• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Latar Belakang

Beras merupakan pangan utama di Indonesia karena lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokok. Kebutuhan beras terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi beras nasional mencapai 135 kg/kapita/tahun (Deptan, 2007). Jumlah penduduk Indonesia pada sensus 2000 sebesar 206 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.49 % per tahun (BPS, 2004). Jika diasumsikan laju pertumbuhan penduduk tiap tahun tetap, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mencapai 400 juta jiwa. Dengan asumsi konsumsi beras yang sama, maka pada tahun 2035 nanti Indonesia diperkirakan membutuhkan beras sebesar 54 juta ton. Padahal produksi beras nasional selama kurun waktu 10 tahun terakhir tidak menunjukkan peningkatan hasil yang berarti.

Kesenjangan antara produksi dan konsumsi beras tersebut dapat menimbulkan kerawanan pangan di Indonesia. Upaya peningkatan produksi dan produktivitas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui varietas hibrida dan varietas unggul tipe baru. Namun pada masa yang akan datang dihadapkan pada berbagai hambatan, diantaranya perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, terjadinya degradasi lahan subur menjadi lahan marjinal, serta serangan organisme pengganggu tanaman.

Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi beras nasional adalah penggunaan varietas padi hibrida. Padi hibrida memiliki potensi produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan padi nonhibrida, yakni sebesar 15%. Menurut Heriyanto, et al. (2006) varietas padi hibrida mampu menghasilkan 8-10 ton gabah kering giling/ha. Dengan produksi tersebut, keuntungan yang diterima petani karena menanam padi hibrida lebih besar dibandingkan jika menanam padi unggul biasa.

Salah satu kendala yang dihadapi dalam penanaman padi hibrida di lahan sawah adalah adanya gangguan gulma. Gulma dapat menurunkan produksi tanaman padi akibat kompetisi dalam memperebutkan sarana tumbuh yaitu air,

2

hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh (Sastroutomo, 1998). Smith (1983) mengemukakan bahwa efek gangguan gulma yang biasa terjadi adalah kehilangan hasil yang disebabkan oleh adanya kompetisi gulma dengan tanaman budidaya. Apabila kehilangan hasil akibat gulma dapat ditekan, maka kehilangan produksi beras akibat kompetisi gulma dapat diselamatkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu usaha untuk mencegah kehilangan hasil tanaman padi akibat kompetisi dengan gulma di lahan.

Kehadiran gulma di sepanjang siklus hidup tanaman budidaya tidak selalu berpengaruh negatif. Terdapat suatu periode ketika gulma harus dikendalikan dan terdapat periode ketika gulma juga dibiarkan tumbuh karena tidak mengganggu tanaman (Moenandir, 1993). Periode kritis untuk pengendalian gulma adalah waktu minimum dimana tanaman harus dipelihara dalam kondisi bebas gulma untuk mencegah kehilangan hasil yang tidak diharapkan (Nieto, et al, 1968). Periode kritis ini dibentuk dari overlapping dua komponen, yaitu waktu kritis gulma harus disiangi atau lamanya waktu gulma dibiarkan di dalam tanaman sebelum terjadi kehilangan hasil yang tidak diharapkan, dan periode kritits bebas gulma atau lamanya waktu minimum tanaman harus dijaga agar bebas gulma untuk mencegah kehilangan hasil (Nieto, et. al., 1968; Knezevic, et al., 2002; Page, et.al., 2009 ). Menurut Swanton dan Weise (1991), periode kritis untuk pengendalian gulma merupakan komponen penting dalam strategi manajemen gulma terpadu yang memberikan pengetahuan bagi petani kapan saatnya untuk mengendalikan gulma yang dapat merugikan hasil tanaman.

Penelitian padi hibrida di Indonesia baru dimulai pada tahun 1980-an dengan mengintroduksi padi hibrida dari China (Susanto, 2003). Saat ini penggunaan padi hibrida mulai berkembang di Indonesia sebagai salah satu strategi untk meningkatkan produksi padi. Namun demikian, sampai saat ini di Indonesia belum banyak publikasi penelitian yang terkait dengan kompetisi gulma terhadap tanaman padi hibrida. Penelitian periode kritis tanaman padi hibrida terhadap persaingan gulma ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada petani kapan saatnya pengendalian gulma di lapangan. Pengetahuan periode kritis untuk persaingan gulma sangat penting artinya dalam usaha mencapai efisiensi tindakan pengendalian gulma baik dari segi waktu, biaya, dan tenaga.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui periode kritis tanaman padi hibrida terhadap persaingan gulma di lahan sawah.

Hipotesis

Hipotesis yang dikemukakan yaitu :

1. Semakin lama periode bergulma maka pertumbuhan dan produksi padi hibrida semakin menurun.

2. Semakin lama periode bersih gulma maka pertumbuhan dan produksi padi hibrida semakin meningkat.

3. Terdapat suatu periode dimana padi hibrida peka terhadap kehadiran gulma yang dapat menurunkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi hirbida.

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Padi

Dalam banyak spesies liar di dalam genus Oryza, terdapat 2 spesies yang mampu dibudidayakan, yaitu Oryza sativa, yang ditanam di seluruh areal tanam di seluruh dunia, dan Oryza glaberrima yang distribusinya terkonsentrasi di Afrika Barat Tropis (Geus, 1954). Spesies lainnya dari genus ini adalah Oryza stapffi,

Oryza fatua, Oryza minuta, Oryza rufipogon, Oryza breviligulata, dan Oryza officinalis (Grist, 1965). Oryza sativa disebut juga white grain rice, sedangkan

Oryza glaberrima disebut red grain rice (FAO, 1966). Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman yang berasal dari divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Poales, famili Graminae, genus Oryza.

Morfologi Tanaman Padi

Menurut Deptan Satuan Pengendali Bimas (1983), bagian-bagian tanaman padi terbagi menjadi dua yaitu bagian vegetatif yang meliputi akar, batang, dan daun serta bagian generatif yang meliputi malai dengan bulir-bulir bunga. Tanaman padi memiliki sistem perakaran yang bercabang-cabang dan berambut akar sangat banyak (Grist, 1965). Letak susunan akarnya hanya pada kedalaman 20-30 cm. Siregar (1981) menyatakan bahwa kekhasan tumbuhan dari kelompok Graminae akan ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas tersebut berupa batang bulat dan berongga yang ditutup oleh buku pada bagian ujungnya. Pada buku bagian pangkal batang terdapat kuncup ketiak yang dapat tumbuh menjadi batang baru atau percabangan, cabang terpendek disebut ligula (lidah daun) dan bagian terpanjang dan terbesar menjadi daun kelopak. Pada ligula terdapat auricle. Ligula dan auricle dapat digunakan untuk mendeterminasi identitas suatu varietas. Ruas yang menjadi bulir padi muncul saat daun pelepah teratas menjadi ligula dan daun bendera. Daun bendera adalah daun yang terpanjang yang membalut ruas teratas dari batang. Posisi daun bendera dekat dengan malai. Malai merupakan sekumpulan bunga padi yang memiliki tangkai, perhiasan, dan daun mahkota. Daun mahkota terbesar disebut palea dan

daun mahkota terkecil disebut lemma. Di dalamnya terdapat bakal buah (kariopsis). Di atas bakal buah terdapat 2 kepala putik. Di bawah bakal buah tumbuh 6 filamen benangsari. Bunga padi dewasa akan membuka, sehingga posisi palea dan lemma akan membentuk sudut 300-600. Keduanya membuka pada pukul 10-12 pada hari cerah dengan suhu berkisar 300 C – 320 C. Ketika kondisi ini terpenuhi, penyerbukan akan terjadi. Setelah penyerbukan dan pembuahan terbentuklah buah. Palea dan lemma membentuk sekam yang didalamnya membungkus biji yang dikenal gabah.

Syarat Tumbuh Tanaman Padi

Padi dapat tumbuh pada kondisi iklim-iklim yang berbeda. Menurut Deptan Satuan Pengendali Bimas (1983) faktor-faktor iklim yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi padi ialah curah hujan, kelembabapan udara, temperatur, awan, radiasi dan angin. Curah hujan tahunan merupakan faktor pembatas bagi lahan-lahan tadah hujan di Asia Selatan dan Tenggara khususnya. Padi merupakan tanaman hari pendek yang sensitif terhadap fotoperiodisme. Hari panjang akan menyebabkan pembungaan terlambat bahkan tidak terjadi (Fagi dan Las, 1988). Radiasi energi surya merupakan faktor penting yang dibutuhkan pada saat inisiasi malai hingga menjelang panen. Setidaknya 30 – 45 hari sebelum panen tanaman yang mendapat energi surya yang cukup akan memberikan hasil yang tinggi. Kelembaban relatif mempengaruhi tanaman padi karena menyebabkan peningkatan insiden penyakit blast pada padi. Iklim sangat mempengaruhi proses fisiologi tanaman padi, sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangann, dan bulir. Virmani (1998) kondisi cuaca yang menguntungkan pada saat pembungaan ialah pada suhu 24– 30 0C, RH 70 - 80 %, dan perbedaan suhu siang-malam 5 – 7 0C.

Fase Pertumbuhan Tanaman Padi

Menurut Yoshida (1981) fase pertumbuhan tanaman padi terbagi menjadi 3 yaitu fase vegetatif, fase reproduktif, dan fase pemasakan. Manurung dan Ismunadji (1988) menyatakan bahwa pada tanaman padi tropik, fase vegetatif merupakan fase tumbuh dan berkembangnya dari anakan, tinggi, dan daun secara

6

bertahap. Fase ini dimulai sejak perkecambahan hingga akan membentuk bunga yang memerlukan waktu ± 60 hari. Sedangkan fase reproduktif yang berlangsung selama ± 30 hari ditandai dengan pemanjangan ruas teratas, munculnya daun bendera, dan pembungaan. Pembungaan (heading) adalah keluarnya malai dari pelepah daun bendera. Bunga matang (anthesis) ialah keluarnya benang sari yang paling ujung biasa terjadi pada pukul 08.00-13.00 dan terjadi pembuahan bila kondisi lingkungan terpenuhi. Kemudian dilanjutkan fase pemasakan berurutan meliputi tahap masak bertepung (dough), tahap menguning, dan tahap masak panen. Seluruh fase pembuahan sampai masak panen memerlukan waktu ± 30 hari.

Padi Hibrida

Varietas padi hibrida dikembangkan pertama kali di China pada tahun 1974 dengan ditemukannya mandul jantan. Pada tahun 1976 padi hibrida baru digunakan secara komersil. Sejak tahun 1980-an, China telah berhasil menanam varietas padi hibrida seluas 16 juta hektar (Yuan, 1994). Indonesia sendiri baru merintis penelitian tentang padi hibrida pada akhir tahun 1985. Hingga kini telah dirilis 29 varietas padi hibrida, 4 varietas diantaranya merupakan hasil penelitian BALITPA dan 25 varietas lainnnya merupakan hasil penelitian perusahaan benih swasta.

Padi hibrida dihasilkan melalui pemanfaatan fenomena heterosis turunan pertama (F1) dari hasil persilangan dengan dua induk yang berbeda. Fenomena heterosis tersebut menyebabkan tanaman F1 lebih vigor, tumbuh lebih cepat, anakan lebih banyak, dan malai lebih lebat sekitar 1 ton/ha lebih tinggi daripada varietas biasa (inbrida). Namun keunggulan tersebut tidak diperoleh pada populasi generasi kedua (F2) dan berikutnya. Ditinjau dari segi aspek genetik, padi hibrida memiliki potensi hasil yang lebih tinggi, tetapi membutuhkan sistem dan teknologi produksi yang berbeda dengan varietas unggul biasa (Las, Abdullah, dan Daradjat, 2003). Padi hibrida yang ada saat ini masih memiliki beberapa kelemahan, seperti rasa nasinya yang kurang enak, peka terhadap hama wereng coklat dan penyakit hawar daun (kresek). Untuk mendapatkan produksi yang maksimal, padi hibrida harus ditanam pada tanah yang subur, hara tanah cukup

tersedia, dosis pupuk optimal, pengairannya cukup, OPT-nya dikendalikan, dan pengelolaan tanaman secara keseluruhan dilakukan dengan baik (Sumarno, 2006).

Penelitian padi hibrida secara intensif dimulai pada tahun 2001. Berbagai galur hibrida telah dihasilkan melalui persilangan dengan melibatkan galur mandul jantan sitoplasmatik (Cytoplasm Male Sterile/CMS) atau galur mandul jantan, galur pelestari (Maintainer/M), dan galur pemulih kesuburan (Restorer/R) (Las et al., 2003). Teknik penyilangannya berbeda dengan pembentukan hibrida jagung, karena padi adalah tanaman menyerbuk sendiri, artinya secara alami pollen menyerbuki putik pada bunga yang sama. Sehingga, pembentukan hibrida padi hanya dimungkinkan jika bunga jantan pada tanaman betina dibuat mandul dengan menggunakan CMS. Selain itu, waktu pembungaan antara CMS dan restorer pun harus diperhatikan, agar penyerbukan dapat berhasil dengan baik. Penyerbukan antara pollen dari restorer ke stigma biasanya dilakukan dengan menggunakan blower atau tali yang dipasang memanjang pada barisan antara restorer dan CMS yang kemudian di gerak-gerakkan, sehingga pollen dari restorer berterbangan dan jatuh pada stigma CMS. Kegiatan penyerbukan biasanya dilakukan pada pukul delapan pagi hingga sepuluh pagi, ketika bunga padi membuka.

Periode Kritis Tanaman

Gulma dan tanaman pertanian (crops) merupakan tanaman yang secara mendasar keduanya memiliki kebutuhan yang sama untuk tumbuh dan berkembang secara normal. Keduanya juga membutuhkan pasokan yang memadai akan nutrisi-nutrisi yang sama, kelembaban, cahaya, suhu, dan karbon dioksida (CO2). Gulma berhasil bersaing dengan tanaman budidaya dengan menjadi lebih agresif saat tumbuh. Gulma memperoleh dan menggunakan unsur-unsur essensial (nutrisi, kelembapan, cahaya, suhu, dan karbon dioksida) bagi pertumbuhan dan perkembangan dengan mengalahkan tanaman budidaya, dan pada beberapa kasus, gulma juga mengekskresikan zat-zat kimia yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman budidaya (Anderson, 1977).

Kompetisi merupakan kejadian khas di lahan budidaya, meski kompetisi juga terjadi di banyak habitat lain yang sumberdaya tumbuhnya tersedia dengan

8

terbatas. Kompetisi antara gulma dan tanaman budidaya yang terhebat biasanya terjadi saat tanaman kompetitor memiliki kesamaan dalam kebiasaan vegetatif dan kebutuhan akan sumberdaya tumbuh (National Academy of Sciences, 1969).

Pada umumnya, kompetisi dengan gulma terjadi selama 6 minggu pertama atau setelah transplanting juga cenderung mengakibatkan efek yang sangat merugikan bagi hasil produksi (Soejono, 2002). Kompetisi dan munculnya gulma dalam masa vegetatif atau generatif saat mendekati waktu panen akan memberikan dampak yang sangat besar bagi kualitas hasil tanaman. Kehadiran gulma di lahan pertanian menyebabkan biaya bagi kegiatan pengendalian. Karenanya penyiangan gulma perlu dilakukan, untuk menghindari kehilangan hasil yang cukup besar dari produksi padi. Jika kehilangan hasil tersebut dapat dihindari, berarti ada banyak beras yang bisa diselamatkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia.

Kehadiran gulma di sepanjang siklus hidup tanaman budidaya tidak selalu berpengaruh negatif. Terdapat suatu periode ketika gulma harus dikendalikan dan terdapat periode ketika gulma juga dibiarkan tumbuh karena tidak mengganggu tanaman (Moenandir, 1993). Periode kritis untuk pengendalian gulma adalah waktu minimum dimana tanaman harus dipelihara dalam kondisi bebas gulma untuk mencegah kehilangan hasil yang tidak diharapkan (Nieto, et al, 1968). Periode kritis ini dibentuk dari overlapping dua komponen, yaitu waktu kritis gulma harus disiangi atau lamanya waktu gulma dibiarkan di dalam tanaman sebelum terjadi kehilangan hasil yang tidak diharapkan, dan periode kritits bebas gulma atau lamanya waktu minimum tanaman harus dijaga agar bebas gulma untuk mencegah kehilangan hasil (Nieto, et. al., 1968; Knezevic, et al., 2002; Page, et.al., 2009 ). Menurut Swanton dan Weise (1991), periode kritis untuk pengendalian gulma merupakan komponen penting dalam strategi manajemen gulma terpadu yang memberikan pengetahuan bagi petani kapan saatnya untuk mengendalikan gulma yang dapat merugikan hasil tanaman.

Menurut Omafra (2002) cara menentukan periode kritis ialah saat produksi tanaman mulai menurun sebesar 5% akibat dari kompetisi dengan gulma. Penentuan periode kritis tanaman sangat dibutuhkan dalam penerapan sistem manajemen gulma terpadu. Apabila gulma dapat dikendalikan maka gulma yang

akan tumbuh selanjutnya tidak akan berpengaruh terhadap hasil panen. Sedangkan penentuan periode kritis lainnya dengan perlakuan setangkup antara periode penyiangan dan kompetisi gulma. Zimdahl (1980) menggunakan cara itu untuk menentukan saat gulma dan tanaman budidaya berada dalam keadaan saling berkompetisi secara aktif. Pada periode penyiangan, gulma dan tanaman budidaya ditumbuhkan secara bersama-sama untuk jangka waktu tertentu sampai gulmanya disiangi, selanjutnya tanaman budidaya ditumbuhkan bebas gulma sampai panen. Pada periode kompetisi gulma, tanaman dibiarkan bebas gulma untuk berbagai periode tertentu sejak pertanaman, setelah ini tanaman budidaya dibiarkan tumbuh bersama-sama gulma hingga panen.

Periode kritis untuk pengendalian gulma pada sebagian besar tanaman sering dimulai dalam beberapa hari atau minggu setelah tanaman berkecambah sampai dengan fase awal perkembangan vegetatif tanaman (Halford, et. al., 2001; Martin, et al., 2001). Sebagai contoh, periode kritis pada tanaman kedelai dapat mulai saat 9 hari setelah berkecambah (Van Acker, et al., 1993). Pada tanaman jagung periode kritis mulai pada saat 21-28 hari setelah berkecambah pada saat berkembang 3-4 pucuk daun (Evans, et al., 2003; Cox, et al., 2006). Mercado

dalam Sukman dan Yakub (1995) menyatakan bahwa periode kritis tanaman terhadap kompetisi gulma berkisar antara 33% - 50% dari umur tanaman.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2007 hingga bulan Februari 2008 di lahan sawah Cikarawang Dramaga-Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi benih padi hibrida varietas R-1 Arize, pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl, Furadan 3G, Decis. Alat yang digunakan adalah peralatan tanam, mistar, etiket, kuadran, grafimetri, oven, dan neraca analitik.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Kelompok satu faktor yaitu periode kompetisi gulma dengan 14 taraf yaitu periode bergulma (G) 2 MST, G 4 MST, G 6 MST, G 8 MST, G 10 MST, G 12 MST, G 0-panen, periode bersih gulma (BG) 0-2 MST, BG 0-4 MST, BG 0-6 MST, BG 0-8 MST, BG 0-10 MST, BG 0-12 MST, BG 0-panen. Percobaan dilakukan dengan tiga ulangan, sehingga terdapat 42 satuan percobaan. Satuan percobaan berupa petak dengan ukuran 4 m x 3 m, jarak antar petak 0.25 m dan jarak antar ulangan 1 m. Model rancangan yang diajukan adalah sebagai berikut :

Yij = µ+ Ai + Gj + εεεεij dengan :

Yij = nilai pengamatan perlakuan ke-1, ulangan ke-j

µ

= nilai tengah populasi

Ai = pengaruh perlakuan ke-i

Gj = pengaruh ulangan ke-j ε

εε

εij = pengaruh galat percobaan ulangan ke-j dari perlakuan ke-i

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam (uji F). Apabila hasil analisis ragam menunjukkan pengaruh nyata, analisis dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan’s Multiple Test (DMRT) pada taraf 5 %.

Pelaksanaan Penelitian Persiapan Lahan

Terdapat beberapa tahap yang dilakukan selama pelaksanaan penelitian, di awali dengan tahapan persiapan lahan yang meliputi pengolahan tanah dan pembuatan petak yang dilakukan 3 dan 4 minggu sebelum penanaman. Petakan dibuat dengan ukuran 4 m x 3 m, sebanyak 42 satuan petak percobaan.

Penanaman

Benih padi hibrida yang akan ditanam disemai terlebih dahulu di petak persemaian berukuran 4 m x 5 m. Petak persemaian dicangkul dan dibuat macak-macak. Benih padi sebanyak 1 kg (dosis 15 kg/ha) disebarkan secara merata di atas petak persemaian Pemupukan pada saat persemaian dilakukan dengan menggunakan dosis 22 g urea + 17 g SP-36 + 10 g KCl per m2. Pemupukan dilakukan saat 7 HSS (hari setelah sebar).

Bibit padi dipindah tanam ke lahan percobaan pada saat bibit padi berumur 21 hari setelah semai. Penanaman bibit padi dilakukan dengan menggunakan jarak tanam 25 cm x 25 cm dengan 1 bibit per lubang tanam. Jumlah populasi per petak adalah 280 bibit tanaman.

Pemeliharaan Tanaman

Pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan, pengendalian gulma, dan pengendalian hama penyakit. Pemupukan dilakukan 3 kali dengan dosis 270 kg urea + 135 kg SP-36/ha + 100 kg KCl per hektar. Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanam dengan dosis 90 kg urea + 135 kg SP-36 + 80 kg KCl per hektar. Pemupukan kedua dilakukan pada 2 MST dengan dosis 90 kg Urea/ha urea. Pemupukan ketiga dilakukan pada 6 MST dengan dosis 90 kg urea + 20 kg KCl per hektar. Pemupukan dilakukan dengan cara disebar (broadcast).

Pengendalian gulma dilakukan secara manual. Waktu pengendalian gulma disesuaikan dengan perlakuan periode kompetisi gulma. Pengendalian hama keong mas dilakukan secara manual dengan mengambil keong dari petak percobaan. Pengendalian penyakit tungro dilakukan secara manual dengan mencabut tanaman yang terserang dan membenamkan ke dalam tanah.

12

Panen

Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 124 HSS atau 15 MST. Perontokan gabah dilakukan juga pada hari panen. Selanjutnya, gabah tersebut dikeringkan dengan cara dijemur selama empat hari.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman contoh per petak yang ditentukan secara acak. Pengamatan terhadap peubah produksi dilakukan pada saat panen secara ubinan (1 m x 1 m). Peubah yang diamati antara lain :

1. Tinggi Tanaman

Tinggi tanaman 10 tanaman contoh diukur dari permukaan tanah hingga ke ujung daun tertinggi. Pengamatan dilakukan tiap minggu, mulai 2 – 7 MST. 2. Jumlah Daun

Jumlah daun 10 tanaman contoh dihitung dari daun yang telah membuka sempurna. Pengamatan dilakukan tiap minggu mulai 2 MST-7 MST.

3. Jumlah Anakan

Jumlah anakan dihitung dari semua anakan dalam satu rumpun termasuk bibit awal yang ditanam. Pengamatan dilakukan tiap minggu mulai 2 MST-7 MST. 4. Indeks Luas Daun

Pengukuran ILD dilakukan pada 1 tanaman per petak yang memiliki penampilan yang sama dengan tanaman contoh. Pengukuran ILD menggunakan metode gravimetri. Pengukuran dilakukan pada 7 MST.

5. Saat Heading

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh per petak. 6. Saat 50% Populasi Berbunga

Pengamatan dilakukan pada seluruh petak. Satu tanaman dianggap sudah berbunga jika sudah mengeluarkan bunga, walaupun hanya dari satu anakan. 7. Saat 80% Populasi Siap Panen

Populasi 80% siap panen adalah saat sebagian besar malai sudah mulai menguning, meski masih ada malai yang belum menguning.

8. Jumlah Anakan Produktif

9. Panjang Malai

Panjang malai padi diukur dari titik awal muncul malai hingga ujung malai. 10.Jumlah Bulir per Malai

Penghitungan jumlah bulir per malai dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak.

11.Bobot Gabah per Malai

Penghitungan jumlah bulir per malai dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak.

12.Jumlah Gabah Isi dan Gabah Hampa

Penghitungan jumlah bulir per malai dilakukan pada 3 malai yang diambil secara acak dari setiap rumpun tanaman contoh per petak.

13.Persentase Pengisian Gabah

Penghitungan persentase pengisian gabah dilakukan berdasarkan jumlah gabah isi dan jumlah gabah hampa.

14.Bobot Gabah Kering Panen dan Bobot Gabah Kering Giling

Bobot hasil panen (kg) dihitung berdasarkan hasil ubinan berukuran 1 m x 1 m yang diambil pada setiap petak perlakuan.

15.Bobot 1000 butir

Bobot 1000 butir dihitung dari gabah kering giling per perlakuan. 16.Mutu Fisik Beras

Mutu beras yang diamati antara lain kadar air panen, persentase beras setelah giling, persentase beras kepala, dan persentase pengapuran.

17. Penilaian serangan hama penyakit

Penilaian serangan hama penyakit dilakukan dengan cara skoring dengan range 1 - 9. Menurut Sudjono dan Sudarmadi (1989) :

Skor 1 : <1%; kerusakan daun sedikit.

Skor 3: 1% - 5%; kerusakan daun berukuran hingga 1 cm. Skor 5: 5% - 25%; kerusakan daun berukuran 1 cm.

Skor 7: 25% - 50%; kerusakan hampir sebagian daun dan belum robek. Skor 9: 50% - 100%; kerusakan sangat berat dan menyebabkan daun mati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait