• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG BALI PERIODE TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG BALI PERIODE TAHUN"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS

DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG

BALI PERIODE TAHUN 2006-2014

SRI UTAMI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(2)

TESIS

PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS

DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG

BALI PERIODE TAHUN 2006-2014

SRI UTAMI NIM 1392161040

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS

DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV)

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BADUNG

BALI PERIODE TAHUN 2006-2014

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana Universitas Udayana

SRI UTAMI NIM 1392161040

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 21 APRIL 2015

Mengetahui Pembimbing I,

Prof. dr. D.N. Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001

Pembimbing II,

dr. A.A. Sagung Sawitri, MPH NIP. 196809141999032001

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. dr. D.N. Wirawan, MPH NIP. 194810101977021001 Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 195902151985102001

(5)

Tesis ini Telah Diuji pada Tanggal 20 April 2015

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No: 1174/UN14.4/HK/2015, Tanggal 20 April 2015

Ketua : Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH

Anggota :

1. dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH 2. Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD

3. Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA (K) 4. Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si

(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Nama : Sri Utami

NIM : 1392161040

Program Studi : Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Judul Tesis : Prediktor Kematian Pasien HIV/AIDS dengan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali Periode Tahun 2006-2014

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan di Universitas Udayana dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

Denpasar, Maret 2015

(7)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pertama dan utama penulis panjatkan puji syukur kepada Allah S.W.T yang telah memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis yang berjudul “Prediktor Kematian Pasien HIV/AIDS dengan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali Periode Tahun 2006-2014” ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Dewa Nyoman Wirawan, MPH, sebagai pembimbing I dan juga Ketua Program Studi Magister Imu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana yang dengan penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, dan dukungan selama proses pembelajaran khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada dr. Anak Agung Sagung Sawitri, MPH sebagai pembimbing II yang dengan segala perhatian dan kesabarannya memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD. (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sebagai mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen dan staf karyawan Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat atas bimbingan dan dukungannya selama menempuh pendidikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada penguji tesis ini, yaitu Prof. Dr. dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD., Prof. Dr. dr. Mangku Karmaya, M.Repro PA (K), dan Dr. dr. Dyah Pradnyaparamita Duarsa, M.Si yang telah memberikan masukan dan koreksinya terhadap tesis ini. Penulis juga sampaikan banyak terima kasih kepada seluruh mentor Field Research Training Program (FRTP) atas segala bimbingan dan dukungannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Agus Bintang Suryadhi,

(8)

M.Kes. selaku Direktur RSUD Badung, Bapak Ketut Buana, Amd.Kep. selaku pemegang program klinik VCT RSUD Badung, dan dr.Yogi Prasetya selaku Direktur Bali Medica Clinic (BMC) yang telah memberi ijin dan dukungannya kepada penulis untuk melakukan penelitian di tempat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada The Kirby Institute, University of New South Wales, Sydney, Australia yang telah memberikan bimbingan dan bantuan finansial sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada orang tua, keluarga, teman seperjuangan FRTP 2014, serta seluruh teman Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan V atas doa dan dukungan selama ini sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan tesis ini dengan baik.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

(9)

ABSTRAK

PREDIKTOR KEMATIAN PASIEN HIV/AIDS DENGAN TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

BADUNG BALI PERIODE TAHUN 2006-2014

Kematian pada infeksi HIV masih menjadi permasalahan kesehatan global. Di Indonesia, terdapat 142.961 pasien terinfeksi HIV dengan 43.677 (30,6%) pasien mendapatkan terapi ARV. Informasi kematian pada pasien HIV di Indonesia masih terbatas, terutama yang dihasilkan dari penelitian longitudinal. Selain itu, hasil penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insiden dan prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Bali.

Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal dengan melakukan analisis data sekunder secara retrospektif pada 575 rekam medis pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi ARV periode Januari 2006 hingga Juli 2014 di RSUD Badung, Bali dan sateli Bali Medika Clinic (2011-2014). Analisis Kaplan-Meier digunakan untuk mengetahui incidence rate dan median time kematian dan Cox Proportional Hazard Model digunakan untuk mengidentifikasi prediktornya. Variabel yang dianalisis meliputi karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan ARV saat pasien memulai terapi.

Penelitian ini terdiri dari 59,3% pasien populasi umum dan 40,7% laki-laki seks dengan laki-laki (LSL). Insiden kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV adalah 10,1 per 100 person years (PY) (95% CI: 8,0-12,6), dengan median time kematiannya terjadi pada 0,28 tahun (IQR: 0,07-1,09). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa pasien laki-laki (aHR: 3,7; 95% CI: 1,7-8,0), dengan tingkat pendidikan rendah (aHR: 2,0; 95% CI: 1,2-3,4), melalui penularan heteroseksual (aHR: 3,4; 95% CI: 1,1-10,6) dan penasun (aHR: 6,2; 95% CI:1,4-27,9), serta tidak memiliki pendamping minum obat (aHR: 4,5; 95% CI: 2,7-7,5) berhubungan dengan peningkatan risiko kematian. Pasien pada stadium klinis III dan IV (aHR: 4,5; 95% CI: 1,7-12,1) dan memiliki berat badan rendah (aHR: 0,96; 95% CI: 0,93-0,98) juga berhubungan dengan risiko kematian yang lebih tinggi.

Insiden kematian pasien dengan terapi ARV di Bali masih tinggi dengan risiko yang meningkat di periode awal terapi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan diagnosis dini, terapi dini, dan pemantauan klinis terutama pada tiga bulan pertama pengobatan merupakan faktor yang dapat meningkatkan clinical outcome yang lebih baik.

(10)

ABSTRACT

PREDICTORS OF MORTALITY AMONG HIV PATIENTS AFTER ANTIRETROVIRAL (ARV) THERAPY INITIATION AT BADUNG

GENERAL HOSPITAL BALI, BETWEEN 2006-2014

Mortality among HIV patients remained a global health problem. In Indonesia, there were 142, 961 people living with HIV but only 43,677 (30.6%) on antiretroviral (ARV) treatment. Existing research into factors related to mortality rates among HIV patients in Indonesia is limited and inconsistent. This study aims to explore the incidence and predictors of mortality among HIV patients on ARV treatment in Badung.

The study design was a retrospective cohort study using secondary data collected on 575 HIV patients accessing ARV treatment between January 2006 and July 2014 in Badung General Hospital, Bali and the satellite clinic Bali Medika (2011-2014). Kaplan-Meier analysis was used to describe incidence rate and median time to mortality and Cox Proportional Hazard Model was used to identify its predictors. Analysis variables were socio-demographic characteristics, clinical characteristics, and ARV access site.

Study population consisted of 59.3% patients from general population and 40.7% patients identified as MSM. The mortality rate was 10.1/100 person-years (PY) (95%CI: 8.0-12.6), with median time of death of 0.28 years (IQR: 0.07-1.09). Multivariate analysis indicated that being male (aHR: 3.7; 95% CI: 1.7-8.0), having a lower education (aHR: 2.0; 95% CI: 1.2-3.4), being of heterosexual orientation (aHR: 3.4; 95% CI: 1.1-10.6) and IDU (aHR: 6.2; 95% CI:1.4-27.9), and without adherence support (aHR: 4.5; 95% CI: 2.7-7.5) were associated with an increased risk of mortality. Patients at clinical stage III and IV (aHR: 4.5; 95% CI: 1.7-12.1) and presenting with a low weight (aHR: 0.96; 95% CI: 0.93-0.98) were also associated with higher risk of mortality.

The overall mortality rate of patient on ARV therapy in Bali was highest in the early stages of ARV treatment. Study findings indicate that increasing of early diagnosis, treatment initiation, and clinical monitoring especially on the first three months of treatment would be an enabling factor for better clinical outcomes.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM………. ii

PRASAYARAT GELAR……… iii

LEMBAR PENGESAHAN………. iv

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI……….. v

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME……… vi

UCAPAN TERIMA KASIH………... vii

ABSTRAK………... ix

ABSTRACT……….. x

DAFTAR ISI………... xi

DAFTAR TABEL………... xiv

DAFTAR GAMBAR………... xv

DAFTAR SINGKATAN………. xvi

DAFTAR LAMPIRAN………... xviii

BAB I PENDAHULUAN………... 1 1.1 Latar belakang……… 1 1.2 Rumusan masalah………... 5 1.3 Tujuan penelitian……… 6 1.3.1 Tujuan umum………. 6 1.3.2 Tujuan khusus……… 6 1.4 Manfaat penelitian……….. 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA……… 9

2.1 Epidemi kematian HIV/AIDS di Indonesia……… 9

2.2 Terapi antiretoviral (ARV) ………... 10

2.3 Prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV.. 15

2.3.1 Karakteristik demografi……… 16

2.3.2 Karakteristik klinis………... 18

(12)

2.3.4 Karakteristik layanan ARV………... 34

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN……… 36

3.1 Kerangka berpikir………... 36

3.2 Konsep penelitian……….... 38

3.3 Hipotesis……….. 39

BAB IV METODE PENELITIAN……….. 41

4.1 Rancangan penelitian……….. 41

4.2 Lokasi dan waktu penelitian………... 41

4.3 Penentuan sumber data……… 42

4.3.1 Populasi penelitian……….. 42

4.3.2 Kriteria inklusi dan eksklusi………... 42

4.3.3 Sampel penelitian……… 43

4.4 Variabel penelitian……….. 44

4.4.1 Variabel penelitian……….. 44

4.4.2 Definisi operasional……….... 45

4.5 Instrumen penelitian……….... 51

4.6 Prosedur pengumpulan data……… 51

4.6.1 Jenis data yang dikumpulkan……….. 51

4.6.2 Cara pengumpulan data………... 52

4.6.3 Pengolahan data……….. 52

4.7 Teknik analisis data………. 53

4.7.1 Analisis univariat……….... 53

4.7.2 Analisis bivariat……….. 54

4.7.3 Analisis multivariat……… 55

BAB V HASIL PENELITIAN………

5.1 Karakteristik pasien………

5.2 Proporsi, insiden, dan median time kematian………. 5.3 Analisis bivariat prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS

56 56 62 65

(13)

dengan terapi antiretroviral (ARV)……… 5.4 Analisis multivariat prediktor kematian pada pasien

HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV)………...

68

BAB VI PEMBAHASAN………...

6.1 Besaran masalah kematian pasien HIV/AIDS………

6.2 Faktor yang berperan dalam memprediksi kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral di Bali………... 6.3 Faktor yang tidak terbukti berperan dengan kematian pasien

HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral………...

6.4 Keterbatasan penelitian………... 72 72 76 84 87

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……….

7.1 Simpulan………... 7.2 Saran……… 89 89 89 DAFTAR PUSTAKA……….. 92 LAMPIRAN ……….……….. 103

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Target terapi ARV……… 11

Tabel 2.2 Pedoman terapi ARV di Indonesia……….. 12

Tabel 4.1 Perhitungan sampel penelitian………. 44

Tabel 4.2 Definisi operasional……….. 45

Tabel 5.1 Karakteristik pasien terapi ARV berdasarkan sosiodemografi dan layanan ARV ……… 58 Tabel 5.2 Karakteristik klinis pasien berdasarkan event pada awal dan

akhir pengamatan………... Tabel 5.3 Analisis bivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS

dengan terapi antiretroviral……… Tabel 5.4 Analisis multivariat prediktor kematian pasien HIV/AIDS

dengan terapi antiretroviral………

61

66

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 3.1 Konsep prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan

terapi ARV………... 38

Gambar 5.1 Skema seleksi sampel penelitian……… 56

Gambar 5.2 Jumlah pasien memulai terapi antiretroviral per tahun….. Gambar 5.3 Kaplan-Meier estimasi kematian pada pasien dengan

terapi antiretroviral……… Gambar 5.4 Kaplan-Meier median time kematian pada pasien yang

mengalami kematian………. Gambar 5.5 Kaplan-Meier median time kematian berdasarkan

kebijakan pedoman ARV………..

57

63 64

(16)

DAFTAR SINGKATAN

ADI AIDS

: AIDS Defining Illness

: Acquired Immune Deficiency Syndrome ART AZT : Antiretroviral Therapy : Zidovudine ARV CI : Antiretroviral : Confidence interval CST D4T

: Care Support Treatment : Stavudine

EFV : Efavirenz

HAART : Highly Active Antiretroviral Therapy

HIV : Human Immunodeficiency Virus

HR : Hazard Rasio

IDU : Injecting Drug Users

IO IQR

: Infeksi Oportunistik : Interquartil Range

IMT : Indeks Massa Tubuh

LSL : Laki Seks dengan Laki

LTFU : Loss to Follow Up

NAPZA :Narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif NNRTI : Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor NRTI : Nucleoside reverse transcriotase inhibitor

NVP : Nevirapine

ODHA : Orang dengan HIV/AIDS

PENASUN : Pengguna narkoba suntik

PMO : Pendamping Minum Obat

PSP SGOT SGPT

: Pekerja Seks Perempuan

: Serum glutamic-oxaloacetic transaminase : Serum glutamic-pyruvic transaminase TB

TDF

: Tuberculosis : Tenofovir

(17)

UNAIDS : United Nations AIDS

VCT : Voluntary Counseling and Testing

WHO : World Health Organisation

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Inform consent

Lampiran 2 Formulir pengumpulan data

Lampiran 3 Hasil analisis tambahan dengan STATA Lampiran 3.1 Analisis deskriptif karakteristik pasien Lampiran 3.2 Analisis besaran masalah kematian Lampiran 3.3 Analisis lanjutan variabel independen Lampiran 3.4 Analisis lanjutan rejimen awal terapi ARV Lampiran 3.5 Analisis multivariat metode backward

Lampiran 4 Ethical clearance dari Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Lampiran 5 Rekomendasi penelitian dari Badan Penanaman Modal dan Perizinan Provinsi Bali

Lampiran 6 Rekomendasi penelitian dari Bakesbangpol Kabupaten Badung Lampiran 7 Ijin penelitian dari RSUD Badung

Lampiran 8 Surat keterangan selesai melakukan penelitian dari RSUD Badung Lampiran 9 Dokumentasi penelitian

(19)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar belakang

Angka kejadian dan kematian yang masih tinggi pada infeksi Human Immunodeficiency virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) masih menjadi permasalahan kesehatan global. Berdasarkan laporan UNAIDS disebutkan bahwa kasus HIV/AIDS secara global sebanyak 34 juta orang dengan 2,5 juta kasus infeksi baru, 14,8 juta orang memenuhi syarat pengobatan, 8 juta orang mendapat pengobatan, dan 1,7 juta kasus kematian karena AIDS. Infeksi baru HIV telah mengalami penurunan di beberapa negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan penurunan global sebesar 86%, namun dilaporkan meningkat di Bangladesh, Indonesia, Filipina, dan Sri Lanka (UNAIDS, 2012). Kematian terkait AIDS telah mengalami penurunan sejak dilakukannya peningkatan terapi antiretroviral (ARV) yaitu dari puncaknya 2,3 juta di tahun 2005 menjadi 1,6 juta pada tahun 2012 dengan persentase penurunannya sebanyak 51% (UNAIDS, 2012; UNAIDS, 2013a). Proyeksi kematian HIV/AIDS menunjukkan bahwa jumlah kematian pasien HIV/AIDS akan tetap tinggi di masa mendatang (Bongaarts et al., 2009).

Indonesia dilaporkan sebagai salah satu negara Asia yang mengalami peningkatan infeksi HIV cukup signifikan dengan jumlah kasus infeksi baru sebanyak 610.000 orang dan menduduki peringkat ketiga di Asia Pasifik setelah India dan Cina (UNAIDS, 2013b). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa hingga Juni 2014, 150.307 kasus masuk perawatan HIV dari 198.584 orang dengan HIV/AIDS, dengan penyebarannya yaitu 105.363 (70,10%)

(20)

orang memenuhi syarat pengobatan, 81.518 orang (77,37%) mendapat pengobatan, dan 14.704 (18,04%) kasus kematian karena AIDS. Pelaporan case fatality rate terkait AIDS memiliki kecenderungan proporsi yang menurun yaitu 3,79% di tahun 2012 turun menjadi 0,04% di bulan Juni tahun 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Proporsi ini menunjukkan angka yang lebih kecil dari angka yang sesungguhnya karena banyak kematian terkait AIDS yang tidak diketahui mengingat tingginya kejadian loss to follow up yang mencapai 17,95%.

Berdasarkan jumlah kasus yang dilaporkan, Provinsi Bali dengan jumlah kasus HIV 9.051 dan AIDS 4.261 menduduki urutan kelima setelah Papua, Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat; serta sebagai provinsi dengan AIDS case rate tertinggi ketiga (100,2 per 100.000 penduduk) setelah Papua dan Papua Barat. Berdasarkan 13.312 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan, sebanyak 5.802 pasien dengan terapi ARV, 3.598 pasien (62,01%) masih mengikuti terapi, 1.063 pasien (18,32%) loss to follow up, 664 pasien (11,44%) meninggal, 459 pasien (7,91%) rujuk keluar, dan 18 (0,31%) pasien diketahui menghentikan terapi ARV (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Kematian pasien HIV/AIDS setelah mendapat terapi di Bali merupakan persentase kematian tertinggi ke tujuh di Indonesia. Angka ini masih berada di bawah persentase kematian nasional (18,04%), namun masih jauh dari target zero AIDS related death (ASEAN, 2011). Tiga kabupaten dengan jumlah kumulatif AIDS terbanyak di wilayah Provinsi Bali yang dilaporkan hingga Juni tahun 2014 yaitu Denpasar 2.113 kasus (49,59%), Buleleng 593 kasus (13,92%), dan Badung 550 kasus (12,91%) (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2014).

(21)

Rumah Sakit Umum Badung adalah rumah sakit yang menyediakan layanan care support treatment (CST) di Wilayah Bali selatan sejak tahun 2006 dan merupakan rumah sakit dengan rekam medis yang baik terkait register pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV. Berkaitan dengan karakteristik pasien, selain sebagai penyedia layanan terapi ARV untuk masyarakat umum juga sebagai rujukan dari satelit Bali Medika Clinic (BMC) dengan salah satu pelayanan yang diberikan adalah perawatan HIV/AIDS untuk laki-laki seks dengan laki-laki (LSL) dan transgender. Hingga akhir Juli 2014, teridentifikasi 671 pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV dan sebanyak 76 pasien (11,33%) meninggal (RSUD Badung, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kematian pada pasien HIV/AIDS setelah memulai terapi ARV di Kabupaten Badung masih sebagai masalah dalam program HIV.

Terapi ARV mempunyai peran besar dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dengan HIV/AIDS, menurunkan angka kematian dan kesakitan, serta meningkatkan harapan masyarakat (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Banyak penelitian pada program terapi ARV menunjukkan angka kematian yang lebih tinggi pada enam bulan pertama memulai pengobatan (Tadesse et al., 2014). Penelitian di belahan negara Afrika, Eropa, Amerika, dan Asia telah melaporkan prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV namun masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten pada beberapa variabel. Variabel tersebut meliputi usia (Alvarez-Uria et al., 2013; Zheng et al., 2014), jenis kelamin (Badie et al., 2013; Odafe et al., 2012), berat badan (Miller et al., 2014; Tadesse et al., 2014), tekanan darah (Bloomfield et al., 2014; Jarrett et al., 2013), jumlah CD4 (Biadgilign et al., 2012; Miller et al., 2014), status fungsional

(22)

(Odafe et al., 2012; Wubshet et al., 2012), tuberculosis (Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013), rejimen (Bekolo et al., 2013; Bock et al., 2013), faktor risiko penularan (Jarrett et al., 2013; Miller et al., 2014), penghasilan (Birbeck et al., 2011; Jarrett et al., 2013), pendamping minum obat (Lamb et al., 2012; Stringer et al., 2006), status pekerjaan (Cunningham et al., 2005; Wubshet et al., 2012)¸ status pernikahan (Kposowa, 2013; Tadesse et al., 2014), dan jarak tempat tinggal dengan layanan (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013).

Penurunan kasus kematian pada pasien HIV/AIDS di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang baik, namun publikasi terkait prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV masih terbatas, terutama yang dihasilkan dari studi longitudinal. Sebagai upaya untuk perencanaan dan evaluasi program terapi ARV lebih lanjut, informasi prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV penting untuk dipahami. Ini juga merupakan salah satu strategi untuk mencapai keberhasilan program AIDS dan sebagai langkah untuk pencapaian Getting to Zero yang meliputi zero new infection, zero death from AIDS-related illness dan zero discrimination yang telah menjadi komitmen Indonesia dalam ASEAN Declaration pada tahun 2007 (ASEAN, 2011; WHO, 2012).

1.2Rumusan masalah

Rumusan masalah penelitian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali periode tahun 2006-2014 meliputi hal berikut ini.

1.2.1 Bagaimana karakteristik sosiodemografi, karakteristik klinis, dan karakteristik layanan ARV pasien pada saat mulai terapi ARV?

(23)

1.2.2 Bagaimana kondisi klinis pasien pada akhir pengamatan? 1.2.3 Berapa incidence rate terjadinya kematian pada pasien?

1.2.4 Berapa incidence rate kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350)?

1.2.5 Berapa median time terjadinya kematian pada pasien?

1.2.6 Berapa median time kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350)?

1.2.7 Apakah ada hubungan antara karakteristik sosiodemografi pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, dan adanya pendamping minum obat pada awal terapi ARV terhadap kematian?

1.2.8 Apakah ada hubungan antara karakteristik klinis pasien yang meliputi berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, serta golongan NRTI dan NNRTI pada awal terapi ARV terhadap kematian?

1.2.9 Apakah ada hubungan antara karakteristik layanan ARV yang meliputi jenis tempat layanan dan kebijakan pedoman ARV pada awal terapi ARV terhadap kematian?

(24)

1.3Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui kejadian dan prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali periode tahun 2006-2014.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV di Rumah Sakit Umum Daerah Badung Bali periode tahun 2006-2014 adalah untuk mengetahui hal berikut ini.

1.3.2.1 Karakteristik sosiodemografi, karakteristik klinis, dan karakteristik layanan ARV pasien pada saat mulai terapi ARV.

1.3.2.2 Kondisi klinis pasien pada akhir pengamatan. 1.3.2.3 Incidence rate terjadinya kematian pada pasien.

1.3.2.4 Incidence rate kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350).

1.3.2.5 Median time terjadinya kematian pada pasien.

1.3.2.6 Median time kematian pasien yang memulai terapi ARV pada periode kebijakan terapi ARV tahun 2007 (CD4 ≤200) dan tahun 2011 (CD4 ≤350).

1.3.2.7 Hubungan antara karakteristik sosiodemografi pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, faktor risiko penularan, status pernikahan, pendidikan, status pekerjaan, dan adanya pendamping minum obat pada awal terapi ARV terhadap kematian.

(25)

1.3.2.8 Hubungan antara karakteristik klinis pasien saat mulai terapi yang meliputi berat badan, kadar hemoglobin, jumlah CD4, stadium klinis, status fungsional, infeksi oportunistik, serta golongan NRTI dan NNRTI pada awal terapi ARV terhadap kematian.

1.3.2.9 Hubungan antara karakteristik layanan ARV yang meliputi jenis tempat layanan dan kebijakan pedoman ARV pada awal terapi ARV terhadap kematian.

1.4Manfaat penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan pengetahuan terkait faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretoviral (ARV) di Indonesia khususnya wilayah Bali yang dapat digunakan sebagai pengembangan penelitian berikutnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan informasi baru bagi pasien HIV/AIDS terkait faktor yang dapat meningkatkan kejadian kematian setelah menerima terapi antiretroviral. 2. Memiliki implikasi penting terhadap proses monitoring dan evaluasi

program sehingga memberikan acuan dalam keberhasilan program HIV/AIDS di Bali.

3. Memberikan informasi baru bagi layanan care support treatment (CST) di Provinsi Bali untuk menggalakkan berbagai program yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Epidemi kematian HIV/AIDS di Indonesia

Sejak tahun 2000, HIV/AIDS di Indonesia masih menjadi epidemi di beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi HIV >5%) yaitu pada pengguna napza suntik (penasun), wanita pekerja seks (WPS), LSL (laki-laki suka seks dengan laki-laki), dan waria. Beberapa laporan terakhir menunjukkan bahwa jumlah orang yang dilaporkan HIV positif bertambah dengan cepat. Situasi ini salah satunya disebabkan oleh kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum suntik bersama dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Hasil surveilans Kementerian Kesehatan di beberapa provinsi menggambarkan bahwa prevalensi HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu yaitu berkisar 21% – 52% pada penasun, 1% - 22% pada WPS, 3% - 17% pada waria (Kementerian Kesehatan RI, 2013b).

Berkaitan dengan kematian pasien HIV/AIDS, temuan kasus kematian sejak awal ditemukannya HIV/AIDS di Indonesia terus mengalami peningkatan yaitu 1 kasus kematian di tahun 1987, terus mengalami peningkatan hingga puncaknya di tahun 2012 yang mencapai 1.475 kematian, dan mulai menurun di tahun 2013 yaitu 721 kematian dan 175 kematian hingga Juni 2014. Secara kumulatif kasus kematian yang dilaporkan hingga Juni 2014 sejumlah 9.760 kematian dengan laporan terbanyak pada laki-laki (56,18%). Berdasarkan kategori umur, laporan kasus kematian terbanyak berada pada rentang umur 20-29 tahun (30,07%) dan umur 30-39 tahun (29,60%) (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

(27)

Case fatality rate AIDS yang dilaporkan berdasarkan tahun mengalami perkembangan yang naik turun yaitu mencapai puncaknya 18,16% di tahun 2000, mengalami penurunan 4,94% di tahun 2001, terus mengalami peningkatan hingga tahun 2004 yaitu 13,86%, dan mulai menurun kembali mencapai 0,04% pada laporan Juni 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa case fatality rate pada pasien HIV/AIDS di Indonesia telah menunjukkan perkembangan yang baik.

2.2Terapi antiretoviral (ARV)

Prognosis infeksi HIV telah mengalami perbaikan secara dramatis setelah

ditemukannya pengobatan terhadap orang yang terinfeksi human

immunodeficiency virus (HIV) dengan menggunakan obat anti-HIV yang dikenal dengan terapi antiretroviral (ARV). Standar Pengobatan terdiri dari minimal kombinasi tiga obat (sering disebut "highly active antiretroviral therapy " atau HAART) yang menekan replikasi HIV. ARV memiliki potensi baik untuk mengurangi angka kematian dan morbiditas di antara orang yang terinfeksi HIV, dan meningkatkan kualitas hidup mereka (WHO, 2014a).

Terapi antiretroviral (ARV) yang digunakan untuk menekan replikasi HIV harus digunakan seumur hidup. Pada enam bulan sejak memulai terapi ARV diharapkan terjadi perkembangan klinis dan imunologi yang baik karena merupakan masa yang kritis dan penting, bahkan terkadang terjadi toksisitas obat. Berbagai faktor mempengaruhi perbaikan klinis maupun imunologis tersebut sehingga diperlukan adanya pemantauan pada pasien yang sudah mulai terapi ARV untuk menunjang keberhasilan terapi ARV tersebut. Pemantauan tersebut meliputi pemantauan klinis, pemantauan laboratoris, pemantauan pemulihan

(28)

jumlah CD4, dan pemantauan kematian dalam terapi ARV (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Secara umum target terapi ARV dijelaskan pada tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Target Terapi ARV

Target Uraian

Klinis Kualitas hidup penderita ditingkatkan seoptimal

mungkin dan dipertahankan tetap optimal selama mungkin. Umur harapan hidup penderita diharapkan dapat diperpanjang selama mungkin sejauh diupayakan oleh manusia secara wajar, rasional, dan manusiawi.

Imunologis Status imun yang terganggu diusahakan untuk

dipulihkan. Jumlah limfosit total diusahakan dan dipertahankan >1200 dan atau CD4 ditingkatkan dan dipertahankan >500 sel/mm3.

Virologis Jumlah virus dapat ditekan paling tidak di bawah 400 kopi per ml atau idealnya di bawah 50 kopi per ml dan dipertahankan tetap rendah selama mungkin.

Terapeutik Obat ARV dapat diterima oleh tubuh penderita dengan

efek samping dan resistensi seminimal mungkin

Epidemiologis Transmisi infeksi HIV menurun bermakna. Perjalanan epidemiologi HIV harus dapat diubah.

Sumber : (Nasronudin, 2007)

2.2.1 Perkembangan pedoman terapi antiretroviral (ARV) di Indonesia

Pedoman untuk pengobatan pasien HIV/AIDS terkait pemberian ARV terus diperbaharui secara periodik yang mengacu pada perkembangan ilmiah untuk mencapai kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang lebih baik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa saat mulainya terapi adalah ketika jumlah CD4 seseorang turun di bawah 500 sel/µL dan segera untuk ibu hamil, pasangan HIV-positif pada pasangan serodiskordant (berbeda status HIV-nya), anak di bawah lima tahun dan orang-orang dengan HIV terkait TB dan

(29)

Hepatitis B (UNAIDS, 2013a). Perkembangan pedoman pemberian terapi ARV di Indonesia dijelaskan pada tabel berikut ini.

Tabel 2.2

Pedoman Terapi ARV di Indonesia

Populasi Target Pedoman Terapi ARV

2007

Pedoman Terapi ARV 2011

Odha tanpa gejala klinis (stadium klinis 1) dan belum pernah mendapat terapi ARV.

CD4 ≤200 sel/mm3. CD4 ≤350 sel/mm3.

Odha dengan gejala klinis dan belum pernah

mendapat terapi ARV.

a. Semua pasien CD4 ≤200 sel/mm3. b. Stadium klinis 3 atau

4, berapapun jumlah CD4.

a. Stadium klinis 2 bila CD4 ≤350 sel/mm3, atau

b. Stadium klinis 3 atau 4, berapapun jumlah CD4.

Perempuan hamil dengan HIV.

a. Stadium klinis 1 atau 2 dan CD4 <200 sel/mm3.

b. Stadium klinis 3 dan CD4 <350 sel/mm3. c. Stadium klinis 4

berapapun jumlah CD4.

Semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 atau apapun stadium klinis.

Odha dengan koinfeksi TB yang belum pernah mendapat terapi ARV.

Adanya gejala TB aktif dan CD4 <350 sel/mm3.

Mulai terapi berapapun jumlah CD4.

Odha dengan koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang belum pernah mendapat terapi ARV.

Tidak ada rekomendasi khusus.

Odha dengan koinfeksi Hepatitis B (kronis aktif), berapapun jumlah CD4. Sumber: (Kementerian Kesehatan RI, 2011b)

Perkembangan terkini terkait pedoman pemberian ARV di Indonesia adalah mengacu pada surat edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 129 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa “inisiasi dini ART tanpa melihat nilai CD4, dapat diberikan kepada mereka yang HIV (+) yaitu: ibu hamil, pasien koinfeksi tuberculosis, lelaki seks dengan lelaki (LSL), pasien koinfeksi hepatitis

(30)

B dan C, pekerja seks perempuan (PSP), pengguna narkoba suntik (penasun), odha yang pasangan tetapnya masih memiliki status HIV (-) dan tidak menggunakan kondom secara konsisten”. Adanya perubahan kebijakan ini membawa dampak pada penurunan jumlah kasus kematian pada pasien HIV/AIDS. Hal ini dapat dilihat berdasarkan pelaporan persentase kematian pasien HIV/AIDS setelah terapi ARV yang telah menunjukkan adanya penurunan yaitu 20,5% di tahun 2011, 18,59% di tahun 2013, dan 18,04% di bulan Juni tahun 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2011a; Kementerian Kesehatan RI, 2013a; Kementerian Kesehatan RI, 2014). Pelaporan menurunnya kematian pasien HIV/AIDS di Indonesia ini sesuai dengan hasil laporan UNAIDS yang menunjukkan bahwa pengobatan HIV yang lebih awal dapat mencapai manfaat ARV dalam mengurangi angka kematian dan morbiditas diantara orang yang terinfeksi HIV (UNAIDS, 2013a).

2.2.2 Situasi terapi antiretroviral (ARV)

Pada akhir tahun 2011, terapi ARV mencapai 8 juta orang HIV/AIDS dan pertama kalinya sebagian besar (54%) pasien yang memenuhi syarat ARV di negara berpenghasilan rendah dan menengah telah menerima ARV. Secara global, kesenjangan antara jumlah orang yang menerima ARV dan jumlah orang yang memenuhi syarat untuk ARV adalah sebesar 46%. Di Asia Pasifik, kesenjangannya mencapai 54% (UNAIDS, 2012). Pada Desember 2012, diperkirakan 9,7 juta orang di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah menerima terapi antiretroviral, meningkat dari 1,6 juta lebih di tahun 2011. Berdasar pedoman WHO 2010, 61% (57-66%) dari semua orang yang memenuhi syarat untuk pengobatan HIV di negara berpenghasilan rendah dan

(31)

menengah telah memperoleh terapi antiretroviral pada tahun 2012. Namun berdasar pedoman WHO 2013, 9,7 juta orang yang menerima ARV di negara berpenghasilan rendah dan menengah tersebut hanya mewakili 34% (32-37%) dari 28,6 (26,5-30,9) juta orang yang memenuhi syarat pada tahun 2013 (UNAIDS, 2013a) . Di tahun 2014, WHO melaporkan bahwa lebih dari 28 juta orang yang layak mendapatkan terapi ARV dan 11,7 juta orang yang telah meng-akses ARV di negara berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2014b).

Pencapaian terapi ARV di Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik. Kesenjangan antara jumlah pasien yang memenuhi syarat ARV (105.363) dengan yang menerima ARV( 81.518) sebesar 22,63% (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Capaian ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 24,41% dari 97.602 pasien yang memenuhi syarat ARV dan 73.774 yang menerima ARV (Kementerian Kesehatan RI, 2013a). Peningkatan capaian orang yang menerima ARV ini juga diikuti dengan laporan penurunan persentase kematian pasien HIV/AIDS setelah terapi ARV yaitu 19,94% di tahun 2013 menjadi 18,04% di bulan Juni tahun 2014 (Kementerian Kesehatan RI, 2013a; Kementerian Kesehatan RI, 2014).

2.3Prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral (ARV)

Sejak digencarkannya terapi antiretroviral (ARV), jumlah pasien yang terdaftar dalam terapi ARV meningkat di banyak negara berkembang. Namun banyak penelitian terkait program ARV yang menunjukkan bahwa angka kematian pasien HIV/AIDS lebih tinggi terjadi pada enam bulan pertama memulai pengobatan dan menurun di tahun berikutnya (Alvarez-Uria et al., 2013; Tadesse

(32)

et al., 2014). Pada penelitian di Brazil dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa angka kematian mencapai 64,7% pada tiga bulan pertama penggunaan ARV dengan tingkat kematian mencapai 75,4 per 1000 orang-tahun (Grinsztejn et al., 2009). Penelitian lain di India menunjukkan bahwa tingkat kematian pasien HIV/AIDS pada enam bulan pertama mulai ARV adalah adalah 16,7 per 100 tahun, 7 per 100 tahun selama semester kedua, 4,5 per 100 orang-tahun selama orang-tahun kedua, 3 per 100 orang-orang-tahun selama orang-tahun ketiga, 3,4 per 100 orang-tahun selama tahun keempat, dan 1,7 per 100 orang-tahun selama tahun kelima (Alvarez-Uria et al., 2013). Tingginya angka kematian pada awal pemakaian ARV ini karena pada enam bulan pertama pengobatan ARV merupakan masa kritis yang memungkinkan untuk terjadi toksisitas obat (Kementerian Kesehatan RI, 2011b).

Proyeksi kematian HIV/AIDS menunjukkan bahwa jumlah kematian pasien HIV/AIDS akan tetap tinggi di masa mendatang yaitu karena 33 juta orang saat ini telah terinfeksi dan sekitar 2,7 juta pasien terinfeksi HIV baru setiap tahunnya (Bongaarts et al., 2009). Namun puncak angka kematian akan lebih rendah dari puncak tingkat insiden karena waktu kelangsungan hidup antara infeksi dan kematian akibat AIDS bervariasi secara substansial antara individu, juga didukung karena adanya pengobatan yang dapat mengurangi angka kematian.

Prediktor kematian pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV telah dilaporkan dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan di luar negeri. Namun masih terdapat beberapa laporan hasil penelitian yang menunjukkan hasil kontradiktif antara satu penelitian dengan penelitian lainnya. Hasil analisis

(33)

penelitian yang berkaitan dengan prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV diuraikan sebagai berikut.

2.3.1 Prediktor karakteristik demografi 2.3.1.1 Usia

Kematian AIDS terkonsentrasi di kalangan orang dewasa muda dan anak-anak. Alasan epidemi terjadi diantara orang dewasa muda adalah terkait hubungan seksual yang merupakan modus dominan penularan HIV. Proporsi dari semua kematian akibat AIDS jauh lebih tinggi diantara orang dewasa berusia 15-59 dibandingkan kelompok usia lainnya. Proyeksi untuk tahun 2030 menunjukkan bahwa proporsi kematian AIDS pada usia 15-59 akan tetap pada level saat ini. Pengecualian untuk kecenderungan umum pada negara-negara dengan penurunan yang relatif cepat dalam kejadian HIV(Bongaarts et al., 2009).

Laju progresivitas infeksi HIV salah satunya dipengaruhi oleh umur. Peningkatan umur berkaitan dengan pemulihan kekebalan dan besarnya stresor tiap individu (Nasronudin, 2007). Sistem imun akan menjadi matang di usia dewasa dan akan menurun kembali saat usia lanjut (Sielma, 2012). Hal ini memicu bahwa memulai ART di usia yang lebih tua memiliki risiko lebih besar untuk meninggal dibandingkan usia muda. Penelitian di 35 negara di Eropa, Amerika, Asia, Australia, dan Afrika menyatakan bahwa umur memiliki hubungan yang signifikan terhadap kematian (aHR: 1,4; 95% CI: 1,2-1,6) (Miller et al., 2014). Penelitian di Cina menemukan bahwa pasien dengan ART pada usia yang lebih tua (>45 tahun) berada pada risiko lebih besar untuk meninggal dari usia 18-29 tahun (Zheng et al., 2014). Hal yang sama juga disampaikan dalam penelitian sebelumnya bahwa usia tua meningkatkan risiko kematian (Bekolo et

(34)

al., 2013; Jarrett et al., 2013). Namun temuan berbeda didapatkan pada penelitian di India dan Ethiopia yang menyatakan bahwa umur pasien saat menerima terapi ARV tidak berpengaruh terhadap kematian (aHR: 1,00) (Alvarez-Uria et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014).

2.3.1.2 Jenis kelamin

Laju progresivitas infeksi HIV dan besarnya stressor juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Pada saat sebelum masa reproduksi, sistem imun lelaki dan perempuan sama dan sistem imun antara keduanya mulai berbeda ketika memasuki masa reproduksi. Pada wanita telah diproduksi hormon estrogen yang mempengaruhi sintesis IgG dan IgA menjadi lebih banyak (meningkat) sehingga menyebabkan wanita lebih kebal terhadap infeksi. Pada pria telah diproduksi hormon androgen yang bersifat imunosupresan sehingga memperkecil risiko penyakit autoimun tetapi tidak membuat lebih kebal terhadap infeksi (Nasronudin, 2007; Sielma, 2012). Oleh karena itu laki-laki memiliki risiko lebih besar terhadap kematian.

Angka kematian kasar secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki (8,6 per 100 orang-tahun; 95% CI: 7,3-9,9) dibandingkan dengan perempuan (1,7 per 100 orang-tahun; 95% CI: 0,9-3,16). Dalam analisis cox proporsional, hazard rasio (HR) untuk pria dibandingkan dengan wanita adalah 4,55 (95% CI: 2,3-18,93) (Badie et al., 2013). Hal ini sependapat dengan beberapa hasil penelitian di Ethiopia bahwa laki-laki memiliki hubungan yang kuat terhadap kematian (Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013). Namun pada penelitian sebelumnya di Nigeria menunjukkan hasil yang bertentangan bahwa jenis kelamin tidak

(35)

memiliki hubungan yang signifikan terhadap kematian (HR: 1,29; 95% CI: 0,89-1.86; p: 0,172) (Odafe et al., 2012).

2.3.2 Prediktor karakteristik klinis 2.3.2.1 Stadium klinis

Infeksi HIV pada stadium II akhir dan awal stadium III meningkatkan terjadinya sindrom wasting pada 46% kasus yang ditandai dengan penurunan berat badan lebih dari 10% disertai berbagai gejala kelemahan umum yang berkepanjangan. Keadaan ini potensial mendorong ke status imunokompromise yang mengancam jiwa penderita. Bila gangguan metabolisme dan imunologis pada infeksi HIV tetap berlangsung dan tidak dikendalikan, maka respon terhadap stresor biologis dan psikologis potensial meningkatkan kepekaan terhadap infeksi sekunder sehingga jatuh ke stadium AIDS. Sindrom wasting sangat menentukan cepat atau lambatnya kematian pada infeksi HIV & AIDS (Nasronudin, 2007).

Sebuah penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa angka kematian pada pasien dengan stadium klinis III dan IV adalah 60,40 per 100 orang-tahun (95% CI: 51,02–71,50) (Wubshet et al., 2013). Penelitian di Kamerun menemukan bahwa pasien dengan stadium klinis 3 (aHR: 3,55; 95% CI: 1,82-6,91) dan 4 (aHR: 6,13; 95% CI: 2,82-13,29) memiliki outcome terburuk (Bekolo et al., 2013). Temuan ini sependapat dengan penelitian sebelumnya di Nigeria dan Ethiopia bahwa stadium klinis 3 dan 4 memiliki risiko lebih besar untuk meninggal dibandingkan dengan stadium 1 dan 2 (Biadgilign et al., 2012; Odafe et al., 2012).

(36)

2.3.2.2 Berat badan

Pasien terinfeksi HIV sering mengalami gangguan asupan nutrien sehingga akan mempengaruhi status nutrisi (makronutrien dan mikronutrien) serta sistem imun orang dengan infeksi HIV & AIDS. Perubahan status nutrisi tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti anoreksia, hipermetabolik, infeksi kronis, demam, penurunan intake nutrient, mual, muntah, diare, malabsorpsi, peningkatan kebutuhan maupun kehilangan nutrien, depresi, efek samping obat, radiasi, dan kemoterapi. Tanpa dukungan nutrisi yang adekuat, stress metabolic akibat infeksi akan menimbulkan kehilangan berat badan dan rusaknya sel bagian tubuh organ vital. Penurunan berat badan 10-20% dari semula akan sangat mengurangi kemampuan daya tahan tubuh dan meningkatkan morbiditas dan mortalitas, bahkan kehilangan 40% berat badan dapat menyebabkan kematian (Nasronudin, 2007).

Hal ini dibuktikan pada penelitian di Ethiopia bahwa pasien yang melaporkan kehilangan >10% dari berat badan mereka pada awal terapi adalah 5 kali lebih mungkin meninggal dibandingkan dengan pasien yang tidak (HR: 4,93; 95% CI: 1,20–20,41) (Biadgilign et al., 2012). Disebutkan juga bahwa pasien dengan berat badan rendah (<40 kg) memiliki dua kali risiko terhadap kematian (HR: 2,4; 95% CI: 1,24-4,55) (Tadesse et al., 2014). Temuan yang sama juga didapatkan dalam penelitian lain di Tanzania (Mossdorf et al., 2011).

Terkait dengan hal ini, penelitian di Boston menggunakan ukuran yang lebih spesifik bahwa indeks massa tubuh (IMT <18) meningkatkan risiko kematian (HR: 5,84; p <0,01) (Jarrett et al., 2013; Paton et al., 2006). Berbeda dengan beberapa hasil penelitian di atas, penelitian yang dilaksanakan di beberapa

(37)

negara di Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan Asia menyebutkan bahwa dalam analisis multivariat, indeks massa tubuh (IMT) tidak berhubungan dengan kematian (p 0,46) (Miller et al., 2014).

2.3.2.3 Tekanan darah

Penyakit kardiovaskular adalah penyebab paling umum kedua pada kematian di antara HIV seropositif setelah kematian karena AIDS (May, 2010). Tren ini telah disertai dengan pergeseran dalam perawatan jangka panjang untuk memasukkan perhatian risiko kardiovaskuler pada pasien HIV. Berkaitan dengan hal tersebut diketahui bahwa tekanan darah rendah yaitu systole <100 mmHg (IR: 5,2; 95% CI: 4,8-5,7) dan diastole <60 mmHg (IR: 9,2; 95% CI: 8,3-10,2) memiliki hubungan yang tinggi terhadap angka insiden kematian. Berdasarkan analisa proportional hazard model baik laki-laki (HR: 3,19; 95% CI: 2,14-4,74) maupun perempuan (HR: 2,76; 95% CI: 1,98-3,83), tekanan darah systole <100 atau tekanan darah diastole <60 memiliki risiko terbesar terhadap kematian, dibandingkan dengan rentang tekanan darah normal. Dalam adjusted analisis diketahui bahwa efek tekanan darah tinggi lebih kecil dari efek tekanan darah rendah (Bloomfield et al., 2014). Terkait dengan tekanan darah tinggi, penelitian di Boston menyatakan bahwa hipertensi tidak memiliki hubungan dengan risiko kematian (HR: 1,18; p: 0,46) (Jarrett et al., 2013).

2.3.2.4Viral load

Viral load adalah istilah yang menggambarkan jumlah salinan material genetik HIV (RNA) per mililiter (kopi/ml). Tes viral load mengukur jumlah HIV dalam sampel kecil darah dan merupakan salah satu tes yang akan dilakukan secara teratur untuk memantau kesehatan dan membantu untuk keputusan

(38)

pengobatan. Semakin tinggi viral load, maka semakin cepat progresivitas HIV menjadi AIDS (Carter & Hughson, 2014). Hal ini dibuktikan pada penelitian di Boston yang menyatakan bahwa viral load HIV yang semakin tinggi dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian (HR: 1,81, p: <0,01) (Jarrett et al., 2013). Namun dalam penelitian lainnya menyatakan bahwa viral load tidak memiliki hubungan dengan risiko kematian (p: 0,727) (Ingle et al., 2014; Paton et al., 2006).

2.3.2.5 Jumlah CD4

Limfosit T-CD4 bertugas mengatur reaksi sistem kekebalan tubuh manusia yang mengawali, mengarahkan untuk pengenalan serta pemusnahan terhadap berbagai mikroorganisme termasuk virus. Pada infeksi HIV justru limfosit T ini yang diintervensi dan mengalami infeksi serta dirusak oleh HIV sehingga jumlahnya cenderung terus menurun (normal 600-1200 sel/mm³). Bila jumlah CD4 mencapai atau melampaui batas kritis ≤200 sel/mm³ berarti kondisi ini telah memasuki stadium AIDS dengan atau tanpa manifestasi klinis. Manifestasi klinis dapat terjadi pada jumlah limfosit T-CD4 relatif normal (CD4 ≥500 sel/mm³) atau saat terjadi penurunan sedang (CD4 200-500 sel/mm³), penurunan berat (CD4 ≤200 sel/mm³). Proses ini akan berjalan berkesinambungan dengan jumlah limfosit T-CD4 yang akan semakin rendah sehingga membuka peluang infeksi sekunder dan muncul manifestasi klinis AIDS hingga sepsis (Nasronudin, 2007).

Penelitian di Nigeria menemukan bahwa pasien yang memiliki karakteristik awal saat ARV dengan CD4 <50 sel/mm³ memiliki risiko dua kali lebih besar terhadap kematian dibandingkan pasien yang memiliki CD4 >350

(39)

sel/mm³ (sHR: 2,84; 95% CI: 1,20-6,71) (Odafe et al., 2012). Penelitian Fox et al. di Amerika menemukan bahwa mereka yang memulai ART dengan jumlah CD4 500 dengan orang yang memiliki CD4 50 cell/ml maka risiko kematian satu tahun pada ART berkurang sebesar 54% (6,8 vs 12,5%) (Fox et al., 2013). Beberapa hasil penelitian lain di Sub-sahara Afrika, Ethiopia, Amerika, dan India juga menunjukkan hasil yang konsisten bahwa jumlah CD4 yang semakin rendah merupakan faktor yang berhubungan dengan kematian (Alvarez-Uria et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014; Wubshet et al., 2013). Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Miller et al. bahwa tidak ditemukan adanya hubungan kematian terhadap kondisi awal CD4 pasien (p: 0,27) (Miller et al., 2014).

2.3.2.6 Kadar hemoglobin

Orang dengan infeksi HIV sering mengalami trombositopenia yang dikarenakan kompleks imun merusak trombosit akibat kehilangan kendali (Nasronudin, 2007). Pada pasien HIV/AIDS, anemia adalah kelainan hematologi yang biasa ditemui dan yang juga memiliki dampak signifikan pada hasil klinis dan kualitas hidup. Terkait kadar haemoglobin (Hb), beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa kadar hemoglobin memiliki keterkaitan dengan kematian namun memiliki perbedaan standar pada batasan kadar hemoglobin yang meningkatkan terjadinya kematian. Pada penelitian di Ethiopia menemukan bahwa pasien dengan anemia (Hb <11 g/dl) memiliki risiko dua kali lebih tinggi terhadap kematian dibandingkan pasien yang tidak anemia (HR: 1,9; 95% CI: 1,01-3,52) (Tadesse et al., 2014). Pada penelitian sebelumnya di Kamerun menyebutkan bahwa dalam analisis multivariat, pasien dengan kadar hemoglobin

(40)

<10 g/dl (aHR: 2,50; 95% CI: 1,69-3,69) tetap bermakna dikaitkan dengan kematian setelah disesuaikan untuk jenis kelamin, usia, dan waktu (Bekolo et al., 2013).

2.3.2.7 Infeksi oportunistik

HIV memiliki angka kematian yang tinggi dimana hal yang dapat mengancam kehidupan pasien HIV tidak hanya berasal dari virus tetapi juga dipengaruhi infeksi oportunistik dan komplikasi yang juga dapat menyebabkan kematian (Centers of diseases control prevention, 2009). Bila HIV diikuti oleh ko-infeksi oleh virus lain, bakteri, jamur, protozoa maka akan terjadi kematian yang lebih cepat dan difus. Kondisi ini disebut apoptosis patologis difus dipercepat (Nasronudin, 2007). Selain itu, odha yang mengalami infeksi oportunistik seperti tuberculosis, pneumonia, diare, infeksius, dermatitis, herpes simpleks, herpes zoster, meningitis, juga sepsis akan semakin memperjelek status nutrisinya (Nasronudin, 2007). Pernyataan ini didukung oleh penelitian Paton et al., di Singapura bahwa dalam analisis univariat jumlah infeksi oportunistik ≥3 memiliki risiko kematian 3 kali lebih besar dibandingkan dibawahnya (HR: 3,42; 95% CI: 1,36-8,58; p: 0,009), namun dalam analisis multivariat jumlah infeksi oportunistik secara statistik menjadi tidak bermakna (Paton et al., 2006). Hal ini juga didukung oleh penelitian di Cina bahwa dari semua penyebab kematian, 66,1% kematian disebabkan oleh penyakit terkait AIDS dengan penyebab terbanyak infeksi oportunistik (92,4%). Tubercle bacillus, infeksi penicillium marneffei dan pneumocystis carinii merupakan tiga penyebab utama kematian terkait infeksi oportunistik (Feng et al, 2013; Grant et al., 2014).

(41)

Pasien HIV yang menjalani pengobatan antituberkulosis dalam 3 bulan setelah inisiasi ART disebutkan memiliki risiko kematian 2,55 kali dibandingkan pasien yang tidak menjalani terapi tuberculosis (Alvarez-Uria et al., 2013). Kematian pada pasien dengan tuberculosis saat inisiasi ART adalah 54,61 (95% CI: 46,01–64,80) per 100 orang-tahun (Wubshet et al., 2013). Hal yang sama juga disampaikan pada penelitian di Iran bahwa kehadiran infeksi tuberculosis saat memulai ART memiliki hubungan yang kuat terhadap kematian (Badie et al., 2013; Wubshet et al., 2012). Temuan yang berbeda disampaikan pada penelitian di Ethiopia bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status tuberculosis positif atau negatif terhadap kejadian kematian (Tadesse et al., 2014).

Berkaitan dengan kematian pasien HIV/AIDS berdasarkan penyebabnya, penelitian di Brazil dan Amerika Serikat membedakannya berdasarkan penyakit karena AIDS (AIDS defining illness) dan bukan karena AIDS (Non-AIDS defining illness). Diketahui bahwa kematian pasien HIV/AIDS di rumah sakit Brazil didominasi oleh AIDS-defining illness (ADI) sebesar 61,8% sedangkan pada rumah sakit di Amerika Serikat didominasi oleh non-AIDS defining illness (non-ADI) sebesar 55,6%. Analisis multivariat pada sub kelompok tersebut menunjukkan bahwa pasien HIV/AIDS dengan ADI memiliki risiko lebih tinggi terhadap terjadinya kematian (HR: 2,26; 95% CI: 1,09-4,67; p: 0,02) (Grinsztejn et al., 2009).

2.3.2.8 Status fungsional

Kondisi fungsional tubuh (kerja, ambulatori, dan baring) saat terapi ARV memiliki hubungan yang positif terhadap stadium penyakit. Pasien dalam kondisi baring pada saat mulai terapi memiliki risiko empat kali lebih besar terhadap

(42)

kematian dibandingkan pasien dengan dalam kondisi bekerja (HR: 4,09; 95% CI: 2,12–7,90) (Biadgilign et al., 2012). Pendapat ini juga didukung oleh beberapa penelitian di Ethiopia yang menjelaskan bahwa kondisi fungsional ambulatori maupun baring memiliki hubungan yang kuat terhadap kematian (Wubshet et al., 2013; Wubshet et al., 2012). Penelitian di Nigeria menunjukkan hasil yang bertentangan bahwa kondisi fungsional tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna terhadap kematian baik ambulatori (sHR: 1,11; 95% CI: 0,61-2,01; p: 0,734) maupun baring (sHR: 2,27 ; 95% CI: 0,82-6,31; p: 0,116) (Odafe et al., 2012).

2.3.2.9Rejimen dasar ARV

Paduan terapi ARV merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam minum obat sehingga secara tidak langsung hal ini memberikan dampak pada keberhasilan pengobatan (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Pasien yang memiliki satu atau lebih obat dalam kombinasi substitusinya memiliki outcome yang lebih baik (Bekolo et al., 2013). Selain itu, penggunaan jenis rejimen dasar lini pertama NRTI dan NNRTI dalam pengobatan juga berpengaruh terhadap besarnya kematian. NRTI merupakan tulang punggung dari semua jenis rejimen lini pertama, memiliki efikasi dan toleransi obat yang relevan dengan kepatuhan dan resistensi obat serta kematian dan loss to follow up. Penelitian di Lesotho terkait perbandingan efektifitas penggunaan NRTI diketahui bahwa toksisitas tertinggi terdapat pada penggunaan stavudin dan memiliki outcome positif terbaik terdapat pada penggunaan tenofovir (Jouquet et al., 2011). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian di Kamerun yang menyatakan bahwa penggunaan golongan NRTI yaitu tenofovir (TDF), zidovudine (AZT), atau

(43)

stavudine (D4T) tidak memiliki perbedaan terhadap terjadinya kematian (Bekolo et al., 2013).

NNRTI jenis EFV atau NVP digunakan dalam semua rejimen lini pertama dan memiliki toksisitas ataupun toleransi obat yang lebih relevan. Sebuah penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa efavirenz (EFV) memiliki efikasi dan kemampuan toleransi lebih superior dibandingkan dengan nevirapine (NVP) (Bock et al., 2013). Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian di Kamerun yang menyatakan bahwa pasien yang diobati dengan NNRTI jenis nevirapine (NVP) (HR: 0,37; 95% CI: 0,25-0,56; p <0,0001) memiliki outcome yang lebih baik dibandingkan efavirenz (EFV) (Bekolo et al., 2013). Pada penelitian di Ethiopia justru menemukan bahwa rejimen awal ARV tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kematian (Wubshet et al., 2012).

2.3.2.10 Status rawat

Status rawat (hospitalised status) merupakan salah satu gambaran klinis pasien HIV/AIDS yang menunjukkan prediktor independen kematian pada pasien HIV/AIDS. Hal ini dibuktikan pada penelitian di Nigeria bahwa berdasarkan angka kematian secara keseluruhan, 31,8% pengamatan dilakukan pada pasien rawat inap. Rawat inap di rumah sakit ≤3 hari menjadi salah satu prediktor independen kematian (AOR: 13,8; 95% CI: 1,1–17,8) (Ogoina et al., 2012). Hasil yang sama juga disampaikan dalam penelitian di Amerika Serikat (Grant et al., 2014).

(44)

2.3.3 Prediktor karakteristik sosial 2.3.3.1 Faktor risiko penularan

Prevalensi HIV di Asia pada orang yang menyuntikkan narkoba mencapai 28% (UNAIDS, 2013a). Kondisi yang sama juga terjadi di Indonesia bahwa prevalensi HIV tertinggi terjadi pada kelompok pengguna jarum suntik (IDU) 36,4% diikuti pada pekerja seks (9,0%), LSL (8,5%), dan populasi umum (0,3%) (UNAIDS, 2012). Ini adalah salah satu faktor yang menyebabkan mereka yang terinfeksi melalui penggunaan jarum suntik memiliki angka kematian yang lebih tinggi. Selain itu, kematian yang tinggi pada penasun juga berhubungan dengan karakteristik pribadi yaitu beberapa penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kematian di kalangan IDU karena overdosis narkoba yaitu risiko toksisitas meningkat pada penggunaan obat yang berlebih (Krentz et al., 2005).

Hal ini dibuktikan pada penelitian di Cina bahwa penggunaan jarum suntik (AOR: 1,65; 95% CI: 1,28-2,14) dan transfusi darah (AOR: 2,18; 95% CI: 1,18-3,99) secara signifikan memiliki tingkat kematian lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi melalui penularan heteroseksual (Zheng et al., 2014). Hasil yang sama juga ditemukan pada sebuah penelitian di Boston bahwa ada kecenderungan peningkatan risiko kematian pada mereka yang tertular HIV melalui penggunaan narkoba suntikan (HR: 1,49; p: 0,08) (Jarrett et al., 2013). Namun penelitian lain menemukan bahwa dalam analisa multivariat penularan melaui penggunaan jarum suntik terhadap kematian menjadi tidak bermakna (p: 0,10) (Miller et al., 2014).

Homoseksual merupakan kelompok orientasi seksual minoritas yang cenderung mendapatkan stigma di masyarakat yang berdampak pada rendahnya

(45)

akses pencarian kesehatan bagi kelompok ini. Sebuah penelitian di Chicago membuktikan bahwa diskriminasi berkaitan dengan meningkatnya kejadian kematian (Barnes et al., 2008). Berkaitan dengan infeksi HIV, perilaku seks tanpa perlindungan pada LSL merupakan rute transmisi virus yang efisien (Kposowa, 2013), sehingga kematian pada homoseksual juga lebih tinggi dibandingkan heteroseksual. Hal ini dibuktikan pada penelitian di Amerika Serikat bahwa kematian yang disebabkan oleh penyakit terkait HIV (p <0,001) berbeda berdasar orientasi seksual. Analisis survival multivariat berdasar semua penyebab mengungkapkan bahwa risiko kematian selama masa tindak lanjut lebih tinggi untuk LSL daripada laki-laki heteroseksual (aHR: 3,59; 95% CI: 1,91–6,74), setelah penyesuaian untuk kemungkinan perbedaan individu demografi, perilaku kesehatan, dan status kesehatan awal. Analisis dalam model kedua, ditemukan bahwa angka kematian yang disebabkan HIV meningkat 157,4 kali lebih tinggi di antara LSL daripada laki-laki heteroseksual (Cochran & Mays, 2011).

2.3.3.2 Status pernikahan

Salah satu keuntungan utama pernikahan adalah jaringan seksual yang stabil. Jaringan seksual memainkan peran penting dalam penyebaran dan akuisisi penyakit menular seksual (PMS). Individu dengan banyak pasangan seksual memiliki risiko lebih tinggi dari PMS (termasuk AIDS) dibandingkan mereka dengan mitra yang dapat dipercaya (suami/istri), sehingga mereka yang belum menikah dan bercerai memiliki jaringan seksual yang lebih mengarah ke lebih banyak mitra seksual yang pada gilirannya mengangkat risiko tertular HIV/AIDS dan kemudian meninggal karena perilaku tersebut. Selain itu, status menikah juga berkaitan dengan integrasi sosial bahwa menikah dianggap yang paling

(46)

terintegrasi untuk kestabilan hubungan sosial yaitu pernikahan menawarkan bentuk kekompakan dan dukungan, bentuk kontrol sosial untuk membatasi jumlah mitra seksual (Adimora & Schoenbach, 2005).

Hal ini dibuktikan pada sebuah penelitian di Amerika Serikat bahwa pasien HIV/AIDS yang bercerai memiliki risiko 4,3 kali lebih besar untuk meninggal (ARR: 4,321; 95% CI: 2,978-6,269) dan pasien dengan status single/ belum menikah berisiko 13 kali lebih besar untuk meninggal (ARR: 13,092; 95% CI: 9,652-17,757) dibandingkan orang yang sudah menikah (Kposowa, 2013). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian di Kamerun, Ethiopia, Cina, dan India yang menunjukkan bahwa status pernikahan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kematian (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Biadgilign et al., 2012; Tadesse et al., 2014; Zheng et al., 2014).

2.3.3.3 Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap besarnya stresor sehingga akan menentukan kemampuan mekanisme coping (mekanisme menghadapi perubahan yang diterima) (Nursalam, 2009). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah pula mereka menerima informasi, dan pada akhirnya pengetahuan yang dimilikinya akan semakin banyak. Hal ini menjadi dasar adanya perubahan perilaku kesehatan, termasuk perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking behavior) dan perilaku kesehatan lingkungan di tiap individu (Mubarok, 2011).

Sebuah penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa pasien dengan pendidikan rendah (tidak atau tingkat pendidikan dasar) memiliki risiko kematian yang meningkat tiga kali lebih besar dibandingkan orang yang menempuh

(47)

pendidikan SMP atau lebih tinggi (HR: 2,61; 95% CI: 1,17-5,80) dan (HR: 2,67; 95% CI: 1,28-5,48) (Tadesse et al., 2014). Hal ini juga sependapat dengan hasil penelitian sebelumnya (Biadgilign et al., 2012).

2.3.3.4 Status pekerjaan

Status HIV memiliki dampak negatif pada status sosial ekonomi yaitu keterbatasan individu untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan. Penelitian menunjukkan bahwa 45% pasien HIV tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena individu yang terinfeksi HIV sering didiskriminasi di tempat kerja sehingga menyebabkan penghentian atau pengunduran diri dan pada akhirnya berdampak pada menurunnya kemampuan finansial. Status ekonomi yang rendah menentukan akses terhadap pengobatan HIV yaitu penundaan dalam memulai pengobatan (American Psychological Association, 2014). Pada akhirnya hal ini berdampak pada meningkatnya tingkat morbiditas dan mortalitas. Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan korelasi antara status sosial ekonomi yang rendah dan kematian lebih awal dari HIV/AIDS (Cunningham et al., 2005). Laporan yang berbeda didapatkan pada beberapa hasil studi lainnya bahwa status pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap terjadinya kematian pada pasien HIV (p: 0,788) (Biadgilign et al., 2012; Wubshet et al., 2012).

2.3.3.5 Penghasilan

Penghasilan menentukan kemampuan seseorang dalam mengakses pelayanan kesehatan yang lebih baik. Hal ini dibuktikan pada sebuah studi di daerah pedesaan Zambia bahwa kemiskinan secara signifikan menjadi prediktor terhadap kematian (Birbeck et al., 2011). Hal ini sependapat dengan hasil penelitian di Boston yang menemukan bahwa risiko kematian meningkat pada

(48)

mereka yang hidup dengan penghasilan <$10,000 (HR: 2,0; p <0,01) (Jarrett et al., 2013). Namun penelitian di Kamerun menemukan hal yang berlawanan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status sosial ekonomi dengan risiko mortalitas (Bekolo et al., 2013).

2.3.3.6 Pendamping minum obat (PMO)

PMO merupakan orang terdekat yang dapat mengingatkan pasien untuk selalu meminum obat ARV dan dapat berasal dari keluarga maupun petugas kesehatan. Upaya mengoptimalkan dan meningkatkan efektifitas coping alamiah serta program pendampingan terbukti dapat mengendalikan progresivitas penyakit infeksi HIV. Proses pendampingan diharapkan dapat mengurangi derajat beratnya stres (Nasronudin, 2007). Penelitian di perkotaan Zambia menemukan bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian selama pemakaian ARV (Stringer et al., 2006). Kepatuhan tidak terlepas dari tugas pendamping minum obat. Berkaitan dengan hal ini, ketersediaan kelompok pendukung (RRadj: 0,81; 95% CI: 0,70-0,93), peer educators (RRadj: 0,84; 95% CI: 0,74–0,96) dan alat pengingat (RRadj: 0,81; 95% CI: 0,66-0,98) secara signifikan berpengaruh terhadap tingkat kematian yang lebih rendah. Namun ketersediaan <2 ataupun >2 pendamping minum obat tidak berhubungan terhadap laporan angka kematian (Lamb et al., 2012).

2.3.3.7 Kepatuhan

Salah satu faktor utama yang dapat menurunkan tingkat kematian pasien HIV/AIDS adalah kepatuhan terhadap ARV (Handayani et al., 2013). Kepatuhan atau adherence pada terapi adalah sesuatu keadaan pasien yang mematuhi aturan pengobatan atas dasar kesadaran sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah

(49)

dokter (Kementerian Kesehatan RI, 2011b). Kepatuhan diakui sebagai faktor penting dalam keberhasilan terapi pada pasien HIV/AIDS, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara kepatuhan minum obat dengan supresi virus HIV, menurunkan resistensi, peningkatan jumlah CD4, meningkatkan harapan hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal, setidaknya 95% dari semua dosis ARV harus diminum (Kementerian Kesehatan RI, 2011b).

Penelitian di perkotaan Zambia menemukan bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kematian selama pemakaian ARV (Stringer et al., 2006). Hal ini didukung penelitian lain di Amerika Serikat yang menyatakan bahwa risiko peningkatan viral load menurun dengan durasi penekanan virus yang lebih lama dari setiap tingkat kepatuhan (OR 1,07 untuk tingkat kepatuhan <80%; OR 1,09 untuk tingkat kepatuhan 80% - <95%; OR 0,61 untuk tingkat kepatuhan >95%) (Lima et al., 2010).

2.3.3.8 Jarak tempat tinggal dengan layanan

Tingkat loss to follow up lebih tinggi terjadi pada orang-orang dari daerah pedesaan. Hal ini dibuktikan pada penelitian di India yang menyebutkan bahwa tinggal di daerah perkotaan merupakan faktor yang berhubungan terhadap penurunan risiko kematian (aHR: 0,82; 95% CI: 0,68-1), namun tidak memiliki hubungan yang bermakna antara kematian dengan tempat tinggal yang berada dekat dengan pusat terapi ARV (95% CI: 0,87-1,30) (Alvarez-Uria et al., 2013). Temuan yang berbeda didapatkan pada penelitian di Kamerun yang menemukan bahwa pasien yang tinggal dengan jarak lebih dari lima km dari klinik mengalami penurunan 38% angka kematian dibandingkan dengan mereka yang tinggal dalam

Gambar

Gambar 3.1 Konsep prediktor kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV Kematian pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV -   Variabel dependen Keterangan:       = Diteliti       = Tidak diteliti Karakteristik layanan ARV:
Tabel 4.2  Definisi operasional  Variabel  Definisi  Operasional  Skala  Pengukuran  Alat  Ukur  Catatan tentang  Rencana Analisis  Variabel independen   Karakte-ristik   sosiode-mografi  Karakteristik  pasien pada saat terapi yang dikategorikan  berdasark
Tabel  perbandingan  karakteristik  klinis  secara  lengkap  dapat  dilihat  pada  Tabel 5.2 berikut ini
Tabel  1.  Perbandingan  karakteristik  klinis  sampel  penelitian  berdasarkan  event di awal mulai terapi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kejadian anemia pada pasien HIV/AIDS yang mendapat ARV dengan rejimen yang mengandung zidovudin dan apakah kadar CD4 psien

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kejadian anemia pada pasien HIV/AIDS yang mendapat ARV dengan rejimen yang mengandung zidovudin dan apakah kadar CD4 psien

Untuk mengetahui apakah kadar CD4 pasien HIV/AIDS mempengaruhi terhadap kejadian Anemia pada pasien yang mendapat terapi ARV dengan rejimen yang mengandung zidovudin.

Judul Tesis : PENGARUH TENOFOVIR TERHADAP KEJADIAN MIKROALBUMINURIA PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) YANG MENDAPAT TERAPI ANTIRETROVIRAL (ARV).. Nama :

Hasil: Terdapat perbedaan kadar CD4 sebelum dan enam bulan sesudah terapi ARV pada pasien HIV-AIDS di Rumah Sakit Sele be solu dan Puskesmas Sorong dengan nilai p &lt;

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi akademisi tentang hubungan jumlah viral load dengan kejadian TBC pada pasien

Data waktu konsumsi pasien yang digunakan untuk proses pemantauan yang dilakukan oleh petugas klinik pengobatan HIV/AIDS disimpan pada media penyimpanan pada

74 Keterangan: ∑ = Jumlah pasien % = Persentase Pasien Berdasarkan pedoman pengobatan Antiretroviral pada Peraturan Menteri Kesehatan No.87 tahun 2014 dinyatakan bahwa kombinasi