• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Program Pemberian Makanan Tambahan

2. Program PMT SEAFAST Center

Program PMT yang merupakan agenda dari Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center melibatkan 250 ibu hamil sebagai target dan 70 ibu hamil sebagai kontrol. Para ibu hamil tersebut dijaring dari 17 desa yang berlokasi di Kabupaten Bogor (Kecamatan Leuwiliang, Leuwisadeng, dan Ciampea). Penyaringan dilakukan terhadap ibu hamil yang memiliki status kesehatan rendah dan berekonomi lemah. Pelaksana program ini adalah tim khusus dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan serta Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Tujuan program adalah meningkatkan status gizi ibu dan kualitas anak yang dilahirkan. Kualitas anak tersebut berkaitan erat dengan lancarnya upaya peningkatan kualitas SDM.

Pelaksanaan program PMT adalah sejak usia kehamilan sekitar 3 bulan sampai anaknya dilahirkan. Jenis makanan yang diberikan adalah susu bubuk, cookies garut, dan bihun instan. Makanan tersebut telah difortifikasi vitamin dan mineral yang diperlukan untuk kesehatan ibu hamil dan bayi yang dikandung. Selain itu, diproduksi juga produk makanan yang tidak

difortifikasi untuk diberikan pada kelompok placebo. Ada pula kelompok kontrol yaitu ibu hamil yang tidak diberi makanan tambahan. Hal tersebut dilakukan untuk melihat perbedaan dampak pemberian makanan tambahan. Ketiga makanan tersebut diproduksi oleh industri mitra yang telah bersedia bekerjasama, yaitu PT. Gizindo Primanusantara (cookies dan susu) dan PT. Bogasari Flour Mills (bihun instan).

Setiap target (ibu hamil) diberi satu paket setiap minggu untuk dikonsumsi setiap hari. Kombinasi paket adalah susu bubuk dan cookies garut atau susu bubuk dan bihun instan. Sumbangan energi dan protein yang diharapkan dari setiap paket adalah 525 kalori dan 15 gram protein. Produk makanan tambahan dianalisis untuk mendapat konfirmasi tentang kandungan gizinya, terutama zat-zat gizi yang sengaja ditambahkan sebagai fortifikan. Selain itu, dilakukan juga analisis kesukaan dan umur simpan produk-produk tersebut.

Khusus untuk cookies yang merupakan obyek penelitian ini, target energi dan protein yang ingin dicapai adalah 562.5 kkal dan 14.06 gram per 100 gram cookies. Jumlah penambahan fortifikan disajikan pada Tabel 2. Penambahan fortifikan mengacu pada Sayuti (2002) dan dibandingkan juga dengan informasi jumlah penambahan dari industri mitra.

Tabel 2. Jumlah Penambahan Fortifikan Zat Gizi Sayuti (2002)

(per 100 gram cookies)

Industri mitra (per 1 kg adonan) Vitamin A 1176 RE 0.16 g Asam Folat 1100 μg 0.97 g Vitamin C 96 mg 0.011 g Besi (Fe) 43.4 mg 0.30 g Seng (Zn) 18.1 mg 0.45 g Iodium (I) 237 μg 0.004 g C. Cookies

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) ‘Mutu dan Cara Uji Biskuit’ (SNI 01-2973-1992), biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung

terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan. Biskuit terbagi menjadi biskuit keras, cracker, cookies, dan wafer. Cookies adalah jenis biskuit dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat (Manley, 2000).

Berdasarkan pemahaman tersebut, syarat mutu cookies di Indonesia mengacu pada syarat mutu biskuit. Syarat mutu biskuit yang berlaku saat ini adalah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2973-1992), seperti tercantum dalam Tabel 3. Ciri khas cookies adalah memiliki kandungan gula dan lemak yang tinggi serta kadar air rendah (kurang dari 5%) sehingga bertekstur renyah; apabila dikemas akan terlindung dari kelembaban dan memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000).

Tabel 3. Syarat Mutu Biskuit Menurut SNI 01-2973-1992

Kriteria Uji Syarat

Energi (kkal/100 gram) Minimum 400

Air (%) Maksimum 5

Protein (%) Minimum 9

Lemak (%) Minimum 9.5

Karbohidrat (%) Minimum 70

Abu (%) Maksimum 1.5

Serat Kasar (%) Maksimum 0.5 Logam Berbahaya Negatif

Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik

Warna Normal

(BSN, 1992)

1. Proses Pembuatan Cookies

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terbagi dalam dua kelompok, yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut. Bahan-bahan yang berfungsi sebagai pengikat adalah tepung, susu, dan putih telur. Sedangkan bahan-bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah gula, lemak, leavening agent (baking powder), dan kuning telur (Matz dan Matz, 1978).

Cookies garut (arrowroot cookies) yang diproduksi oleh industri mitra program PMT SEAFAST Center terbuat dari tepung terigu, pati garut, bubuk susu, sirup fruktosa, shortening nabati, mentega, ammonium bikarbonat, natrium bikarbonat, pengemulsi (lesitin kedelai), dan perisa (coklat, susu, atau keju). Produk cookies yang difortifikasi secara khusus melibatkan penambahan premix mineral, premix vitamin, dan DHA (Docosa Hexanoic Acid).

Pemanfaatan garut sebagai pensubstitusi tepung terigu dalam pembuatan produk pangan akan mendukung pemberdayaan pangan lokal. Pati garut sudah pernah diaplikasikan sebagai bahan pensubstitusi dalam pembuatan mi instan (Naryanto dan Kumalaningsih, 1999). Pati garut merupakan salah satu bentuk karbohidrat alami yang paling murni dan memiliki kekentalan yang tinggi. Menurut Pudjono (1998) yang diacu oleh Indrasti (2004), pati garut mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: mudah larut dan mudah dicerna sehingga cocok untuk bahan makanan bayi dan orang sakit, suhu awal gelatinisasi 70oC, dan mudah mengembang jika terkena air panas dengan daya mengembang 54%.

Proses pembuatan cookies meliputi tiga tahap, yaitu pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan adonan. Pembuatan adonan diawali dengan proses pencampuran dan pengadukan bahan-bahan. Menurut Manley (2000), metode dasar pencampuran adonan adalah metode krim (creaming method) dan metode all in. Pada metode krim, bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama adalah pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna dan perisa, kemudian susu dan bahan kimia aerasi berikut garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Penambahan tepung dilakukan pada bagian paling akhir. Metode ini baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan (Matz dan Matz, 1978). Sesuai dengan namanya, metode all in dilakukan dengan pencampuran seluruh bahan lalu diaduk sampai membentuk adonan.

Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Pengolesan lemak berfungsi untuk mencegah lengketnya cookies pada loyang setelah

dipanggang. Adonan dipanggang dengan suhu ±176.7ºC (350ºF) selama ±10 menit. Suhu dan lama waktu pemanggangan mempengaruhi kadar air cookies. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177- 204ºC). Setelah dipanggang, cookies harus segera didinginkan untuk mengurangi pengerasan akibat memadatnya gula dan lemak. Pembuatan cookies disajikan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 2.

Bahan – bahan cookies ↓

Penimbangan ↓

Pencampuran (secara bertahap*) ↓ Pengadonan ↓ Pengistirahatan ↓ Pencetakan ↓ Pemanggangan ↓ Pendinginan ↓ Pengemasan ↓

Cookies dalam kemasan

* Tahap I : gula, shortening nabati, mentega, lesithin kedelai

Tahap II : bubuk susu, ammonium bikarbonat, natrium bikarbonat, perisa Tahap III : premix vitamin dan mineral

Tahap IV : tepung terigu dan pati garut

Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Promina Arrowroot Cookies di Industri Mitra Program PMT Ibu Hamil

2. Fortifikasi Cookies

Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi pada bahan pangan atau makanan dengan level penambahan lebih tinggi daripada zat-zat gizi yang ditemukan di bahan pangan aslinya atau pangan pembandingnya (Lotfi dan Merx, 1996). Perbaikan gizi dengan fortifikasi, khususnya pada terigu didukung oleh pemerintah Indonesia dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.632/MENKES/SK/VI/1998 tentang Fortifikasi Tepung Terigu.

Proses fortifikasi melibatkan pencampuran. Metode pencampuran yang dikembangkan untuk produk cookies, roti, dan pasta adalah pelarutan dalam air, dimana air tersebut digunakan dalam pembentukan adonan (Lotfi dan Merx, 1996). Cookies Fortifikasi (CF) difortifikasi dengan vitamin A, vitamin C, asam folat, besi, seng, dan iodium. Beberapa faktor penting dalam pemilihan fortifikan yaitu: (a) fortifikan tidak mempengaruhi produk akhir, dalam hal sifat sensoris; (b) tidak bereaksi dengan bahan-bahan lain; (c) tidak mengganggu selama proses; (d) layak secara ekonomi; dan (e) masih tersedia setelah proses selesai (Lachance dan Bauernfeind dalam Bauernfeind dan Lachance, 1991).

Persyaratan bahan makanan yang dapat dijadikan pembawa (carrier) zat gizi tertentu yang difortifikasikan antara lain: (1) dikonsumsi secara umum oleh masyarakat sasaran, (2) dikonsumsi dalam jumlah yang relatif konstan sepanjang tahun, (3) diproduksi secara terpusat agar memudahkan proses fortifikasi dan pengawasannya (Lachance dan Bauernfeind dalam Bauernfeind dan Lachance, 1991). Pada awalnya, bahan makanan yang dipilih adalah golongan makanan pokok seperti produk-produk sereal. Selanjutnya, terjadi diversifikasi makanan pembawa yang terdiri dari bahan makanan tambahan diantaranya garam, gula, minuman, dan bumbu masakan seperti kecap dan saus. Dalam program PMT untuk ibu hamil ini alternatif makanan pembawa difortifikasi diperluas kepada makanan kudapan berupa cookies sehingga menjadi kudapan yang bergizi.

Fortifikasi cookies dinilai layak dilakukan selama diperhitungkan kehilangan yang terjadi karena pemanggangan dan penyimpanan. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa fortifikasi vitamin A, asam folat, besi, dan seng layak dilakukan secara teknis pada produk cookies (Bauernfeind dan Deritter dalam Bauernfeind dan Lachance, 1991).

Namun, tidak seluruh vitamin yang dicampurkan dalam adonan cookies akan terdapat di produk akhir. Hal tersebut terutama karena pembuatan cookies melibatkan tahap pemanggangan dengan suhu tinggi. Mineral-mineral yang difortifikasi tidak akan mengalami kerusakan maupun pengurangan, tetapi vitamin adalah zat gizi yang umumnya bersifat labil. Menurut Manley (2001), vitamin B1 dan vitamin C adalah vitamin yang paling labil terhadap

pemanasan. Kehilangan beberapa zat gizi karena pemanggangan biskuit dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kehilangan Beberapa Mikronutrien Labil pada Biskuit

Zat Gizi Rata-rata Potensi Kehilangan (%)

Vitamin B1 (Thiamine) 32 Vitamin B3 (Niacin) 5 Vitamin A 18 Vitamin B12 10 Vitamin C 60 Vitamin E 27 Asam Folat 7 (Manley, 2001)

Suatu program PMT untuk anak-anak sekolah yang dilaksanakan di negara Chile memberikan biskuit yang difortifikasi 6% konsentrat besi haem. Konsumsi biskuit tersebut berhasil meningkatkan nilai feritin dalam serum secara signifikan. Biskuit yang difortifikasi memiliki bioavailibilitas besi dan karaktersitik organoleptik yang baik sehingga menjadi alternatif yang menjanjikan untuk memerangi defisiensi besi (Limson, 2001). Fardha (2004) melakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian suplemen biskuit multigizi ibu hamil terhadap pertumbuhan linier dan perkembangan anak usia bawah tiga tahun di Kabupaten Bogor. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian suplemen biskuit multigizi yang difortifikasi vitamin A, besi, seng, dan iodium mulai trimester kedua kehamilan sampai kelahiran berpengaruh

positif nyata terhadap pertumbuhan linier, perkembangan mental, dan perkembangan motorik anak bawah usia tiga tahun.

D. Mutu Cookies

Menurut Juran (1989), mutu adalah fitness for use (cocok atau layak untuk digunakan). Hal tersebut berarti suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Muhandri dan Kadarisman (2005) menyimpulkan bahwa mutu adalah kesesuaian serangkaian karakteristik produk atau jasa dengan standar yang ditetapkan produsen berdasarkan syarat, kebutuhan, dan keinginan konsumen. Beberapa karakteristik yang menentukan mutu cookies adalah karakteristik fungsional, psikologi, dan umur simpan.

Dokumen terkait