• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosedur baku pembuatan larutan kimia untuk elektroforesis

Buffer TBE 10X (larutan stok, 1000 ml) Bahan kimia: • Trizma base • Boric acid • EDTA • Aquades steril Prosedur

• Masukan 500 ml Aquades dalam beaker glass 1000 ml

• Masukan 108 gr trizma base, 9,2 gr EDTA dan 55,2 gr boric acid, campur menggunakan magnetik stirrer pada hot plate stirrer hingga semua bahan larut

• Setelah semua larut tambahkan aquades hingga volume larutan mencapai 1000ml, aduk kembali dengan stirrer.

• Simpan dalam botol kaca bening bertutup 1000 ml taruh dalam suhu ruang. Acrylamide 40% (larutan stok 1000 ml)

Bahan kimia:

• Acrylamide

• Bisacrylamide, N,N’Methylenebisacrylamide

• Aquades steril Prosedur

• Masukan 500 ml Aquades dalam beaker glass 1000 ml

• Masukan 380 gr Acrylamide aduk dengan menggunakan magnetik stirrer pada hot plate stirrer hingga semua larut

• Masukan 20 gr Bisacrylamide, N,N’Methylenebisacrylamide, campur menggunakan magnetik stirrer pada hot plate stirrer hingga semua bahan larut

• Setelah semua larut tambahkan aquades hingga volume larutan mencapai 1000ml, aduk kembali dengan stirrer.

Acrylamide 8% (larutan kerja 1000 ml) Bahan kimia:

• Acrylamide 40 % (larutan stok)

• Buffer TBE 10X

• Aquades steril Prosedur

• Masukan 200 ml Acrylamide 40 % , 50 ml TBE 10X dan 750 ml Aquades dalam beaker glass 1000 ml

• Campur menggunakan magnetik stirrer pada hot plate stirrer hingga semua bahan larut

Ammonium persulfate solution (APS)10% (40 ml) Bahan kimia:

• Ammonium persulfate solution

• Aquades steril (dH2O)

Prosedur

• Masukan 4 gr ammonium persulfate solution dan 40 ml aquades ke dalam tube 50 ml yang dibungkus alumunilum foil.

• Kocok tube hingga seluruh bahan tercampur dan larut

of Hybrid Rice Using Microsatellite Marker. Supervised by MEMEN SURAHMAN and SRI WAHYUNI.

Ensuring the genetic purity of hybrid seed is a prerequisite for successful production of hybrid rice. Hybrid seed often contaminated by crosses derived pollen from other varieties or the occurrence of selfing resulting from impurity parental line (Cytoplasmic Male Sterile). The objective of this study was to identify informative microsatellite marker (SSR) capable to distinguish hybrid rice parental lines and their utilization in seed purity assessment and to characterize the morphology of F1 hybrid rice to complement description of varieties. This study divided in two main activities: 1) identification of informative SSR markers capable of distinguishing hybrid rice parental line and 2) seed purity assessment based on SSR marker and morphological characteristics. Parental lines of five hybrids rice were used to identify the informative SSR marker and two hybrids (Hipa 6 and Hipa 7) used for purity assessment. Seven out of sixteen SSR markers produced polymorphic band and six markers capable to distinguish parental line of five hybrid rice. Microsatellite marker RM346 was specific used for testing genetic purity of Hipa 6 and RM206 for Hipa 7. This study showed that SSR markers were more reliable for assessing genetic purity compare to morphological characteristic.

Peningkatan produksi padi merupakan bagian dari upaya dalam meningkatkan produksi pertanian khususnya tanaman pangan. Salah satu alternatif peningkatan produksi padi adalah dengan pengembangan padi hibrida. Padi hibrida dikembangkan dengan memanfaatkan fenomena heterosis sehingga F1 hibrida menunjukkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tetua

pembentuknya (Satoto & Suprihatno 2008).

Padi hibrida di Indonesia dirakit melalui metode tiga galur yang melibatkan tiga galur tetua, yaitu: galur mandul jantan (GMJ), pelestari dan pemulih kesuburan (restorer) (Satoto & Suprihatno 2008). Kelemahan metode tersebut berupa prosedur produksi benih yang rumit sehingga hasil benih berfluktuatif. Rata-rata efisiensi dalam produksi benih (seed yield) padi hibrida publik di Indonesia pada tahun 2008-2009 berkisar antara 0,5-1,9 t/ha (Mulya et al.2010), sedangkan di China telah mencapai 2,5-2,7 t/ha (Mao & Virmani 2003). Rendahnya tingkat persilangan alami (outcrossing) dari GMJ diduga merupakan salah satu penyebab rendahnya hasil benih pada produksi benih hibrida.

Keberhasilan pengembangan padi hibrida tidak hanya ditentukan oleh ketersedian benih yang cukup secara kuantitas tetapi juga harus memperhatikan mutu dari benih tersebut. Mutu benih mencakup mutu genetik, mutu fisik dan mutu fisiologis (Sadjad 1993). Benih dikatakan mempunyai mutu genetik yang baik apabila benih tersebut asli (true to type), sesuai dengan varietas yang dimaksud. Uji kemurnian benih merupakan tahapan yang harus dilakukan untuk mengontrol mutu genetik dari suatu lot benih.

Kemurnian genetik benih F1 merupakan hal yang sangat penting pada

produksi benih padi hibrida (Yuan et al 2003). Kontaminasi kemurnian genetik benih F1 hibrida dapat disebabkan oleh persilangan yang berasal dari pollen

varietas lain, terjadinya selfing akibat tetua GMJ yang tidak murni sehingga fertil atau parsial fertil, serta adanya kontaminasi secara mekanis saat panen dan pengolahan benih.

Proses sertifikasi benih meliputi sertifikasi di lapangan dan laboratorium. Pada uji kemurnian benih di laboratorium, pengamatan campuran varietas lain dilakukan secara visual berdasarkan bentuk gabah terhadap contoh benih yang dikirim ke laboratorium. Dalam beberapa kasus, pengamatan berdasarkan

observasi visual saja mengakibatkan lot benih tidak lulus dalam setifikasi benih di laboratorium walaupun pertanaman telah lulus dalam sertifikasi di lapang. Salah satu penyebabnya adalah efektifitas pengawasan mutu benih yang rendah yang terkait dengan kelemahan dalam penerapan prinsip-prinsip sertifikasi benih.

Sertifikasi benih yang dianut di Indonesia berbasis Organisation for Economic Co-operation and Development(OECD) Seed Scheme (OECD 2004). Beberapa prinsip dalam sertifikasi tersebut antara lain : (i) varietas yang disertifikasi harus memenuhi syarat DUS (distinct, uniform and stable) yang teruji secara formal dengan metode baku (UPOV 2002), (ii) memiliki nilai agronomis (VCU, value for cultivation and use) (iii) adanya daftar varietas yang layak untuk disertifikasi (list of eligible varieties for certification) dan (iv) pelaksanaan check- plot dalam produksi benih. Undang Undang No 12 tahun 1992 dan Permentan No. 39 tahun 2006 mewajibkan benih yang diperjualbelikan harus lulus dalam sertifikasi. Namun dalam pelepasan varietas tidak diwajibkan bahwa varietas yang akan dilepas harus lulus dalam uji DUS (Permentan No.37 tahun 2006), kecuali untuk varietas yang akan dilindungi (Undang-Undang no.29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman). Penyimpangan dalam prinsip sertifikasi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya permasalahan dalam sertifikasi benih di Indonesia. Sebagai contoh pertanaman lulus dalam pemeriksaan lapangan tetapi tidak lulus dalam uji laboratorium karena keragaman bentuk gabah yang diidentifikasi sebagai campuran varietas lain (CVL). Keragaman bentuk gabah belum tentu merupakan CVL tetapi dapat saja merupakan sifat genetik dari varietas termaksud, mengingat tidak adanya keharusan uji DUS dalam pelepasan varietas.

Beberapa varietas yang telah dilepas saat ini memiliki kemiripan bentuk gabah yang cukup tinggi (Wahyuni et al. 2008). Selain itu dalam satu varietas yang sama terdapat variasi fisik pada bentuk gabah, dimana bentuk gabah pada pangkal malai tidak persis sama dengan bentuk gabah pada ujung malai. Bentuk gabah yang berbeda belum tentu berasal dari varietas yang berbeda dan bentuk gabah yang sama tidak dapat dipastikan sebagai varietas yang sama. Oleh karena itu kelulusan uji kemurnian benih di laboratorium hendaknya tidak hanya berdasarkan pada pengamatan visual pada bentuk gabah saja.

Metode pengujian kemurnian genetik varietas (verifikasi varietas) yang saat ini banyak digunakan adalah grow out test. Penilaian kemurnian genetik dilakukan dengan cara membandingkan morfologi tanaman yang diuji dengan

pertanaman dari benih otentik-nya. Metode grow out test membutuhkan waktu yang lama karena harus melalui satu siklus tanaman. Sementara itu industri perbenihan memerlukan metode pengujian kemurnian benih yang cepat dan akurat, serta memiliki tingkat reprodusibilitas yang tinggi.

Beberapa metode referensi untuk verifikasi varietas melalui metode elektroforesis telah ditetapkan oleh International Seed Testing Asociation (ISTA). Metode standar untuk pengujian kemurnian genetik benih gandum adalah dengan PAGE (Polyachryalamide Gel Electrophoresis) dan pada jagung hibrida digunakan metode verifikasi dengan UTIELF (Ulthra-thin Layer Isoelectric Focusing) (ISTA 2008). Namun pengujian untuk kemurnian dan verifikasi padi hibrida masih belum ditetapkan oleh ISTA.

Pemanfaatan bioteknologi secara biomolekuler (DNA, protein, enzim) tidak hanya digunakan pada cara-cara perbanyakan benih dan pemuliaan tanaman tetapi juga dapat diterapkan untuk evaluasi kemurnian genetik. Melalui metode elektroforesis diharapkan dapat dilakukan pengujian yang lebih cepat dan akurat dalam mengidentifikasi suatu varietas. Berbagai metode menggunakan marka molekuler telah banyak diterapkan untuk pengujian varietas, salah satunya adalah marka mikrosatelit atau marka SSRs (Simple Sequence Repeats).

Berbagai studi genetika menunjukkan beberapa keunggulan dari marka SSR diantaranya adalah memiliki tingkat polimorfik tinggi, bersifat kodominan, akurasi yang tinggi dan berlimpah dalam genom. Marka ini banyak digunakan untuk studi genetik populasi (Rajesh et al. 2008), pemetaan genetik (Jiang et al. 2010; Stafne et al. 2005) pemuliaan tanaman dan perlindungan varietas tanaman (Moeljoprawiro 2007). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat perbedaan genetik pada tanaman dengan menggunakan marka SSR. Marka SSR dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan verifikasi suatu varietas tanaman (Meesang et al. 2001) serta uji kemurnian pada tomat hibrida (Liu et al. 2006), jagung hibrida (Pabedon 2005) dan padi hibrida (Xin et al. 2005).

Di Indonesia, uji kemurnian benih menggunakan SSR belum banyak dilakukan pada padi khususnya padi hibrida. Marka SSR akan sangat bermanfat untuk mengetahui apakah benih padi hibrida merupakan hasil persilangan antar dua galur tetua pembentuknya. Oleh karena itu identifikasi marka-marka polimorfis dari galur-galur tetua perlu dilakukan.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan marka mikrosatelit (SSR) spesifik yang dapat digunakan untuk identifikasi galur tetua beberapa varietas padi hibrida, serta melihat tingkat polimorfisme dari marka tersebut.

2. Mempelajari sterilitas malai beberapa galur mandul jantan.

3. Membandingkan uji kemurnian benih dengan menggunakan SSR dan grow out test.

4. Mendapatkan karakter kualitatif dan kuantitatif dari dua varietas padi hibrida (Hipa 6 dan Hipa 7) untuk melengkapi deskripsi varietas.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sidik jari DNA dari tetua beberapa varietas hibrida. Informasi tersebut berguna dalam verifikasi varietas dan uji kemurnian benih yang cepat, akurat dan memiliki tingkat reprodusibilitas yang tinggi. Karakter morfologi tambahan yang di dapatkan dalam penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi petugas pemeriksa untuk penilaian karakter tanaman di lapang.

Padi hibrida adalah satu jenis padi yang merupakan keturunan pertama dari persilangan antar dua varietas yang berbeda. Pengembangan hibrida didasari oleh gejala heterosis atau vigor hibrida. Heterosis merupakan fenomena biologis yang menunjukan keunggulan hasil persilangan F1 melebihi kedua

tetuanya. Pada generasi lebih lanjut yaitu pada F2 akan terjadi segregasi

sehingga manfaat heterosis hilang dan tidak didapatkan individu yang sama dengan penampilan hibrida F1 (Virmani et al. 1997).

Keunggulan berupa gejala heterosis tersebut dapat berupa hasil, vigor tanaman, ketahanan terhadap kondisi suboptimum, daya adaptasi maupun karakter lainnya (Yuan 2003; Virmani 1994). Heterosis yang tinggi dari suatu kombinasi hibrida akan didapatkan dari pasangan tetua yang memiliki komposisi genetik tertentu. Berdasarkan penampilan hibrida F1, terdapat tiga kriteria

heterosis: (1) mid-parent heterosis yaitu perbandingan rata-rata F1 dengan

nilai rata-rata kedua tetua; (2) heterobeltiosis yaitu perbandingan nilai rata-rata F1

dengan nilai rata-rata tetua tertinggi; (3) standar heterosis yaitu perbandingan rata-rata F1 dengan varietas pembanding (check variety) (Virmani et al. 1997).

Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan padi hibrida adalah : (1) tingkat produktivitas galur-galur non hibrida tidak bisa ditingkatkan lagi sekalipun telah diupayakan secara optimal, (2) semakin terbatasnya ketersediaan lahan dan input energi dalam mendukung sarana produksi padi, (3) permintaan terhadap padi cenderung meningkat dengan meningkatnya jumlah penduduk, (4) galur padi hibrida telah mampu meningkatkan potensi hasil

sebesar 15-20% lebih tinggi dari galur padi inbrida yang ditanam petani, (5) beberapa padi hibrida telah menunjukan toleransi yang lebih baik terhadap

kondisi kekeringan dan salinitas (Virmani et al. 1997).

Padi termasuk tanaman menyerbuk sendiri yang dalam kondisi normal tingkat penyerbukan silang sangat rendah. Karena sifatnya yang menyerbuk sendiri tersebut untuk menghasilkan hibrida hanya dimungkinkan bila bunga jantan pada tanaman betina bersifat mandul atau dibuat tidak berfungsi, dengan cara membentuk galur mandul jantan (GMJ). Teknik produksi benih yang memanfaatkan GMJ tersebut terdiri dari sistem hibrida dua galur dan tiga galur.

S sensiti Sterilit (1) tid galur dalam P meliba pelest tiga ga meles pelest kecua suatu memb terseb 2003). dilihat Gam Sistem dua ive genic m ty (TGMS) d dak memerlu fertil denga produksi be Padi hibrida atkan tiga g ari (B) dan g alur, agar b tarikan GMJ ari ini memil li sitoplasm galur yang d berikan prod but juga dise . Kostitusi g pada Gamb mbar 2 Hubu hibrid galur dalam male steril dan galur fer ukan galur an sifat-sifat enih hibrida a di Indone galur tetua m galur pemuli enih GMJ d J tersebut t liki sifat yang

anya norma dapat memu duktivitas ya ebut sebaga genetik dala bar 2. ungan antar da (dikutip d m produksi p (PGMS) at rtil (Yuan et pelestari da yang baik (Virmani et a esia dikemb meliputi galu ih kesuburan dapat selalu tanpa meng g sama deng al. Untuk ulihkan kesu ang tinggi ai galur res am produksi ra tiga galu dari Yuan et padi hibrida tau Temper al. 2003). K alam produk dapat digu al 2003) bangkan me ur mandul ja n (R). Pada dihasilkan d gubah sifat-s gan GMJ da memproduk uburan galur (heterosis). storer (Virma i benih hibr r komponen al. 2003) menggunak rature-sensit Keuntungan s ksi benih TG nakan seba elalui sistem antan sitopl produksi pa diperlukan g sifat yang d alam hampir ksi benih hi r mandul jan Galur pem ani et al. 19 rida sistem n utama pe kan Photope tive Genic sistem ini ad GMS, (2) se agai tetua ja m 3 galur, asmik (A), adi hibrida si galur yang d dimilikinya. G semua kara brida diperl ntan tersebu mulih kesub 998; Yuan e tiga galur d mbentuk pa eriod- Male dalah emua antan yang galur stem dapat Galur akter, lukan t dan buran et al. dapat adi

Padi hibrida merupakan generasi F1 hasil persilangan antara galur mandul

jantan sebagai tetua betina dengan galur pemulih kesuburan sebagai tetua jantan, sehingga sifat-sifat dari varietas padi hibrida ditentukan oleh sifat-sifat dari kedua tetuanya. Tetua-tetua yang superior dapat meningkatkan penampilan agronomis dan bobot hasil hibrida turunan dari berbagai kombinasi persilangan antara galur mandul jantan dan galur pemulih kesuburan (You et al. 2006).

Secara alami kondisi susunan genetik dari padi adalah homozigot- homogen, sedangkan kondisi tanaman hibrida adalah heterozigot-homogen. Yang dimaksud dengan heterozigot-homogen adalah dalam individu tanaman yang sama kontruksi gen bersifat heterozigot, sedangkan antar individu tanaman dalam populasi yang sama bersifat homogen (Satoto & Suprihatno 2008).

Uji Kemurnian Benih

Standar mutu yang harus dipenuhi telah ditetapkan untuk mendapatkan benih dengan jaminan mutu. Standar mutu tersebut mencakup persiapan sumber benih, kegiatan di lapang sampai dengan benih siap dipasarkan. Persyaratan mutu yang harus dipenuhi di lapangan mencakup persentase campuran varietas lain yang diperbolehkan, isolasi jarak dan isolasi waktu. Persyaratan mutu di laboratorium mencakup kadar air benih, kemurnian fisik benih (benih murni, kotoran benih, biji benih tanaman lain, biji benih gulma) dan daya berkecambah (SNI 2003).

Pengujian mutu benih merupakan bagian penting dalam proses sertifikasi benih yang dilakukan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Pengujian mutu benih yang dilakukan mencakup mutu benih di pertanaman dan di laboratorium. Pemeriksaan pertanaman oleh petugas dilakukan beberapa tahap pada fase-fase pertumbuhan untuk verifikasi kemurnian varietas di lapangan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi karakter tanaman sesuai dengan deskripsi varietasnya. Pengujian kemurnian benih di laboratorium dilakukan dengan memisahkan tiga komponen benih murni, benih tanaman lain, dan kotoran benih yang selanjutnya dihitung presentase dari ketiga komponen benih tersebut. Benih murni adalah bagian dari contoh kerja yang mewakili lot benih dari spesies termaksud, termasuk persentase dari setiap spesies yang ada sebesar lima persen atau lebih (Copeland & McDonald 1995) dimana benih tidak dibedakan antar varietas hanya antar spesies (Desai et al. 1997).

Perbandingan dengan contoh autentik dari varietas dimaksud biasanya dilakukan untuk memudahkan analis dalam mengidentifikasi suatu varietas. Pada beberapa tanaman sangat sulit membedakan dengan pasti dari dua spesies berbeda yang berasal dari genus yang sama. Sebagai contoh dua spesies ryegrass, Lolium perenne dan L. multiforum hanya dapat dibedakan melalui persentase bulu pada bagian belakang benih. Akan tetapi bulu pada benih rontok/hilang saat prosesing benih (perontokan dan pembersihan) dan menjadikan benih dari dua spesies yang berbeda tersebut tidak dapat dibedakan. Bila hal ini terjadi maka benih murni diidentifikasi sebagi genus bukan berdasarkan spesies tertentu.

Uji kemurnian benih di laboratorium lebih mengarah pada kemurnian fisik bukan pada kemurnian genetik karena penilaian hanya dilakukan berdasarkan penilaian visual saja. Pada beberapa spesies tanaman yang memiliki kemiripan antar varietas yang cukup besar, uji kemurnian berdasarkan penilaian visual akan sangat riskan. Saat ini terdapat beberapa metode untuk verifikasi varietas di laboratorium, salah satu diantaranya adalah dengan uji pewarnan phenol untuk gandum Triticum aestivum (ISTA 2008). Uji pewarnaan phenol ini belum bisa diaplikasikan secara luas karena hanya berlaku untuk beberapa varietas saja. Pada padi pengujian phenol tingkat keterulangannya sangat rendah dan sangat bervariasi antar individu biji (Wahyuni et al. 2008) sehingga tidak dapat digunakan untuk uji kemurnian benih padi.

Karakter morfologi telah umum digunakan untuk mengevaluasi perbedaan, keseragaman dan kestabilan dalam karakterisasi varietas. Tetapi pemuliaan saat ini cenderung menghasilkan varietas-varietas yang secara fenotipik sangat mirip. Selain itu evaluasi morfologi kurang akurat dalam menilai derajat kemurnian genetik secara tepat karena memiliki beberapa kelemahan yaitu : (1) keragaman morfologi terbatas bila ditetapkan pada keturunan hasil persilangan (hibrid) lanjut kerena karakter morfologinya hampir mirip, (2) karakter morfologi dipengaruhi lingkungan, (3) tidak dapat digunakan untuk menduga jarak genetik karena tidak konsisten. Tampilan fenotipik tanaman sebenarnya merupakan interaksi GxE (genetik x lingkungan), sementara potensi genetik (G) tidak mampu dideteksi secara baik. Selain itu kebanyakan karakter morfologi belum diketahui pengendali genetiknya (Smith & Smith 1992).

Marka Molekuler

Potensi penggunaan marka sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik tanaman telah dikenal sejak lama. Marka bisa dikategorikan sebagai marka morfologi, sitologi dan yang terbaru adalah marka molekuler (Moritz & Hilis 1996). Dengan berkembangnya teknologi biomolekuler maka kegiatan identifikasi varietas dan estimasi kemurnian genetik benih dapat dilakukan dengan menggunakan marka molekuler.

Marka molekuler seringkali dikenal sebagai sidik jari DNA karena mengacu pada pita polimorfisme berupa fragmen DNA. Keunggulan utama penanda molekuler adalah (a) keakuratan tinggi dan tidak dipengaruhi lingkungan yang mempengaruhi ekspresi gen, (b) dapat diuji pada semua tingkat perkembangan tanaman, (c) pada pengujian hama dan penyakit tidak tergantung pada organisme pengganggu (d) penggunaannya pada kegiatan seleksi pemuliaan tanaman dapat mempercepat proses seleksi dan lebih hemat pada pengujian selanjutnya di lapangan (Kasim & Azrai 2004).

Beberapa prinsip dasar dan metodologi dari marka molekuler yaitu : (a) marka yang berdasarkan pada hibridisasi DNA, (b) marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction /PCR), (c) marka molekuler berdasarkan PCR yang dilanjutkan hibridisasi, dan (d) sekuensing DNA berdasarkan marka (Gupta et al. 2002). Marka DNA berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) menjadi teknologi pilihan karena menjanjikan efisiensi dan kepastian/akurasi dalam identifikasi. Contoh marka DNA adalah: RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), SSR (Simple Sequence Repeats), ISSR (Inter Simple Sequence Repeats), RAF (Randomly Amplified DNA Fingerprinting).

Marka SSR (Marka Mikrosatelit)

DNA genom terdiri dari DNA sekuen khas (specific sequence) dan DNA sekuen berulang (repetitive sequence). DNA sekuen berulang dalam genom eukariot dapat mencapai lebih dari 90% DNA total yang ada dalam genom tanaman (Weising et al. 1995). Makin besar ukuran genom suatu tanaman, cenderung makin besar pula proporsi DNA sekuen berulangnya. Dari beberapa hasil penelitian diketahui proporsi DNA sekuen berulang dalam genom tanaman jagung mencapai 60% (Gupta et al. 1984), gandum dan kerabat liarnya mencapai

70% (Flavel 1980) kedelai mencapai 60% (Walbot & Goldberg 1979), dan pada padi mencapai 50% (McCouch et al. 1988).

Terdapat tiga kelas pengulangan fraksi DNA pada individu eukariot, yaitu fraksi sangat berulang (highly repeated fraction), fraksi berulang secara moderat (moderatly repeated fraction), dan fraksi tidak berulang (nonrepeated fraction). Fraksi sekuen sangat berulang terdiri atas (1) satelit DNA, (2) minisatelit DNA dan (3) mikrosatelit DNA. Pengulangan sekuennya tersusun secara tandem. Satelit DNA biasanya jarang ditemukan dalam lokus genom karena perulangannya yang sangat tinggi (biasanya antara 1000 sampai 100 000 kopi) bentuknya sangat panjang, sering berada pada bagian heterokromatin dengan panjang fragmen berulang 2 sampai beberapa ribu pasang basa tetapi umumnya ditentukan 100-300 pasang basa. Minisatelit DNA biasanya banyak terdapat dalam genom, rata-rata sekuen berulang sekitar 10-60 bp dan menunjukan derajat pengulangan yang lebih rendah (Weising et al. 1995). Mikrosatelit DNA juga disebut sebagai fragmen berulang sederhana atau perulangan tandem sederhana, terdiri atas sekuen-sekuen pendek 2-5 bp dan rata-rata pengulangannya maksimum 100 kali (Karp 1998) pengulangannya berurutan dimana jumlah dari nukletidanya bervariasi (Rafalski et al. 1996).

Variasi jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Hamada et al. 1982). Teknik PCR pada mikrosatelit hanya menggunakan DNA dalam jumlah sedikit dengan daerah amplifikasi yang kecil 100-300 bp dari genom. Selain itu marka mikrosatelit dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena sample yang dibutuhkan untuk ekstraksi DNA sangat sedikit, selain itu dapat menggunakan bagian tanaman lain seperti biji atau serbuk sari (Senior et al. 1996). Produk amplifikasi hasil PCR tersebut dapat dideteksi menggunakan elektroforesis pada suatu gel dengan standar sekuen. Bila nol alel teramati maka kondisi alel tidak teramplifikasi selama PCR (Rohrer et al. 1994).

Marka makrosatelit merupakan marka genetik yang bersifat kodominan, dapat mendeteksi keragaman alel. Beberapa pertimbangan untuk penggunaan marka mikrosatelit diantaranya : (a) marka terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi, dan lokasi genom dapat

Dokumen terkait