• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Demografis Lokasi Penelitian

Secara administratif Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Kabupten Bogor sendiri terletak pada koordinat 6018’6047’10 LS dan 106023’45-1070 13’30 BT, berbatasan langsung dengan Kabupaten Tangerang, Cianjur, Sukabumi, dan Lebak Banten membuat Kabupaten Bogor memiliki letak yang cukup strategis. Luas wilayah Kecamatan Ciampea ialah sebesar 51,06 km2, kecamatan ini terdiri dari 13 desa/kelurahan dimana diantaranya adalah Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik. Pusat Kecamatan Ciampea ini terletak di Desa Bojongrangkas tepatnya di tepi jalan raya Bogor-Leuwiliang. Lokasi ini dapat dicapai dengan menggunakan transportasi umum dari terminal bubulak jurusan Ciampea, Leuwiliang, dan Jasinga. Jarak yang ditempuh untuk mencapai ke Kecamatan Ciampea ini dari Kota bogor adalah kurang lebih sejauh 14 Km. Adapun kondisi demografi Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik secara umum sebagai berikut :

Tabel 2 Kondisi demografis Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik tahun 2013-2014

Desa Bojongrangkas Desa Cihideung Udik

Luas Wilayah (Ha) 104 284

Jumlah Penduduk (Jiwa) 11.279 13.881

Laki-laki (Jiwa) 5.832 7.208

Perempuan (Jiwa) 5.447 6.673

Jumlah KK (Jiwa) 2.932 3.428

Jumlah Rukun Warga 8 15

Jumlah Rukun Tangga

Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa)

35 2.024

48 3.053 Sumber : Data sekunder desa, 2013-2014

Selain itu letak geografis dan topografi Kecamatan Ciampea secara umum adalah berupa tanah daratan dan bukit yang berada pada ketinggian berkisar 150 m di atas permukaan laut, dengan suhu rata-rata berkisar antara 300 celcius sampai dengan 320 celcius.

Kondisi Infrastruktur Desa Penelitian

Berdasarkan letak geografisnya lokasi penelitian ini cukup mudah ditemukan, jalur lalu lintas menuju lokasi pun cukup mudah dan lancar. Kondisi jalan raya sudah beraspal dan ditambah sudah ada angkutan umum yang dapat mencapai lokasi desa yang lebih dalam, sehingga mampu mempermudah

mobilitas penduduk sekarang ini dibanding dahulu. Meskipun jumlah angkutan umum yang tersedia tidak sebanyak dibandingkan pada jalan raya utama. Kemudian peningkatan partisipasi dan kesadaran penduduk akan pendidikan tentunya harus diimbangi dengan sarana dan prasarana fisik pendidikan. Begitu pula dengan sarana ekonomi dan kesehatan. Untuk membantu peningkatan pembangunan daerah, sarana fisik dari ketiga aspek berikut sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya di wilayah pedesaan. Berikut tabel ketersediaan jumlah sarana pendidikan, ekonomi, dan kesehatan di kedua desa penelitian :

Tabel 3 Data infrastruktur Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik tahun 2013-2014

Desa Bojongrangkas Desa Cihideung Udik

Sarana Pendidikan (unit) TK/PAUD 7 TK/PAUD 8

SD 6 SD 6

SMP 2 SMP 2

SMA - SMA 1

Sarana Ekonomi (unit) KUD - KUD 2

Pasar - Pasar 1

Industri RT 2 Industri RT 78 Industri Kecil 1 Industri Kecil 1 Industri Sedang 4 Industri Sedang 2 Industri Besar 1 Industri Besar - Sarana Kesehatan (unit) Posyandu 9 Posyandu 13

Puskesmas 1 Puskesmas 1 Dokter Umum 2 Dokter Umum 3

Bidan 4 Bidan 4

Sumber : Data Sekunder Desa, 2013-2014

Kondisi Sosial Ekonomi masyarakat desa penelitian

Penduduk kedua desa lokasi penelitian sebagaimana mayoritas penduduk desa pada umumnya adalah beragama muslim. Jika dilihat dari data sekunder ketersediaan sarana dan prasaranan peribadatan kedua desa ini sudah cukup baik khususnya dalam ketersediaan tempat peribadatan seperti mesjid, mushola, dan bahkan pondok pesantren. Tercatat sebanyak 8 unit pondok pesantren yang bertempat di Desa Bojongrangkas, kondisi ini dapat dikatakan cukup baik dalam menunjang pendidikan agama bagi penduduk desa setempat.

Dalam bidang pendidikan masyarakat desa pada umumnya memiliki tingkat kesadaran akan pentingnya pedidikan lebih rendah dibanding masyarakat perkotaan, padahal tingkat pendidikan adalah faktor terpenting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Meski biaya sekolah sudah digratiskan untuk beberapa sekolah, tetapi tetap saja minat untuk memiliki pendidikan yang tinggi sangat kurang. Banyak faktor yang menyebabkan ini terjadi, diantaranya taraf hidup yang rendah meyebabkan rumahtangga tidak mampu menyekolahkan anggota keluarga pada jenjang yang lebih tinggi lagi.

Selain itu sarana dan prasarana pendidikan yang kurang juga menjadi salah satu penyebab rendahnya kesadaran akan pendidikan. Berikut tabel yang menggambarkan tingkat pendidikan masyarakat di kedua desa penelitian.

Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Bojongrangks dan Desa Cihideung Udik tahun 2013-2014

Tingkat Pendidikan Desa Bojongrangkas Desa Cihideung Udik

Tamat SD (Jiwa) 2 102 1 914

Tamat SMP (Jiwa) 1 043 1 363

Tamat SMA (Jiwa) 923 1 269

Perguruan Tinggi (Jiwa) 804 987

Sumber : Data Sekunder Desa, 2013-2014

Berdasarkan Tabel 4 tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk dari kedua desa hanya mengenyam bangku sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan di kedua desa penelitian adalah rendah. Meski lokasi penelitian tidak seberapa jauh dari pusat kabupaten yang memiliki sarana dan prasarana pendidikan yang lebih memadai, tetapi tingkat kesejahteraan masyarakat adalah faktor utama dalam terpenuhinya kebutuhan akan pendidikan tersebut.

Kemudian berdasarkan data sekunder lain Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik diketahui bahwa jenis mata pencaharian yang mendominasi di kedua desa adalah wirausaha. Meski kedua lokasi penelitian adalah wilayah pedesaan tetapi keragaman aktivitas ekonomi sudah semakin pesat tidak lagi hanya mengandalkan sektor pertanian. Berikut daftar tabel jenis pekerjaan yang dilakukan oleh masyarakat desa lokasi penelitian:

Sumber : Data Sekunder Desa, 2013-2014

Gambar 3 Persentase sebaran mata pancaharian penduduk di Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik tahun 2013-2014

9% 6% 20% 10% 55% 7% 14% 18% 5% 65%

Petani Buruh tani Pedagang PNS Wirausaha lain

Berdasarkan Gambar 3 tersebut dapat diketahui bahwa dominasi pekerjaan rumahtangga desa lokasi penelitian adalah dengan berwirausaha yaitu sebesar 55% di Desa Bojongrangkas dan 65% di Desa Cihideung Udik. Jenis wirausaha yang dilakukan bermacam-macam tentunya, tetapi yang lebih mendominasi adalah dalam bidang industri yaitu industri kecil menengah tas di Desa Bojongrangkas dan industri kecil menengah jaket di Desa Cihideung Udik. Meski tidak semua memiliki usaha tetapi para pekerja yang bekerja pada usaha tersebut juga adalah penduduk desa asli. Sedangkan dalam bidang pertanian hanya menempati sebagaian kecil dari persentase keseluruhan. Hal tersebut banyak disebabkan karena lahan pertanian yang sudah banyak terkonversi menjadi lahan pemukiman sehingga peluang usaha dalam bidang tersebut semakin sempit. Seperti penuturan salah seorang responden berikut ini:

“Bagaimana mau bertani dek, lahan pertaniannya saja sudah tidak ada semua dijadikan rumah-rumah. Kalau pun ada yang masih tersisa pasti sudah dibeli oleh orang kota untuk dijadikan investasi. Kalo kita-kita gini sih ya paling jadi buruh tani saja, gajinya gak seberapa buat makan sehari-hari aja kurang. Makanya warga sini lebih banyak bikin tas. Alhamdulillah orderan ada terus walaupun kadang dapat besar kadang dapat kecil ya gak apa-apa” (Bapak Ace, 50thn)

Sedikit berbeda dengan Desa Bojongrangkas, Desa Cihideung Udik masih memiliki lahan pertanian yang cukup luas. Tetapi penghasilan yang didapat dari hasil bertani tidaklah cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan rumahtangga sehari-hari. Kondisi gagal panen pun sering dialami oleh warga Desa Cihideung Udik akibat serangan hama atau lain sebagainya. Untuk itu menjadi pengrajin jaket adalah pilihan yang tepat untuk menambah pemasukan rumahtangga.

Gambaran Umum Industri Kecil Menengah Tas Dan Jaket

Sejarah Berdirinya Industri

Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik di wilayah Kabupaten Bogor memang sudah terkenal sebagai sentra penghasil tas dan jaket sejak tahun 90-an, tetapi sebelumnya tidak sebanyak seperti sekarang ini. Hanya sekitar 10 pengrajin saja di tiap desa dengan berbekal pengalaman bekerja di kota–kota besar seperti Jakarta. Namun setelah masa orde baru selesai ketika terjadi demonstrasi besar-besaran untuk menurunkan Presiden Soeharto yang kala itu masih menjabat sekitar tahun 1998, banyak penduduk desa yang awalnya bekerja di Jakarta akhirnya memutuskan untuk pulang kampung.

Pabrik-pabrik tempat mereka bekerja banyak yang mengalami gulung tikar akibat terjadinya krisis moneter, pilihan untuk kembali ke kampung halaman adalah yang paling tepat saat itu. Berbekal pengalaman bekerja di pabrik-pabrik konversi di Jakarta, akhirnya sebagian dari mereka mulai membangun kembali pekerjaan tersebut di desa tempat tinggalnya, dan akhirnya sampailah pada saat sekarang ini masih terus ada dan berkembang seperti penuturan responden berikut.

“awal mula usaha tas ini sebenarnya dari orangtua dulu, dimana

mereka bekerja di suatu konveksi di daerah Jakarta merasa berat bila harus terus tinggal di Jakarta dan jauh dari keluarga. Akhirnya mereka meminta untuk membawa pulang saja pekerjaannya ini ke rumah, baru kemudian dikirim kembali ke Jakarta. selanjutnya mereka yang merasa sudah cukup ilmu dan pengalaman dalam industri tas ini akhirnya memutuskan untuk mendirikan sendiri usaha tas dengan dibantu oleh orang-orang terdekat”(Bapak Ens, 45thn)

Begitu pula yang terjadi di Desa Cihideung Udik, bahkan untuk kasus Desa Cihideung Udik, industri kecil jaket ini sudah mulai ada sekitar tahun 80-an. Awal berdirinya juga memiliki kesamaaan dengan Desa Bojongrangkas yaitu berbekal pengalaman bekerja di Jakarta dan Bandung lalu para pengrajin mulai membuat jaket di desa asal mereka. Pada awalnya hanya menjadi buruh saja tetap mengambil pekerjaan dari Jakarta kemudian dibawa ke rumah dan dikirim kembali. Tetapi kemudian mulai banyak yang membuka sendiri usahanya tanpa menginduk atau bergantung pada Bos di Jakarta. Berikut pengalaman salah satu responden pengrajin jaket.

Jenis Industri Kecil

Industri kecil yang berkembang di kedua desa lokasi penelitian yaitu berupa industri kecil tas dan jaket. Berdasarkan klasifikasinya industri kecil adalah yang memiliki tenaga kerja antara 5 sampai dengan 20 orang. Menurut hasil penelitian yang dilakukan sebelumnya, memang sebagaian besar adalah industri kecil tetapi ada juga yang yang berskala sedang atau menengah yaitu yang memiliki tenaga kerja lebih dari 20 sampai 99 orang tetapi jumlahnya hanya sedikit. Kemudian tipe industri kecil yang terdapat di kedua lokasi penelitian sebagaian besar adalah industri non formal. Dimana dalam kegiatan industri tersebut sebagian besar tidak memiliki ijin usaha yang sah, bahkan terdaftar di kantor desa saja tidak.

Hal ini sebenarnya bukan semata-mata karena kekurang pahaman penduduk desa akan pentingnya ijin usaha tersebut tetapi juga dikarenakan dari pihak aparat pemerintah desa yang kurang memperhatikan. Selain itu juga menurut penuturan salah seorang warga desa proses membuat surat perijinan cukup rumit dan pada akhirnya akan membuat tempat usaha mereka terkena pajak, sehingga sebagian besar dari mereka memutuskan untuk tidak membuat ijin

“awalnya ya cuma coba-coba seperti bapak saya dulu, selain

mengerjakan kerjaan yang dibawa dari Jakarta beliau juga membuat sendiri jaket-jaket yang kemudian dipasarkan sendiri di sini. Nah dari situlah banyak orang tahu kemudian banyak yang mulai memesan. Terlebih lagi setelah demonstrasi gede-gedean tahun 1998 di Jakarta makin banyak penduduk desa yang mendirikan usaha jaket ini karena pabrik-pabrikk konveksi tempat mereka kerja banyak yang tutup karena bangkrut. Dan akhirnya sampai sekarang inilah masih terus ada dan berkembang” (Bapak Edn, 35thn)

usaha tersebut. Jumlah industri berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor, pada industri kecil formal dan non formal adalah sebagai berikut :

Tabel 5 Jumlah dan profil industri kecil formal dan non formal di Kabupaten Bogor tahun 2012 Kelompok Industri Jenis Industri Unit Usaha Investasi (Rp) Tenaga Kerja (Jiwa)

Formal Industri tekstil 65 1.387.910.000 1 523

Industri kulit 8 518.750.000 97

Non Formal Industri tekstil 127 277.479.721 602

Industri kulit 295 647.282.670 1 232

Sumber :www.kotabogor.go.id/investasi/industri

Data diatas menunjukan bahwa jumlah industri kecil non formal jauh lebih banyak dibanding industri formal, namun nilai investasi yang dihasilkan lebih kecil dari sektor formal. Kemudian agar tempat usaha mereka terbebas dari pajak usaha, strategi yang dilakukan adalah membawa pekerjaan ke rumah masing- masing sehingga skalanya menjadi skala rumahtangga atau skala yang lebih kecil. Baik dalam industri tas di Desa Bojongrangkas maupun jaket di Desa Cihideung udik, sebagian besar mengerjakan pekerjaan di rumah masing-masing sehingga tidak menggunakan satu tempat besar seperti pabrik.

Para pengrajin yang memiliki tenaga kerja lebih dari 10 orang biasanya menyuruh pegawai-pegawainya untuk mengerjakan pekerjaan di rumah mereka masing-masing. Tetapi ada juga yang memang skalanya termasuk industri sedang dan mempunyai tempat usaha yang besar dan jumlah tenaga kerja yang mencapai 30 orang namun bentuknya seperti rumah tidak berbentuk layaknya sebuah pabrik. Dari kedua desa penelitian yang memiliki tempat usaha seperti itu hanyalah sedikit, hanya satu sampai dua tempat saja.

Industri Tas Bojongrangkas

Kegiatan industri kecil menengah di Desa Bojongrangkas yaitu berupa industri tas. Berbagai jenis tas diproduksi di desa ini sebagai contoh : tas wanita, tas promosi, tas travel, jenis-jenis tas menengah ke bawah dan menengah ke atas juga dibuat di sini. Dengan menggunakan alat-alat yang relatif sederhana dan mudah ditemukan para pekerja dan pengrajin tas ini melakukan pekerjaannya dengan sangat tekun. Berbagai orderan baik itu dari perorangan maupun membawa nama perusahaaan/instansi datang ke tempat usaha mereka. Pesanan yang datang tidak hanya berasal dari sekitar Bogor saja melainkan luar Bogor seperti Tangerang, Bekasi, Jakarta, bahkan hingga Kalimantan.

Para pemesan tersebut mendapat informasi seputar industri tas di Desa Bojongrangkas berdasarkan informasi dari jaringan sosial yang terbentuk antar pengrajin dan pemesan, bahkan informasi yang tersebar dari mulut ke mulut pun menjadi salah satu sumber penyebaran informasi seputar kegiatan industri ini. Selain itu jaringan pertemanan antar sesama pengrajin juga membuka peluang lebih besar untuk mencari konsumen. Seperti misalnya perusahaan kosmetik

banyak yang berdatangan untuk mengorder tas promosi yaitu Ponds, SK II, dan lain sebagainya pernah memesan tas-tas promosi untuk produk mereka ke desa Bojongrangkas. Tidak hanya konsumen dari instansi-instansi konsumen perorangan pun sering kali berdatangan langsung untuk memesan tas ke Desa Bojongrangkas, biasanya mereka datang mencari produk yang sama kualitasnya seperti di mall-mall tetapi dengan harga yang relatif lebih terjangkau.

Terdapat 30 unit usaha industri tas maupun jaket yang dapat diidentifikasi dengan status milik pribadi dan bersifat non formal. Tetapi tidak semua pemilik usaha tersebut dapat ditemui karena kesibukan masing-masing. Agar lebih memudahkan, penulis mewawancarai anggota keluarga dari pemilik usaha tersebut untuk memperoleh informasi sebenar-benarnya mengenai usaha industri yang dimiliki oleh rumahtangga. Setiap pemilik usaha memiliki tenaga kerja dengan jumlah yang berbeda-beda. Sebagian besar tenaga kerja yang bekerja di industri kecil menengah tas di Desa Bojongrangkas adalah berasal dari desa itu sendiri meski ada pula yang berasal dari luar desa tetapi masih di wilayah Kecamatan Ciampea. Semakin dekat tempat tinggal tenaga kerja tersebut akan semakin memudahkan dalam melakukan pekerjaan, serta tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menjangkau tempat bekerja. Berikut tabel jumlah dan persentase asal tempat tinggal dari tenaga kerja industri tas Bojongrangkas berdasarkan hasil survey penelitian:

Tabel 6 Jumlah dan persentase asal tenaga kerja pada industri tas di Desa Bojongrangkas tahun 2013-2014

Asal Tenaga Kerja Jumlah %

Dalam desa 25 71,43

Luar desa 2 5,72

Keduanya 8 22,85

Total 35 100,00

Sumber: Data Primer (diolah), 2013-2014

Hubungan yang terjalin antara pemilik usaha dengan pegawai atau tenaga kerja sangatlah beragam yaitu berdasarkan hubungan keluarga, tetangga, pertemanan maupun atas dasar pekerjaan itu sendiri. Kemampuan pengrajin dan para pegawainya dalam membuat tas rata-rata karena belajar dengan anggota keluarga yang juga menekuni pekerjaan ini, tidak ada kursus-kursus yang mereka ikuti, meskipun ada hanya sebagian kecil saja yang mengikuti dan itu pun bila diselenggaran kursus atau pelatihan UMKM dari pemerintah daerah. Informasi ini didapatkan menurut salah satu responden.

Kondisi tempat usaha yang berlokasi di wilayah pedesaan sedikit mempengaruhi kegiatan produksi tas, seperti halnya dalam mengadaan bahan baku khususnya bahan baku utama. Bahan baku tas yaitu kulit sintesis kurang dapat ditemui di sekitar wilayah pedesaan sehingga harus dibeli di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Depok. Dengan demikian para pengrajin tersebut harus mengeluarakan biaya lebih untuk dapat membeli bahan baku karena biaya transportasi yang dikeluarkan pun lebih besar.

Industri Jaket Cihideung Udik

Sama halnya dengan Desa Bojongrangkas, industri jaket di Desa Cihideung Udik juga berkembang dengan skala yang kecil hingga menengah. Di desa ini tidak hanya sebatas jaket saja yang diproduksi tetapi sweeter, jas, kemeja lapang juga turut diproduksi. Pesanan yang datang untuk kasus industri jaket adalah sebagian besar dari lembaga/instansi/perusahaan yang memesan seragam baik dalam bentuk jaket ataupun kemeja lapang. Banyak dijumpai jaket-jaket dan kemeja lapang pesanan mahasiswa IPB saat penulis mengunjungi para pengrajin.

Selain dari pada itu perusahaan kendaraan bermotor juga banyak yang menjadi salah satu pelanggan tetap industri jaket di Desa Cihideung Udik, seperti halnya Dealer Motor Honda dan Dealer Motor Yamaha. Dimana setiap tahunnya selalu memproduksi jaket untuk dibagikan kepada setiap pembeli produk mereka. Kemudian dalam aspek asal tenaga kerja pada industri jaket Cihideung Udik pun diketahui sebagain besar berasal dari dalam desa itu sendiri. Persentasenya mencapai sebanyak 63% dari total responden pengrajin yang diwawancari memiliki tenaga kerja asal dalam desa sendiri. Tak jauh berbeda dengan desa Bojongrangkas pengrajin dan pekerja dalam industri jaket ini juga memiliki keterampilan menjahit tidak dengan mengikuti kursus melainkan belajar karena pengalaman bekerja dengan oranglain atau dengan keluarga sendiri.

Pada persoalan bahan baku utama, harga di pasaran selalu naik tetapi harga jual jaket masih tetap sama menjadi salah satu kesulitan yang dirasakan oleh pengrajin jaket. Lokasi desa yang tidak memungkinkan tersedianya bahan baku juga menjadi kendala, para pengrajin sebagain besar mendapatkan bahan baku dari Jakarta seperti Tanah Abang, Pasar Senen dan Depok. Berikut data asal perolehan bahan baku pengrajin jaket Cihideung Udik :

Tabel 7 Jumlah dan persentase responden menurut asal perolehan bahan baku pada industri jaket di Desa Cihideung Udik tahun 2013 - 2014

Asal Bahan Baku Jumlah %

Dari dalam desa 12 34,25

Luar desa (luar Bogor) 16 45,75

Keduanya 7 20,00

Total 35 100,00

Sumber : Data Primer (diolah), 2013-2014

Ikhtisar

Desa Bojongrangkas dan Desa Cihideung Udik merupakan desa yang berada di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Letak kedua desa tidak begitu jauh dapat ditempuh dengan waktu kurang dari 15 menit menggunakan angkutan umum. Kondisi fisik jalan menuju kedua desa sudah cukup baik dan ditambah sudah terdapat angkutan umum yang dapat mencapai ke lokasi desa yang lebih dalam meski angkutan umum tersebut baru ada sekitar tahun 2005, sebelum ada angkutan umum penduduk memanfaatkan jasa angkutan ojek yang berasal dari

warga asli daerah atau juga bisa ditempuh dengan berjalan kaki melewati jalan- jalan pintas seperti persawahan. Kini dengan tersedianya angkutan umum dapat mempermudah mobilitas warga untuk keluar masuk desa.

Mayoritas masyarakat dari kedua desa tersebut bermata pencaharian sebagai wirausaha baik di dalam bidang industri, berdagang ataupun jasa. Bidang pertanian juga masih ada, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti lahan pertanian yang semakin menyempit karena pemukiman selain itu, pendapatan yang dihasilkan pun tidak mampu lagi untuk dijadikan tumpuan utama bagi rumahtangga masyarakat kedua desa. Bidang industri tas dan jaket yang berkembang di kedua desa telah banyak berpengaruh bagi penduduk desa untuk mendapat penghasilan tambahan atau bahkan menjadi tumpuan utama pendapatan ruamahtangga penduduk desa.

Dilihat dari segi pendidikan dapat dikatakan pendidikan di kedua desa masih rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mendasar yaitu faktor ekonomi keluarga penduduk desa yang tidak mampu untuk menyekolahkan anak- anak mereka. Selain itu kesadaran akan pentingnya pendidikan pun masih kurang, anggapan bahwa pendidikan tidak penting bagi perempuan karena pada akhirnya hanya akan mengurus rumahtangga masih terdapat dipikiran penduduk desa tersebut. Kemudian sarana dan prasaran pun masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penduduk desa yang lebih dari 11.000 jiwa, tentunya sangat tidak sebanding dengan jumlah unit sekolah tidak mencapai 10 unit. Dari kedua desa di lokasi penelitian banyak ditemukan kesamaan situasi dan kondisi dalam kegiatan industri kecil menengah yang berkembang disana, antara lain yaitu asal tenaga kerja yang sebagian besar adalah berasal dari dalam desa masing- masing.

Keterampilan dalam membuat tas dan jaket didapat karena belajar sendiri atau autodidak atau belajar dengan keluarga sendiri atau teman, sebagian besar dari mereka tidak mengikuti kursus untuk memperoleh keterampilan tersebut. Pekerjaan membuat tas dan jaket itupun diturunkan pada anak dan keluarga sehingga perkembangan usaha ini cukup pesat di wilayah desa masing-masing. Lokasi usaha yang berada di pedesan dalam kenyataannya sama-sama menjadi kendala dalam proses produksi terutama dalam pengadaan bahan baku. Karena bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi tas dan jaket sulit ditemukan di

Dokumen terkait