• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan UMK di Kabupaten Bogor

UMK di Kabupaten Bogor tersebar di 40 kecamatan pada waktu 4 tahun terakhir, jumlah UMK terendah dalam kurun waktu tersebut adalah pada tahun 2010 dengan jumah 1.138 UMK. Kecamatan Caringin merupakan kecamatan dengan jumlah UMK tertinggi di tahun 2010 dengan jumlah mencapai 71 UMK, sedangkan Kecamatan Rumpin menjadi kecamatan terendah dengan jumlah 3 UMK. Jumlah UMK di Kabupaten Bogor meningkat pesat di tahun 2013 sebanyak 1.621 UMK. Jumlah ini merupakan jumlah tertinggi dibandingkan tahun–tahun sebelumnya. Kecamatan di Kabupaten Bogor dengan jumlah UMK tertinggi adalah Kecamatan Cibinong dengan jumlah 95 UMK, sedangkan kecamatan dengan jumlah UMK terendah adalah Kecamatan Suka Makmur dengan jumlah 8 UMK. Kondisi ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

UMK banyak berkembang di Kabupaten Bogor. Hal ini dapat dilihat dari jumlah UMK yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah UMK di Kabupaten Bogor pada tahun 2010 adalah 1.138 unit, jumlah UMK mengalami peningkatan pada tahun 2011, yakni berjumlah 1.239 unit atau sebesar 8,33 persen dari tahun 2010. Jumlah UMK berkurang sebesar 6,48 persen di tahun 2012, ketika jumlah UMK di Kabupaten Bogor berjumlah 1.157 unit, dan puncaknya di

13 tahun 2013 jumlah UMK di Kabupaten Bogor mencapai 1621 unit atau sekitar 39,82 persen dari tahun 2012 (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor disajikan pada Gambar 2.

Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2013.

Gambar 2. Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor 2010-2013

Perkembangan UMK tidak hanya dapat dilihat dari jumlahnya saja tapi dapat dilihat dari jenis produk yang dihasilkan UMK di Kabupaten Bogor yang beraneka ragam, antara lain tas, sepatu, manisan, anyaman, konveksi, olahan daging kelinci, logam, dan produk lainnya. Setiap kecamatan memiliki produk yang berbeda dengan kecamatan lainnya atau memiliki ciri khas tersendiri yang menjadi produk unggulan di tiap kecamatan, contohnya tas (Ciampea, Cariu, dan Tanjungsari), sirup pala (Dramaga), sepatu (Ciomas dan Tamansari), konveksi (Cibungbulang), jeans (Sukamakmur), bunga kering (Tenlojaya dan Leuwi Sadeng), bolu talas (Cibinong), olahan daging kelinci (Cisarua), dan logam (Citeureup).

Produk Unggulan di Kabupaten Bogor adalah tas, dimana terdapat beberapa kecamatan yang memproduksi tas dalam skala besar seperti yaitu Ciampea, Cariu, dan Tanjungsari. Ketiga kecamatan tersebut unggul dalam persaingan memproduksi tas dibandingkan kecamatan lainnya karena mudahnya proses dalam memperoleh bahan baku serta lancarnya pemasaran sehingga tas menjadi produk unggulan di ketiga kecamatan tersebut. Jenis produk unggulan tiap kecamatan di Kabupaten Bogor dapat dilihat di Lampiran 2.

Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa, selain tas terdapat produk unik lainnya, yakni bolu talas yang dihasilkan di kecamatan Cibinong. Dengan menggunakan talas bogor sebagai bahan dasarnya bolu talas yang dihasilkan menjadi produk ciri khas Kabupaten Bogor yang banyak diminati. Tingginya respon masyarakat baik dalam Kabupaten Bogor maupun luar Kabupaten Bogor atas produk bolu talas ini menyumbang cukup besar bagi pemasukan Kabupaten Bogor.

Perkembangan jumlah UMK di Kabupaten Bogor mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Bogor. Pada tahun 2010 tenaga kerja di bidang UMK mencapai 19.789 orang, jumlah ini meningkat 4,70 persen di tahun 2011 dengan jumlah tenaga kerja mencapai 20.721 orang. Pada tahun 2012 jumlah tenaga kerja di bidang UMK mencapai 21.172 orang atau mengalami peningkatan sebesar 2,17 persen (BPS Kabupaten Bogor, 2013). Dengan adanya peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja disetiap tahunnya maka akan mengurangi jumlah pengangguran yang ada. Data ini disajikan pada Tabel 6.

1138 1239 1157 1621 0 500 1000 1500 2000 2010 2011 2012 2013 J um la h UM K ( un it ) Tahun

14

Tabel 6. Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Kabupaten Bogor 2010-2012

Tahun Jumlah tenaga kerja UMK

2010 19.789

2011 20.721

2012 21.172

Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2012.

Karakteristik Pelaku UMK Bidang Pengolahan

Karakteristik pelaku UMK bidang pengolahan pada penelitian ini dibagi berdasarkan tiga kriteria yaitu, lama pendidikan, umur pengusaha UMK, dan pengalaman menjalankan usaha. Lama pendidikan dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu 1 hingga 6 tahun, 7 hingga 9 tahun, 10 hingga 12 tahun, dan lebih dari 12 tahun. Umur para pengusaha dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kelompok umur dibawah 26 tahun, 26 hingga 45 tahun, dan diatas 45 tahun.Pengalaman menjalankan usaha dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu kurang dari tiga tahun, tiga hingga 10 tahun dan lebih dari 10 tahun.

Pelaku UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor mayoritas memiliki pendidikan 10-12 tahun, dengan jumlah 29 UMK atau sebesar 53% dari total keseluruhan. Para pelaku UMK dengan tingkat pendidikan minimal SMA memiliki pengetahuan yang lebih baik dalam menerima hal baru, inovasi, pelatihan dan penyuluhan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Lama pendidikan pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap pendapatan karena dengan pendidikan yang tinggi maka kualitas tenaga kerjanya akan semakin baik, sehingga produk yang dihasilkan semakin baik, hal ini yang akan menyebabkan pendapatan yang diterima meningkat. Persentase distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 7.

24% 18% 53% 5% 1-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun >12 tahun

15 Tabel 7. Persentase distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dan

pendapatan UMK pengolahan Kabupaten Bogor

Karakteristik Tingkat pendidikan (tahun)

Pendapatan (juta) 1-6 tahun 7-9 tahun 10-12 tahun >12 tahun Total

0-100 juta 21,82 12,73 3,64 0,00 38,18

100-500 juta 1,82 5,45 32,73 0,00 40,00

>500 juta 0,00 0,00 16,36 5,45 21,82

Total 23,64 18,18 52,73 5,45 100,00

Pelaku usaha dengan tingkat pendidikan 1-6 tahun dan 7-9 tahun sebagian besar berpenghasilan kurang dari Rp 100 juta. Sedangkan pelaku dengan tingkat pendidikan lebih dari 12 tahun semuanya berpendapatan lebih dari Rp 500 juta. UMK dengan pendapatan kurang dari Rp 100 juta, sebagian besar pelaku usahanya memiliki tingkat pendidikan dibawah 10 tahun. Sedangkan UMK dengan pendapatan lebih dari Rp 100 juta, sebagian besar pelaku usahanya memiliki tingkat pendidikan lebih dari 10 tahun. Artinya tingkat pendidikan dapat mempengaruhi pendapatan yang diterima.

Karakteristik umur pengusaha dapat dikaitkan dengan karateristik pengalaman menjalankan usaha. Kelompok pelaku UMK yang telah memiliki pengalaman usaha lebih dari 10 tahun, merupakan yang terbanyak yaitu 56,36 persen, sementara para pelaku usaha paling banyak berusia 26-45 tahun sebesar 65,45 persen. Semua pelaku yang menjalankan usaha kurang dari tiga tahun berusia di bawah 26 tahun, artinya para pelaku usaha muda ini masih butuh waktu untuk terus menambah pengalaman dalam menjalankan usahanya. UMK di Kabupaten Bogor dapat berkembang dengan baik, karena usia pelaku UMK yang masih produktif (26-45 tahun) dan pengalaman menjalankan usahanya sudah lebih dari 10 tahun. Sehingga para pelaku dapat meningkatkan produktivitas, kinerja dan memperluas jaringan untuk mengembangkan usahanya. Tabel 8 memperlihatkan pengalaman menjalankan usaha dan umur pengusaha.

Tabel 8. Persentase distribusi responden berdasarkan umur pengusaha dan pengalaman menjalankan usaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

Karakteristik Umur pengusaha (tahun)

Pengalaman (tahun) <26 tahun 26-45 tahun >45 tahun Total

<3 tahun 7,27 0,00 0,00 7,27

3-10 tahun 0,00 30,91 5,45 36,36

>10 tahun 0,00 34,55 21,82 56,36

Total 7,27 65,45 27,27 100,00

Pada pengambilan sampel 55 UMK di Kabupaten Bogor, sebesar 65,45 persen atau 36 UMK dijalankan oleh pengusaha dengan kelompok umur 26-45 tahun. Mayoritas UMK dijalankan oleh pelaku usaha dengan kelompok umur produktif (sesuai data dari BPS umur produktif 15-50 tahun). Sehingga usaha yang dijalankan bisa lebih berkembang atau produktif. Persentase umur pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 4.

16

Gambar 4. Umur pengusaha UMK pengolahan di Kabupaten Bogor Pelaku UMK pada umumnya menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara saat penelitian yang menunjukkan bahwa 56,36 persen atau 31 pelaku UMK sudah menjalankan usahanya lebih dari 10 tahun. Rentang waktu tersebut berdampak positif pada pelaku usaha karena pengalaman yang dimiliki oleh para pelaku usaha dapat membuat mereka lebih mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya. Data ini disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pengalaman menjalankan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor Pengalaman menjalankan usaha membuat para pelaku usaha sanggup menjalankan usaha dan menyelesaikan persoalan dengan baik. Selain itu, dengan adanya pengalaman selama menjalankan usaha, para pelaku usaha sudah mengetahui segala sesuatu usahanya, sehingga dapat membuat usaha yang dijalankannya menjadi lebih baik lagi. Persentase distribusi responden berdasarkan pengalaman menjalankan usaha dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Persentase distribusi responden berdasarkan pengalaman menjalankan usaha dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

Karakteristik Pengalaman menjalankan usaha (tahun)

Pendapatan (juta) < 3 tahun 3-10 tahun >10 tahun Total

0-100 juta 7,27 16,36 14,54 38,18

100-500 juta 0,00 20,00 20,00 40,00

>500 juta 0,00 0,00 21,82 21,82

Total 7,27 36,36 56,36 100,00

Pelaku UMK dengan pengalaman kurang dari 3 tahun semuanya berpendapatan kurang dari 100 juta. Pelaku dengan pengalaman 3-10 tahun paling

7.27% 65.45% 27.27% < 26 tahun 26 - 45 tahun > 45 tahun 7.27% 36.36% 56.36% < 3 tahun 3-10 tahun > 10 tahun

17 banyak berpendapatan 100-500 juta. Pengalaman diatas 10 tahun paling banyak berpendapatan lebih dari 500 juta. Artinya, UMK yang pendapatannya lebih dari 500 juta pelakunya sudah berpengalaman lebih dari 10 tahun, sedangkan yang pendapatannya kurang dari 100 juta pengalamannya kurang dari 3 tahun. Hal ini berarti pengalaman untuk menjalankan usaha sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima.

Karakteristik Usaha UMK Bidang Pengolahan

Karakteristik usaha UMK bidang pengolahan dibagi berdasarkan kepemilikan izin, kemitraan, bentuk kemitraan, program pemerintah, sumber tenaga kerja, jumlah tenaga kerja, sumber modal awal, dan alur pemasaran. Bentuk kemitraan dibagi menjadi lima kategori yaitu pendampingan, pelatihan, pemasaran, pinjaman modal, dan pengadaan bahan baku. Sumber tenaga kerja dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu berasal dari keluarga, luar keluarga, serta gabungan dari keluarga dan luar keluarga. Sumber modal dikelompokkan menjadi modal pribadi, pinjaman selain bank, dan modal pribadi dan pinjaman bank.

UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor sebanyak 69,09 persen diantaranya memiliki izin usaha atau berjumlah 38 UMK dari total 55 UMK bidang pengolahan yang ada. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan UMK bidang pengolahan yang tidak memiliki izin usaha sebanyak 30,91 persen atau 17 UMK. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Kepemilikan izin usaha pada UMK pengolahan di Kabupaten Bogor Kepemilikan izin usaha sangat erat kaitannya dengan legalitas usaha, izin untuk produk, serta pendataan pada dinas terkait. Namun pada kenyataannya, masih terdapat UMK yang tidak memiliki izin usaha. UMK dengan penghasilan tinggi seharusnya sudah memiliki izin usaha. Persentase distribusi responden kepemilikan izin usaha dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Persentase distribusi responden kepemilikan izin usaha dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

Karakteristik Izin usaha

Pendapatan (juta) Ya Tidak Total

0-100 juta 20,00 18,18 38,18 100-500 juta 27,27 12,73 40,00 >500 juta 21,82 0,00 21,82 Total 69,09 30,91 100,00 69.09% 30.91% Ya Tidak

18

UMK yang memiliki izin usaha paling banyak berpenghasilan 100-500 juta yaitu 27,27 persen, sedangkan yang tidak memiliki izin berpenghasilan 0-100 juta sebesar 18,18 persen. UMK yang berpenghasilan diatas 500 juta semuanya memiliki izin usaha. Artinya, UMK yang berpenghasilan tinggi sudah memiliki izin usaha dan yang berpenghasilan rendah tidak memiliki izin usaha.

Dari 55 responden pelaku usaha 25,45 persen diantaranya memilih untuk bermitra dengan UKM maupun perusahaan manapun tetapi 74,55 persen para UMK memilih untuk tidak bermitra. Hal ini membuktikan bahwa di Kabupaten Bogor para pelaku usaha belum mendapatkan dukungan dari pemerintah. Para pelaku UMK yang memilih bermitra agar memperoleh kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku, meningkatkan kualitas pelaku usaha, dan untuk mendapatkan modal usaha. Dengan adanya kemitraan ini, para pelaku usaha berharap usaha yang dijalankan dapat lebih berkembang. Persentase adanya kemitraan disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Kemitraan pada UMK pengolahan Kabupaten Bogor

Kemitraan merupakan jalinan kerja sama usaha yang merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperbesar, dan saling menguntungkan. Adanya kemitraan pada UMK pengolahan di Kabupaten Bogor diharapkan dapat meningkatkan pendapatan yang diterima oleh pelaku usaha. Persentase distribusi responden berdasarkan kemitraan dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Persentase distribusi responden berdasarkan kemitraan dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

Karakteristik Kemitraan

Pendapatan (juta) Ya Tidak Total

0-100 juta 0,00 38,18 38,18

100-500 juta 3,63 36,36 40,00

>500 juta 21,82 0,00 21,82

Total 25,45 74,55 100,00

UMK yang berpendapatan dibawah 100 juta semuanya tidak bermitra, sedangkan yang berpendapatan diatas 500 juta semuanya bermitra artinya kemitraan dapat meningkatkan pendapatan yang diterima oleh pelaku UMK. Bentuk kemitraan yang dilakukan oleh para pelaku UMK di Kabupaten Bogor adalah dalam hal pemasaran. Sehingga para pelaku lebih mudah memasarkan produknya yang berdampak pada meningkatnya pendapatan yang diterima.

25.45% 74.55%

Ya Tidak

19 Dari 25,45 persen pelaku usaha yang bermitra ternyata bentuk kerjasama dengan perusahaan atau UMK lain paling dominan pada sisi pemasaran, sebesar 57,14 persen dari total keseluruhan, dengan tujuan untuk memperluas pasar. Adapun bentuk kemitraan lainnya seperti pendampingan, pelatihan, peminjaman modal, serta pengadaan bahan baku. Bentuk kemitraan UMK pengolahan disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Bentuk kemitraan UMK pengolahan Kabupaten Bogor

Pada UMK pengolahan 81,82 persen diantaranya tidak mendapatkan bantuan program dari pemerintah sedangkan sisanya sebesar 18,18 persen atau 10 UMK mendapatkan bantuan dari pemerintah. Keenam UMK tersebut mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa program penyuluhan. Hal ini menunjukkan bahwa masih kurangnya partisipasi pemerintah dalam upaya pengembangan UMK yang ada di Kabupaten Bogor. Sementara dalam pelaksanaan usaha, sangat diperlukan bantuan dari pemerintah dalam segala hal, terutama bantuan modal untuk para pelaku usaha. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Adanya program pemerintah pada UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

Program pemerintah yang diberikan kepada UMK pengolahan berupa penyuluhan dan pelatihan yang bertujuan meningkatkan kualitas pelaku usaha. Peningkatan kualitas akan mempengaruhi produk yang dihasilkan sehingga akan meningkatkan pendapatan yang diterima oleh pelaku usaha. Persentase distribusi responden berdasarkan program pemerintah dan pendapatan dapat dilihat pada Tabel 12. 14.29% 7.14% 57.14% 14.29% 7.14% Pendampingan Pelatihan Pemasaran Pinjaman modal Pengadaan bahan baku

18.18%

81.82%

Ya Tidak

20

Tabel 12. Persentase distribusi responden berdasarkan program pemerintah dan pendapatan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

Karakteristik Program pemerintah

Pendapatan (juta) Ya Tidak Total

0-100 juta 0,00 38,18 38,18

100-500 juta 1,82 38,18 40,00

>500 juta 16,36 5,45 21,82

Total 18,18 81,82 100,00

UMK yang berpendapatan dibawah 100 juta semuanya tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah sedangkan yang memiliki pendapatan diatas 500 juta sebesar 16,36 persen. Program pemerintah yang diberikan kepada pelaku UMK dalam bentuk penyuluhan. Penyuluhan dapat meningkatkan kualitas para pelaku untuk dapat mengembangkan usahanya sehingga pendapatan yang diterima akan semakin bertambah.

Jumlah tenaga paling banyak yang bekerja pada UMK pengolahan di Kabupaten Bogor adalah lebih dari empat orang, sementara untuk sumber tenaga kerja paling banyak berasal dari luar keluarga. UMK pengolahan di Kabupaten Bogor sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari jumlah UMK yang memiliki tenaga kerja lebih dari empat orang yaitu 52,73 persen dengan 43,64 persen diantaranya berasal dari luar keluarga, artinya keberadaan UMK berpengaruh positif bagi masyarakat, terutama dalam hal penyerapan tenaga kerja. Fakta ini dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Persentase distribusi responden berdasarkan jumlah dan sumber tenaga kerja UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

Karakteristik Sumber tenaga kerja

Jumlah Dalam keluarga Luar keluarga Dalam dan luar keluarga Total

1-2 orang 5,45 9,09 0,00 14,55

3-4 orang 14,55 16,36 1,82 32,73

>4 orang 5,45 43,64 3,64 52,73

Total 25,45 69,09 5,45 100,00

Tenaga kerja yang bekerja pada UMK pengolahan di Kabupaten Bogor mayoritas berasal dari luar keluarga sebesar 69,09 persen dari total keseluruhannya. Hal ini menunjukkan UMK di Kabupaten Bogor sudah dapat membuka lapangan kerja walaupun kecil untuk orang-orang di luar keluarga sehingga berdampak positif untuk mengurangi jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor. Sebesar 25,45 persen para pelaku UMK menggunakan tenaga kerja yang berasal dari keluarga mereka sendiri. Tenaga kerja gabungan yang berasal dari keluarga dan luar keluarga sebesar 5,45 persen. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 10.

21

Gambar 10. Sumber tenaga kerja pada UMK pengolahan di Kabupaten Bogor UMK bidang pengolahan sudah sangat berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja. Dari 55 UMK sampel jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 518 orang. Hal ini tentunya sangat membantu dalam pengurangan jumlah pengangguran yang ada di Kabupaten Bogor. UMK bidang pengolahan di Kabupaten Bogor, 52,73 persen atau 29 UMK menggunakan lebih dari empat pekerja. Sedangkan 32,73 persen atau 18 UMK menggunakan tiga sampai empat orang pekerja. Sisanya sebesar 14,55 persen hanya menggunakan satu sampai dua orang. Fakta ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

UMK bidang pengolahan ini sebesar 84,31 persen atau 45 UMK tujuan pemasarannya langsung kepada konsumen akhir, sedangkan sisanya sebesar 15,69 persen atau 10 UMK dalam pemasarannya melalui pedagang perantara terlebih dahulu kemudian konsumen akhir. UMK cenderung memasarkan produknya langsung ke konsumen akhir karena usaha yang dijalankan merupakan usaha dengan skala kecil. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Alur pemasaran UMK pengolahan di Kabupaten Bogor 25.45%

69.09% 5.45%

Keluarga Luar Keluarga Keluarga dan Luar Keluarga 14.55% 32.73% 52.73% 1-2 orang 3-4 orang > 4 orang 84.31% 15.69% Konsumen akhir Pedagang perantara dan konsumen akhir

22

Pada UMK bidang pengolahan, sumber modal awal yang digunakan oleh para pelaku UMK sebesar 80 persen atau 44 UMK diantaranya berasal dari modal pribadi. Hal ini dikarenakan para pelaku usaha mikro dan kecil hanya sedikit yang bermitra sehingga bantuan modal tidak ada dari luar maka dari itu modal berasal dari pribadi. Di sisi lain, pelaku usaha menggunakan modal pribadi karena jumlah modal yang diperlukan cenderung kecil, sesuai dengan kriteria usaha yang dijalankan sedangkan 7 UMK atau sebesar 12,73 persen modal berasal dari pinjaman selain bank. Sisanya sebesar 4 UMK atau sebesar 7,27 persen modal berasal dari gabungan dari pribadi dan pinjaman bank. Hal ini dapat disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Sumber modal awal UMK pengolahan di Kabupaten Bogor Kendala yang Dihadapi UMK Bidang Pengolahan

Kendala yang dihadapi oleh UMK pengolahan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu kendala permodalan, kendala produksi, dan kendala pemasaran. Kendala permodalan dibagi menjadi empat kategori yaitu keterbatasan modal, tidak memiliki informasi pinjaman modal, sulit mengakses pinjaman ke bank, dan bunga pinjaman yang tinggi. Pada kendala produksi dibagi menjadi enam kategori yaitu bahan baku yang terbatas, pasokan bahan baku yang tidak kontinu, harga bahan baku yang meningkat, alat produksi yang kurang memadai, alat produksi yang rusak, dan permasalahan terkait tenaga kerja. Pada kendala pemasaran yang dihadapi oleh UMK dibagi menjadi penundaan pembayaran oleh pembeli, pemutusan hubungan dengan pelanggan, selera pelanggan yang berubah, harga jual berfluktuasi, permintaan produk yang menurun, persaingan dengan pelaku usaha lain, dan sarana transportasi yang kurang memadai.

Kendala terbesar yang dihadapi oleh UMK pengolahan di Kabupaten Bogor yaitu keterbatasan modal sebesar 38,18 persen atau 21 UMK dari total keseluruhannya. Hal ini membuat para pelaku usaha mengalami kesulitan untuk menjalankan usahanya, karena modal sangat diperlukan untuk menjalankan sebuah usaha. Kendala permodalan merupakan kendala tersulit diantara kendala lainnya.Selain itu kendala modal yang dihadapi adalah kesulitan untuk mengakses pinjaman ke bank karena birokrasi yang sulit sebesar 27,27 persen atau sebesar 15 UMK. Birokrasi yang sulit tentunya sudah sering dialami oleh para pelaku usaha, karena untuk dapat menerima pinjaman dari pihak bank diperlukan berbagai persyaratan yang sulit dipenuhi oleh para pelaku usaha.

Kemudian bunga pinjaman yang tinggi sebesar 25,45 persen atau 14 UMK dari total keseluruhan. Para pelaku usaha akan semakin kesulitan dalam menjalankan usahanya, karena bunga pinjaman yang tinggi akan menyebabkan

80.00% 12.73% 7.27% Pribadi Pinjaman selain bank Pribadi dan Pinjaman bank

23 para pelaku usaha kesulitan untuk mengembalikan pinjaman. Kendala terakhir yang dihadapi adalah tidak memiliki informasi untuk pinjaman modal sebesar 9,09 persen atau 5 UMK. Kendala permodalan UMK pengolahan dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Kendala permodalan UMK pengolahan di Kabupaten Bogor UMK bidang pengolahan menghadapi beberapa kendala pada proses produksi. Kendala terbesar yang dihadapi adalah harga bahan baku yang meningkat, sebesar 27,27 persen dari total UMK bidang pengolahan memilih faktor ini sebagai faktor yang paling mempengaruhi produksi. Kenaikan harga bahan baku secara langsung akan mengakibatkan biaya yang dikeluarkan dalam menjalankan usaha ikut meningkat. Hal ini juga yang pada akhirnya menyebabkan harga jual produk yang dihasilkan ikut meningkat, sehingga konsumen menjadi enggan untuk membeli.

Kendala yang dihadapi berikutnya adalah kesulitan memperoleh bahan baku, pasokan bahan baku yang tidak menentu. Sangat penting bagi para pelaku usaha untuk dapat memiliki pasokan bahan baku dalam jumlah yang tetap, karena pasokan bahan baku yang tidak menentu akan menyebabkan jumlah produk yang dihasilkan menjadi tidak menentu yang pada akhirnya akan mengakibatkan harga jual produk menjadi tidak menentu.

Usaha mikro dan kecil di Indonesia umumnya masih menggunakan teknologi tradisional dalam bentuk mesin-mesin tua atau alat-alat produksi yang sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya membuat rendahnya total factor productivity dan efisiensi di dalam proses produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat sehingga kendala yang dihadapinya yaitu dan permasalahan terkait tenaga kerja. Fakta ini dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15. Kendala produksi UMK pengolahan di Kabupaten Bogor

38.18% 9.09% 27.27% 25.45% Modal terbatas Tdk memiliki informasi pinjaman modal Sulit mengakses pinjaman ke bank Bunga pinjaman tinggi

12.73% 9.09% 27.27% 14.55% 20.00% 16.36% Bahan baku/penolong terbatas/sulit diperoleh Pasokan bahan baku/penolong tidak kontinu

Harga bahan baku yang meningkat

Alat/mesin produksi kurang memadai

Alat/mesin produksi rusak/usang

Permasalahan terkait tenaga kerja

24

Kendala dalam pemasaran terbesar yang dihadapi oleh UMK adalah adanya persaingan dengan pelaku usaha atau produk lain sebesar 29,09 persen atau 16

Dokumen terkait