• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

Lampiran 5. Prosedur kerja analisa total P pada pakan, daging ikan dan kerang air tawar (AOAC 2003)

1. Ditimbang ± 1 gr sampel pakan/rumput/ lainnya dimasukkan kedalam erlenmeyer ukuran 125 ml/100 ml

2. Ditambahkan 5 ml HNO3 (p)

3. Dipanaskan diatas hot plate dengan temperatur rendah selama 4-6 jam (dalam ruang asam).

didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam.

4. Dibiarkan semalam (sampel ditutup). 5. Ditambahkan 0.4 ml H2SO4 (p)

6. Ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO

, lalu dipanaskan diatas hot plate sampai larutan berkurang (lebih pekat), biasanya ± 1 jam.

4: HNO3

7. Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit

(2:1). Sampel masih tetap diatas hot plate, karena pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat kuning tua kuning muda (biasanya ± 1 jam)

8. Pindahkan sampel, dinginkan dan tambahkan 2 ml aquades dan 0.6 ml HCl 9. Dipanaskan kembali agar sampel larut(±15 menit) kemudian masukkan

kedalam labu takar 100 ml.

(p).

10.Apabila ada endapan disaring dengan glass wool

11.Hasil pengabuan basah bisa di analisa di AAS atau spektrofotometer untuk analisa berbagai mineral.

Tapi sebelumnya dipreparasi dulu dengan faktor pengenceran yang dibutuhkan dan penambahan bahan kimia untuk menghilangkan ion-ion pengganggu (Cl3La.7H2O).

Data N dan P dalam Pakan Ikan dan Ikan Nila

Hasil analisa kandungan Total N dan Total P dalam pakan ikan dapat dilihat pada Tabel 2, sedangkan persentase kenaikan Total N dan Total P pada daging ikan sebelum dan setelah perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 2. Data Total N dan Total P dalam Pakan Ikan

Parameter Kandungan

Total N (%) 4,13±0,09 Total P (%) 1,11±0,10

Gambar 8. Persentase kenaikan Total N dan Total P pada Daging Ikan Sebelum dan

DEWI PUSPANINGSIH. N and P Waste Removal Efficiency by Freshwater Clams (Pilsbryoconcha exilis) as Biofilter on Tilapia (Oreochromis niloticus) Culture with Resirculation System. Under Supervision of KUKUH NIRMALA and TRI HERU PRIHADI.

Nitrogen (N) and phosphorus (P) are the main end-products of fish loading, and can affect not only the rearing water, but also the environment as a whole. The study aim to determine the optimum density of freshwater clams on removing N and P waste from Tilapia culture using resirculation system. This study used a complete randomized design with four treatments and three replication (A. 0 clam, B. 30 clams, C. 60 clams, D. 90 clams). Parameters measured were waste removal efficiency, retention of N and P by Tilapia and freshwater clam, survival rate and daily growth rate of Tilapia and freshwater clam. The result showed that freshwater clam can be used as biofilter on removing N, P, TOM and TSS waste from Tilapia culture. The optimum density of freshwater clams which can support the survival rate and growth of Tilapia was 60 clams.

Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan salah satunya protein ikan akan turut memicu perkembangan produksi akuakultur. Produksi ikan nila di Indonesia meningkat dari tahun 2008 sebanyak 102.863 ton menjadi 140.778 ton pada tahun 2009 (KKP 2010). Propinsi Jawa Barat merupakan daerah sentra produksi budidaya ikan air tawar di Indonesia. Perkembangan konsumsi ikan khususnya di Kota Bogor pada tahun 2005 – 2009 rata-rata mencapai 2,2% /Kg/Kapita/Tahun, sedangkan pada tahun 2008 mencapai 19,18 Kg/Kapita/tahun dan tahun 2009 naik menjadi 19,36 Kg/Kapita/Tahun (Disnakan Bogor 2010). Namun demikian capaian produksi ikan nila di Bogor mengalami penurunan dari tahun 2008 yang tadinya 1298,68 ton menjadi 1092,59 ton pada tahun 2009 (Disnakan Bogor 2010). Jika dibandingkan dengan Propinsi Jawa Tengah yang salah satu Kabupaten nya sudah ditetapkan sebagai Desa Nila, produksi ikan nila mencapai 23,35 ton/minggu atau kira-kira 1120,8 ton/tahun pada tahun 2009 (Disnakan Pemprov Jawa Tengah 2009). Hal ini diduga karena terjadinya penurunan kualitas air yang digunakan dalam budidaya, terjadinya wabah penyakit, maupun penyempitan lahan yang digunakan untuk budidaya perikanan.

Teknologi budidaya saat ini berkembang dari sistem ekstensif ke arah semi intensif bahkan intensif. Budidaya dengan sistem tradisional hanya mengandalkan pada pakan alami dan konstruksi kolam seadanya, padat tebar rendah, tidak ada pemberian pakan buatan dan pupuk. Budidaya semi intensif ditandai dengan adanya pemberian pakan buatan, padat tebar lebih tinggi dari sistem tradisional, dan ada pemberian pupuk untuk menumbuhkan pakan alami. Budidaya intensif merupakan indikasi terjadinya peningkatan level teknologi dari sistem semi intensif, dimana budidaya dilakukan dengan padat tebar tinggi, tergantung pada pakan buatan, serta ditambah dengan adanya oksigenasi menggunakan aerasi atau kincir.

Konsekuensi dari peningkatan kebutuhan konsumsi ikan dewasa ini adalah cenderung dilakukannya budidaya dengan sistem intensif. Dampak negatif dari

peningkatan padat tebar dengan diiringi oleh pemberian pakan buatan pada budidaya intensif akan turut pula meningkatkan jumlah buangan limbah yang dihasilkan dari budidaya tersebut, yaitu proses metabolisme seperti urin maupun feses dan sisa pakan yang tidak termakan (Read dan Fernandes 2003). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air akibat dari akumulasi sisa metabolisme dan sisa pakan, sehingga terjadi penurunan produktivitas kolam budidaya. Di sisi lain, apabila limbah dari aktivitas budidaya tersebut dialirkan langsung ke badan air di sekitarnya misalnya sungai ataupun danau dapat menimbulkan eutrofikasi.

Limbah akuakultur yang masuk ke lingkungan akuatik terdiri dari nutrien, berbagai macam bahan organik dan anorganik seperti ammonium, fosfor, karbon organik terlarut dan bahan organik (Piedrahita 2003; Sugiura et al. 2006). Menurut Frid dan Dobson (2002), dari 100% pakan yang diberikan hanya sekitar 80% saja yang dikonsumsi, sedangkan sisanya 20% akan terbuang (tidak termakan). Dari 80% yang dikonsumsi, hanya sekitar 25% saja yang diretensi, sedangkan sisanya 10% akan terbuang melalui feses dan 65% akan terekskresi

sebagai urin. Lebih lanjut Li et al. (2001) menyebutkan bahwa pada sistem

budidaya intensif ikan nila, nutrien yang dikeluarkan sekitar 62 – 73% total N dan 55 – 70% total P terbagi ke dalam bentuk partikel dan terlarut. Semua limbah yang dihasilkan baik dari sisa pakan maupun feses dan urin dapat meningkatkan kandungan bahan organik terlarut maupun tersuspensi yang dapat berdampak negatif terhadap ikan bahkan pada dosis tertentu bersifat toksik. Disamping itu, limbah N dan P dapat mempengaruhi parameter kualitas air seperti menurunnya konsentrasi kandungan oksigen terlarut, dan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida, ammonia, nitrit dan nitrat. Parameter kualitas air yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan dan sintasan adalah nitrit, nitrat, ammonia, oksigen terlarut dan fosfat (Frid dan Dobson 2002; Benli dan Koksal 2005; Voslarova et al. 2008).

Menurut Helfrich dan Libey (1991), sistem akuakultur dengan resirkulasi (RAS) mewakili cara baru dan unik dalam budidaya ikan. Bila dibandingkan dengan metode tradisional yakni budidaya ikan di kolam dengan ruangan terbuka dan air deras, sistem ini dapat membudidayakan ikan dengan kepadatan tinggi,

menggunakan tangki di dalam ruangan dengan lingkungan yang terkontrol. Sistem resirkulasi memfilter dan membersihkan air untuk digunakan kembali ke dalam tangki pemeliharaan ikan. Pada sistem ini air bisa digunakan lebih efisien dan memungkinkan untuk produksi ikan sepanjang tahun yang lebih intensif. Sistem ini juga mempertahankan kualitas air dan suhu dalam kisaran yang aman dan dapat diterima untuk menunjang kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi ikan (Van Gorder 1994). Jika dibandingkan dengan metode budidaya tradisional, sistem resirkulasi menggunakan air yang lebih sedikit (kira-kira 250 –

1000 L untuk produksi 1 kg ikan) dan dioperasikan dengan pembuangan effluent

yang lebih sedikit, namun sebenarnya sistem ini masih dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan seperti konsentrasi bahan organik atau nutrien (terutama nitrogen anorganik dan fosfor) pada effluent yang tinggi (Shnel et al.

2002).

Salah satu cara yang selama ini banyak dilakukan dalam pengelolaan konsentrasi effluent yang tinggi terhadap bahan organik dan nutrient adalah dengan cara biologi yang dikenal dengan sistem biofilter. Filter biologis (biofilter) banyak digunakan untuk air tawar dan air laut (Hovanec and DeLong 1996; Gutierrez-Wing and Malone 2006; Malone and Pfeiffer 2006). Biofilter dapat memanfaatkan tumbuhan, hewan air dan bakteri pengurai yang berperan sebagai penyaring bahan-bahan yang tidak berguna. Penanggulangan kualitas air secara biologis merupakan salah satu alternatif yang paling tepat dan efisien, karena pengelolaannya memanfaatkan organisme yang dapat mengakumulasi dan mendegradasi bahan pencemar serta tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sistem biofilter menggunakan organisme hidup seperti kerang air tawar dapat mengurangi konsentrasi bahan organik yang tersuspensi, dapat menekan limbah N dan P, menjaga kualitas air tetap stabil dan buangan limbah akan berkurang ke badan air di sekitarnya (Nugroho 2006).

Biofilter dalam resirkulasi menggunakan kerang air tawar perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam khususnya dalam menyisihkan limbah dari aktivitas budidaya intensif seperti N dan P.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang timbul dari adanya budidaya ikan nila dengan sistem intensif adalah penurunan kualitas air akibat adanya buangan limbah berupa urin, feses dan sisa pakan yang tidak termakan.

Apabila merunut capaian produksi ikan nila di Bogor pada tahun 2009 yakni sebesar 1092,59 ton, maka menurut Frid dan Dobson (2002), dari 100% pakan yang diberikan akan menghasilkan 6,54 ton pakan yang tidak termakan, 2,62 ton feses dan 17,04 ton urin. Lebih lanjut menurut Li et al. (2001), produksi sebesar itu akan menghasilkan 20,32 ton – 23,92 ton total N dan 18,02 – 22,94 ton total P. Dengan sedemikian banyaknya limbah yang dihasilkan dari pemberian pakan secara intensif, maka secara langsung akan meningkatkan limbah yang dihasilkan dalam budidaya tersebut.

Limbah yang dihasilkan dari sistem budidaya intensif dapat menurunkan kualitas air yang selanjutnya dapat menyebabkan eutrofikasi baik di lingkungan budidaya maupun di perairan sekitarnya. Hal ini dapat berdampak pada penurunan produktivitas kolam budidaya karena akan menimbulkan kematian ikan.

Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah dengan menggunakan biofilter dalam sistem budidaya. Biofilter dapat menggunakan tanaman maupun hewan air. Jenis hewan air seperti kijing atau kerang air tawar tergolong filter feeder, yaitu jenis hewan yang mendapatkan makanan dengan jalan menyaring air yang masuk ke dalam tubuhnya. Menurut

Nugroho (2006), kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) memiliki potensi untuk

mengatasi pencemaran bahan organik di perairan seperti danau atau waduk yang sudah eutrof. Paramater kualitas air seperti TSS dan TOM dapat ditekan dan mengalami penurunan.

Beberapa penelitian mengenai potensi kerang air tawar telah dilakukan di Indonesia, antara lain biologi reproduksinya di daerah tropik (Widarto 1996); struktur komunitas dan indeks kondisinya di Sukabumi (Ibrahim 2010); sebagai biofilter logam berat (Untari 2001; Sembiring 2009), sebagai biomonitor pencemaran herbisida (Sidhi 1998); sebagai antioksidan (Salamah et al. 2008);

biofilter bahan organik di perairan waduk (Komarawidjaja et al. 2005; Sulistiawan 2007).

Dengan semakin terbatasnya air dan lahan yang dapat digunakan dalam budidaya, sistem resirkulasi menggunakan kerang air tawar sebagai biofilter merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam budidaya intensif. Limbah N dan P pada media pemeliharaan ikan dapat dikurangi dengan bantuan kerang air tawar, oleh karena itu diperlukan informasi seberapa besar efisiensi penyisihannya sehingga air yang digunakan dalam sistem resirkulasi dapat mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kepadatan kerang air tawar yang optimal dalam menyisihkan limbah N dan P dari budidaya ikan nila menggunakan sistem resirkulasi.

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan dasar untuk menurunkan limbah N dan P dalam budidaya ikan nila dan memaksimalkan peran kerang air tawar sebagai salah satu komoditas perikanan air tawar.

Hipotesis

Jika kepadatan kerang air tawar optimal maka limbah N dan P dari budidaya ikan nila dengan sistem resirkulasi akan minimal sehingga dapat memperbaiki kualitas air serta mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan.

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan nila (Oreochromis niloticus)

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang diintroduksi

dari luar negeri. Ikan nila termasuk ke dalam genus Oreochromis, karena

golongan ikan ini mempunyai sifat yang unik setelah memijah yakni induk betina mengerami telur yang telah dibuahi di dalam mulutnya. Menurut Suyanto (2009) klasifikasi lengkap ikan nila adalah:

Filum : Chordata

Kelas : Osteichthyes

Ordo : Percomorphi

Famili : Cichlidae

Genus : Oreochromis

Species : Orochromis niloticus

Ikan nila mampu tumbuh cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein sebanyak 20-25%. Ikan nila dapat memijah sepanjang tahun. Apabila induk ikan dipelihara dengan baik dan diberi pakan yang berkualitas maka ikan nila dapat memijah setiap 1,5 bulan sekali. Apabila persediaan pakan dalam habitat ikan nila sebanding dengan jumlah ikan maka pertumbuhan akan semakin cepat. Ikan nila mempunyai sifat yang menguntungkan yakni nila lebih efisien menggunakan pakan, bersifat omnivora, cepat pertumbuhannya, berdaging tebal, dan rasa dagingnya mirip dengan kakap merah (Suyanto 2009).

Ikan nila memiliki eurihaline yang menyebabkan ikan nila dapat hidup di dataran rendah yang berair tawar hingga perairan bersalinitas, sehingga pembudidayaannya sangat mudah. Nila dapat hidup di lingkungan air tawar, air payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0 – 35 ‰ (Watanabe 1988).

Kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis)

Pilsbryoconcha exilis termasuk ke dalam filum moluska. Ciri umum dari filum ini mempunyai bentuk tubuh bilateral atau simetri, tidak beruas-ruas, tubuh lunak dan ditutupi mantel yang menghasilkan zat kapur, bentuk kepala jelas, bernapas dengan paru-paru atau insang (Gambar 1). Tubuhnya berbentuk pipih

secara lateral dan memiliki dua cangkang (valve) yang berengsel dorsal dan

menutupi seluruh tubuh membuatnya termasuk ke dalam kelas Pelecypoda. Famili Unionidae pada umumnya banyak ditemukan di kolam-kolam, danau, sungai, situ atau perairan-perairan tawar lainnya (Suwignyo et al. 1981).

Klasifikasi kijing lokal adalah sebagai berikut: Filum : Moluska

Kelas : Pelecypoda (Bivalvia) Famili : Unionidae

Genus : Pilsbryoconcha

Spesies : Pilsbryoconcha exilis Lea

Kijing terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu mantel, insang, dan organ dalam. Mantel menggantung di seluruh tubuh, dan membentuk lembaran yang luas dari jaringan yang berada di bawah cangkang. Tepi mantel menghasilkan tiga lipatan yaitu dalam, tengah, dan luar. Otot radial dan circular terdapat pada lapisan dalam, lapisan tengah berfungsi sebagai sensori, dan lapisan luar terdapat cangkang. Seluruh permukaan mantel mensekresi zat kapur. Kijing memakan detritus, alga bersel satu, dan bakteri. Proses yang terjadi terhadap makanan yang masuk ke dalam tubuhnya (Suwignyo et al. 1998) adalah sebagai berikut:

1. Makanan masuk melalui sifon inhalant akan dijebak pada insang karena hanya mukus yang dihasilkan oleh kelenjar hypobranchial.

2. Zat makanan ini akan dialirkan ke mulut oleh sistem silia yang berkembang dengan baik, yang dikhususkan mengambil makanan dari permukaan insang menuju mulut. Kemudian makanan akan disortir oleh palp yang mengelilingi mulut yang mampu membedakan antara makanan dengan kerikil atau pasir, karena mengandung chemoreceptor.

3. Kerikil atau pseudofeces akan dikeluarkan oleh sifon exhalant, makanan ditransformasikan ke mulut.

4. Bagian ventral dari perut atau style sac berisi crystalline sac merupakan

mucopolysaccharide yang memproyeksikan makanan ke perut. Sel-sel yang mensekresikan enzim-enzim pencernaan terdapat pada style sac. Sel-sel pada

style sac tersebut mempunyai cillia yang secara perlahan memutari style sac, gerakan rotasi ini berlangsung pada chitinous plate (gastric shield).

5. Gerakan rotasi ini akan mengakibatkan bercampurnya kandungan perut dan

kemudian makanan akan hancur secara mekanis. Material yang tidak dicerna akan dibuang melalui anus sebagai feses.

Gambar 1. Kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis)

Kijing bersifat filter feeder, mekanisme makan bergabung dengan

mekanisme pernafasan. Zat-zat makanan seperti fitoplankton serta organisme mikroskopik lain akan ikut tersaring dan kemudian diubah menjadi jaringan tubuh ketika kijing menyaring air.

Kijing lokal menyukai perairan yang dalam dengan kecerahan yang tinggi, mengandung bahan organik total yang tinggi dan substrat liat atau berlumpur. Pola distribusinya memencar dengan populasi berkelompok pada habitatnya. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan kijing adalah suhu, pH,

oksigen, endapan lumpur, dan fluktuasi permukaan air (Prihartini 1999). Kijing familia Unionidae bermanfaat secara ekologis karena mampu menjernihkan air berkat efisiensinya menyaring partikel-partikel tersuspensi dan alga. Selain itu, kerang Unionidae memiliki potensi ekonomis yaitu sebagai bahan pangan sumber protein bagi manusia, sumber pakan ternak, industri kancing dan penghasil mutiara (Prihartini 1999) serta komoditas budidaya perikanan darat (Suwignyo et

al. 1998). Tepung dari daging kijing juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan

fortifikasi dalam pembuatan kerupuk (Mathlubi 2006).

Volume air yang dapat disaring oleh kerang adalah 1,44 liter/individu dewasa/jam. Makanan yang masuk bersama air tadi digerakkan, diperas, lalu dicerna dengan bantuan cilia (rambut getar) pada tubuhnya. Cilia mampu bergerak 2-20 kali per detik. Makanan kerang dapat berupa zooplankton, fitoplankton, bakteri, flagellate, protozoa, detritus, alga, dan berbagai zat yang tersuspensi dalam perairan tempat tinggalnya. Umumnya kijing dapat mengatur tingkat metabolisme oksigen dengan baik sehingga masih dapat hidup pada keadaan dengan kadar oksigen dalam air sangat sedikit (Hart dan Fuller 1974). Keistimewaan dari kerang adalah perkembangbiakannya yang cepat. Di daerah tropis seperti Indonesia, kerang dapat berkembang biak sepanjang tahun. Sekali berkembang biak keturunannya bisa 300.000 individu (Suwignyo 1975). Sementara itu menurut Suhardjo (1977), setiap kali memijah kerang dapat menghasilkan telur sebanyak 369.227-458.000 butir. Karena daya tahan hidupnya yang tinggi dan jumlahnya yang berlimpah ini, maka kerang layak dipertimbangkan sebagai alternatif untuk mengatasi pencemaran perairan akibat polutan termasuk logam berat.

Kajian mengenai peranan hewan filter feeder sebagai biofilter dalam pengelolaan limbah telah banyak dilakukan. Hamsiah (2000) menyatakan bahwa keong bakau (Telescopium telescopium L.) dapat digunakan sebagai biofilter dalam pengelolaan limbah budidaya tambak udang intensif. Keberadaan keong bakau yang dipelihara dalam limbah budidaya berpengaruh terhadap parameter kualitas air (fisika, kimia dan biologi) yaitu kadar padatan tersuspensi total (TSS) (fisika), kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), nitrit, nitrat (kimia) dan populasi

Limbah N dan P

Nitrogen

Ikan dapat memanfaatkan protein dengan sangat efisien, meskipun faktanya ikan menggunakan bagian yang penting dari protein yang dapat dicerna untuk tujuan mendapatkan energi, dan memproduksi buangan nitrogen dalam jumlah yang besar (Dosdat et al. 1996). Seperti sudah diketahui bahwa pemberian pakan dengan asam amino yang berlebih dapat menyebabkan katabolisme asam amino disertai dengan ekskresi ammonia dalam jumlah besar. Dalam hal ini keseimbangan antara protein yang dapat dicerna dan energi yang dapat dicerna dalam pakan juga penting. Produk akhir yang utama dari metabolisme protein pada ikan teleost adalah ammonia.

Secara alami limbah budidaya ikan akan menghasilkan ammonia (NH3)

dari pakan yang tidak termakan, urin dan feses. Amonia melalui proses nitrifikasi akan berubah bentuk menjadi nitrit dan nitrat. Amonia dan nitrit bersifat racun dan dapat menghambat pertumbuhan ikan, sedangkan nitrat tidak berbahaya dan dapat dimanfaatkan bagi tumbuhan. Proses perubahan ammonia menjadi nitrit dan nitrat melibatkan bakteri Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp.

Produksi ammonia pada ikan terutama tergantung pada protein yang masuk dan efisiensi metabolisme dari ikan, dimana species-spesifik dan dipengaruhi oleh tingkat kelarutan ammonia dalam air.

Jenis ikan air tawar biasanya mengeluarkan total ammonia nitrogen (TAN) yang lebih banyak dibandingkan dengan ikan air laut (Jobling 1995). Boyd (1988) menyatakan bahwa kadar NH3 0,2-2,0 mg/l dalam waktu singkat bersifat racun

bagi ikan dan NH3 sudah berbahaya pada konsentrasi 0,04 mg/l, karena dapat

menurunkan kapasitas darah untuk membawa oksigen sehingga jaringan akan

kekurangan oksigen. Konsentrasi ammonia (NH3

Kapasitas penggunaan protein pada ikan berbeda tergantung jenis ikan, stadia hidup, dan ada hubungan yang kuat antara tingkat protein pada makanan

dan produksi ammonia N (Begum et al. 1994). Protein biasanya mengandung

) yang diizinkan untuk budidaya ikan nila tidak melebihi 0,06 mg/l (Eding et al. 2006).

16% N (NRC 1993). Produksi ammonia dipengaruhi oleh hubungan protein atau energi dan keseimbangan asam amino dalam pakan (Kaushik 1998). Pakan yang diformulasikan dengan sumber protein dengan profil asam amino yang rendah akan menghasilkan ekskresi ammonia yang lebih tinggi.

Fosfor

Di perairan umum fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Fosfor berbentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, besifat tidak larut, dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh alga akuatik. Fosfor berperan dalam transfer energi di dalam sel, misalnya yang terdapat pada ATP (Adenosine Triphosphate) dan ADP (Adenosine Diphosphate). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk fosfor yang paling sederhana di perairan (Boyd 1988). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu, sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Setelah masuk ke dalam tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat. Fosfat yang berkaitan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut

dan mengendap di dasar perairan. Saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat di perairan (Brown 1987).

Fosfor total menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik. Fosfor organik biasanya disebut

soluble reactive phosphours, misalnya ortofosfat. Fosfor organik banyak terdapat pada perairan yang banyak mengandung bahan organik. Oleh karena itu, pada perairan yang memiliki kadar bahan organik tinggi sebaiknya ditentukan juga kadar fosfor total, di samping ortofosfat (Mackereth et al. 1989).

Unsur fosfor berubah bentuk secara terus-menerus, akibat proses dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu. Pada suhu yang mendekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai pH. Perubahan polifosfat menjadi ortofosfat pada air limbah yang mengandung bakteri berlangsung lebih cepat dibandingkan

Dokumen terkait