• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL PENELITIAN

5.2 Proporsi, insiden, dan median time kematian

Pada analisis ini didapatkan proporsi, insiden, dan median time kematian dalam periode pengamatan delapan tahun dengan median time pengamatan 0,73 tahun (IQR: 0,25-1,83). Dalam periode pengamatan tersebut, tercatat sebanyak 76 (13,2%) pasien yang mengalami kematian dengan proporsi spesifik berdasarkan waktu yaitu 46,1% kematian terjadi pada tiga bulan pertama penggunaan ARV, 15,8% pada enam bulan pertama, 11,8% pada tahun pertama, dan mengalami penurunan di tahun berikutnya. Selain itu juga diketahui bahwa proporsi kematian di tiap tahun cenderung mengalami penurunan yang secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7 (Lampiran 3.2).

Incidence rate kematian pasien yang menjalani terapi antiretroviral di RSUD Badung adalah 10,1 per 100 person years (p.y) (95% CI: 8,0-12,6). Secara spesifik diketahui bahwa insiden kematian lebih banyak terjadi pada laki-laki (11,2 per 100 p.y), melalui penularan heteroseksual (11,8 per 100 p.y), dengan tingkat pendidikan rendah (24,2 per 100 p.y), berada pada stadium klinis III dan

IV (15,2 per 100 p.y), serta dengan kondisi fungsional baring (25,2 per 100 p.y). Insiden spesifik di tiap variabel ini disajikan pada Tabel 5.3.

Hasil analisis Kaplan-Meier terkait median time kematian disajikan pada Gambar 5.3 dimana survival time yang dapat dianalisis adalah interquartile range (IQR). Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa dari keseluruhan pasien yang diamati, 25% pasien dengan terapi ARV mengalami kematian pada tahun ke 3,48 sedangkan median time kematian pasien sampai akhir pengamatan belum tercapai.

Gambar 5.3

Kaplan-Meier estimasi kematian pada pasien dengan terapi antiretroviral

Berdasarkan analisis lebih lanjut pada pasien yang mengalami kematian, hasil analisis Kaplan-Meier menunjukkan median time pada pasien yang mengalami kematian adalah 0,28 tahun (IQR: 0,07-1,09) seperti yang disajikan pada gambar 5.4. Hal ini berarti bahwa setengahnya kematian tersebut terjadi pada quarter pertama (0,28 tahun).

Gambar 5.4

Kaplan-Meier median time kematian pada pasien yang mengalami kematian

Analisis lebih lanjut juga dilakukan berdasarkan kebijakan pedoman ARV yang berlaku, didapatkan bahwa masa ketika berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤350 memiliki insiden rate kematian (7,8 per 100 p.y) yang lebih rendah dibandingkan pada saat berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤200 (11,7 per 100 p.y). Median time kematian pada kedua kelompok tidak tercapai, namun saat berlaku kebijakan CD4 ≤200 didapatkan 25% kematian terjadi pada 2,5 tahun sedangkan survival time pada saat berlaku kebijakan CD4 ≤350 belum tercapai. Hal ini juga didukung laporan insiden kematian berdasarkan tahun yang cenderung mengalami penurunan, secara detail dapat dilihat pada Tabel 8 (Lampiran 3.2).

Gambar 5.5

Kaplan-Meier median time kematian berdasarkan kebijakan pedoman ARV

5.3 Analisis bivariat prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV)

Analisis bivariat dilakukan berdasarkan karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan ARV pada awal mulai terapi. Berdasarkan hasil analisis bivariat cox proportional hazard regression pada Tabel 5.3, diketahui bahwa variabel yang secara independen mampu memprediksi kejadian kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV yaitu karakteristik sosiodemografi meliputi usia, faktor risiko penularan, pendidikan, dan pendamping minum obat; karakteristik layanan ARV meliputi tipe layanan ARV dan kebijakan pedoman ARV; serta karakteristik klinis pada berat badan, hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, dan golongan NRTI.

Tabel 5.3

Analisis bivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral

Variabel Rate kematian per

100 p.y (95% CI)

Analisis bivariat

Unadjusted HR (95% CI) p value p grup

Usia* - 1,04 (1,02-1,06) 0,001 0,001

Jenis kelamin 0,124

Perempuan 6,1 (3,3-11,3) 1,00

Laki-laki 11,2 (8,7-14,2) 1,69 (0,87-3,28) 0,124

Faktor risiko penularan <0,001

Homoseksual 3,3 (1,4-8,0) 1,00

Heteroseksual 11,8 (9,3-15,1) 6,51 (2,60-16,32) <0,001

Penasun 10,7 (4,0-28,6) 7,15 (1,90-27,00) 0,004

Status pernikahan 0,763

Menikah 3,8 (2,3-6,5) 1,00

Belum menikah/ bercerai 4,1 (2,4-6,9) 0,89 (0,41-1,94) 0,763

Pendidikan <0,001 Pendidikan tinggi 7,6 (5,7-10,1) 1,00 Pendidikan rendah 24,2 (16,6-35,2) 3,36 (2,09-5,38) <0,001 Status pekerjaan 0,225 Bekerja 12,1 (9,3-15,9) 1,00 Tidak bekerja 7,2 (4,8-10,9) 0,73 (0,44-1,21) 0,225

Pendamping minum obat 0,001

Ada 5,8 (4,0-8,4) 1,00

Tidak 17,6 (13,3-23,4) 2,24 (1,37-3,67) 0,001

Tipe layanan ARV <0,001

RS utama 11,8 (9,3-14,8) 1,00 Satelit 3,3 (1,4-7,9) 0,15 (0,06-0,38) <0,001 Kebijakan ARV <0,001 Pedoman CD4 ≤350 7,8 (5,3-11,5) 1,00 Pedoman CD4 ≤200 11,7 (8,9-15,4) 3,10 (1,85-5,19) <0,001 Berat badan* - 0,94 (0,91-0,96) <0,001 <0,001 Haemoglobin* - 0,82 (0,71-0,96) 0,011 0,011 CD4* - 0,99 (0,99-0,10) <0,001 <0,001 Stadium klinis <0,001 Stadium I&II 2,3 (1,1-4,9) 1,00 Stadium III&IV 15,2 (11,9-19,2) 9,10 (4,16-19,92) <0,001 Status fungsional <0,001 Kerja 3,7 (2,2-6,2) 1,00 Ambulatori 13,9 (10,2-19,0) 5,75 (3,09-10,65) <0,001 Baring 25,2 (16,7-37,9) 12,12 (6,12-23,98) <0,001 Infeksi Oportunistik <0,001 Tidak ada 5,3 (3,1-9,1) 1,00 IO selain TB 12,4 (9,5-16,1) 3,82 (2,05-7,09) <0,001 TB dan lainnya 12,6 (6,3-25,2) 3,58 (1,47-8,69) 0,005 Golongan NRTI <0,001 TDF 6,8 (3,5-13,0) 1,00 AZT 9,3 (6,9-12,2) 2,88 (1,39-5,96) 0,004 D4T 19,3 (12,2-30,7) 6,73 (2,93-15,47) <0,001 Golongan NNRTI 0,133 EFV 10,3 (6,8-15,5) 1,00 NVP 9,9 (7,6-13,0) 1,47(0,89-2,43) 0,133

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5.3 di atas diperoleh bahwa setiap bertambahnya satu tahun usia pasien maka kematian meningkat 1,04 kali (HR = 1,04; 95% CI: 1,02-1,06). Faktor risiko penularan juga sebagai prediktor kematian bahwa pasien dengan penularan heteroseksual dan melalui jarum suntik lebih mungkin untuk mengalami kematian dibandingkan dengan pasien homoseksual dengan HR 6,51 (2,60-16,32) dan HR 7,15 (1,90-27,00) untuk masing-masing kategori. Pasien dengan pendidikan rendah (SD atau tidak sekolah) memiliki risiko 3,36 kali lebih tinggi untuk mengalami kematian dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan tinggi (HR = 3,36; 95% CI: 2,09-5,38). Selain itu, pasien yang tidak memiliki pendamping minum obat memiliki risiko dua kali lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan yang mempunyai pendamping minum obat (HR = 2,24; 95% CI: 1,37-3,67), dan pasien yang berasal dari klinik BMC (satelit) justru sebagai protektif terhadap kematian dibandingkan yang berasal dari RSUD Badung (rumah sakit utama) (HR = 0,15; 95% CI: 0,06-0,38).

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pasien yang memulai terapi pada saat berlaku kebijakan CD4 ≤200 memiliki risiko tiga kali lebih besar dibandingkan mereka yang memulai terapi pada kebijakan CD4 ≤350 (HR = 3,10; 95% CI: 1,85-5,19). Hal ini seiring dengan variabel CD4 bahwa setiap peningkatan 10 cell/mm3 CD4 menurunkan kematian sebesar 10% (HR = 0,99; 95% CI: 0,99-0,10). Selain itu, berat badan (HR = 0,94; 95% CI: 0,91-0,96) dan kadar haemoglobin (HR = 0,82; 95% CI: 0,71-0,96) juga sebagai protektif terhadap kematian, bahwa setiap peningkatan satu kilogram berat badan maka menurunkan risiko kematian sebesar 6% dan setiap peningkatan satu gr/dl kadar

hemoglobin akan menurunkan risiko kematian sebesar 18%. Karakteristik klinis juga ditentukan berdasarkan stadium dan status fungsional pasien yaitu pasien pada stadium III dan IV memiliki risiko mencapai sembilan kali lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan mereka yang berada pada stadium I dan II (HR = 9,10; 95% CI: 4,16-19,92) dan pasien dalam kondisi fungsional baring memiliki risiko terbesar terhadap kematian yang mencapai 12 kali dibandingkan dalam kondisi fungsional kerja (HR = 12,12; 95% CI: 6,12-23,98).

Pasien yang memulai terapi disertai dengan infeksi oportunistik berisiko lebih besar terhadap kematian dibandingkan mereka yang tidak, namun risikonya lebih besar pada jenis infeksi oportunistik non tuberculosis (HR = 3,82; 95% CI: 2,05-7,09) dibandingkan infeksi oportunistik tuberculosis (HR = 3,58; 95% CI: 1,47-8,69). Berdasarkan rejimen awal yang digunakan, hanya penggunaan golongan NRTI di awal terapi yang berperan sebagai prediktor terhadap kematian yaitu zidovudine (AZT) memiliki risiko 2,9 kali (HR = 2,88; 95% CI: 1,39-5,96) dan stavudine (D4T) mencapai hampir tujuh kali (HR = 6,73; 95% CI: 2,93-15,47) lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan penggunaan tenofovir (TDF).

5.4 Analisis multivariat prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV)

Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang berhubungan (mampu memprediksi) terhadap kematian setelah menghilangkan efek variabel confounding yaitu dengan menggunakan cox proportional hazard model dengan metode backward. Analisis ini dilakukan pada variabel yang pada analisis bivariat memiliki nilai p <0,25. Namun variabel status fungsional, kebijakan, dan tipe layanan tidak diikutkan dalam analisis. Hal ini dikarenakan setelah dilakukan

uji korelasi antar variabel menggunakan Kendall’s rank correlation diketahui bahwa status fungsional memiliki hubungan positif kuat dengan stadium klinis (p value = 0,667) dan tipe layanan memiliki hubungan negatif kuat dengan risiko penularan (p value = -0,949) sehingga untuk menghindari adanya efek multikolinearitas antar variabel maka hanya dipilih salah satu variabel yang dimasukkan dalam analisis multivariat diantara variabel yang memiliki hubungan kuat tersebut. Pertimbangannya adalah stadium klinis lebih menunjukkan indikator kondisi klinis pasien dan risiko penularan lebih mempunyai implikasi terhadap program sehingga kedua variabel ini yang diikutkan dalam analisis. Berkaitan dengan kebijakan pedoman ARV, hasil analisis variabel ini sudah terwakilkan dalam variabel CD4 yang dianalisis berdasarkan skala kontinyu yang menggambarkan keterkaitan nilai CD4 terhadap kematian. Oleh karena itu, variabel yang dimasukkan dalam model analisis multivariat meliputi usia, jenis kelamin, risiko penularan, pendidikan, status pekerjaan, pendamping minum obat, berat badan, hemoglobin, CD4, stadium klinis, infeksi oportunistik, golongan NRTI dan NNRTI. Tabel 5.4 menyajikan variabel yang secara statistik berhubungan dengan kematian yang dibentuk dari 10 model analisis multivariat dengan menggunakan metode backward. Tes asumsi analisis cox regression telah dilakukan pada model akhir analisis ini dengan p value 0,205 yang berarti bahwa data ini fit dengan model cox regression.

Tabel 5.4

Analisis multivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral

Variabel Adjusted Hazard Ratio

(95% CI)

p value p grup

Jenis kelamin 0,001

Perempuan 1,00

Laki-laki 3,74 (1,75-8,00) 0,001

Faktor risiko penularan 0,012

Homoseksual 1,00 Heteroseksual 3,36 (1,08-10,64) 0,037 Penasun 6,22 (1,39-27,89) 0,017 Pendidikan 0,007 Pendidikan tinggi 1,00 Pendidikan rendah 2,03 (1,22-3,38) 0,007 Stadium klinis 0,003 Stadium I&II 1,00 Stadium III&IV 4,53 (1,69-12,13) 0,003 Berat badan 0,96 (0,93-0,98) 0,003 0,003

Pendamping minum obat <0,001

Ada 1,00

Tidak 4,50 (2,70-7,49) <0,001

Berdasarkan independen variabel yang dimasukkan ke dalam model regresi, diketahui bahwa variabel yang terbukti sebagai prediktor terhadap kematian pasien HIV/AIDS yaitu jenis kelamin, risiko penularan, pendidikan, pendamping minum obat, berat badan, dan stadium klinis. Laki-laki dengan HIV/AIDS memiliki risiko terhadap kematian lebih besar hampir empat kali lipat dibandingkan perempuan (HR = 3,74; 95% CI: 1,75-8,00) dan pasien yang memulai terapi dengan faktor risiko penularan heteroseksual dan penasun juga mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan pasien dengan penularan homoseksual (HR = 3,36; 95% CI: 1,08-10,64 dan HR = 6,22; 95% CI: 1,39-27,89). Selain itu, pasien dengan pendidikan rendah (SD atau tidak sekolah) memiliki risiko dua kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan pasien dengan pendidikan tinggi (menyelesaikan sekolah menengah atau di atasnya) (HR = 2,03; 95% CI: 1,22-3,38). Berdasarkan kondisi klinisnya, pasien

yang memulai terapi pada stadium III dan IV mempunyai risiko terjadi kematian yang lebih besar hingga 4,5 kali dibandingkan mereka yang memulai terapi pada stadium I dan II (HR = 4,53; 95% CI: 1,69-12,13). Diketahui juga bahwa setiap peningkatan 1 kg berat badan pasien mampu menurunkan kematian sebesar 4% (HR = 0,96; 95% CI: 0,93-0,98). Selain beberapa kondisi di atas, pendamping minum obat (PMO) juga memiliki andil penting dalam menurunkan kematian pasien HIV/AIDS bahwa pasien yang tidak memiliki PMO memiliki risiko 4,5 kali lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan individu yang mempunyai PMO (HR = 4,50; 95% CI: 2,70-7,49).

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Besaran masalah kematian pasien HIV/AIDS

Pada delapan tahun periode pengamatan terhadap kohort pasien HIV/AIDS RSUD Badung ditemukan bahwa proporsi kejadian kematian pasien dengan terapi antiretroviral masih besar dengan insiden yang masih tinggi dan risiko terjadinya kematian relatif lebih tinggi pada tiga bulan pertama pengobatan dibandingkan periode berikutnya. Hal ini bisa dilihat bahwa dalam periode pengamatan tersebut tercatat sebanyak 13,2% pasien mengalami kematian. Jika dibandingkan dengan data nasional, proporsi kematian di RSUD Badung masih di bawah angka nasional yang dilaporkan Kementerian Kesehatan RI yaitu 18,04% kematian dari pasien yang menerima ARV dalam periode 27 tahun (tahun 1987 sampai Juni 2014) (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Akan tetapi jika dibandingkan dengan temuan di beberapa negara lainnya, persentase ini masih menunjukkan angka yang lebih tinggi yaitu 11,7% di Nepal yang merupakan negara berpendapatan rendah (Bhatta et al., 2013), 10,3% di Kamerun yang merupakan negara berpendapatan menengah ke bawah (Bekolo et al., 2013), dan 13% di Cina yang merupakan negara berpendapatan menengah ke atas (Zhu et al., 2013). Kematian dalam penelitian ini adalah kematian yang tercatat dalam rekam medik. Pencatatan status kematian pada rekam medik dilakukan apabila status kematian diketahui secara jelas terutama terkait waktu terjadinya kematian. Namun apabila status kematian tidak diketahui, maka dicatat sebagai loss to follow up. Diketahui bahwa terdapat tujuh pasien yang status awalnya LTFU kemudian diketahui meninggal. Hal ini

memungkinkan bahwa proporsi kejadian kematian dalam penelitian ini underestimate, dimungkinkan terdapat kematian yang statusnya tidak diketahui dari 88 (15,3%) pasien dengan status akhir LTFU.

Kondisi yang sama juga ditemukan pada insiden kematian yang masih tinggi. Incidence rate kematian pada penelitian ini didapatkan sebesar 10,1 per 100 p.y (95% CI: 8,0-12,6). Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan insiden kematian di beberapa wilayah Asia lain seperti Cina 6,3 per 100 p.y (Zhu et al., 2013), India 7 per 100 p.y (Alvarez-Uria et al., 2013), dan Nepal 6,3 per 100 p.y (Bhatta et al., 2013). Besarnya incidence rate kematian dalam penelitian ini dimungkinkan karena adanya keterlambatan dalam diagnosa status HIV yang berdampak pada keterlambatan memulai terapi ARV. Kondisi ini bisa dilihat pada nilai median CD4 sampel penelitian yang hanya mencapai 128 cell/mm3 ( CD4 <200 cell/mm3) dan hampir sebagian sampel (46,6%) berada pada stadium klinis lanjut (stadium klinis III dan IV) pada saat memulai terapi ARV. Adanya perbedaan pedoman pemberian ARV yang menggunakan batas CD4 sebagai acuan juga merupakan salah satu penentu perbedaan status mortalitas. Sebelum tahun 2012, Indonesia masih menggunakan pedoman terapi ARV dengan CD4 ≤200 yang kemudian di awal tahun 2012 baru menerapkan pedoman ARV pada CD4 ≤350. Hal ini berbeda kondisi dengan negara lain yang telah lebih awal memulai terapi ARV dengan CD4 ≤350 cell/mm3. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut berdasarkan periode berlakunya pedoman ARV tersebut, diketahui bahwa masa ketika berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤350 memiliki insiden rate kematian (7,8 per 100 p.y) yang lebih rendah dibandingkan pada saat berlaku kebijakan pedoman ARV dengan CD4 ≤200 (11,7 per 100 p.y). Selain itu,

diketahui juga bahwa insiden kematian di tiap tahunnya, baik sebelum tahun 2011 atau setelahnya cenderung mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum telah ada perbaikan infrastruktur berkaitan dengan meningkatnya kesadaran kesehatan masyarakat yaitu orang cenderung segera datang ke layanan kesehatan ketika ada kecurigaan sakit. Penurunan insiden kematian ini didukung percepatannya melalui perubahan kebijakan terkait batas nilai CD4 pada awal terapi (awalnya CD4 diberikan ≤200 sel/mm3 menjadi ≤350 sel/mm3) berperan dalam penurunan kematian, namun efeknya belum bisa diamati secara jelas karena ada perbedaan waktu pengamatan. Temuan lain menunjukkan bahwa perbedaan kejadian incidence rate kematian di masing-masing negara juga ditentukan oleh adanya perbedaan tingkat kepatuhan minum obat, karakteristik pasien, dan kualitas pelayanan (Mageda et al., 2012; Sieleunou et al., 2009). Kondisi proporsi dan insiden kematian yang masih tinggi ini mengindikasikan masih perlu adanya peningkatan cakupan inisisasi dini terapi ARV untuk meningkatkan kualitas hidup pasien HIV/AIDS di Indonesia khususnya Bali.

Berkaitan dengan waktu terjadinya kematian, median time secara keseluruhan dalam penelitian ini tidak tercapai hingga akhir pengamatan namun median time diantara pasien yang mengalami kematian ditemukan terjadi pada quarter pertama. Hal ini bisa dilihat bahwa dalam delapan tahun pengamatan, terdapat 25% sampel yang menjalani terapi ARV hanya sampai pada 3,5 tahun yang kemudian mengalami kematian. Belum tercapainya median time kematian pada penelitian ini dimungkinkan karena waktu pengamatan yang pendek pada 56,5% sampel yang memulai terapi pada tahun 2013 dan 2014 sehingga dalam hal ini membutuhkan waktu pengamatan yang lebih panjang atau meningkatkan

jumlah sampel penelitian sehingga bisa mencapai median time tersebut. Akan tetapi diantara pasien yang mengalami kematian, diketahui bahwa median time terjadi pada 0,28 tahun yang berarti setengahnya kematian tersebut terjadi pada quarter pertama. Kondisi median time kematian di 0,28 tahun ini lebih cepat bila dibandingkan temuan di beberapa negara lain yaitu 0,52 tahun di India (Alvarez-Uria et al., 2013) dan 1,8 tahun di Eropa dan Amerika Utara (May, 2010). Di sisi lain juga diketahui bahwa kematian yang lebih tinggi terjadi pada tiga bulan pertama pemakaian ARV yaitu 46,1%, menurun menjadi 15,8% di enam bulan pertama, dan terus mengalami penurunan di tahun berikutnya. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa angka kematian pasien HIV/AIDS lebih tinggi terjadi pada tiga bulan pertama dibandingkan di enam bulan pertama dan di tahun berikutnya pengobatan yang dikaitkan dengan toksisitas obat (Alvarez-Uria et al., 2013; Grinsztejn et al., 2009; Tadesse et al., 2014). Kondisi kematian yang relatif lebih tinggi pada tiga bulan pertama pengobatan jika dibandingkan enam bulan pertama dan periode tahun berikutnya, serta lebih cepat dibandingkan median kematian di India, Eropa, dan Amerika menunjukkan bahwa tiga bulan pertama pengobatan ARV merupakan masa kritis sehingga diperlukan pemantauan yang lebih intensif pada periode ini.

6.2 Faktor yang berperan dalam memprediksi kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral di Bali

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin, stadium klinis, berat badan, faktor risiko penularan, pendidikan, dan pendamping minum obat di awal terapi mampu memprediksi kematian pasien HIV/AIDS. Penjelasan detail dari masing-masing risiko akan dibahas berikut ini.

Laki-laki dengan HIV/AIDS diketahui memiliki peluang 3,7 kali lebih besar terhadap kematian dibandingkan perempuan. Hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di Nepal (Bhatta et al., 2013), Iran (Badie et al., 2013), dan Ethiopia (Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013) juga mengemukakan hal yang sama terkait risiko kematian yang lebih besar pada laki-laki, walaupun beberapa studi lain juga menemukan bahwa jenis kelamin tidak memiliki hubungan terhadap kematian (Alemu & Sebastián, 2010; Odafe et al., 2012). Pada beberapa penelitian, hal ini dikaitkan dengan adanya perbedaan perilaku pencarian kesehatan bahwa laki-laki cenderung lebih sedikit untuk memeriksakan kesehatannya (Makwiza et al., 2009; NHS Health Scotland, 2014). Hal tersebut bertentangan dengan kondisi budaya di Asia bahwa terdapat kecenderungan perempuan yang justru sebagai pihak termarginalisasi dibandingkan laki-laki yang memungkinkan akses perempuan terhadap layanan kesehatan lebih rendah. Akan tetapi risiko kematian pada laki-laki yang lebih besar dibandingkan perempuan yang berkaitan dengan kondisi laki-laki memulai terapi pada stadium lanjut, dikarenakan pada penelitian ini pasien perempuan yang ditemukan melalui penularan heteroseksual dimungkinkan adalah penularan dari suami (pasangan odha) sehingga perempuan tersebut terdeteksi lebih dini ketika diketahui status HIV pada pasangannya. Adanya keterlambatan diagnosa pada laki-laki dikarenakan adanya stigma di masyarakat terkait penyakit infeksi HIV yang menyebabkan pasien tersebut menunda-nunda untuk datang ke klinik VCT. Hal ini didasari bahwa setting heteroseksual penelitian ini adalah heteroseksual pada populasi umum. Diketahui bahwa pada perempuan yang mendapatkan terapi, sebagian besar (98,18%) memiliki faktor risiko penularan melalui heteroseksual

dan sisanya (1,82%) melalui IDU. Diantara perempuan heteroseksual, terdeteksi 9 (8,3%) pasien merupakan pasangan odha yang sebagian besar (66,7%) memulai terapi pada stadium I dan II. Pada laki-laki heteroseksual, sebagian besar (83,18%) memulai terapi pada stadium III dan IV (Tabel 10; Lampiran 3.3).

Stadium klinis menunjukkan indikator yang baik dalam prognosis kesehatan pasien HIV/AIDS. Pasien yang memulai terapi pada stadium III dan IV mempunyai risiko terjadi kematian yang lebih besar hingga 4,5 kali dibandingkan mereka yang memulai terapi pada stadium I dan II. Temuan ini didukung beberapa penelitian lain yang telah dilakukan di Nepal (Bhatta et al., 2013), Kamerun (Bekolo et al., 2013), Ethiopia (Biadgilign et al., 2012; Wubshet et al., 2013), Tanzania (Mageda et al., 2012), dan Nigeria (Biadgilign et al., 2012), walaupun terdapat juga penelitian yang menemukan tidak adanya keterkaitan (Wubshet et al., 2012). Pasien yang berada pada stadium II akhir dan awal stadium III meningkatkan terjadinya sindrom wasting yang berpotensi mendorong ke status imunokompromise yang mengancam jiwa penderita (Nasronudin, 2007). Hal ini bisa ditunjukkan bahwa dari 268 (46,6%) pasien yang memulai terapi di stadium III dan IV, sebagian besar (90,8%) mengalami kematian.

Jumlah CD4 merupakan salah satu indikator penting lain yang mampu menunjukkan kondisi klinis pasien tanpa harus disertai keberadaan manifestasi klinis. Hasil analisis multivariat penelitian ini tidak menunjukkan adanya keterkaitan jumlah CD4 terhadap kematian. Hal ini dikarenakan jumlah CD4 berkaitan dengan stadium klinis saat mulai ARV yaitu apabila stadium klinis dan jumlah CD4 pada saat mulai terapi keduanya dimasukkan dalam model maka CD4 menjadi tidak signifikan. Namun apabila stadium klinis dikeluarkan dari

model, didapatkan jumlah CD4 menjadi signifikan dengan nilai adjusted hazard ratio 5,38 (95% CI: 2,08-1,94) yang berarti bahwa pasien dengan CD4 <200 sel/mm3 memiliki risiko 5,38 kali terhadap kematian dibandingkan pasien dengan CD4 ≥200 sel/mm3 (Tabel 24; Lampiran 3.5). Sedangkan apabila CD4 dikeluarkan dari model, maka didapatkan stadium klinis bermakna terhadap kematian (Tabel 25; Lampiran 3.5). Hal ini dikarenakan jumlah CD4 dan stadium klinis keduanya mencerminkan hal yang sama yaitu fase perjalanan penyakit pada saat memulai ARV. Diketahui bahwa 93,80% pasien pada stadium III dan IV memiliki jumlah CD4 <200 sel/mm3 dan kematian terjadi pada median CD4 18 sel/mm3.

Kondisi klinis tubuh yang berkaitan dengan stadium juga dikaitkan dengan status fungsional pasien yang mempunyai hubungan positif terhadap stadium. Hal ini bisa ditunjukkan bahwa dari 77,5% pasien stadium awal (stadium I dan II) merupakan pasien dengan status fungsional kerja dan 97,67% pasien stadium lanjut (stadium III dan IV) merupakan pasien dengan status fungsional baring. Jika dikaitkan terhadap kematian, terdapat 81,6% kematian yang terjadi pada kondisi fungsional ambulatori dan baring. Berdasarkan kondisi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kematian sangat dipengaruhi oleh kondisi klinis pasien yang jelek di awal terapi yang bisa ditunjukkan dari stadium klinis, jumlah CD4, dan status fungsionalnya.

Kondisi klinis yang jelek juga ditemukan pada mereka yang memiliki riwayat pendidikan rendah (Biadgilign et al., 2012), diketahui bahwa 71,76% pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah berada pada stadium lanjut (stadium III dan IV). Pasien dengan tingkat pendidikan rendah (SD atau tidak

sekolah) berisiko dua kali lebih besar terhadap kematian dibandingkan pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Hasil penelitian yang sama juga ditemukan pada penelitian di Ethiopia (Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014), sedangkan penelitian di Nigeria (Okonkwo et al., 2014) dan Nepal (Bhatta et al., 2013) tidak menemukan adanya hubungan antar keduanya. Adanya hubungan tingkat pendidikan terhadap kematian juga dikaitkan dengan adanya perbedaan penerimaan informasi yang mengarah pada perbedaan perilaku kesehatan dan perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior) (Mubarok, 2011; National Poverty Center, 2007). Besarnya persentase pasien yang terdiagnosa HIV di stadium III dan IV yang salah satunya dipicu karena pendidikan yang rendah mengindikasikan bahwa kesadaran tes HIV pada masyarakat masih rendah. Keterlambatan diagnosa berdampak pada keterlambatan inisiasi terapi ARV sehingga sulit untuk mencapai perbaikan kondisi klinis secara optimal. Sangatlah penting untuk memperluas dan meningkatkan program konseling dan tes HIV untuk mencapai peningkatan

Dokumen terkait