• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTAMBANGAN DAN ENERGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERTAMBANGAN DAN ENERGI"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

BAB XIV

PERTAMBANGAN DAN ENERGI

A. PENDAHULUAN

Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat UUD 1945 ini merupakan landasan pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan potensi kekayaan sumber daya alam mineral dan energi yang dimiliki secara optimal dalam mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Penyelenggaraan kegiatan pertambangan dan energi telah mengalami perjalanan yang panjang sejak sebelum merdeka, dalam masa kemerdekaan, dan hingga mencapai keadaan sekarang ini. Pada awal kemerdekaan, kegiatan pengelolaan pertambangan dan energi menghadapi berbagai kesulitan dan tidak banyak yang dapat diperbuat di bidang usaha ini. Di beberapa tempat, fasilitas pertambangan dan

(4)

energi dibumihanguskan agar tidak dapat dipakai oleh kekuatan kolonial. Walaupun demikian, kegiatan di bidang ini tidak dapat dikatakan lumpuh sama sekali. Pada masa itu bangsa Indonesia telah mampu memproduksi minyak bumi sebanyak 6.000 barel per hari, batubara 37.000 ton per tahun, timah 1.050 ton per tahun, serta memproduksi tenaga listrik yang berasal dari pembangki t tenaga listrik perusahaan swasta yang dinasionalisasi dan milik pemerintah sebesar 504.000 MWh. Penyediaan listrik ini dilakukan oleh perusahaan listrik dan gas yang diambil alih dari pemerintah pendudukan Jepang dan selanjutnya diberi nama Jawatan Listrik dan Gas. Kemudian dengan Penetapan Pemerintah Nomor 1/S.D. Tahun 1945, jawatan ini dimasukkan ke dalam struktur Departemen Pekerjaan Umum. Penting untuk dicatat pula adalah berhasilnya upaya penyelamatan dokumen dan peta kekayaan tambang dan mineral Indonesia, yang kemudian menjadi modal utama dalam pencarian kekayaan mineral serta membangun sektor pertambangan dan energi.

Setelah pengakuan kedaulatan pada bulan Desember 1949, semua saham perusahaan minyak milik pemerintah kolonial Belanda dialihkan ke Pemerintah Indonesia. Kegiatan di sektor pertambangan dan energi mulai dilakukan kembali dengan merehabilitasi dan mengelola instalasi-instalasi yang dibangun di jaman penjajahan. Namun kegiatan eksplorasi dan produksi masih sangat terbatas. Kegiatan penyelidikan geologi, eksplorasi dan hasil pertambangan dalam periode ini belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Sementara itu kapasitas penyediaan tenaga listrik menunjukkan peningkatan dengan dilakukannya perbaikan dan pembangunan beberapa pembangkit tenaga listrik. Sesuai dengan perkembangan pada saat itu, Jawatan Listrik dan Gas diganti namanya menjadi Jawatan Tenaga pada tahun 1950 dengan tugas mengelola perusahaan listrik dan gas bekas milik pemerintah Belanda; sedangkan perusahaan

(5)

hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB). Selanjutnya dikeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 163 Tahun 1953 tentang nasionalisasi perusahaan listrik milik bangsa asing di Indonesia jika waktu konsesinya habis. Beberapa perusahaan listrik dan gas swasta Belanda yang dinasionalisasikan pada saat itu dimasukkan ke dalam Jawatan Tenaga.

Sementara itu, di bidang. pertambangan minyak pada tahun 1950 telah diselesaikan pengeboran 6 sumur pengembangan atau sumur produksi di Minas, yang di kemudian hari ternyata merupakan lapangan minyak terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia; bahkan merupakan salah satu lapangan minyak raksasa di dunia.

Di bidang pertambangan umum, dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan pertambangan milik Belanda merupakan peristiwa penting bagi pembangunan pertambangan selanjutnya. Pada tahun 1959 semua perusahaan Belanda antara lain perusahaan tambang batubara, timah, emas, dan bauksit ditetapkan pengelolaannya oleh Biro Urusan Perusahaan-perusahaan Tambang Negara (BUPTAN). Konsesi-konsesi pertambangan sejak perang kemerdekaan yang tidak diusahakan lagi atau baru diusahakan dalam tahap permulaan dikenakan pembatalan hak-hak pertambangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959. Daerah-daerah bekas konsesi yang dibatalkan hanya dapat diusahakan oleh perusahaan negara atau perusahaan milik daerah Swatantra.

Di bidang ketenagalistrikan, Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan listrik dan gas milik Belanda. Untuk kelancaran proses nasionalisasi dibentuk Penguasa Perusahaan-Perusahaan Listrik dan

(6)

Gas (P3LG) yang berada di bawah DepartemenPekerjaan Umum dan Tenaga.

Pada tahun 1960 Pemerintah mencanangkan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang disusun oleh Dewan Perancang Nasional. Pembangunan ini dimulai dengan membangun industri berat, meliputi proyek besi. baja, semen, superfosfat, dan industri dasar lainnya. Untuk mendukung upaya pembangunan tersebut, telah dilakukan berbagai kegiatan penyelidikan geologi di beberapa daerah dalam upaya menemukan bahan baku mineral logam untuk memenuhi kebutuhan berbagai industri tersebut. Selain itu, giat dilakukan eksplorasi batubara, dolomit, batu gamping, kwarsa serta bahan galian untuk keperluan bahan bangunan, industri keramik, dan industri kimia dengan pengelolaan dibawah Departemen Perindustrian Dasar dan Pertambangan.

Pembangunan di bidang migas mulai berkembang ke arah baru dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 44 Prp Tahun 1960, yang menetapkan bahwa kekuasaan mengusahakan pertambangan minyak dan gas bumi diselenggarakan oleh Pemerintah. Wewenang pengusahaan pertambangan migas tersebut diberikan kepada Perusahaan Negara dalam bentuk kuasa pertambangan. Sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut, pada tahun 1961 dibentuk tiga perusahaan negara yang ditugaskan melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Ketiga perusahaan tersebut adalah Perusahaan Negara (PN) Pertambangan Minyak Nasional (Permina) yang beroperasi di Sumatera bagian Utara; PN Pertambangan Minyak Indonesia (PN Permindo) di Jambi dan Pulau Bunyu Kalimantan Timur; dan PN Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (PN Permigan) di Nglobo, Ledok, dan Semanggi, Jawa Tengah, yang kemudian dalam tahun 1968 digabung menjadi PN

(7)

hak konsesi dapat meneruskan operasinya sampai berakhirnya tenggang waktu peralihan yang akan ditetapkan Pemerintah. Kepada perusahaan asing tersebut diberikan prioritas untuk mengalihkan operasinya menjadi kontraktor perusahaan negara dalam suatu Perjanjian Karya dengan perbandingan pembagian hasil bersih 60 persen untuk Indonesia dan 40 persen untuk asing. Selanjutnya dalam tahun 1964 Perjanjian Karya ini disempurnakan menjadi Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing (KPS) yang pada dasarnya menetapkan pembagian keuntungan tidak lagi dihitung atas hasil penjualan minyak, tetapi atas produksi minyak dengan perbandingan pada awalnya 65 persen untuk Indonesia dan 35 persen untuk kontraktor. Di samping itu manajemen operasi berada dalam tangan perusahaan negara.

Di bidang kelistrikan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Prp Tahun 1960 dibentuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 1961. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1961 dibentuk Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) yang menempatkan perusahaan listrik dan gas berada dalam satu wadah. Selanjutnya, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1965, PLN dan Perusahaan Gas Negara (PGN) masing-masing berdiri sendiri.

Perkembangan penting lainnya di bidang perminyakan adalah diterimanya Indonesia sebagai anggota OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries) pada tahun 1962. Ketika terjadi krisis energi, organisasi ini terbukti berperan sangat kuat dan penting dalam mengatur tataniaga penjualan minyak bumi di pasaran internasional, antara lain dengan menetapkan kuota produksi minyak kepada para anggotanya dalam upaya menghadapi resesi dunia dan mencegah merosotnya harga minyak di pasaran dunia.

(8)

Walaupun mengalami masa-masa sulit sejak permulaan kemerdekaan, pada awal Orde Baru, tahun 1968, minyak bumi mampu diproduksi sebesar 602.465 barel per hari, dan gas bumi 317 juta kaki kubik per hari. Penerimaan negara dari sektor migas memberikan sumbangan sebesar 53 persen dari devisa yang dihasilkan, atau 22 persen terhadap penerimaan negara. Memasuki PJP I, hasil produksi minyak bumi makin meningkat lagi.

Pada akhir PJP I produksi minyak bumi dan kondensat telah meningkat menjadi 1,6 juta bare] per hari atau naik 2,5 kali lipat di -bandingkan produksi awal PJP I. Produksi tersebut dihasilkan antara lain oleh KPS - KPS baru dengan persyaratan yang lebih menguntung-kan yaitu dengan perbandingan bagi hasil 85 persen untuk Indonesia dan 15 persen untuk kontraktor di daerah produksi 50 - 150 MBOPD (ribu barrel minyak per hari) dan 90 persen berbanding 10 persen untuk produksi di atas 150 MBOPD. Bahkan LNG yang baru mulai diproduksi pada Repelita III, sejak tahun 1977 sudah mampu diekspor dan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia.

Seiring dengan meningkatnya ekspor minyak bumi selama PJP I, Indonesia telah mampu mengembangkan usaha pemurnian dan pengolahan minyak bumi, termasuk di bidang distribusi dan pelayanannya. Secara bertahap dan terencana telah diterapkan pula teknologi maju dalam perluasan kilang minyak, antara lain dengan pembangunan kilang

hydrocracker

dan penyempurnaan unit-unit pengolahan lainnya. Pengembangan minyak bumi juga dilakukan dengan upaya rehabilitasi dan pembangunan sarana penimbunan, pengangkutan melalui pipa laut, pipa penyalur, depot, pelabuhan/ dermaga khusus dan fasilitas lainnya di seluruh Indonesia . Upaya peningkatan produktivitas dilengkapi dengan pengaturan dan penyempurnaan organisasi penyaluran dan distribusi bahan bakar

(9)

minyak serta gas bumi dengan sebaik-baiknya. Dengan melakukan upaya tersebut, maka minyak bumi yang diolah telah meningkat dari 211,2 ribu barel per hari pada awal PJP I menjadi 854,5 ribu barel per hari, atau meningkat 4 kali lipat pada akhir PJP I. Bahan bakar minyak (BBM) yang dihasilkan meningkat dari 52,2 juta barel pada awal PJP I menjadi 232,2 juta barel pada tahun terakhir PJP I. Sarana angkutan laut minyak bumi dapat ditingkatkan dari 672,7 ribu ton pada awal PJP I menjadi 4,4 juta ton pada akhir PJP I. Sampai akhir PJP I untuk pelayanan distribusi BBM telah dibangun 92 depot laut, 18 depot darat, dan 43 depot pengisian pesawat udara (DPPU), dengan jumlah kapasitas timbun sebesar 2,4 juta kiloliter.

Dari segi penerimaan devisa, sektor migas telah memberikan sumbangan besar terhadap pembangunan nasional selama PJP I, dan mencapai puncaknya pada Repelita III yaitu sebesar 75 persen dari devisa yang dihasilkan, atau 67 persen terhadap penerimaan negara. Walaupun kemudian penerimaan pemerintah dan perolehan devisa dari sektor migas cenderung menurun karena peranan non migas yang meningkat, namun peranan sektor ini masih cukup besar sebagai sumber penerimaan negara dan penghasil devisa.

Di samping migas, bidang-bidang pertambangan lainnya juga berkembang. Antara lain dengan dieksploitasikan dan dikembangkan-nya tambang tembaga dan emas secara besar-besaran di Irian Jaya dan dibangunnya pabrik peleburan nikel di Soroako, Sulawesi Selatan dan di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Produksi timah juga dapat ditingkatkan, sehingga Indonesia merupakan salah satu pengekspor timah terbesar di dunia. Beberapa produksi bahan tambang lainnya seperti perak, bauksit, fosfat, dan bahan galian industri lainnya yang semula hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sudah mulai diekspor.

(10)

Produksi batubara makin berkembang sebagai energi pengganti minyak bumi, dengan ditetapkannya kebijaksanaan energi nasional tahun 1980. Produksi batubara meningkat pesat dari hanya 159,9 ribu ton pada awal PJP I menjadi 28,5 juta ton pada akhir PJP I. Ekspor batubara yang dimulai pada akhir Repelita II dengan jumlah 27,3 ribu ton telah meningkat menjadi 19 juta ton pada akhir PJP I dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu pengekspor batubara terkemuka di dunia. Menjelang akhir PJP I, penggunaan briket batubara untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil sudah mulai dimasyarakatkan, untuk menggantikan minyak tanah dan BBM lainnya.

Di bidang energi ketenagalistrikan mengalami perkembangan pesat terutama pada Repelita IV dan V, sejalan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi terutama industri, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pada akhir PJP I diproduksi listrik sebesar 46.718,7 GWh; dibandingkan dengan awal PJP I, meningkat 26 kali lipat. Produksi tenaga listrik juga sudah dapat dinikmati oleh 31.689 desa melalui program pengembangan listrik perdesaan atau 48,7 persen dari jumlah seluruh desa. Selain itu, dengan dibangunnya sistem interkoneksi Jawa-Bali, maka sistem kelistrikan di Jawa dan Bali bertambah andal.

Peningkatan pembangunan di sektor pertambangan dan energi tidak terlepas dari dikembangkan dan diselesaikannya sejumlah peta dan informasi geologi mengenai keberadaan sumber mineral dan energi Indonesia. Pemetaan dan penyelidikan geologi juga telah berhasil meningkatkan kesiapsiagaan dalam rangka mitigasi dan penanggulangan bencana alam geologi, serta menjadi bahan bagi penataan ruang. Untuk itu selama PJP I antara lain telah diselesaikan 90 persen peta geologi bersistem; 83 persen peta daerah bahaya

(11)

dilakukannya pemetaan geologi dasar laut dan pemboran pengujian panas bumi.

Dengan berlandaskan hasil pembangunan yang telah dicapai dalam PJP I, maka pembangunan pertambangan dan energi akan dilanjutkan dan ditingkatkan dalam PJP II, diawali dengan Repelita VI.

B. PERTAMBANGAN

1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI

Sasaran pembangunan pertambangan dalam Repelita VI adalah meningkatnya produksi dan diversifikasi hasil tambang untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan sumber energi primer, serta meningkatnya ekspor dan pemenuhan keperluan masyarakat lainnya; terwujudnya sistem pengelolaan pertambangan yang efisien dan produktif yang didukung oleh kemampuan penguasaan teknologi dan sumber daya manusia yang berkualitas; meningkatnya peranserta masyarakat dalam usaha pertambangan, terutama melalui wadah koperasi; meluasnya pembangunan pertambangan di daerah guna mendukung pengembangan wilayah, terutama kawasan timur Indonesia; dan tersedianya pelayanan informasi geologi dan sumber daya mineral yang andal, baik untuk eksplorasi lanjut, penataan ruang maupun mitigasi bencana alam geologis.

Sasaran pembangunan pertambangan di bidang geologi dan sumber daya mineral dalam Repelita VI, antara lain adalah penyele -saian peta geologi dan daerah bahaya gunung api Indonesia, yang terdiri atas pemetaan dan penyelidikan geologi dan geofisika sejumlah 104 peta; pemetaan dan penyelidikan geologi kelautan sejumlah 25

(12)

lembar peta dan 30 lokasi; inventarisasi dan pemetaan serta eksplorasi sumber daya mineral sejumlah 55 lembar peta dan 105 lokasi; dan pemetaan hidrogeologi sebanyak 25 lembar.

Di bidang pertambangan mineral dan batubara sasaran yang hendak dicapai pada akhir Repelita VI, terutama, adalah produksi batubara mencapai 71 juta ton, produksi timah 40,3 ribu ton, produksi bijih nikel 2.750 ribu ton, produksi bauksit 1 juta ton, produksi tembaga 1.761 ribu ton, produksi emas 70.600 kilogram dan Perak 143.000 kilogram. Di bidang minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi sasarannya dalam Repelita VI, antara lain, adalah produksi minyak bumi dan kondensat sebesar 547,5 juta barel, dan produksi gas bumi sebesar 2.960 miliar kaki kubik.

Pertumbuhan sektor pertambangan diharapkan dapat mencapai rata-rata 2,6 persen per tahun selama Repelita VI. Dengan tingkat pertumbuhan ini diharapkan bahwa sektor pertambangan dapat meningkatkan kesempatan kerja dari sekitar 842 ribu orang pada tahun 1993 menjadi 989 ribu orang pada akhir Repelita VI. Dengan demikian, sektor pertambangan diharapkan mampu menciptakan tambahan kesempatan kerja untuk 147 ribu orang selama Repelita VI. Penyerapan tenaga kerja ini terutama diharapkan terjadi dari makin tumbuh dan berkembangnya usaha pertambangan rakyat, termasuk pertambangan skala kecil (PSK) dalam bentuk koperasi.

Untuk mencapai berbagai sasaran tersebut, kebijaksanaan pembangunan pertambangan pada pokoknya adalah mengembangkan informasi geologi dan sumber daya mineral sebagai pendukung dasar pembangunan pertambangan; memantapkan penyediaan komoditas mineral dan energi melalui peningkatan produksi dan diversifikasi hasil tambang; meningkatkan peranserta rakyat dan melestarikan fungsi lingkungan hidup dalam pembangunan pertambangan; mengem-

(13)

bangkan kemampuan sumber daya manusia dan penguasaan teknologi pertambangan guna mendukung peningkatan efisiensi serta produktivitas usaha pertambangan; dan mengembangkan iklim usaha, kemitraan berusaha serta sistem pendukung lainnya bagi peningkatan efektivitas pembangunan pertambangan

.

Untuk melaksanakan kebijaksanaan dan pencapaian berbagai sasaran pembangunan pertambangan, disusun serangkaian program pokok yang terdiri dari program pengembangan geologi dan sumber daya mineral meliputi geologi sumber daya mineral, geologi kelautan, geologi tata lingkungan dan mitigasi bencana alam geologic; program pembangunan pertambangan meliputi pertambangan batubara, pertambangan mineral, pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi; dan program pengembangan usaha pertambangan rakyat terpadu; serta didukung oleh program penunjang yaitu program penelitian dan pengembangan pertambangan; program pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan ketenagakerjaan pertambangan; program pembinaan dan pengelolaan lingkungan hidup; program pengembangan usaha nasional; dan program peningkatan kerjasama internasional.

2

. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama

Repelita VI

Pada tahun pertama Repelita VI, peningkatan produksi dan ekspor hasil pertambangan terlihat pada hampir semua jenis mineral. Selain itu, ditemukan sejumlah cadangan baru bahan tambang, baik dalam jumlah besar maupun kecil yang segera dapat dieksploitasi secara ekonomis seperti cadangan tembaga di Irian Jaya dan Nusa Tenggara Barat, gas alam di Arun dan Bontang, beberapa lapangan minyak, cadangan batubara dan mineral logam lainnya serta berbagai bahan galian industri.

(14)

Pembangunan pertambangan dalam tahun pertama Repelita VI dilaksanakan menurut program sebagai berikut.

a. Program Pokok

1) Program Pengembangan Geologi dan Sumber Daya Mineral

Dalam program pengembangan geologi dan sumber daya mineral dilaksanakan penyelidikan geologi dan eksplorasi mineral untuk meningkatkan penyediaan informasi geologi dan potensi sumber daya mineral yang akurat dan lengkap, meliputi data dasar geologi, potensi sumber daya mineral, geologi kelautan, serta informasi geologi tata lingkungan dan mitigasi bencana alam geologis, termasuk mendukung penyediaan informasi geologi bagi sektor pembangunan lainnya.

Pada tahun pertama Repelita VI telah dilakukan berbagai kegiatan inventarisasi dan pemetaan potensi geologi dan sumber daya mineral, antara lain telah diselesaikan pemetaan geologi bersistem dan pemetaan gaya berat di pulau Jawa dan Madura, dan pemetaan hidrogeologi Indonesia. Sementara itu, pemetaan geologi bersistem di luar pulau Jawa sudah mencapai 91,0 persen, atau sebanyak 164 lembar peta. Pemetaan daerah bahaya gunung api mencapai 83,0 persen, pemetaan topografi puncak gunung api 68,0 persen, pemetaan gaya berat luar pulau Jawa 43 persen, dan pemetaan gaya berat Indonesia 56,0 persen. Penyelesaian kegiatan pemetaan geologi lainnya masih relatif kecil, misalnya pemetaan geologi dasar laut baru dapat diselesaikan 6,0 persen.

Kegiatan inventarisasi dan eksplorasi sumber daya mineral sampai dengan tahun 1994/95 telah menyelesaikan pemetaan geokimia

(15)

mineral sebesar 30,0 persen, dan inventarisasi sumber daya mineral skala 1:250.000 sebanyak 53 peta atau 36,0 persen. Kegiatan eksplorasi sumber daya mineral telah menghasilkan data perkiraan cadangan sumber daya mineral logam timah 2,0 juta ton, nikel 901,2 juta ton, bauksit 924,4 juta ton, emas 1,7 ribu ton, dan Perak 8,7 ribu ton. Perkiraan cadangan sumber daya mineral industri, adalah sebagai berikut: batu kapur 30,0 miliar ton, dolomit 1,5 miliar ton, kaolin 9,3 juta ton, pasir kwarsa 4,7 miliar ton, zeolit 207,0 juta ton, pirofilit 550,0 juta ton, granit 10,0 miliar ton, dan marmer 8,6 miliar ton. Selain itu, ditemukan juga cadangan lainnya sebagai hasil eksplorasi yang dilakukan oleh pihak swasta seperti endapan emas di Grassberg, Irian Jaya dan Batuhijau, Sumbawa.

Sampai tahun 1994/95 peta potensi sumber daya energi yang telah diselesaikan meliputi sebaran potensi panas bumi di Indonesia skala 1:1.500.000, pemetaan geologi panas bumi skala 1:50.000 di 52 lokasi, penyelidikan geofisika panas bumi di 19 lokasi, dan pemboran uji panas bumi di 2 lokasi. Potensi sumber daya energi panas bumi diperkirakan mencapai 19.658 MW. Di samping itu, telah diselesaikan pula inventarisasi batubara dan gambut skala 1:250.000 sebanyak 50,0 persen.

Pemetaan hidrogeologi di pulau Jawa dan Madura dengan skala 1:250.000 sampai tahun 1994/95 telah mencapai 100,0 persen, dan di luar pulau Jawa dan Madura telah diselesaikan sebesar 50,0 persen. Pemetaan geologi teknik pulau Jawa dan Madura dengan skala 1:100.000 telah diselesaikan sebesar 21,0 persen. Selanjutnya, penyelidikan potensi cekungan air tanah tingkat awal telah diselesaikan sebanyak 105 cekungan, dan penyelidikan tahap rinci sebanyak 22 cekungan.

(16)

Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah dilaksanakan pemetaan dan penyelidikan mitigasi bencana alam geologis, yang sekaligus juga dapat mendukung kegiatan penataan ruang, yaitu: pemetaan seismik daerah rawan gempa skala 1:250.000 sebanyak 8 peta; pemetaan geologi kuarter skala 1:50.000 sebanyak 17 peta; pemetaan geomorfologi skala 1:100.000 sebanyak 6 peta; pemetaan geologi gunung api skala 1:100.000 sebanyak 38 dari 129 gunung api; pemetaan daerah bahaya gunung api skala 1:50.000 dari 91 gunung api; pemetaan topografi puncak gunung api skala 1:10.000 sebanyak 68 peta; pemetaan topografi aliran lahar skala 1:10.000 sebanyak 20 peta; pemetaan kerentanan gerakan tanah skala 1:100.000 sebanyak 13 peta; pemetaan geologi teknik pulau Jawa skala 1:100.000 sebanyak 21,0 persen; dan pemetaan geologi tata lingkungan skala 1:100.000 sebanyak 6 peta untuk beberapa daerah tertentu. Dalam melakukan mitigasi bencana alam geologis, telah dilaksanakan identifikasi 20 daerah sesar aktif yang terbagi dalam 130 bagian sesar, pengamatan 59 gunung api, pemantauan di 5 lokasi daerah rawan longsor, dan pemeriksaan tanah longsor di 20 lokasi (label XIV-1).

Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup telah dilaksanakan pula berbagai penyelidikan. Sampai tahun 1994/95 telah diselesaikan penyelidikan daerah geologi kuarter dan seismotektonik pada 134 lokasi, dan penyelidikan geologi wilayah pantai pada 51 lokasi. Penyelidikan diberbagai gunung api meliputi penyelidikan potensi lahar/bahaya letusan pada 38 gunung api, penyelidikan kimia 24 gunung api, penyelidikan fisika 19 gunung. api, penyelidikan penginderaan jauh .23 gunung api, dan penyelidikan seismik 18 gunung api. Penyelidikan geologi teknik dilakukan sebanyak 246 penyelidikan meliputi penyelidikan pondasi, terowongan, bendungan, waduk, jalan raya, jalan kereta api, kemantapan lereng, tanah lunak, dan likuifaksi. Penyelidikan geologi lingkungan perkotaan, perdesaan,

(17)

pantai, pertambangan, dan geologi lingkungan buangan limbah telah dilakukan di 124 lokasi.

Sampai dengan tahun pertama Repelita VI telah terjadi beberapa bencana alam geologis baik besar maupun kecil yang meliputi letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor serta gelombang pasang yang menelan korban jiwa maupun harta benda. Untuk memberikan peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam geologis tersebut, pemantauan terhadap gunung api aktif dan pemetaan geologi daerah rawan bencana terus dilakukan. Kewaspadaan ini diberikan baik terhadap bahaya primer maupun sekunder, karena keselamatan rakyat harus selalu mendapatkan perhatian yang utama.

2) Program Pembangunan Pertambangan a) Pertambangan Batubara

Produksi batubara pada tahun 1994/95 mencapai 32.599,5 ribu ton, atau meningkat 14,1 persen dari tahun sebelumnya. Dalam rangka penghematan penggunaan BBM, batubara merupakan sumber energi pengganti minyak bumi yang utama untuk pembangkit energi listrik dan industri semen, serta industri lainnya di dalam negeri. Ekspor batubara juga meningkat dari 18.985,9 ribu ton pada tahun 1993/94 menjadi 22.080,0 ribu ton pada tahun 1994/95, atau naik sebesar 16,3 persen (Tabel XIV-3). Kemajuan ini telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu eksportir batubara terkemuka di dunia. Dalam upaya penganekaragaman konsumsi energi untuk rumah tangga dan industri kecil terutama di daerah perdesaan, pemasyarakatan pemakaian briket batubara sebagai pengganti BBM dan kayu bakar terus diupayakan melalui kegiatan percontohan.

(18)

b) Pertambangan Mineral

Dalam tahun 1994/95 produksi logam timah mencapai 30,0 ribu ton atau turun sebesar 1,3 persen dibanding dengan akhir Repelita V (Tabel XIV-4). Penurunan produksi ini disebabkan adanya pembatasan ekspor komoditi timah oleh Association of Tin Producing Countries (ATPC) sejak tahun 1983 yang harus dipatuhi oleh negara anggotanya. Dewasa ini harga timah di pasaran dunia sangat berfluktuasi, namun produksi timah Indonesia masih dapat dipacu dengan meningkatkan efisiensi dan daya saing, terlebih setelah dilakukannya restrukturisasi pada PT Timah.

Produksi bijih nikel PT Aneka Tambang di wilayah Pomalaa dan pulau Gebe sebagian besar diekspor langsung, sisanya diolah di dalam negeri menjadi ferronikel di pabrik Pomalaa. Hasi1 tambang nikel di Soroako diolah menjadi nikel matte oleh PT Inco. Produksi bijih nikel dalam tahun 1994/95 mencapai 2.253,3 ribu ton atau meningkat sebesar 17,0 persen dibanding tahun 1993/94. Sejalan dengan ini, produksi ferronikel dan nikel matte pada tahun 1994/95 masing-masing mengalami peningkatan sebesar 33,1 persen dan 17,9 persen dibandingkan produksinya pada tahun 1993/94 (Tabel XIV-5).

Produksi tembaga Indonesia dihasilkan oleh PT Freeport Indonesia Company, yang memproses bijih tembaga menjadi kon-sentrat untuk tujuan ekspor, karena belum adanya pabrik peleburan tembaga di dalam negeri. Produksi konsentrat tembaga meningkat sebesar 15,6 persen yaitu dari 960 ribu ton pada akhir Repelita V menjadi 1.109,3 ribu ton pada tahun 1994/95 (Tabel XIV-6).

Emas dan Perak diperoleh sebagian besar dari produk hasil ikutan yang terkandung dalam konsentrat tembaga, disamping hasil

(19)

potensial. Selain itu, emas juga diproduksi secara sederhana oleh pertambangan rakyat setempat baik s e c a r a resmi maupun pertambangan tanpa izin (PETI). Produksi emas dalam tahun 1994/95 adalah 45.272,1 kg atau meningkat sebesar 3,1 persen dibanding dengan tahun sebelumnya. Produksi perak meningkat pesat sebesar 71,8 persen dalam tahun 1994/95 menjadi 152.767,5 kg dibanding dengan produksi tahun 1993/94 (Tabel XIV -7).

Seluruh hasil tambang bauksit di pulau Bintan diusahakan oleh PT Aneka Tambang untuk ekspor. Pada tahu n 1994/95 produksi bauksit turun 16,1 persen dari tahun 1993/94. Karena Indonesia belum memiliki pabrik peleburan untuk mengolah bauksit menjadi alumina, maka produksi bauksit sangat dipengaruhi oleh permintaan pasar luar negeri.

Endapan pasir besi yang terdapat di sepanjang pantai selatan pulau Jawa antara Cilacap dan Yogyakarta memiliki kandungan titan yang cukup tinggi. Pengolahan lebih lanjut pasir besi tersebut secara ekonomis belum menguntungkan jika digunakan untuk bahan baku pembuatan besi baja. Saat ini pasir besi digunakan sebagai bahan baku penolong industri semen di dalam negeri. Produksi pasir besi pada tahun 1994/95 mengalami penurunan 6,7 persen dari produksi tahun 1993/94 sejak digunakannya fine pellets sebagai substitusi (Tabel XIV-8).

Produksi bahan tambang lainnya meliputi semua mineral atau bahan galian bukan logam yaitu belerang, fosfat, kaolin, pasir kwarsa, batu granit, bentonit, gamping, marmer, gips dan lempung serta beberapa jenis bahan galian lainnya yang banyak diusahakan oleh rakyat setempat, koperasi, perusahaan swasta nasional, dan BUMN/BUMD terutama untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri maupun ekspor. Hasil bahan galian industri ini

(20)

berkembang sejalan dengan pertumbuhan industri pengolahannya di dalam negeri. Bahan galian industri gamping dan lempung digunakan sebagai bahan baku pada industri semen; kaolin sebagai bahan baku industri keramik; batu granit dan marmer poles sebagai bahan bangunan; zeolit untuk peternakan, perikanan dan pemurnian air; bentonit untuk pemurnian minyak goreng dan lumpur bor; kapur, dolomit dan fosfat untuk. pertanian; serta pasir kwarsa untuk pembuatan gelas.

Perkembangan produksi beberapa bahan galian industri pada tahun 1994/95 dibanding dengan tahun 1993/94 adalah gips 700 ton, atau naik 18,2 persen; belerang 4.500 ton, atau naik sebesar 7,1 persen; produksi gamping dan lempung sebagai bahan baku industri semen masing-masing sebesar 42,3 juta ton dan 3,6 juta ton, atau meningkat masing-masing sebesar 5,0 persen dan 23,3 persen. Sementara itu, produksi kaolin pada tahun 1994/95 mencapai 216 ribu ton, atau naik 3,0 persen dari tahun sebelumnya. Begitu juga produksi pasir kwarsa mencapai 1,1 juta ton, dari produksi pada tahun 1993/94 sebesar 1,1 juta ton, atau meningkat 2,7 persen. Produksi marmer meningkat dari 1.893 ribu meter persegi (m2) dalam tahun 1993/94 menjadi 1.895 ribu meter persegi (m2) pada tahun 1994/95. Pertumbuhan produksi bahan galian industri telah ikut memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan peluang usaha di daerah sehingga membantu pula upaya pengentasan kemiskinan (Tabel XIV-9 dan Tabel XIV-10).

c) Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi

Produksi minyak bumi dan kondensat meningkat dari 559,9 juta barel pada tahun 1993/94 menjadi 591,6 juta barel pada tahun 1994/95 atau naik sebesar 5,6 persen, yang berarti lebih tinggi 5,9

(21)

persen dari sasaran tahun pertama Repelita VI sebesar 558,5 juta barel. Dengan meningkatnya produksi, ekspor minyak bumi dan kondensat meningkat sebesar 8,3 persen, yaitu dari 294,3 juta barel menjadi 318,8 juta barel.

Pengilangan minyak di dalam negeri dalam tahun pertama Repelita VI menunjukkan penurunan sebesar 0,3 persen dibanding dengan produksi tahun 1993/94. Selain itu, pemasaran BBM di dalam negeri juga menurun sebesar 2,2 persen, yaitu dari 264,3 juta barel menjadi 258,5 juta barel (label XIV.--11). Penurunan ini menunjukkan bahwa upaya diversifikasi dan efisiensi pemakaian energi telah mulai dirasakan hasilnya.

Meskipun volume pemasaran BBM di dalam negeri mulai menunjukkan penurunan, namun pelayanan distribusi dan penyalurannya di dalam negeri terus ditingkatkan, sehingga mampu menjangkau masyarakat di daerah dengan jumlah yang tepat. Untuk itu sarana pendistribusian BBM meliputi sarana pengangkutan, pembekalan, sarana timbun dan bongkar muat, serta terminal transit terus ditingkatkan menuju terbentuknya pola distribusi nasional BBM yang efisien.

Produksi dan pemanfaatan gas bumi telah berkembang pesat, yaitu meningkat sebesar 19,3 persen dari 2.502,0 miliar kaki kubik pada tahun 1993/94 menjadi 2.985,7 miliar kaki kubik pada tahun pertama Repelita VI. Pemanfaatan gas bumi juga meningkat dari 93,0 persen pada tahun 1993/94, menjadi 94,6 persen. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan karena meningkatnya pengolahan gas alam menjadi LNG pada Train E Bontang dan perluasan pada train lainnya, serta meningkatnya pengolahan gas alam menjadi LPG. Peningkatan permintaan gas bumi juga berkaitan dengan kebutuhan bahan baku dan energi untuk industri pupuk, semen, besi baja dan

(22)

industri lainnya serta untuk hotel, restoran dan rumah tangga. Selain itu, gas yang disalurkan sebagai bahan bakar pada pembangkit energi listrik maupun sebagai bahan baku industri petrokimia juga meningkat (Tabel XIV-13).

Produksi LPG selama tahun 1994/95 menurun sebesar 1,8 persen dari produksi tahun 1993/94, atau turun dari 2.890,2 ribu ton menjadi 2.837,3 ribu ton. Adapun ekspor LPG selama periode yang sama menunjukkan penurunan sebesar 6,2 persen, yaitu turun dari 2.633,1 ribu ton menjadi 2.470 ribu ton. Penurunan ekspor tersebut terpaksa dilakukan karena kebutuhan LPG di dalam negeri yang meningkat dengan sebesar 27,0 persen (Tabel XIV-14). Meningkatnya penggunaan LPG untuk keperluan rumah tangga dan industri di dalam negeri merupakan bagian dari upaya diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan kepada BBM.

Di bidang transportasi, pemerintah terus mendorong pemakaian Bahan Bakar Gas (BBG) bagi kendaraan bermotor. Untuk tujuan tersebut sampai saat ini di Jakarta telah dioperasikan sebanyak 9 buah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG) sebagai proyek percontohan, dan 3 buah lainnya masih dalam tahap pembangunan.

Indonesia mempunyai potensi sebaran energi panas bumi yang cukup besar di Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Maluku. Berdasarkan hasil survey eksplorasi panas bumi yang dilakukan, telah berhasil diidentifikasikan 217 lokasi yang mempunyai prospek untuk dikembangkan dengan jumlah potensi lebih dari 19.658 MW. Selama tahun 1994/95 telah dilakukan pemboran 3 sumur eksplorasi dan 8 sumur pengembangan, serta 142 sumur pemboran panas bumi. Sumber panas bumi tersebut, telah dimanfaatkan untuk pembangkit energi listrik berkekuatan 309,5 MW dan telah menghasilkan energi listrik sebesar 1.868 GWh selama 1994/95.

(23)

3) Program Pengembangan Usaha Pertambangan Rakyat Terpadu

Program ini dilaksanakan untuk, meningkatkan peranserta masyarakat dalam pembangunan pertambangan secara lebih luas dan produktif. Untuk itu dilakukan peningkatan pembinaan terhadap potensi usaha pertambangan rakyat dalam bentuk program terpadu yang merupakan bagian dari sistem pertambangan nasional yang tangguh. Konsep pola pertambangan skala kecil (PSK), yang dirintis sejak tahun 1991 terus dikembangkan.

Upaya pengembangan usaha pertambangan skala kecil, selain turut mendorong pengembangan wilayah dan membuka daerah ter -pencil dan terisolir, juga memberikan dampak positif pada perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha serta sekaligus meningkatkan pendapatan dan taraf hidup rakyat penambang, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi perdesaan. Sejalan dengan tujuan pengembangannya, bentuk organisasi usaha yang sesuai untuk diterapkan bagi PSK adalah KUD. Selain itu, peranserta masyarakat terus ditingkatkan dengan menumbuhkembangkan kemitraan antara usaha pertambangan besar milik swasta maupun milik pemerintah dengan usaha pertambangan rakyat dan koperasi yang berskala kecil. Konsep ini dilakukan dalam membantu menyelesaikan masalah pertambangan tanpa izin (PETI). Sampai tahun 1994/95 terdapat 321 usaha swasta nasional yang telah diberi izin untuk melakukan eksplorasi maupun eksploitasi bahan galian emas, tembaga, mangan, batubara dan belerang. Usaha PSK yang sudah beroperasi sampai dengan tahun pertama Repelita VI berjumlah 22 perusahaan swasta nasional dan 15 KUD yang diantaranya sudah memproduksi batubara dan emas.

(24)

b. Program Penunjang

1) Program Penelitian dan Pengembangan Pertambangan

Program ini dilaksanakan untuk meningkatkan efisiensi dan mutu hasil tambang melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertambangan dan pengolahan hasil tambang dengan mening-katkan serta mempercepat pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan.

Pada tahun pertama Repelita VI, dalam bidang geologi dan sumber daya mineral telah dilaksanakan survei geofisika, pengembangan piranti lunak dan sistem pemetaan digital dengan

geographic information system (GIS), serta persiapan pemanfaatan jasa satelit untuk peringatan dini bahaya gunung api. Selain itu, dilaksanakan pengembangan standarisasi dan pembakuan peta, serta penyusunan prosedur tetap mitigasi bencana alam geologis.

Kegiatan penelitian di bidang pertambangan dalam tahun 1994/95 antara lain adalah pembakuan komoditas tambang, teknik penambangan serta pengolahan hasil tambang, penyusunan standar keselamatan kerja, dan uji mineral logam serta mineral industri guna meningkatkan nilai tambah produk pertambangan. Adapun pengembangannya lebih diarahkan. kepada usaha peningkatan cadangan, diversifikasi konservasi energi, dan penguasaan teknologi pengolahan material baru.

(25)

2) Program Pendidikan, Pelatihan, Penyuluhan, dan Ketenagakerjaan Pertambangan

Program ini dilaksanakan untuk meningkatkan peranserta masyarakat melalui pengembangan sistem informasi, penyuluhan, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam upaya penyebarluasan informasi, telah dilakukan penerbitan peta, buku panduan, buletin dan informasi lainnya yang berkaitan dengan geologi, geofisika, sumber daya mineral gunung api, serta informasi geologi tata lingkungan dan mitigasi bencana alam geologi yang makin dibutuhkan guna menunjang pembangunan di sektor lainnya.

Kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam tahun pertama Repelita VI dilakukan sebagai upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam penguasaan teknologi pertambangan. Untuk itu telah dilakukan pelatihan dan pendidikan teknis, sesuai dengan jenjang tugas pekerjaan melalui pendidikan formal, baik gelar maupun non gelar, yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun swasta.

Kegiatan penyuluhan dilaksanakan dengan memberikan informasi tentang. air tanah, bahaya gunung api, gempa bumi, serta gerakan tanah. Penyuluhan hukum di bidang pertambangan mineral dan energi telah dilaksanakan kepada aparat pemerintah daerah serta masyarakat secara luas.

Peningkatan keselamatan kerja dilaksanakan dengan meng-intensifkan penyuluhan kepada pekerja, pengusaha, dan masyarakat di sekitar tambang. Selain itu, pemantauan keselamatan kerja digiatkan melalui kegiatan inspeksi tambang.

(26)

3) Program Pembinaan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Program ini dilaksanakan untuk meningkatkan kepedulian lingkungan dan kepedulian sosial dalam segenap aspek kegiatan penambangan guna mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dengan demikian, selain meningkatkan produksi pertambangan, kelestarian fungsi lingkungan hidup juga mendapat perhatian. Pemantauan dan pengawasan kualitas lingkungan pertambangan serta sarana penunjang produksi terus ditingkatkan dengan berpedoman pada rencana pengelolaan lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) yang disahkan oleh Komisi Pusat Amdal. Sampai saat ini terdapat 53 perusahaan pertambangan yang telah memiliki Amdal, termasuk 38 perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP) eksploitasi.

Parameter lingkungan yang dipantau meliputi baku mutu air, konservasi tanah, kualitas udara, habitat khusus, tingkat pertumbuhan vegetasi serta dampak sosial budaya masyarakat setempat. Pemantauan ini akan terus dilanjutkan, mengingat sektor pertambangan selalu dianggap sebagai salah satu sumber kerusakan dan pencemaran lingkungan. Selanjutnya, dalam tahun 1994/95 telah dilakukan beberapa kegiatan reklamasi dan pemanfaatan lahan pasca tambang secara produktif melalui penerapan dan pemanfaatan lahan berganda, bahkan PT Timah telah mereklamasi 300 hektar lahan.

4) Program Pengembangan Usaha Nasional

Program ini dilaksanakan untuk mendorong dan meningkatkan kemampuan usaha nasional dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan swasta nasional sebagai kontraktor. Sampai saat ini minat pengusaha untuk menjadi kontraktor pertambangan terutama batubara sangat menggembirakan. Secara kumulatif sampai tahun 1994/95

(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)

jumlah perusahaan pertambangan baik yang bersifat KP maupun kontraktornya mencapai sekitar 100 perusahaan, dan 20 perusahaan diantaranya telah memasuki tahap produksi.

5) Program Peningkatan Kerjasama Internasional

Program ini dilaksanakan sebagai bagian integral dari pembangunan pertambangan dalam mempercepat alih teknologi, stabilisasi harga dan produksi komoditas, serta mendorong investasi di bidang pertambangan.

Indonesia telah berperan aktif dalam berbagai kerjasama internasional di bidang minyak bumi, gas bumi, panas bumi, dan timah. Antara lain, dalam bulan November 1994 Indonesia telah menjadi tuan rumah konferensi OPEC ke 97 di Bali. Demikian pula berbagai kerjasama bilateral telah dilakukan untuk melancarkan perdagangan dan ekspor komoditas pertambangan, penyelesaian masalah landas kontinen, serta pengusahaan bersama sumber daya minyak dan gas bumi.

Di bidang penelitian dan pengembangan dilanjutkan dan ditingkatkan kerjasama dengan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea, maupun negara-negara berkembang lainnya. Demikian juga ditingkatkan pemanfaatan data dan informasi dari badan-badan internasional guna mendukung dan memantapkan strategi pengembangan industri pertambangan nasional.

C. ENERGI

1. Sasaran, Kebijaksanaan, dan Program Repelita VI

Sasaran yang hendak dicapai pada akhir Repelita VI adalah XIV/45

(46)

menurunnya pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi dan meningkatnya pangsa energi nonminyak bumi, khususnya gas bumi dan batubara, serta berkembangnya energi baru dan terbarukan. Untuk itu, beberapa sasaran kuantitatif yang akan diwujudkan pada akhir Repelita VI adalah penyediaan minyak bumi mencapai 360,0 juta barel; penyediaan gas bumi mencapai 162,6 juta setara barel minyak (SBM); dibangunnya jaringan pipa gas bumi sepanjang 2.060 km; produksi liquified natural gas

(LNG)

mencapai 28 juta ton; produksi batubara mencapai 71 juta ton; penggunaan briket batubara untuk rumah tangga mencapai 4,8 juta ton briket; pemakaian minyak tanah sektor rumah tangga sebanyak 30 persen- digantikan oleh briket batubara; pemanfaatan tenaga air mencapai 33,6 SBM; pemanfaatan panas bumi mencapai 12,0 juta SBM; rasio elektrifikasi mencapai 60 persen; rasio elektrifikasi desa mencapai 79 persen; penghematan pemakaian energi mencapai rata-rata 15 persen. Penghematan energi akan berhasil mengurangi pemakaian energi, seperti tercermin dalam intensitas energi yang turun dari 3.115 SBM/juta US dollar pada tahun 1994/95 menjadi 2.812 SBM/juta US dollar pada tahun terakhir Repelita VI.

Dalam melaksanakan amanat GBHN untuk mencapai sasaran pembangunan energi tersebut di atas, yang pada dasarnya adalah menjamin terpenuhinya kemandirian dalam bidang energi, dengan jumlah, mutu, dan pelayanan sesuai dengan kebutuhan, serta dengan harga yang wajar, maka pokok kebijaksanaan pembangunan energi termasuk ketenagalistrikan dalam Repelita VI adalah meningkatkan penyediaan dan pemanfaatan sumber daya energi; meningkatkan sarana dan prasarana; meningkatkan fungsi kelembagaan; meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi; meningkatkan peranserta masyarakat; dan meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan dalam pemanfaatan energi.

(47)

Untuk melaksanakan kebijaksanaan dan mencapai berbagai sasa-ran pembangunan energi tersebut di atas, dikembangkan program pembangunan sektor energi yang meliputi program pokok dan program penunjang. Program pokok mencakup program pengembangan tenaga listrik; program pengembangan listrik perdesaan; dan program pengembangan tenaga migas, batubara, dan energi lainnya. Sedangkan program penunjang mencakup program pengendalian pencemaran lingkungan hidup; program penelitian dan pengembangan energi; program pengembangan informasi energi; dan program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan energi.

2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama

Repelita VI

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan pembangunan, pemakaian energi primer juga meningkat. Apabila pada saat memasuki tahun pertama PJP I konsumsi energi primer baru sebesar 40,7 juta SBM, maka pada akhir PJP I pemakaian energi primer telah mencapai 426,3 juta SBM. Dengan demikian laju peningkatan konsumsi energi selama PJP I adalah sebesar 9,9 persen per tahun. Untuk tahun 1994/95, atau tahun pertama PJP II, jumlah total konsumsi energi primer meningkat menjadi 473,6 juta SBM atau mengalami kenaikan sekitar. 11,0 persen dari tahun terakhir PJP I. Laju pertumbuhan rata-rata ini lebih tinggi di bandingkan dengan laju rata-rata dunia, yaitu 3,0 persen. Perkembangan penggunaan energi primer tersebut dapat dilihat pada Tabel XIV-15, sedangkan hasil pelaksanaan pembangunan sektor energi dapat di lihat pada Tabel XIV-16 sampai dengan Tabel XIV-22.

a. Program Pokok

Program pokok meliputi kegiatan pengembangan tenaga listrik, pengembangan listrik perdesaan, dan pengembangan tenaga migas, batubara, dan energi lainnya.

(48)

1) Program Pengembangan Tenaga Listrik

Program ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik yang diperkirakan akan terus meningkat. Sesuai dengan kebijaksanaan sektor ketenagalistrikan, dalam rangka mengimbangi permintaan tenaga listrik yang meningkat dan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dalam tahun pertama Repelita VI telah diselesaikan berbagai sarana penyediaan tenaga listrik oleh PLN, diantaranya penambahan pembangkit tenaga listrik dengan jumlah kapasitas sebesar 1.535 MW. Tambahan kapasitas pembangkitan ini dimungkinkan dengan selesainya pembangunan beberapa pusat pembangkit dengan kapasitas besar yaitu PLTU Paiton 2 (400 MW), PLTU Bukit Asam 3 (65 MW), PLTGU Gresik (166 MW), PLTP Darajat 1 (55 MW), dan PLTG Bali (84 MW).

Untuk menyalurkan tenaga listrik dari pusat pembangkit tenaga listrik ke daerah-daerah pusat beban, dalam tahun pertama Repelita VI telah dibangun dan diselesaikan jaringan transmisi sepanjang 427,6 kilometersirkit (kms), diantaranya jaringan transmisi sepanjang 32 kms untuk 500 kV, 332,1 kms untuk 150 kV, dan 63,5 kms untuk 70 kV, serta gardu induknya dengan kapasitas sebesar 3.635 MVA. Keseluruhan jaringan distribusi yang dibangun dalam tahun pertama Repelita VI adalah, jaringan tegangan menengah (JTM) sepanjang 3.061,7 kms, jaringan tegangan rendah (JTR) sepanjang 2.734,2 kms, dan gardu distribusi dengan kapasitas sebesar 112,7 MVA, tidak termasuk pembangunan pada listrik perdesaan.

Pembangunan ketenagalistrikan diikuti pula pemerataannya. Jumlah penduduk yang dapat menikmati listrik meningkat dari 874.656 pelanggan atau 7,3 persen dari jumlah penduduk Indonesia pada awal PJP I, menjadi 15.157.409 pelanggan atau 41,0 persen dari

(49)

jumlah penduduk pada akhir PJP I, dan pada awal Repelita VI meningkat lagi menjadi 16.936.613 pelanggan atau 45,0 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, produksi listrik juga meningkat menjadi 51.478,4 GWh pada tahun pertama Repelita VI, atau naik sebesar 10,2 persen dibandingkan tahun terakhir PJP I. Penjualan listrik pada tahun pertama Repelita VI menjadi 43.060,8 GWh atau naik sebesar 10,5 persen dibandingkan tahun terakhir PJP I. Hasil pembangunan tenaga listrik dapat dilihat pada Tabel XIV-16 dan Tabel XIV-17, sedangkan produksi dan Jaya terpasang untuk masing-masing wilayah pengusahaan PLN di Indonesia dapat dilihat pada Tabel XIV-18.

Sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah untuk menurunkan pangsa minyak bumi dalam penyediaan energi di dalam negeri, penggunaan BBM untuk pembangkit listrik telah berhasil dikurangi dari 62,8 persen pada awal PJP I menjadi 46,3 persen pada tahun 1993/94 dan turun lagi menjadi 42,3 persen pada tahun pertama Repelita VI.

Pemakaian tenaga listrik telah didorong agar lebih banyak digunakan untuk keperluan produktif. Hal ini terlihat dari komposisi pemakaian energi listrik oleh pelanggan rumah tangga yang turun dari 54,6 persen pada awal Repelita I menjadi 32,0 persen pada tahun 1993/94 dan menjadi 28,7 persen pada tahun pertama Repelita VI. Sementara itu, pemakaian untuk pelanggan industri dan komersial naik dari 46,0 persen pada awal. Repelita I, menjadi 50,0 persen pada tahun 1993/94 dan tahun pertama Repelita VI.

Upaya meningkatkan efisiensi, antara lain terlihat hasilnya dari menurunnya susut tenaga listrik. Susut tenaga listrik, yang meliputi susut jaringan transmisi dan distribusi, turun dari 29,0 persen pada

(50)

tahun pertama PJP I menjadi 12,5 persen pada tahun 1993/94 dan turun lagi pada awal Repelita VI menjadi 12,4 persen.

Mengingat kemampuan PLN untuk investasi sangat terbatas, pihak swasta telah didorong untuk melakukan investasi dalam pembangunan ketenagalistrikan. Saat ini telah ditandatangani 3 kontrak jual beli listrik antara PLN dan pihak swasta, yaitu untuk PLTU Paiton Swasta I (2 x 615 MW), PLTU Paiton Swasta II (2 x 610 MW), dan PLTU Tanjung Jati B (2 x 660 MW).

Hingga tahun pertama Repelita VI telah diberikan 18 Surat Persetujuan Pendahuluan (SPP) termasuk untuk pusat pembangkit skala kecil sebanyak 3 buah, yaitu PLTMH Subang 625 kVA, PLTP Cibuni

2

x 5 MW, PLTU Kayu Barabai 2 x 5 MW, dan untuk penggunaan energi terbarukan sebanyak 1 buah, yaitu PLTU biogas 50 MW.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan tenaga listrik dalam jumlah dan mutu yang memadai serta harga yang terjangkau oleh segala lapisan masyarakat, dengan tetap memberikan keuntungan kepada PLN sebagai pengelola utama, dalam tahun pertama Repelita VI beberapa kebijaksanan telah disempurnakan. Antara lain, dengan Keppres Nomor 67 Tahun 1994 tentang penyempurnaan mekanisme penetapan harga jual tenaga listrik, perubahan tarif tenaga listrik ditetapkan secara berkala berdasarkan perubahan harga bahan bakar, harga pembelian listrik dari pihak swasta, tingkat inflasi, dan nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah.

Selanjutnya, dengan PP Nomor 23 Tahun 1994, status PLN telah berubah dari Perusahaan Umum menjadi Perseroan Terbatas. Dengan demikian, PLN dapat lebih leluasa dalam mengatur struktur permo-dalan serta mencari dana untuk melakukan investasi yang diperlukan.

(51)

2) Program Pengembangan Listrik Perdesaan

Dalam rangka memeratakan ketersediaan energi listrik sampai ke perdesaan, kegiatan penyediaan listrik di perdesaan telah dikembangkan menjadi program tersendiri pada Repelita VI. Jumlah desa yang dialiri tenaga listrik terus ditingkatkan, dengan sasaran seluruh desa di Indonesia akan dialiri tenaga listrik pada akhir Repelita VII. Program ini juga dikembangkan dengan memberi perhatian khusus terhadap pengembangan energi baru yang tersedia setempat di perdesaan.

Dalam Repelita VI direncanakan sebanyak 18.619 desa baru akan mendapat aliran tenaga listrik. Untuk mendukung pengembangan listrik perdesaan akan dibangun jaringan distribusi tegangan menengah dan tegangan rendah masing-masing sepanjang 61.776 kms dan 104.847 kms, berikut gardu distribusi yang seluruhnya berkapasitas 2.960,2 MVA. Dengan pembangunan sarana tersebut, jumlah konsumen yang akan memperoleh aliran tenaga listrik akan mencapai 15.468.000 rumah tangga di desa, dan jumlah desa yang mendapat aliran tenaga listrik akan mencapai 79 persen dari seluruh desa yang terdapat di Indonesia.

Jumlah desa yang dialiri tenaga listrik telah meningkat dari 31.689 desa, atau 48,7 persen dari jumlah desa diseluruh Indonesia pada akhir PJP I menjadi 35.066 desa pada awal Repelita VI, atau naik 10,0 persen dibanding akhir Repelita V. Sedangkan JTM dan JTR yang telah dibangun dalam tahun pertama Repelita VI adalah sepanjang 9.014,8 kms dan 9.706,9 kms, dengan gardu distribusi yang seluruhnya berkapasitas 196,4 MVA. Dengan tambahan ini, konsumen listrik di desa bertambah dengan 1.841.634 pelanggan dan

(52)

jumlah desa berlistrik mencapai 54,0 persen. Hasil pembangunan listrik perdesaan dapat dilihat pada Tabel XIV-19.

Kegiatan pengembangan listrik perdesaan juga akan lebih terpacu dengan telah selesainya rencana induk listrik perdesaan pada tahun pertama Repelita VI. Dengan selesainya rencana induk ini, koordinasi pelaksanaan pembangunan listrik perdesaan yang juga akan melibatkan swasta dan koperasi, dapat ditingkatkan. Untuk mendo-rong pembangunan listrik perdesaan oleh koperasi dan swasta, telah diluncurkan paket kebijaksanaan "pembelian tenaga listrik skala kecil" dan "pembelian tenaga listrik secara curah". Kebijaksanaan pertama dimaksudkan untuk memudahkan perusahaan listrik skala kecil, terutama yang mengusahakan dari sumber energi terbarukan, untuk menjual listriknya pada PLN. Sedangkan kebijaksanaan yang kedua dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada koperasi atau swasta agar dapat menjual listrik yang diproduksi oleh PLN.

3)

Program Pengembangan Tenaga Migas, Batubara,

dan Energi lainnya

Program ini ditujukan untuk meningkatkan upaya pencarian, penemuan, penyediaan, penganekaragaman, serta penghematan sumber daya energi. Dari berbagai jenis energi primer yang ada, minyak bumi mempunyai peranan sangat menonjol, baik sebagai sumber energi dan bahan Baku untuk industri maupun sebagai sumber penerimaan devisa negara. Apabila pada awal PJP I produksi minyak bumi adalah 219,9 juta barel per tahun, maka pada akhir PJP I telah meningkat menjadi 559,9 juta barel per tahun. Pada. tahun pertama Repelita VI, produksi minyak bumi mencapai 591,6 juta barel per tahun atau 6,9 persen lebih tinggi dari sasaran rata-rata Repelita VI sebesar 553,3 juta barel per tahun.

(53)

Dari sisi konsumsi, laju pertumbuhan pemakaian minyak bumi selama PJP I adalah 8,7 persen per tahun dan selama Repelita V adalah 8,2 persen per tahun. Pada tahun pertama Repelita VI laju pertumbuhan tersebut dapat ditekan menjadi hanya sebesar 2,5 persen. Penurunan laju kenaikan pemakaian minyak bumi tersebut terutama dimungkinkan oleh mulai beroperasinya pusat-pusat tenaga listrik dengan bahan bakar non minyak seperti pusat listrik tenaga air, pusat listrik tenaga uap batubara serta pusat listrik panas bumi.

Kenaikan pemakaian BBM meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar rata-rata 7,9 persen per tahun selama PJP I. Selama Repelita V konsumsi BBM naik dari 191,8 juta barel pada awal Repelita V menjadi 264,3 juta barel pada akhir Repelita V, atau naik rata -rata sebesar 8,1 persen per tahun. Kenaikan ini, selain disebabkan oleh meningkatnya permintaan akan energi final dari sektor industri dan transportasi, juga karena relatif rendahnya harga minyak bumi di dalam negeri yang menyebabkan adanya kecenderungan penggunaan yang kurang efisien. Dalam tahun pertama Repelita VI, konsumsi BBM adalah sebesar 286,1 juta barel, atau 2,5 persen lebih tinggi dibanding dengan tahun sebelumnya. Walaupun meningkat, laju kenaikan ini relatif lebih rendah dibandingkan dengan laju kenaikan rata-rata Repelita V. Hal ini disebabkan antara lain oleh meningkatnya penggunaan gas bumi sebagai pengganti BBM pada industri semen, transportasi, dan pembangkit listrik. Pangsa penggunaaan BBM pada pembangkit tenaga listrik, turun dari 46,3 persen pada tahun terakhir Repelita V menjadi 42,3 persen pada tahun pertama Repelita VI. Perkembangan konsumsi BBM dapat dilihat pada Tabel XIV-20.

Untuk memenuhi kebutuhan BBM di dalam negeri, telah dilakukan optimalisasi kilang di samping pembangunan kilang baru. Pada tahun pertama Repelita VI telah mulai dilakukan persiapan optimalisasi kilang di Cilacap dan Balikpapan. Pada tahun itu selesai

(54)

dibangun EXOR I di Balongan - Jawa Barat yang mempunyai kapasitas 125 ribu barel per hari. Pihak swasta telah banyak menunjukkan minatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan kilang minyak. Di samping itu, untuk memperlancar pembekalan dalam negeri, pada tahun pertama Repelita VI telah dilakukan persiapan pembangunan beberapa terminal transit, pengembangan depot satelit, depot pengisian pesawat udara, dan jaringan pipa.

Konsumsi gas bumi meningkat cukup tinggi selama PJP I, yaitu dari 4,7 juta SBM menjadi 88,4 juta SBM atau naik sekitar 20 kali lipat. Bahkan pada tahun pertama Repelita VI konsumsi gas meningkat lagi menjadi 122,2 juta SBM, atau naik sebesar 38,3 persen dibandingkan tahun 1993/94. Kenaikan ini merupakan lonjakan yang sangat besar jika dibandingkan dengan laju kenai kan rata-rata selama Repelita V, yaitu sebesar 4,9 persen per tahun. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pemakaian gas bumi sebagai substitusi energi primer lainnya makin besar peranannya, terutama dengan meningkatnya pemanfaatan gas pada industri semen, pembangkit listrik tenaga gas-uap, dan untuk transportasi.

Sejalan dengan meningkatnya konsumsi, kapasitas terpasang prasarana penyediaan gas di kota juga meningkat. Selama PJP I, kapasitas terpasang gas di kota meningkat rata -rata sebesar 16,3 persen per tahun, yaitu dari 193,2 ribu meter kubik per hari pada awal PJP I menjadi 8.458,1 ribu meter kubik per hari pada akhir PJP I. Pada tahun pertama Repelita VI kapasitas ini tidak berubah karena masih mampu untuk melayani pelanggan yang ada.

Untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi, di samping kegiatan pengembangan, juga diupayakan memperluas jaringan transmisi dan distribusi gas. Pada awal PJP I masih belum ada jaringan pipa transmi si. Pada akhir Repelita V j aringan pipa transmi si telah

(55)

mencapai 653,4 kilometer dan pada tahun pertama Repelita VI jaringan pipa transmisi bertambah lagi menjadi 694,3 kilometer, atau naik sebesar 6,3 persen. Pada tahun 1994/95 telah dimulai persiapan pekerjaan pembangunan dan perluasan jaringan transmisi dari Corridor Block Asamera di Jambi ke proyek Enhanced Oil Recovery

(EOR) di Duri, dan ke Batam.

Jaringan distribusi gas juga meningkat dari sepanjang 811,5 kilometer pada akhir PJP I menjadi 825,6 kilometer pada tahun pertama Repelita VI. Kenaikan ini disebabkan selain adanya per-mintaan gas bumi dari pelanggan industri, juga oleh meningkatnya pembangunan jaringan transmisi dan distribusi di kota untuk menyalurkan gas bumi ke kota Jakarta, Bogor, Cirebon, Surabaya, dan Medan. Sejalan dengan kegiatan tersebut juga dilakukan rehabilitasi atau penggantian pipa distribusi di dalam kota Jakarta, Bogor, Cirebon dan Medan. Perkembangan kapasitas terpasang dan jaringan tenaga gas serta pengusahaannya dapat dilihat pada Tabel XIV-21 dan Tabel XIV-22.

Dengan meningkatnya jaringan gas, penyaluran gas juga ikut meningkat. Pada awal PJP I gas bumi yang disalurkan baru sebesar 8,5 juta meter kubik. Pada akhir PJP I telah meningkat menjadi 677,6 juta meter kubik, atau meningkat hampir 80 kali lipat. Pada tahun pertama Repelita VI gas bumi yang disalurkan bertambah lagi menjadi 918,8 juta meter kubik, atau meningkat 35,6 persen dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita V.

Selain menyalurkan gas bumi, sejak tahun 1986/87 juga dilakukan penyaluran LPG melalui jaringan pipa gas dan tabung. Penyaluran LPG melalui pipa yang dilakukan di kota Surabaya, kini telah mencapai kapasitas 8.100 meter kubik per hari. Sedangkan untuk kota-kota lain, penjualan LPG dilakukan dalam tabung. Dengan

(56)

selesainya pembangunan tambahan 2 buah SPBG maka jumlah SPBG menjadi 9 buah. Penyaluran gas bumi untuk BBG-transportasi meningkat pesat pada tahun 1994/95 menjadi 14,3 juta meter kubik atau naik sekitar 31,7 persen terhadap tahun sebelumnya. Peningkatan pelayanan BBG ini merupakan salah satu kegiatan dalam rangka program diversifikasi energi di sektor transportasi.

Sejalan dengan meningkatnya kemampuan pembangunan jaringan gas dan penyalurannya, hasil pengusahaan tenaga gas juga telah mengalami peningkatan. Selama PJP I telah terjadi kenaikan penjualan gas rata-rata per tahun sebesar 15,2 persen dimana peningkatan penjualan terbesar terjadi selama Repelita V dengan rata-rata tingkat kenaikan sebesar 26,2 persen setiap tahunnya, yaitu dari sebesar 284,2 juta meter kubik menjadi 716,8 juta meter kubik. Dalam tahun pertama Repelita VI, terjadi lagi peningkatan penjualan hingga menjadi 964,1 juta meter kubik, atau naik sebesar 34,5 persen dibanding tahun sebelumnya.

Selama PJP I jumlah pelanggan gas di kota meningkat rata -rata 1,4 persen setiap tahunnya. Selama Repelita V saja terjadi peningkatan sebesar 8,0 persen per tahun, yaitu dari 25.222 pelanggan menjadi 34.353 pelanggan. Pada tahun pertama Repelita VI jumlah pelanggan meningkat lagi menjadi 38.605 konsumen, terdiri dari konsumen rumah tangga dan industri. Konsumen rumah tangga umumnya menggunakan gas dalam jumlah yang terbatas sedangkan pelanggan dari sektor industri merupakan konsumen menengah dan besar. Dengan demikian, pelanggan dari sektor industri memegang peranan terbesar dalam peningkatan penggunaan gas bumi. Sementara itu kehilangan gas akibat kebocoran yang biasanya terjadi pada jaringan gas di kota pada tahun 1994/95 sudah dapat diatasi, berkat meningkatnya penguasaan faktor -faktor teknis dalam ketelitian

(57)

pengukuran pasokan gas dan penyaluran gas. Perkembangan pengusahaan tenaga gas tersebut dapat dilihat pada Tabel XIV -22.

Dengan dimulainya produksi LNG di kilang gas Bontang dan Arun, pada akhir Repelita V produksi LNG telah mencapai 25,17 juta ton atau meningkat 6,5 kali dibandingkan produksi LNG ketika untuk pertama kali berproduksi, yaitu pada akhir Repelita II. Sampai akhir PJP I Indonesia tetap merupakan eksportir LNG terbesar di dunia. Dalam rangka meningkatkan ekspor LNG, telah dimulai pekerjaan pembangunan kilang Train G di Bontang dengan kapasitas 2,3 juta ton per tahun, yang diharapkan sudah dapat beroperasi pada tahun keempat Repelita VI.

Peningkatan kegiatan juga terjadi dalam bidang batubara, baik di sisi produksi maupun konsumsi. Apabila pada awal PJP I produksi batubara baru mencapai 159,9 ribu ton, maka pada tahun terakhir Repelita V telah meningkat menjadi 28,6 juta ton, atau naik rata -rata setiap tahunnya 23,1 persen. Pada tahun pertama Repelita VI pro -duksinya meningkat lagi sehingga mencapai 32,5 juta ton. Peningkatan produksi tersebut selain disebabkan oleh makin berkembangnya penambangan batubara di Bukit Asam, juga oleh meningkatnya partisipasi swasta dalam mengembangkan potensi lapangan batubara.

Konsumsi batubara telah meningkat dari hanya 0,7 juta SBM pada tahun pertama Repelita I menjadi 32,0 juta SBM pada tahun terakhir Repelita V, atau meningkat rata-rata 16,4 persen setiap tahunnya. Memasuki tahun pertama PJP II, konsumsi batubara meningkat menjadi 40,3 juta SBM. Peningkatan pemakaian batubara yang tajam terjadi sejak Repelita IV setelah beroperasinya PLTU Suralaya. Selain untuk PLTU, batubara juga banyak digunakan untuk industri semen, industri dasar besi dan baja, pabrik peleburan nikel

(58)

dan timah, serta industri lainnya. Menjelang akhir PJP I, penggunaan briket batubara untuk keperluan rumah tangga dan industri kecil mulai dikembangkan dan mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Pada tahun pertama Repelita VI telah dimulai suatu studi pola distribusi briket batubara agar distribusi briket batubara nantinya dapat dilakukan secara optimal.

Untuk meningkatkan daya tampung dan daya muat pelabuhan batubara, telah mulai dibangun beberapa pelabuhan batubara, antara lain di Tarahan, guna menampung produksi Kontrak Kerjasama Batubara, swasta nasional, dan koperasi.

Selain itu, pengkajian terhadap likuifikasi batubara yang sudah mulai dilakukan pada tahun terakhir PJP I makin digiatkan, dalam rangka mengembangkan sumber energi alternatif. Bersamaan dengan itu telah dilakukan pula pengkajian terhadap gasifikasi batubara untuk bahan bakar dan bahan baku industri.

Penggunaan panas bumi sebagai sumber energi pembangkit listrik juga mengalami peningkatan yang cukup besar. Apabila pada akhir Repelita III konsumsi panas bumi adalah sekitar 0,4 juta SBM, maka pada awal Repelita V sudah meningkat menjadi 2,0 juta SBM dan kemudian meningkat lagi menjadi 2,1 juta SBM pada akhir Repelita V. Pada tahun pertama Repelita VI konsumsinya telah mencapai 2,4 juta SBM. Jika pada awal Repelita III, hanya ada satu PLTP, yaitu di Kamojang dengan kapasitas 30 MW, maka pada akhir PJP I telah ada 2 PLTP dengan kapasitas total 195 MW. Pada tahun 1994/95 telah selesai dibangun 2 PLTP dengan kapasitas 110 MW, yaitu di Darajat (55 MW) dan G. Salak unit 2 (55 MW). Sementara itu juga telah mulai dibangun PLTP Salak unit 3 dengan kapasitas 55 MW. Sejumlah 6 buah kontrak pembangunan PLTP dengan pihak swasta

Gambar

TABEL XIV - 15  KONSUMSI ENERGI PRIMER  1968, 1969/90 – 1993/94, 1994/95
GRAFIK XIV — 5  KONSUMSI ENERGI PRIMER  1968, 1989/90— 1993/94, 1994/95
TABEL XIV — 16
TABEL XIV — 19
+2

Referensi

Dokumen terkait

KHAIRUN NAZLI, 2016 : Pemanfaatan Kompos Campuran Manure Ayam Broiler dan Limbah Kulit Kopi Dengan Berbagai Dosis Mod (Microorganisme Decomposer) Terhadap Kualitas

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana menentukan optimalisasi masalah transportasi pada sistem

Evaluasi yang didapat dari diagnosa perubahan persepsi sensori halusinasi penglihatan berhubungan dengan menarik diri, adalah melihat implementasi yang sudah dilakukan

Seperti terlihat pada Gambar 2, sistem pelabelan dibagi menjadi 4 (empat) proses besar yakni (P1) pemecahan kalimat menjadi kata, dalam topik NLP sering dikenal dengan

ISPRS Annals of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume III-3, 2016 XXIII ISPRS Congress, 12–19 July 2016, Prague, Czech Republic... result

Kebutuhan akan tenaga listrik yang semakin meningkat menuntut suatu sistem tenaga listrik yang mempunyai keandalan dalam penyediaan dan penyaluran dayanya agar

Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hal ini bertolak belakang dengan penelitian O’R egan (2002) yang menunjukkan bahwa ada pengaruh positif

Kalimantan - SKG Bontang Migas Distribusi Kalimantan Timur Kota Bontang 108. Pertamina EP Asset