• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Pengembangan Listrik Perdesaan

Dalam dokumen PERTAMBANGAN DAN ENERGI (Halaman 51-62)

a. Program Pokok

2) Program Pengembangan Listrik Perdesaan

Dalam rangka memeratakan ketersediaan energi listrik sampai ke perdesaan, kegiatan penyediaan listrik di perdesaan telah dikembangkan menjadi program tersendiri pada Repelita VI. Jumlah desa yang dialiri tenaga listrik terus ditingkatkan, dengan sasaran seluruh desa di Indonesia akan dialiri tenaga listrik pada akhir Repelita VII. Program ini juga dikembangkan dengan memberi perhatian khusus terhadap pengembangan energi baru yang tersedia setempat di perdesaan.

Dalam Repelita VI direncanakan sebanyak 18.619 desa baru akan mendapat aliran tenaga listrik. Untuk mendukung pengembangan listrik perdesaan akan dibangun jaringan distribusi tegangan menengah dan tegangan rendah masing-masing sepanjang 61.776 kms dan 104.847 kms, berikut gardu distribusi yang seluruhnya berkapasitas 2.960,2 MVA. Dengan pembangunan sarana tersebut, jumlah konsumen yang akan memperoleh aliran tenaga listrik akan mencapai 15.468.000 rumah tangga di desa, dan jumlah desa yang mendapat aliran tenaga listrik akan mencapai 79 persen dari seluruh desa yang terdapat di Indonesia.

Jumlah desa yang dialiri tenaga listrik telah meningkat dari 31.689 desa, atau 48,7 persen dari jumlah desa diseluruh Indonesia pada akhir PJP I menjadi 35.066 desa pada awal Repelita VI, atau naik 10,0 persen dibanding akhir Repelita V. Sedangkan JTM dan JTR yang telah dibangun dalam tahun pertama Repelita VI adalah sepanjang 9.014,8 kms dan 9.706,9 kms, dengan gardu distribusi yang seluruhnya berkapasitas 196,4 MVA. Dengan tambahan ini, konsumen listrik di desa bertambah dengan 1.841.634 pelanggan dan

jumlah desa berlistrik mencapai 54,0 persen. Hasil pembangunan listrik perdesaan dapat dilihat pada Tabel XIV-19.

Kegiatan pengembangan listrik perdesaan juga akan lebih terpacu dengan telah selesainya rencana induk listrik perdesaan pada tahun pertama Repelita VI. Dengan selesainya rencana induk ini, koordinasi pelaksanaan pembangunan listrik perdesaan yang juga akan melibatkan swasta dan koperasi, dapat ditingkatkan. Untuk mendo-rong pembangunan listrik perdesaan oleh koperasi dan swasta, telah diluncurkan paket kebijaksanaan "pembelian tenaga listrik skala kecil" dan "pembelian tenaga listrik secara curah". Kebijaksanaan pertama dimaksudkan untuk memudahkan perusahaan listrik skala kecil, terutama yang mengusahakan dari sumber energi terbarukan, untuk menjual listriknya pada PLN. Sedangkan kebijaksanaan yang kedua dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada koperasi atau swasta agar dapat menjual listrik yang diproduksi oleh PLN.

3)

Program Pengembangan Tenaga Migas, Batubara,

dan Energi lainnya

Program ini ditujukan untuk meningkatkan upaya pencarian, penemuan, penyediaan, penganekaragaman, serta penghematan sumber daya energi. Dari berbagai jenis energi primer yang ada, minyak bumi mempunyai peranan sangat menonjol, baik sebagai sumber energi dan bahan Baku untuk industri maupun sebagai sumber penerimaan devisa negara. Apabila pada awal PJP I produksi minyak bumi adalah 219,9 juta barel per tahun, maka pada akhir PJP I telah meningkat menjadi 559,9 juta barel per tahun. Pada. tahun pertama Repelita VI, produksi minyak bumi mencapai 591,6 juta barel per tahun atau 6,9 persen lebih tinggi dari sasaran rata-rata Repelita VI sebesar 553,3 juta barel per tahun.

Dari sisi konsumsi, laju pertumbuhan pemakaian minyak bumi selama PJP I adalah 8,7 persen per tahun dan selama Repelita V adalah 8,2 persen per tahun. Pada tahun pertama Repelita VI laju pertumbuhan tersebut dapat ditekan menjadi hanya sebesar 2,5 persen. Penurunan laju kenaikan pemakaian minyak bumi tersebut terutama dimungkinkan oleh mulai beroperasinya pusat-pusat tenaga listrik dengan bahan bakar non minyak seperti pusat listrik tenaga air, pusat listrik tenaga uap batubara serta pusat listrik panas bumi.

Kenaikan pemakaian BBM meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar rata-rata 7,9 persen per tahun selama PJP I. Selama Repelita V konsumsi BBM naik dari 191,8 juta barel pada awal Repelita V menjadi 264,3 juta barel pada akhir Repelita V, atau naik rata -rata sebesar 8,1 persen per tahun. Kenaikan ini, selain disebabkan oleh meningkatnya permintaan akan energi final dari sektor industri dan transportasi, juga karena relatif rendahnya harga minyak bumi di dalam negeri yang menyebabkan adanya kecenderungan penggunaan yang kurang efisien. Dalam tahun pertama Repelita VI, konsumsi BBM adalah sebesar 286,1 juta barel, atau 2,5 persen lebih tinggi dibanding dengan tahun sebelumnya. Walaupun meningkat, laju kenaikan ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan rata-rata Repelita V. Hal ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya penggunaan gas bumi sebagai pengganti BBM pada industri semen, transportasi, dan pembangkit listrik. Pangsa penggunaaan BBM pada pembangkit tenaga listrik, turun dari 46,3 persen pada tahun terakhir Repelita V menjadi 42,3 persen pada tahun pertama Repelita VI. Perkembangan konsumsi BBM dapat dilihat pada Tabel XIV-20.

Untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri, telah dilakukan optimalisasi kilang di samping pembangunan kilang baru. Pada tahun pertama Repelita VI telah mulai dilakukan persiapan optimalisasi kilang di Cilacap dan Balikpapan. Pada tahun itu selesai

dibangun EXOR I di Balongan - Jawa Barat yang mempunyai kapasitas 125 ribu barel per hari. Pihak swasta telah banyak menunjukkan minatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan kilang minyak. Di samping itu, untuk memperlancar pembekalan dalam negeri, pada tahun pertama Repelita VI telah dilakukan persiapan pembangunan beberapa terminal transit, pengembangan depot satelit, depot pengisian pesawat udara, dan jaringan pipa.

Konsumsi gas bumi meningkat cukup tinggi selama PJP I, yaitu dari 4,7 juta SBM menjadi 88,4 juta SBM atau naik sekitar 20 kali lipat. Bahkan pada tahun pertama Repelita VI konsumsi gas meningkat lagi menjadi 122,2 juta SBM, atau naik sebesar 38,3 persen dibandingkan tahun 1993/94. Kenaikan ini merupakan lonjakan yang sangat besar jika dibandingkan dengan laju kenai kan rata-rata selama Repelita V, yaitu sebesar 4,9 persen per tahun. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pemakaian gas bumi sebagai substitusi energi primer lainnya makin besar peranannya, terutama dengan meningkatnya pemanfaatan gas pada industri semen, pembangkit listrik tenaga gas-uap, dan untuk transportasi.

Sejalan dengan meningkatnya konsumsi, kapasitas terpasang prasarana penyediaan gas di kota juga meningkat. Selama PJP I, kapasitas terpasang gas di kota meningkat rata -rata sebesar 16,3 persen per tahun, yaitu dari 193,2 ribu meter kubik per hari pada awal PJP I menjadi 8.458,1 ribu meter kubik per hari pada akhir PJP I. Pada tahun pertama Repelita VI kapasitas ini tidak berubah karena masih mampu untuk melayani pelanggan yang ada.

Untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi, di samping kegiatan pengembangan, juga diupayakan memperluas jaringan transmisi dan distribusi gas. Pada awal PJP I masih belum ada jaringan pipa transmi si. Pada akhir Repelita V j aringan pipa transmi si telah

mencapai 653,4 kilometer dan pada tahun pertama Repelita VI jaringan pipa transmisi bertambah lagi menjadi 694,3 kilometer, atau naik sebesar 6,3 persen. Pada tahun 1994/95 telah dimulai persiapan pekerjaan pembangunan dan perluasan jaringan transmisi dari Corridor Block Asamera di Jambi ke proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) di Duri, dan ke Batam.

Jaringan distribusi gas juga meningkat dari sepanjang 811,5 kilometer pada akhir PJP I menjadi 825,6 kilometer pada tahun pertama Repelita VI. Kenaikan ini disebabkan selain adanya per-mintaan gas bumi dari pelanggan industri, juga oleh meningkatnya pembangunan jaringan transmisi dan distribusi di kota untuk menyalurkan gas bumi ke kota Jakarta, Bogor, Cirebon, Surabaya, dan Medan. Sejalan dengan kegiatan tersebut juga dilakukan rehabilitasi atau penggantian pipa distribusi di dalam kota Jakarta, Bogor, Cirebon dan Medan. Perkembangan kapasitas terpasang dan jaringan tenaga gas serta pengusahaannya dapat dilihat pada Tabel XIV-21 dan Tabel XIV-22.

Dengan meningkatnya jaringan gas, penyaluran gas juga ikut meningkat. Pada awal PJP I gas bumi yang disalurkan baru sebesar 8,5 juta meter kubik. Pada akhir PJP I telah meningkat menjadi 677,6 juta meter kubik, atau meningkat hampir 80 kali lipat. Pada tahun pertama Repelita VI gas bumi yang disalurkan bertambah lagi menjadi 918,8 juta meter kubik, atau meningkat 35,6 persen dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita V.

Selain menyalurkan gas bumi, sejak tahun 1986/87 juga dilakukan penyaluran LPG melalui jaringan pipa gas dan tabung. Penyaluran LPG melalui pipa yang dilakukan di kota Surabaya, kini telah mencapai kapasitas 8.100 meter kubik per hari. Sedangkan untuk kota-kota lain, penjualan LPG dilakukan dalam tabung. Dengan

selesainya pembangunan tambahan 2 buah SPBG maka jumlah SPBG menjadi 9 buah. Penyaluran gas bumi untuk BBG-transportasi meningkat pesat pada tahun 1994/95 menjadi 14,3 juta meter kubik atau naik sekitar 31,7 persen terhadap tahun sebelumnya. Peningkatan pelayanan BBG ini merupakan salah satu kegiatan dalam rangka program diversifikasi energi di sektor transportasi.

Sejalan dengan meningkatnya kemampuan pembangunan jaringan gas dan penyalurannya, hasil pengusahaan tenaga gas juga telah mengalami peningkatan. Selama PJP I telah terjadi kenaikan penjualan gas rata-rata per tahun sebesar 15,2 persen dimana peningkatan penjualan terbesar terjadi selama Repelita V dengan rata-rata tingkat kenaikan sebesar 26,2 persen setiap tahunnya, yaitu dari sebesar 284,2 juta meter kubik menjadi 716,8 juta meter kubik. Dalam tahun pertama Repelita VI, terjadi lagi peningkatan penjualan hingga menjadi 964,1 juta meter kubik, atau naik sebesar 34,5 persen dibanding tahun sebelumnya.

Selama PJP I jumlah pelanggan gas di kota meningkat rata -rata 1,4 persen setiap tahunnya. Selama Repelita V saja terjadi peningkatan sebesar 8,0 persen per tahun, yaitu dari 25.222 pelanggan menjadi 34.353 pelanggan. Pada tahun pertama Repelita VI jumlah pelanggan meningkat lagi menjadi 38.605 konsumen, terdiri dari konsumen rumah tangga dan industri. Konsumen rumah tangga umumnya menggunakan gas dalam jumlah yang terbatas sedangkan pelanggan dari sektor industri merupakan konsumen menengah dan besar. Dengan demikian, pelanggan dari sektor industri memegang peranan terbesar dalam peningkatan penggunaan gas bumi. Sementara itu kehilangan gas akibat kebocoran yang biasanya terjadi pada jaringan gas di kota pada tahun 1994/95 sudah dapat diatasi, berkat meningkatnya penguasaan faktor -faktor teknis dalam ketelitian

pengukuran pasokan gas dan penyaluran gas. Perkembangan pengusahaan tenaga gas tersebut dapat dilihat pada Tabel XIV -22.

Dengan dimulainya produksi LNG di kilang gas Bontang dan Arun, pada akhir Repelita V produksi LNG telah mencapai 25,17 juta ton atau meningkat 6,5 kali dibandingkan produksi LNG ketika untuk pertama kali berproduksi, yaitu pada akhir Repelita II. Sampai akhir PJP I Indonesia tetap merupakan eksportir LNG terbesar di dunia. Dalam rangka meningkatkan ekspor LNG, telah dimulai pekerjaan pembangunan kilang Train G di Bontang dengan kapasitas 2,3 juta ton per tahun, yang diharapkan sudah dapat beroperasi pada tahun keempat Repelita VI.

Peningkatan kegiatan juga terjadi dalam bidang batubara, baik di sisi produksi maupun konsumsi. Apabila pada awal PJP I produksi batubara baru mencapai 159,9 ribu ton, maka pada tahun terakhir Repelita V telah meningkat menjadi 28,6 juta ton, atau naik rata -rata setiap tahunnya 23,1 persen. Pada tahun pertama Repelita VI pro -duksinya meningkat lagi sehingga mencapai 32,5 juta ton. Peningkatan produksi tersebut selain disebabkan oleh makin berkembangnya penambangan batubara di Bukit Asam, juga oleh meningkatnya partisipasi swasta dalam mengembangkan potensi lapangan batubara.

Konsumsi batubara telah meningkat dari hanya 0,7 juta SBM pada tahun pertama Repelita I menjadi 32,0 juta SBM pada tahun terakhir Repelita V, atau meningkat rata-rata 16,4 persen setiap tahunnya. Memasuki tahun pertama PJP II, konsumsi batubara meningkat menjadi 40,3 juta SBM. Peningkatan pemakaian batubara yang tajam terjadi sejak Repelita IV setelah beroperasinya PLTU Suralaya. Selain untuk PLTU, batubara juga banyak digunakan untuk industri semen, industri dasar besi dan baja, pabrik peleburan nikel

dan timah, serta industri lainnya. Menjelang akhir PJP I, penggunaan briket batubara untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil mulai dikembangkan dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Pada tahun pertama Repelita VI telah dimulai suatu studi pola distribusi briket batubara agar distribusi briket batubara nantinya dapat dilakukan secara optimal.

Untuk meningkatkan daya tampung dan daya muat pelabuhan batubara, telah mulai dibangun beberapa pelabuhan batubara, antara lain di Tarahan, guna menampung produksi Kontrak Kerjasama Batubara, swasta nasional, dan koperasi.

Selain itu, pengkajian terhadap likuifikasi batubara yang sudah mulai dilakukan pada tahun terakhir PJP I makin digiatkan, dalam rangka mengembangkan sumber energi alternatif. Bersamaan dengan itu telah dilakukan pula pengkajian terhadap gasifikasi batubara untuk bahan bakar dan bahan baku industri.

Penggunaan panas bumi sebagai sumber energi pembangkit listrik juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Apabila pada akhir Repelita III konsumsi panas bumi adalah sekitar 0,4 juta SBM, maka pada awal Repelita V sudah meningkat menjadi 2,0 juta SBM dan kemudian meningkat lagi menjadi 2,1 juta SBM pada akhir Repelita V. Pada tahun pertama Repelita VI konsumsinya telah mencapai 2,4 juta SBM. Jika pada awal Repelita III, hanya ada satu PLTP, yaitu di Kamojang dengan kapasitas 30 MW, maka pada akhir PJP I telah ada 2 PLTP dengan kapasitas total 195 MW. Pada tahun 1994/95 telah selesai dibangun 2 PLTP dengan kapasitas 110 MW, yaitu di Darajat (55 MW) dan G. Salak unit 2 (55 MW). Sementara itu juga telah mulai dibangun PLTP Salak unit 3 dengan kapasitas 55 MW. Sejumlah 6 buah kontrak pembangunan PLTP dengan pihak swasta

telah dilakukan dengan kapasitas total 1.030 MW, yang berlokasi masing-masing di G. Salak (220 MW), Dieng (95 MW), G. Karaha (220 MW), G. Patuha (55 MW), G. Wayang-Windu (220 MW), dan Sarula (220 MW).

Pemanfaatan tenaga air pada sektor energi berhubungan erat dengan penggunaan sumber daya air untuk pertanian dan penyediaan air baku industri maupun perkotaan. Sektor energi banyak memanfaatkan tenaga air bagi pembangkitan tenaga listrik, sehingga data yang diperoleh disini adalah dari energi PLTA. Pada awal PJP I penggunaan tenaga air adalah sebesar 0,7 juta SBM. Pada tahun terakhir PJP I telah meningkat menjadi 26,3 juta SBM, atau mengalami laju pertumbuhan sekitar 15,6 persen. Namun, pada tahun 1994/95 penggunaan tenaga air turun menjadi 20,8 juta SBM. Naik dan turunnya penggunaan tenaga air sangat ditentukan oleh musim, pengaruh cuaca yang berubah, dan adanya jadwal perawatan mesin pembangkit tenaga listrik. Penurunan penggunaan tenaga air ini sifatnya hanya sementara waktu, seperti pernah dialami pada tahun -tahun sebelumnya.

Pada tahun pertama Repelita VI telah dilakukan studi tapak untuk PLTN yang merupakan kelanjutan kegiatan tahun sebelumnya. Kegiatan penelitian dan pengkajian yang menyangkut masalah keeko-nomian, teknologi, keselamatan, limbah, dan daur bahan bakar nuklir serta dampaknya terhadap lingkungan secara menyeluruh masih terus dilakukan.

Meningkatnya penggunaan energi primer selama PJP I dan awal PJP II erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini dapat dilihat, antara lain dari angka konsumsi energi per kapita yang meningkat dari 0,4 SBM pada awal PJP I menjadi 2,4 SBM pada akhir PJP I, dan 2,5 SBM pada tahun pertama PJP II. Selama PJP I

angka-angka tersebut naik rata-rata setiap tahunnya 7,4 persen, sedangkan dari tahun terakhir Repelita V ke tahun pertama Repelita VI naik 4,2 persen. Selain itu, angka intensitas pemakaian energi juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari 1,8 SBM per juta US dollar pada awal PJP I menjadi 3,2 SBM per juta US dollar pada akhir PJP I. Angka ini bahkan meningkat pada tahun pertama PJP II menjadi 3,3 SBM per juta US dollar. Kenaikan ini diakibatkan pesatnya pertumbuhan sektor perindustrian yang padat energi.

Dalam rangka diversifikasi energi, peran minyak bumi sebagai sumber utama energi primer berhasil diturunkan dari 84,9 persen pada awal PJP I menjadi 65,1 persen pada akhir PJP I. Bahkan, pada awal PJP II turun lagi menjadi 60,8 persen. Perkembangan ini dimungkinkan terutama oleh karena selama PJP I telah terjadi peningkatan pemakaian sumber-sumber energi primer lainnya, seperti gas bumi dari 11,6 persen menjadi 20,7 persen, batubara dari 1,8 persen menjadi 7,5 persen, serta tenaga air dari 1,7 persen menjadi 6,2 persen. Tahun pertama PJP II pangsa pemakaian energi primer untuk gas bumi dan batubara bahkan meningkat menjadi masing-masing 25,8 persen dan 8,5 persen.

Upaya penganekaragaman pemakaian energi yang dilakukan dengan intensif pada tahun pertama Repelita VI adalah pemanfaatan sumber energi surya fotovoltaik. Selama tahun pertama Repelita VI telah dimulai persiapan pembangunan 37.000 unit energi surya fotovoltaik yang diperuntukan terutama bagi desa di kawasan Indonesia Bagian Timur. Di samping itu juga tengah disiapkan pembangunan beberapa unit sistem hibrida fotovoltaik dan mikrohidro serta biomassa dan penggunaan energi angin dengan total kapasitas sebesar 200 kW.

Dalam rangka penghematan penggunaan energi terus dilakukan upaya penghematan energi melalui kampanye hemat energi agar masyarakat memperoleh informasi tentang manfaat dan cara melakukan penghematan energi. Upaya ini dilakukan antara lain melalui pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penghematan energi. Selama Repelita VI telah dilakukan peragaan dan percontohan untuk memperkenalkan teknologi hemat energi kepada masyarakat di 23 kabupaten. Selain itu, juga tengah dipersiapkan peraturan dan rancangan induk konservasi energi nasional untuk menumbuhkan sikap hemat energi. Dengan demikian pelaksanaan audit energi dan standardisasi serta pemasangan peralatan hemat energi serta partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam upaya penghematan energi dapat lebih ditingkatkan.

Penghematan energi juga dilaksanakan dengan meningkatkan efisiensi di bidang industri minyak dan gas bumi serta ketenaga -listrikan. Upaya meningkatkan efisiensi pada industri minyak dan gas bumi, dilaksanakan antara lain dengan mengurangi gas yang dibakar secara percuma, yang dalam tahun 1994/95 telah berhasil diturunkan dari 7,0 persen menjadi 6,0 persen, susut operasi distribusi BBM dari 0,6 persen menjadi 0,5 persen, dan susut operasi distribusi tenaga gas dari 2,3 persen menjadi 2,0 persen. Upaya ini dilakukan dengan memanfaatkan gas yang dibakar, antara lain untuk kilang LPG skala mini; meningkatkan produktivitas dan pendayagunaan kilang serta keandalan kilang; dan meningkatkan keandalan jaringan pipa gas dan BBM. Peningkatan efisiensi di bidang ketenagalistrikan, antara lain dilakukan dengan menurunkan susut jaringan tenaga listrik, yang telah berhasil diturunkan dari 12,5 persen pada akhir Repelita V menjadi 12,4 persen pada awal Repelita VI melalui peningkatan pemeliharan sarana penyediaan tenaga listrik, peningkatan faktor beban, dan pengaturan sisi pemakai tenaga listrik.

b. Program Penunjang

Program-program penunjang meliputi kegiatan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup; meningkatkan kemampuan, penguasaan, dan pemanfaatan teknologi agar pengelolaan energi menjadi lebih berdaya guna dan berhasil guna; mendorong kerjasama dan koordinasi yang baik antara pengguna dan penghasil informasi dalam bidang energi; serta meningkatkan produktivitas dan profesionalisme serta peningkatan penguasaan iptek.

1) Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan

Dalam dokumen PERTAMBANGAN DAN ENERGI (Halaman 51-62)

Dokumen terkait