• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Kerja MMP

Dalam dokumen BAB 2 SKETSA KONTEKS SOSIAL DI TANAH PAPUA (Halaman 56-60)

KONSTRUKSI IDENTITAS MUSLIM PAPUA

3.4 Diskursus Identitas Muslim Papua

3.4.3 Program Kerja MMP

Strategi pelaksanaan program kerja MMP adalah mencakup:52 (1) bertumpu kepada pengembangan masyarakat muslim di seluruh Tanah Papua, (2) berpusat pada masjid, sebagai pusat pengembangan umat, (3) mendinamisasikan berbagai prasyarat substansial dalam kerangka mewujudkan Papua sebagai tanah damai, (4) menghargai, menghormati dan memperkuat kerja-kerja keumatan yang dilakukan oleh berbagai institusi Islam lainnya di tanah Papua, (5) menghargai dan memperkuat kerja-kerja keumatan di tanah Papua yang dilakukan oleh berbagai institusi sosial kemasyarakatan maupun keagamaan lainnya.

Adapun pokok-pokok program kerja MMP adalah sebagai berikut: (1) memperjuangkan penegakan hak azasi manusia, hak ekonomi, hak budaya, hak atas keadilan dan emansipasi sosial serta hak-hak sipil politik bagi masyarakat muslim Papua; (2) mencegah terjadinya proses pemiskinan manusia dan penghisapan sumber daya alam secara tidak bertanggungjawab; (3) membina kerukunan dan suasana hidup harmonis atas dasar solidaritas sebagai sesama masyarakat adat dan sebagai sesama umat beragama.

Lima poin selanjutnya adalah: (4) membina tata kehidupan spiritual di kalangan kaum muslim Papua, untuk mencapai kualitas hidup berbudaya, sejahtera lahir dan bathin serta sanggup menjalankan misi Kekhalifahan di tanah Papua; (5) menggalang berkembangnya tatanan kehidupan sosial ekonomi dan kebudayaan dalam lingkup komunitas terkecil setingkat dusun/kampung; (6) kegiatan lain yang relevan dengan visi, tujuan dan komitmen pergerakan Majelis Muslim Papua; (7) pengembangan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan di kalangan muslim Papua yang berada di dusun/kampung; (8) pengembangan

52

Adapun pendekatannya adalah (1) pelayanan, yaitu program kerja MMP sifatnya memberikan pelayanan, baik dalam bentuk sarana dan prasarana serta dalam bentuk lainnya, seperti dakwah dan penelitian, (2) kemandirian, program kerja MMP sifatnya mandiri mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan tanpa keterlibatan atau intervensi dari lembaga lainnya, (3) advokasi, program kerja MMP sifatnya memberikan pendampingan kepada segala permasalahan yanga terkait dengan eksistensi umat muslim di Papua, (4) partisipasi, program kerja MMP melibatkan diri dalam sebuah kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak di luar MMP, (5) kemitraan, program kerja MMP dilaksanakan atas dasar kesepakatan kerjasama dengan pihak di luar MMP, (6) edukasi, program kerja Majelis Muslim Papua dilaksanakan dalam bidang pendidikan non-formal ataupun hal-hal lainnya yang berkaitan dengan bidang pendidikan.

pendidikan dakwah dalam rangka peningkatan pemahaman keagamaan masyarakat muslim Papua.

Sedangkan 6 program kerja yang terakhir adalah: (9) membangun kemitraan strategis dan jaringan kerja serta kerjasama antar ormas Islam, OKP Islam, organisasi keagamaan lainnya, organisasi pemerintah, organisasi non-pemerintah dan indegeneous people organization dalam dan luar negeri; (10) pengembangan kapasitas institusi guna melaksanakan fungsi dan peran secara optimal untuk mencapai tujuan Majelis Muslim Papua; (11) mengupayakan ketersediaan sarana dan prasarana ibadah, baik secara partisipatif dan kemandirian pada wilayah-wilayah potensi pengembangan dakwah; (12) perlu adanya data base potensi umat Islam di Tanah Papua; (13) pengembangan SDM dalam bidang kesehatan di kalangan muslim Papua; (14) perlindungan masalah hak-hak perempuan dan anak muslim Papua.

Merujuk pada Bourdieu (1991), diskursus tentang identitas dalam teks di atas menunjukkan sebagai sebuah performative discourse untuk menciptakan definisi baru yang sah tentang batas-batas sosialnya dan membuat orang-orang mengetahui dan mengakui kelompok tersebut sebagai oposisi dari definisi yang dominan terhadap kelompok tersebut, sehingga definisi baru tersebut diakui dan dianggap absah (Bourdieu (1991: 223). Teks tentang deklarasi, rekomendasi, dan program kerja MMP dapat dipahami sebagai praksis konstruksi identitas Papua yang merupakan relaksi dialektis antara habitus beragama dan habitus politik dengan ranah keagamaan dan ranah politik di Tanah Papua. Kapital yang berperan dalam kedua ranah tersebut tidak lain adalah kapital simbolik yaitu pengakuan terhadap MMP sebagai orang Papua asli. Diskursus ini dapat diartikan sebagai diskursus yang dipahami dan digunakan sebagai instrumen tindakan oleh pelaku sosial.

3.5 Penutup

Dalam perspektif Thaha M. Alhamid, pembentukan SMP dan MMP ini dapat dilihat sebagai sekelompok orang yang sedang menulis sejarah dengan tindakan, yaitu sejarah kelompok orang berada dalam posisi subordinat yang sedang mencari identitas dan jati dirinya. Sejarah bagi suatu kelompok sosial tertentu, terutama yang berada pada psosisi subordinat, dapat menjadi ruang untuk menemukan identitasnya dan menjadi legitimasi untuk melawan kelompok yang mendominasi. Penafsiran terhadap sejarah oleh kelompok dominan dapat berfungsi memberikan legitimasi atas relasi dominasi. Oleh sebab itu, sejarah merupakan arena kontestasi simbolik yang bersesuaian dengan ranah politik. Pembentukan MMP dapat dimaknai sebagai upaya Muslim Papua untuk membangun impiannya pada masa depan dengan melihat sejarahnya pada masa lalu. Selain itu, secara sosiologis, MMP merepresentasikan upaya Muslim Papua yang berada posisi posisi subordinat untuk memperoleh pengakuan akan identitas budayanya secara cair di tengah Otsus yang sedang berlangsung.

Bourdieu (1991: 221) berpendapat bahwa perjuangan atas identitas kelompok etnik atau kedaerahan yang terkait dengan asal-usul kelompok tersebut, merupakan perjuangan atas klasifikasi-klasifikasi, yaitu perjuangan atas monopoli kekuasaan untuk membuat orang-orang memahami, mempercayai, dan mengakui pendefinisian dunia sosial yang dianggap absah, serta untuk membentuk atau membubarkan kelompok-kelompok. Ketika kekuasaan yang menciptakan pandangan tentang pembagian dunia sosial ini disubjektivikasikan ke seluruh kelompok, maka akan membentuk dan membuat konsensus tentang makna identitas, serta menciptakan realitas kesatuan dan identitas kelompok tersebut. Pembentukan identitas bagi kelompok yang tersubordinat merupakan bentuk perjuangan melawan monopoli kekuasaan kelompok dominan yang membentuk identitas. Merujuk pada Bourdieu (1991), pembentukan SMP dan MMP adalah upaya melakukan perlawanan terhadap klasifikasi dunia sosial yang diciptakan oleh kelompok dominan pada arena politik identitas, yang mencakup ranah keagamaan Islam dan ranah politik dan keagamaan.

Identitas ke-Indonesia-an yang dikonstruksi oleh kelompok sosial dominan dapat dimasukkan dalam kategori orthodoxa. Apa yang dilakukan oleh SMP dan MMP dengan mengkonstruksi wacana Muslim Papua adalah menciptakan wacana tandingan (heterodoxa) bahwa tidak semua orang Papua beragama Kristen. Kontestasi antara orthodoxa dan heterodoxa ini terjadi dalam ranah politik yang dibentuk oleh media massa. Namun menurut salah seorang dari SKP Keuskupan Jayapura, selain media massa, ilmuwan sosial dan kekuasaan (negara) berperan dalam membentuk orthodoxa ini karena mereka mewacanakan Papua identik dengan Kristen, orang asli, dan separatis.

Dengan perspektif Bourdieu (1995) dapat dibaca bahwa upaya pendirian MMP tidak lain adalah menciptakan kapital simbolik. Kapital ini didefinisikan sebagai sekumpulan penghormatan yang dimiliki oleh seseorang sehingga berimplikasi pada pengakuan atas kedudukannya dalam posisi sosial yang legitimate. Pengakuan terhadap orang Muslim Papua sebagai orang Papua asli tidak lain merupakan pengakuan terhadap hak-hak Muslim Papua untuk berperan di Tanah Papua sebagaimana Papua Kristen. Pengakuan sebagai kapital simbolik ini dapat ditransformasikan menjadi kapital sosial dan kapital ekonomi. Misalnya dengan diakui sebagai orang Papua asli, maka MMP akan duduk sejajar dengan Kristen Papua dan diakui secara budaya dan politik menjadi bagian dari kelompok sosial orang Papua asli yang memiliki seperangkat hak atas tanah adat beserta seluruh sumber daya yang ada di dalamnya.

BAB 4

MUSLIM PAPUA DAN MUSLIM PENDATANG

Dalam dokumen BAB 2 SKETSA KONTEKS SOSIAL DI TANAH PAPUA (Halaman 56-60)