaan yang ada di genggaman para jabatan pemerintahan untuk menjadi sewenang-wenang.

Adapun nilai uji dari undang-undang tersebut adalah nilai uji konstitusionalitasnya, yakni undang-undang tersebut diujikan baik dari segi formiil ataupun materiil. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas.37

Dalam pengujian Pasal 7 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, pemohon mengungkapkan alasan bahwa idealnya suatu Hukum Acara itu memberikan kesetaraan antara tersangka, terdakwa dengan penyidik dan penuntut dan kemudian diberikan penilaian oleh hakim38.

Pemohon menjadikan Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 dengan adanya penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana tersebut senantiasa harus sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Kalaupun ada pembatasan terhadap hak asasi manusia, Pasal 28 J ayat (2) UUD 194 telah menegaskan bahwa pembatasan tersebut semata-mata dilakukan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.39 Maka, inilah yang menjadi bentuk realisasi

37

Harjono, Konstitusi sebagai Rumah Bangsa,h.487.

38

Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 h.3.

39

negara hukum dalam prosedur pengujian undang terhadap undang-undang dasar.

Dokumen terkait