• Tidak ada hasil yang ditemukan

ORIENTASI PEMBANGUNAN HUKUM

A. Orientasi Pembangunan Hukum Nasional 1 Perpektif Pembangunan Jangka Panjang

3. PROGRAM LEGISLASI NASIONAL (PROLEGNAS)

Perencanaan pembangunan hukum yang telah dicanangkan dalam RPJM Nasional sebagai penjabaran dari RPJP Nasional, tidak akan ada artinya jika tidak diikuti dengan perencanaan pembentukan hukum tertulis yang disusun secara sistematis, terarah dan terpadu guna menterjemahkan keinginan program pembangunan hukum tersebut. Hal ini menjadi sangat

Republik Indonesia Tahun 1945 yang berimplikasi luas dan mendasar terhadap sistem ketatanegaran sehingga perlu diikuti dengan perubahan- perubahan di bidang hukum26. Perubahan ini menjadi sangat penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan tuntutan demokratisasi dan perkembangan arus global yang mengubah pola hubungan antara negara dan warga negara dengan pemerintahnya.

Dalam rangka mewujudkan pembangunan hukum dan mensikapi perubahan ini diperlukan adanya Program legislasi nasional (Prolegnas) yaitu instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Secara operasional, Prolegnas memuat daftar rancangan undang-undang yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu serta dijiwai oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional27.

Prolegnas diperlukan dalam rangka menata sistem hukum nasional yang senantiasa harus didasarkan pada cita-cita proklamasi dan landasan konstitusional yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat)28. Prinsip negara hukum berarti menjunjung tinggi supremasi29, persamaan kedudukan di hadapan hukum, serta menjadikan hukum sebagai landasan operasional dalam menjalankan sistem       

26 H. Ahmad Ubbe, Instrumen Prolegnas Dalam Proses Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan Yang Terencana dan Terpadu, hlm 1

27

Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius Yogyakarta, Jilid 2, 2007, hlm. 79

28

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

29

Supremasi hukum bermakna sebagai optimalisasi perannya dalam pembangunan, memberi jaminan bahwa agenda pembangunan nasional berjalan dengan cara yang teratur, dapat diramalkan akibat dari langkah-langkah yang diambil (predictability), yang didasarkan pada kepastian hukum (rechtszekerheid), kemanfaatan, dan keadilan (gerechtigheid)

penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini hukum (tertulis) semestinya menjadi landasan pembangunan bidang lainnya guna mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/pembangunan (law as a tool of social engeneering), instrumen penyelesaian masalah (dispute resolution ) dan instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control ). Oleh karena itu pembentukan peraturan perundang-undangan sejak awal harus direncanakan terlebih dahulu secara matang dengan penentuan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Dengan adanya program legislasi tersebut dapat dikendalikan penyusunan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tujuan akhir pembangunan nasional (masyarakat adil dan makmur).

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan program legislasi tidak saja akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk mendukung tugas umum pemerintahan dan pembangunan sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hukum masyarakat sesuai dengan tuntutan reformasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini atau di masa yang akan datang.

melainkan suatu perencanaan kebutuhan hukum tertulis dalam rangka menata perilaku menjadi lebih baik dan mengantisipasi perubahan ke depan. Sebanyak 284 RUU yang terdapat dalam daftar Prolegnas belum mampu menjawab maksud dari perubahan yang terjadi.

Dalam kenyataan, perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat berubah sesuai dengan perkembangan zaman itu sendiri. Berkenaan dengan tidak jelasnya arah yang ingin dicapai dari daftar RUU Prolegnas, berkembang keinginan dari pembentuk UU untuk menyusun RUU di luar daftar yang ada. Dasar hukum yang menjadi pegangan pembentuk UU menyusun RUU di luar daftar Prolegnas karena adanya peluang yang dibuka melalui bunyi ketentuan Pasal 17 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program Legislasi Nasional (Prolegnas)”. Jika pembentukan RUU di luar Prolegnas tidak terkendali akan menyebabkan pencapaian atau target RUU yang semula disepakati menjadi terbengkalai.

Departemen Hukum dan HAM, yang mewakili Pemerintah dalam penyusunan Prolegnas, selalu menghadapi persoalan karena tidak dapat melarang atau membatasi prakarsa departemen/LPND dalam mengajukan usulan RUU baru, apalagi jika program yang diusulkan tersebut benar- benar penting dan perlu untuk melaksanakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Selain pemerintah yang mengajukan RUU di luar

Prolegnas, DPR-RI, melalui Balegnya, juga mengajukan usulan RUU baru di luar 284 RUU.

Dengan demikian, makna Prolegnas 2005-2009 sebagai acuan instrumen perencanaan peraturan perundang-undangan yang terpadu dan sistematis belum sepenuhnya mengikat. Jika Pasal 17 ayat (3) tersebut dibiarkan berkembang dan tanpa kendali, maka yang terjadi adalah munculnya inflasi jumlah RUU yang tidak terencana. Hal ini semakin menunjukkan bahwa sistem perencanan pembentukan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) belum tersusun secara cermat dan sistematis, karena mudah diabaikan dengan mengatasnamakan adanya “keadaan tertentu”.

Terkait dengan prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan, selain sebagian ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 2004, secara rinci juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Ran-perpu, Ran-PP, dan Ran-Perpres. Dalam Perpres 61 ditentukan bahwa penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri (Menteri Hukum dan HAM). Dalam rangka pembentukan hukum tertulis yang sinkron antara kepentingan DPR dan pemerintah, semestinya hasil penyusunan Prolegnas yang dilakukan di

lingkungan DPR-RI dan Pemerintah disinergikan dengan memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:

a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang akan diwujudkan;

c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan.

Terkait dengan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, Menteri/Kepala Bappenas meminta kepada menteri lain dan pimpinan LPND mengenai perencanaan pembentukan RUU di lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan pembentukan RUU tersebut harus disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini menteri lain atau pimpinan LPND perlu menyertakan naskah akademis, agar semua pihak dapat memahami urgensi pengusulan rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.

Menteri Hukum dan HAM yang berwenang melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan (pemrakarsa) bersama-sama dengan menteri lain dan pimpinan LPND yang terkait dengan substansi RUU. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi dengan:

b. tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya; c. UUD Negara RI Tahun 1945;

d. undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya;

e. kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU tersebut.

Implementasi upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri/Kepala Bappenas. Dalam hal konsepsi RUU yang diajukan disertai dengan naskah akademis, maka naskah akademis dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi, atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.

Konsepsi RUU yang telah memperoleh pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden agar dapat menjadi bagian dari Prolegnas usulan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan DPR-RI.

Dalam hal Presiden memandang perlu kejelasan lebih lanjut terhadap konsepsi RUU, Presiden menugaskan Menteri untuk mengkoordinasikan kembali konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan dan menteri lain atau pimpinan LPND yang terkait. Hasil koordinasi tersebut oleh Menteri

menyampaikan hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah kepada DPR-RI melalui Badan Legislasi dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas. Demikian pula sebaliknya terhadap hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dikonsultasikan kepada pemerintah dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU.

Jika penyusunan Prolegnas dilakukan secara cemat dan matang akan membawa kemudahan dalam penyusunan peraturan perundang- undangan30.

Terhadap penyusunan RUU yang dilakukan pemrakarsa berdasarkan usulan RUU dalam Prolegnas, tidak diperlukan lagi adanya persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Pemrakarsa cukup melaporkan penyiapan dan penyusunan RUU kepada Presiden secara berkala. Berbeda halnya jika Pemrakarsa mengajukan usul RUU di luar Prolegnas hanya karena alasan “dalam keadaan tertentu”, maka pemrakarsa terlebih dahulu harus mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:

a. urgensi dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan;

c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan serta arah pengaturan.

      

30

Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

Keadaan tertentu di atas meliputi: (a) menetapkan Perpu menjadi UU; (b) meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c) mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; (d) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri.

Dengan adanya ketentuan seperti ini, keinginan DPR-RI dan Pemerintah untuk meratifikasi konvensi atau penjanjian internasional setiap saat bisa dilakukan. Dalam proses pembahasan (baik antardep maupun di DPR) lebih mudah dibandingkan dengan penyusunan RUU biasa karena substansinya hanya 2 pasal. Dalam mempersiapkan RUU, sebagaimana dilakukan selama ini, pengaturan dalam Perpres 68 ditentukan mengenai pembentukan panitia antadepartemen dan pemrakarsa dapat mempersiapkan naskah akademisnya terlebih dahulu. Dalam rapat antardepartemen, pemrakarsa dapat mengundang pakar baik dari perguruan tinggi maupun pihak lainnya. Setelah RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan kesempatan untuk mengadakan sosialiasi kepada masyarakat (sebagai asas keterbukaan) untuk mendapatkan masukan atas substansi RUU.

Jika proses ini dapat dilakukan secara jelas dan taat asas, dengan sendirinya dapat mengurangi terjadinya inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang selama ini sangat mewarnai kondisi hukum tertulis di Indonesia. Ketaat asasan pembentukan hukum di tingkat pusat

sejalan dengan asas hukum bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, dapat dengan mudah diterapkan. Problem yang terjadi saat ini peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan sendirinya dibatalkan padahal peraturan perundang-undangan di tingkat pusat belum terbentuk secara harmonis dan konsisten.

B. Orientasi Pembangunan Hukum Daerah