PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
DENGAN SISTEM RESIRKULASI
DEWI PUSPANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Efisiensi Penyisihan Limbah N dan P oleh Kerang Air Tawar (Pilsbryoconcha exilis) sebagai Biofilter pada Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Sistem Resirkulasi adalah karya saya dan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Desember 2011
Dewi Puspaningsih
DEWI PUSPANINGSIH. N and P Waste Removal Efficiency by Freshwater Clams (Pilsbryoconcha exilis) as Biofilter on Tilapia (Oreochromis niloticus) Culture with Resirculation System. Under Supervision of KUKUH NIRMALA and TRI HERU PRIHADI.
Nitrogen (N) and phosphorus (P) are the main end-products of fish loading, and can affect not only the rearing water, but also the environment as a whole. The study aim to determine the optimum density of freshwater clams on removing N and P waste from Tilapia culture using resirculation system. This study used a complete randomized design with four treatments and three replication (A. 0 clam, B. 30 clams, C. 60 clams, D. 90 clams). Parameters measured were waste removal efficiency, retention of N and P by Tilapia and freshwater clam, survival rate and daily growth rate of Tilapia and freshwater clam. The result showed that freshwater clam can be used as biofilter on removing N, P, TOM and TSS waste from Tilapia culture. The optimum density of freshwater clams which can support the survival rate and growth of Tilapia was 60 clams.
DEWI PUSPANINGSIH. Efisiensi Penyisihan Limbah N dan P oleh Kerang Air Tawar (Pilsbryoconcha exilis) sebagai Biofilter pada Budidaya Ikan Nila (Oreochromis niloticus) dengan Sistem Resirkulasi. Di Bawah bimbingan KUKUH NIRMALA dan TRI HERU PRIHADI
Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan kebutuhan pangan salah satunya protein ikan akan turut memicu perkembangan produksi akuakultur. Produksi ikan nila di Indonesia meningkat dari tahun 2008 sebanyak 102.863 ton menjadi 140.778 ton pada tahun 2009 (KKP 2010). Konsekuensi dari peningkatan kebutuhan konsumsi ikan dewasa ini adalah cenderung dilakukannya budidaya dengan sistem intensif. Dampak negatif dari peningkatan padat tebar dengan diiringi oleh pemberian pakan buatan pada budidaya intensif akan turut pula meningkatkan jumlah buangan limbah yang dihasilkan dari budidaya tersebut, yaitu proses metabolisme seperti urin maupun feses dan sisa pakan yang tidak termakan (Read dan Fernandes 2003). Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air akibat dari akumulasi sisa metabolisme dan sisa pakan, sehingga terjadi penurunan produktivitas kolam budidaya. Di sisi lain, apabila limbah dari aktivitas budidaya tersebut dialirkan langsung ke badan air disekitarnya misalnya sungai ataupun danau dapat menimbulkan eutrofikasi.
Limbah akuakultur yang masuk ke lingkungan akuatik terdiri dari nutrien, berbagai macam bahan organik dan anorganik seperti ammonium, fosfor, karbon organik terlarut dan bahan organik (Piedrahita 2003; Sugiura et al. 2006). Menurut Frid dan Dobson (2002), dari 100% pakan yang diberikan hanya sekitar 80% saja yang dikonsumsi, sedangkan sisanya 20% akan terbuang (tidak termakan). Dari 80% yang dikonsumsi, hanya sekitar 25% saja yang diretensi, sedangkan sisanya 10% akan terbuang melalui feses dan 65% akan terekskresi sebagai urin. Pada sistem budidaya intensif ikan nila nutrien yang dikeluarkan sekitar 62 – 73% total N dan 55 – 70% total P terbagi ke dalam bentuk partikel dan terlarut (Li et al. 2001). Limbah N dan P dapat mempengaruhi parameter kualitas air seperti menurunnya konsentrasi kandungan oksigen terlarut, dan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida, ammonia, nitrit dan nitrat.
Sistem biofilter menggunakan organisme hidup seperti kerang air tawar dapat mengurangi konsentrasi bahan organik baik yang tersuspensi maupun terlarut (Nugroho 2006), dapat menekan limbah N dan P, menjaga kualitas air tetap stabil dan buangan limbah akan berkurang ke badan air di sekitarnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, biofilter dalam resirkulasi menggunakan kerang air tawar perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam khususnya dalam menyisihkan limbah dari aktivitas budidaya intensif seperti N dan P. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kepadatan kerang air tawar yang optimal dalam menyisihkan limbah N dan P dari budidaya ikan nila menggunakan sistem resirkulasi.
nila yang digunakan berukuran berat 10 ± 0,83 gram/ekor dan panjang 8,36 ± 0,38 cm/ekor. Wadah percobaan adalah akuarium berukuran 70x40x45 cm sebanyak 12 buah yang diisi air sebanyak 100 L sebagai wadah budidaya ikan nila, dan bak fiber berukuran 50x30x30 cm sebanyak 12 buah yang diisi air sebanyak 30 L sebagai wadah filter yang berisi kerang air tawar. Pakan yang diberikan pada ikan nila adalah pakan komersil yang lazim diberikan oleh pembudidaya dengan kadar protein 27%.
Ikan nila berukuran rata-rata 10 gram dengan kepadatan 50 ekor dipelihara pada akuarium dengan volume 100 L. Ikan diberi makan dengan feeding rate 3-5% dan frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari. Kerang air tawar diletakkan dalam bak fiber dengan volume 30 L dan tidak diberi pakan tambahan. Akuarium pemeliharaan ikan nila dan bak fiber berisi kerang air tawar di disain dengan sistem resirkulasi. Sampling dilakukan dengan interval waktu 7 hari dan pemeliharaan ikan nila dilakukan selama 42 hari. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan, yaitu: A = Tanpa kerang air tawar, B = Kepadatan kerang : 30 individu, C = Kepadatan kerang : 60 individu, D = Kepadatan kerang : 90 individu .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kerang yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila (P<0,05). Pada kepadatan kerang 60 individu menghasilkan kelangsungan hidup terbaik yakni sebesar 100% dan pertumbuhan bobot dan panjang ikan nila terbaik berturut-turut yakni 1,93% dan 0,61%, efisiensi penyisihan limbah terbaik yakni Total N 29,56%, Total P 42,33%, TOM 22,57%, TSS 31,74% dan retensi pada daging kerang yang terbaik yakni retensi N 281,91% dan Retensi P 1121,32%.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
PADA BUDIDAYA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
DENGAN SISTEM RESIRKULASI
DEWI PUSPANINGSIH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Nama : Dewi Puspaningsih NIM : C151090231
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Kukuh Nirmala,M.Sc
Ketua Anggota
Dr.Ir.Tri Heru Prihadi,M.Sc
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Akuakultur
Prof.Dr.Enang Harris,MS Dr.Ir.Dahrul Syah,M.Sc.Agr
segala rahmat, karunia dan Ijin-Nya sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Efisiensi penyisihan
limbah N dan P oleh kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis) sebagai biofilter pada budidaya ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan sistem resirkulasi.
Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh informasi mengenai kepadatan kerang air tawar yang optimal dalam menyisihkan limbah N dan P dari budidaya ikan nila dengan sistem resirkulasi, sehingga dapat memberikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila yang terbaik.
Pada kesempatan ini juga Penulis mengucapkan terimakasih dan pernghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dr.Ir.Kukuh Nirmala, Msc dan Dr.Ir.Tri Heru Prihadi, M.Sc sebagai Komisi Pembimbing dengan kesabaran dan ketulusan hati telah meluangkan waktu dan banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sejak pembuatan proposal, pelaksanaan penelitian hingga penyusunan karya ilmiah ini.
2. Prof.Dr.Ir.D.Djokosetiyanto,DEA sebagai Penguji Luar Komisi pada ujian tesis atas kesediaan waktu yang telah diberikan.
3. Prof.Dr.Ir.Enang Harris, MS. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Akuakultur SPs IPB.
4. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia – Kementrian Kelautan
dan Perikanan yang telah memberikan bantuan beasiswa pendidikan selama penulis menempuh pendidikan Program Magister Sains pada Sekolah
Pascasarjana IPB.
5. Dr.Rudhy Gustiano Sebagai Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar dan Drs.Sutrisno Sebagai Kepala Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi yang telah memberikan ijin dan fasilitas selama penulis melaksanakan penelitian.
8. Rekan-rekan seperjuangan di AKU’09 yang telah banyak membantu selama penelitian berlangsung, terutama teman-teman Lab.Lingkungan.
9. Kepada Ibunda Saminingsih, Ayahanda Bedjo Slamet, suami tercinta Bambang Supriyatno, anakku tercinta Habibi Faiz Rizqullah, beserta kakak dan adikku dengan setulus hati diucapkan terimakasih atas segala pengertian, pengorbanan, dan do’anya selama penulis menyelesaikan pendidikan .
Begitu juga kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu-persatu diucapkan terimakasih atas segala bantuan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga menyelesaikan studi.
Akhirnya semoga amal budi baik kita semua mendapat balasan yang setimpal dari Alloh SWT. Penulis berharap mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2011
dua dari tiga bersaudara dari pasangan Bedjo Slamet dan Saminingsih. Pada Tahun 2007, penulis menikah dengan Bambang Supriyatno dan telah dikaruniai 1 anak, Habibi Faiz Rizqullah.
Pendidikan Sekolah Dasar di SDN Duren Sawit 08 Pagi Jakarta lulus tahun 1991, dilanjutkan di SMPN 135 Jakarta lulus tahun 1994. Lulus SMUN 61 Jakarta lulus tahun 1997. Pendidikan sarjana (S1) di tempuh di Fakultas Pertanian, Jurusan Perikanan Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan lulus tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SPs IPB pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari BPSDM, KKP.
Penulis bekerja sebagai staf peneliti pada Balai Penelitian dan
DAFTAR TABEL ... i
DAFTAR GAMBAR ... ii
DAFTAR LAMPIRAN ... iii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 4
Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
Hipotesis ... 5
TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila (Oreochromis niloticus) ... 7
Kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis) ... 8
Limbah N dan P ... 11
Nitrogen ... 11
Fosfor ... 12
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 15
Bahan dan Alat ... 15
Prosedur Penelitian ... 15
Persiapan Penelitian ... 15
Penelitian Utama ... 16
Rancangan Penelitian ... 16
Parameter yang Diamati ... 16
Evaluasi Parameter ... 17
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Nila ... 19
Efisiensi Penyisihan ... 20
Retensi N dan P oleh Kerang Air Tawar ... 21
Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Kerang Air Tawar 22
Rasio Daging dan Cangkang pada Kerang Air Tawar ... 23
Retensi N dan P oleh Ikan Nila ... 23
Data Kualitas Air ... 24
Pembahasan ... 25
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 33
Saran ... 33
DAFTAR PUSTAKA ... 35
1. Metode dan alat pengukuran parameter pengamatan ... 17
2. Kisaran nilai kualitas air pada akuarium ikan nila dan bak filter
kerang ... 24
3. Data kekeruhan (NTU) di akuarium dan bak filter pada akhir
1. Kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis) ... 9 2. Kelangsungan hidup ikan nila pada setiap perlakuan selama
penelitian ... 19
3. Laju pertumbuhan bobot dan panjang rata-rata harian (%) ikan
Nila pada setiap perlakuan selama penelitian ... 19
4. Efisiensi penyisihan air yang masuk dan keluar bak filter pada
setiap perlakuan selama penelitian ... 20
5. Retensi N dan P oleh kerang air tawar ... 22
6. Kelangsungan hidup kerang air tawar pada setiap perlakuan
selama penelitian ... 22
7. Laju pertumbuhan panjang, lebar, tebal dan bobot kerang air
Tawar pada setiap perlakuan selama penelitian ... 23
8. Rasio daging dan cangkang pada kerang air tawar. ... 23
1. Prosedur kerja analisa bahan organik total (TOM) ... 41
2. Prosedur kerja analisa padatan terlarut total (TSS) ... 42
3. Prosedur kerja analisa total P pada air ... 43
4. Prosedur kerja analisa total N pada pakan, daging ikan dan
kerang air tawar . ... 44
5. Prosedur kerja analisa total P pada pakan, daging ikan dan
Peningkatan jumlah penduduk yang diiringi dengan peningkatan
kebutuhan pangan salah satunya protein ikan akan turut memicu perkembangan
produksi akuakultur. Produksi ikan nila di Indonesia meningkat dari tahun 2008
sebanyak 102.863 ton menjadi 140.778 ton pada tahun 2009 (KKP 2010).
Propinsi Jawa Barat merupakan daerah sentra produksi budidaya ikan air tawar di
Indonesia. Perkembangan konsumsi ikan khususnya di Kota Bogor pada tahun
2005 – 2009 rata-rata mencapai 2,2% /Kg/Kapita/Tahun, sedangkan pada tahun
2008 mencapai 19,18 Kg/Kapita/tahun dan tahun 2009 naik menjadi 19,36
Kg/Kapita/Tahun (Disnakan Bogor 2010). Namun demikian capaian produksi
ikan nila di Bogor mengalami penurunan dari tahun 2008 yang tadinya 1298,68
ton menjadi 1092,59 ton pada tahun 2009 (Disnakan Bogor 2010). Jika
dibandingkan dengan Propinsi Jawa Tengah yang salah satu Kabupaten nya sudah
ditetapkan sebagai Desa Nila, produksi ikan nila mencapai 23,35 ton/minggu atau
kira-kira 1120,8 ton/tahun pada tahun 2009 (Disnakan Pemprov Jawa Tengah
2009). Hal ini diduga karena terjadinya penurunan kualitas air yang digunakan
dalam budidaya, terjadinya wabah penyakit, maupun penyempitan lahan yang
digunakan untuk budidaya perikanan.
Teknologi budidaya saat ini berkembang dari sistem ekstensif ke arah semi
intensif bahkan intensif. Budidaya dengan sistem tradisional hanya mengandalkan
pada pakan alami dan konstruksi kolam seadanya, padat tebar rendah, tidak ada
pemberian pakan buatan dan pupuk. Budidaya semi intensif ditandai dengan
adanya pemberian pakan buatan, padat tebar lebih tinggi dari sistem tradisional,
dan ada pemberian pupuk untuk menumbuhkan pakan alami. Budidaya intensif
merupakan indikasi terjadinya peningkatan level teknologi dari sistem semi
intensif, dimana budidaya dilakukan dengan padat tebar tinggi, tergantung pada
pakan buatan, serta ditambah dengan adanya oksigenasi menggunakan aerasi atau
kincir.
Konsekuensi dari peningkatan kebutuhan konsumsi ikan dewasa ini adalah
peningkatan padat tebar dengan diiringi oleh pemberian pakan buatan pada
budidaya intensif akan turut pula meningkatkan jumlah buangan limbah yang
dihasilkan dari budidaya tersebut, yaitu proses metabolisme seperti urin maupun
feses dan sisa pakan yang tidak termakan (Read dan Fernandes 2003). Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air akibat dari akumulasi sisa
metabolisme dan sisa pakan, sehingga terjadi penurunan produktivitas kolam
budidaya. Di sisi lain, apabila limbah dari aktivitas budidaya tersebut dialirkan
langsung ke badan air di sekitarnya misalnya sungai ataupun danau dapat
menimbulkan eutrofikasi.
Limbah akuakultur yang masuk ke lingkungan akuatik terdiri dari nutrien,
berbagai macam bahan organik dan anorganik seperti ammonium, fosfor, karbon
organik terlarut dan bahan organik (Piedrahita 2003; Sugiura et al. 2006).
Menurut Frid dan Dobson (2002), dari 100% pakan yang diberikan hanya sekitar
80% saja yang dikonsumsi, sedangkan sisanya 20% akan terbuang (tidak
termakan). Dari 80% yang dikonsumsi, hanya sekitar 25% saja yang diretensi,
sedangkan sisanya 10% akan terbuang melalui feses dan 65% akan terekskresi
sebagai urin. Lebih lanjut Li et al. (2001) menyebutkan bahwa pada sistem
budidaya intensif ikan nila, nutrien yang dikeluarkan sekitar 62 – 73% total N dan
55 – 70% total P terbagi ke dalam bentuk partikel dan terlarut. Semua limbah
yang dihasilkan baik dari sisa pakan maupun feses dan urin dapat meningkatkan
kandungan bahan organik terlarut maupun tersuspensi yang dapat berdampak
negatif terhadap ikan bahkan pada dosis tertentu bersifat toksik. Disamping itu,
limbah N dan P dapat mempengaruhi parameter kualitas air seperti menurunnya
konsentrasi kandungan oksigen terlarut, dan meningkatnya konsentrasi karbon
dioksida, ammonia, nitrit dan nitrat. Parameter kualitas air yang cukup
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan sintasan adalah nitrit, nitrat, ammonia,
oksigen terlarut dan fosfat (Frid dan Dobson 2002; Benli dan Koksal 2005;
Voslarova et al. 2008).
Menurut Helfrich dan Libey (1991), sistem akuakultur dengan resirkulasi
(RAS) mewakili cara baru dan unik dalam budidaya ikan. Bila dibandingkan
dengan metode tradisional yakni budidaya ikan di kolam dengan ruangan terbuka
menggunakan tangki di dalam ruangan dengan lingkungan yang terkontrol. Sistem
resirkulasi memfilter dan membersihkan air untuk digunakan kembali ke dalam
tangki pemeliharaan ikan. Pada sistem ini air bisa digunakan lebih efisien dan
memungkinkan untuk produksi ikan sepanjang tahun yang lebih intensif. Sistem
ini juga mempertahankan kualitas air dan suhu dalam kisaran yang aman dan
dapat diterima untuk menunjang kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
reproduksi ikan (Van Gorder 1994). Jika dibandingkan dengan metode budidaya
tradisional, sistem resirkulasi menggunakan air yang lebih sedikit (kira-kira 250 –
1000 L untuk produksi 1 kg ikan) dan dioperasikan dengan pembuangan effluent
yang lebih sedikit, namun sebenarnya sistem ini masih dapat menimbulkan
dampak terhadap lingkungan seperti konsentrasi bahan organik atau nutrien
(terutama nitrogen anorganik dan fosfor) pada effluent yang tinggi (Shnel et al.
2002).
Salah satu cara yang selama ini banyak dilakukan dalam pengelolaan
konsentrasi effluent yang tinggi terhadap bahan organik dan nutrient adalah
dengan cara biologi yang dikenal dengan sistem biofilter. Filter biologis (biofilter)
banyak digunakan untuk air tawar dan air laut (Hovanec and DeLong 1996;
Gutierrez-Wing and Malone 2006; Malone and Pfeiffer 2006). Biofilter dapat
memanfaatkan tumbuhan, hewan air dan bakteri pengurai yang berperan sebagai
penyaring bahan-bahan yang tidak berguna. Penanggulangan kualitas air secara
biologis merupakan salah satu alternatif yang paling tepat dan efisien, karena
pengelolaannya memanfaatkan organisme yang dapat mengakumulasi dan
mendegradasi bahan pencemar serta tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan. Sistem biofilter menggunakan organisme hidup seperti kerang air
tawar dapat mengurangi konsentrasi bahan organik yang tersuspensi, dapat
menekan limbah N dan P, menjaga kualitas air tetap stabil dan buangan limbah
akan berkurang ke badan air di sekitarnya (Nugroho 2006).
Biofilter dalam resirkulasi menggunakan kerang air tawar perlu
dilakukan pengkajian yang lebih mendalam khususnya dalam menyisihkan limbah
Perumusan Masalah
Permasalahan yang timbul dari adanya budidaya ikan nila dengan sistem
intensif adalah penurunan kualitas air akibat adanya buangan limbah berupa urin,
feses dan sisa pakan yang tidak termakan.
Apabila merunut capaian produksi ikan nila di Bogor pada tahun 2009
yakni sebesar 1092,59 ton, maka menurut Frid dan Dobson (2002), dari 100%
pakan yang diberikan akan menghasilkan 6,54 ton pakan yang tidak termakan,
2,62 ton feses dan 17,04 ton urin. Lebih lanjut menurut Li et al. (2001), produksi
sebesar itu akan menghasilkan 20,32 ton – 23,92 ton total N dan 18,02 – 22,94 ton
total P. Dengan sedemikian banyaknya limbah yang dihasilkan dari pemberian
pakan secara intensif, maka secara langsung akan meningkatkan limbah yang
dihasilkan dalam budidaya tersebut.
Limbah yang dihasilkan dari sistem budidaya intensif dapat menurunkan
kualitas air yang selanjutnya dapat menyebabkan eutrofikasi baik di lingkungan
budidaya maupun di perairan sekitarnya. Hal ini dapat berdampak pada penurunan
produktivitas kolam budidaya karena akan menimbulkan kematian ikan.
Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas adalah
dengan menggunakan biofilter dalam sistem budidaya. Biofilter dapat
menggunakan tanaman maupun hewan air. Jenis hewan air seperti kijing atau
kerang air tawar tergolong filter feeder, yaitu jenis hewan yang mendapatkan
makanan dengan jalan menyaring air yang masuk ke dalam tubuhnya. Menurut
Nugroho (2006), kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) memiliki potensi untuk
mengatasi pencemaran bahan organik di perairan seperti danau atau waduk yang
sudah eutrof. Paramater kualitas air seperti TSS dan TOM dapat ditekan dan
mengalami penurunan.
Beberapa penelitian mengenai potensi kerang air tawar telah dilakukan di
Indonesia, antara lain biologi reproduksinya di daerah tropik (Widarto 1996);
struktur komunitas dan indeks kondisinya di Sukabumi (Ibrahim 2010); sebagai
biofilter logam berat (Untari 2001; Sembiring 2009), sebagai biomonitor
biofilter bahan organik di perairan waduk (Komarawidjaja et al. 2005;
Sulistiawan 2007).
Dengan semakin terbatasnya air dan lahan yang dapat digunakan dalam
budidaya, sistem resirkulasi menggunakan kerang air tawar sebagai biofilter
merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam budidaya intensif. Limbah N
dan P pada media pemeliharaan ikan dapat dikurangi dengan bantuan kerang air
tawar, oleh karena itu diperlukan informasi seberapa besar efisiensi penyisihannya
sehingga air yang digunakan dalam sistem resirkulasi dapat mendukung
kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan kepadatan
kerang air tawar yang optimal dalam menyisihkan limbah N dan P dari budidaya
ikan nila menggunakan sistem resirkulasi.
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan dasar untuk menurunkan
limbah N dan P dalam budidaya ikan nila dan memaksimalkan peran kerang air
tawar sebagai salah satu komoditas perikanan air tawar.
Hipotesis
Jika kepadatan kerang air tawar optimal maka limbah N dan P dari
budidaya ikan nila dengan sistem resirkulasi akan minimal sehingga dapat
TINJAUAN PUSTAKA
Ikan nila (Oreochromis niloticus)
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan yang diintroduksi
dari luar negeri. Ikan nila termasuk ke dalam genus Oreochromis, karena
golongan ikan ini mempunyai sifat yang unik setelah memijah yakni induk betina
mengerami telur yang telah dibuahi di dalam mulutnya. Menurut Suyanto (2009)
klasifikasi lengkap ikan nila adalah:
Filum : Chordata
Kelas : Osteichthyes
Ordo : Percomorphi
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Species : Orochromis niloticus
Ikan nila mampu tumbuh cepat hanya dengan pakan yang mengandung
protein sebanyak 20-25%. Ikan nila dapat memijah sepanjang tahun. Apabila
induk ikan dipelihara dengan baik dan diberi pakan yang berkualitas maka ikan
nila dapat memijah setiap 1,5 bulan sekali. Apabila persediaan pakan dalam
habitat ikan nila sebanding dengan jumlah ikan maka pertumbuhan akan semakin
cepat. Ikan nila mempunyai sifat yang menguntungkan yakni nila lebih efisien
menggunakan pakan, bersifat omnivora, cepat pertumbuhannya, berdaging tebal,
dan rasa dagingnya mirip dengan kakap merah (Suyanto 2009).
Ikan nila memiliki eurihaline yang menyebabkan ikan nila dapat hidup di
dataran rendah yang berair tawar hingga perairan bersalinitas, sehingga
pembudidayaannya sangat mudah. Nila dapat hidup di lingkungan air tawar, air
payau, dan air asin. Kadar garam air yang disukai antara 0 – 35 ‰ (Watanabe
Kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis)
Pilsbryoconcha exilis termasuk ke dalam filum moluska. Ciri umum dari
filum ini mempunyai bentuk tubuh bilateral atau simetri, tidak beruas-ruas, tubuh
lunak dan ditutupi mantel yang menghasilkan zat kapur, bentuk kepala jelas,
bernapas dengan paru-paru atau insang (Gambar 1). Tubuhnya berbentuk pipih
secara lateral dan memiliki dua cangkang (valve) yang berengsel dorsal dan
menutupi seluruh tubuh membuatnya termasuk ke dalam kelas Pelecypoda. Famili
Unionidae pada umumnya banyak ditemukan di kolam-kolam, danau, sungai, situ
atau perairan-perairan tawar lainnya (Suwignyo et al. 1981).
Klasifikasi kijing lokal adalah sebagai berikut:
Filum : Moluska
Kelas : Pelecypoda (Bivalvia)
Famili : Unionidae
Genus : Pilsbryoconcha
Spesies : Pilsbryoconcha exilis Lea
Kijing terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu mantel, insang, dan organ
dalam. Mantel menggantung di seluruh tubuh, dan membentuk lembaran yang
luas dari jaringan yang berada di bawah cangkang. Tepi mantel menghasilkan tiga
lipatan yaitu dalam, tengah, dan luar. Otot radial dan circular terdapat pada
lapisan dalam, lapisan tengah berfungsi sebagai sensori, dan lapisan luar terdapat
cangkang. Seluruh permukaan mantel mensekresi zat kapur. Kijing memakan
detritus, alga bersel satu, dan bakteri. Proses yang terjadi terhadap makanan yang
masuk ke dalam tubuhnya (Suwignyo et al. 1998) adalah sebagai berikut:
1. Makanan masuk melalui sifon inhalant akan dijebak pada insang karena hanya
mukus yang dihasilkan oleh kelenjar hypobranchial.
2. Zat makanan ini akan dialirkan ke mulut oleh sistem silia yang berkembang
dengan baik, yang dikhususkan mengambil makanan dari permukaan insang
menuju mulut. Kemudian makanan akan disortir oleh palp yang mengelilingi
mulut yang mampu membedakan antara makanan dengan kerikil atau pasir,
3. Kerikil atau pseudofeces akan dikeluarkan oleh sifon exhalant, makanan
ditransformasikan ke mulut.
4. Bagian ventral dari perut atau style sac berisi crystalline sac merupakan
mucopolysaccharide yang memproyeksikan makanan ke perut. Sel-sel yang
mensekresikan enzim-enzim pencernaan terdapat pada style sac. Sel-sel pada
style sac tersebut mempunyai cillia yang secara perlahan memutari style sac,
gerakan rotasi ini berlangsung pada chitinous plate (gastric shield).
5. Gerakan rotasi ini akan mengakibatkan bercampurnya kandungan perut dan
kemudian makanan akan hancur secara mekanis. Material yang tidak dicerna
akan dibuang melalui anus sebagai feses.
Gambar 1. Kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis)
Kijing bersifat filter feeder, mekanisme makan bergabung dengan
mekanisme pernafasan. Zat-zat makanan seperti fitoplankton serta organisme
mikroskopik lain akan ikut tersaring dan kemudian diubah menjadi jaringan tubuh
ketika kijing menyaring air.
Kijing lokal menyukai perairan yang dalam dengan kecerahan yang tinggi,
mengandung bahan organik total yang tinggi dan substrat liat atau berlumpur.
Pola distribusinya memencar dengan populasi berkelompok pada habitatnya.
oksigen, endapan lumpur, dan fluktuasi permukaan air (Prihartini 1999). Kijing
familia Unionidae bermanfaat secara ekologis karena mampu menjernihkan air
berkat efisiensinya menyaring partikel-partikel tersuspensi dan alga. Selain itu,
kerang Unionidae memiliki potensi ekonomis yaitu sebagai bahan pangan sumber
protein bagi manusia, sumber pakan ternak, industri kancing dan penghasil
mutiara (Prihartini 1999) serta komoditas budidaya perikanan darat (Suwignyo et
al. 1998). Tepung dari daging kijing juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
fortifikasi dalam pembuatan kerupuk (Mathlubi 2006).
Volume air yang dapat disaring oleh kerang adalah 1,44 liter/individu
dewasa/jam. Makanan yang masuk bersama air tadi digerakkan, diperas, lalu
dicerna dengan bantuan cilia (rambut getar) pada tubuhnya. Cilia mampu bergerak
2-20 kali per detik. Makanan kerang dapat berupa zooplankton, fitoplankton,
bakteri, flagellate, protozoa, detritus, alga, dan berbagai zat yang tersuspensi
dalam perairan tempat tinggalnya. Umumnya kijing dapat mengatur tingkat
metabolisme oksigen dengan baik sehingga masih dapat hidup pada keadaan
dengan kadar oksigen dalam air sangat sedikit (Hart dan Fuller 1974).
Keistimewaan dari kerang adalah perkembangbiakannya yang cepat. Di daerah
tropis seperti Indonesia, kerang dapat berkembang biak sepanjang tahun. Sekali
berkembang biak keturunannya bisa 300.000 individu (Suwignyo 1975).
Sementara itu menurut Suhardjo (1977), setiap kali memijah kerang dapat
menghasilkan telur sebanyak 369.227-458.000 butir. Karena daya tahan hidupnya
yang tinggi dan jumlahnya yang berlimpah ini, maka kerang layak
dipertimbangkan sebagai alternatif untuk mengatasi pencemaran perairan akibat
polutan termasuk logam berat.
Kajian mengenai peranan hewan filter feeder sebagai biofilter dalam
pengelolaan limbah telah banyak dilakukan. Hamsiah (2000) menyatakan bahwa
keong bakau (Telescopium telescopium L.) dapat digunakan sebagai biofilter
dalam pengelolaan limbah budidaya tambak udang intensif. Keberadaan keong
bakau yang dipelihara dalam limbah budidaya berpengaruh terhadap parameter
kualitas air (fisika, kimia dan biologi) yaitu kadar padatan tersuspensi total (TSS)
(fisika), kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), nitrit, nitrat (kimia) dan populasi
Limbah N dan P
Nitrogen
Ikan dapat memanfaatkan protein dengan sangat efisien, meskipun
faktanya ikan menggunakan bagian yang penting dari protein yang dapat dicerna
untuk tujuan mendapatkan energi, dan memproduksi buangan nitrogen dalam
jumlah yang besar (Dosdat et al. 1996). Seperti sudah diketahui bahwa pemberian
pakan dengan asam amino yang berlebih dapat menyebabkan katabolisme asam
amino disertai dengan ekskresi ammonia dalam jumlah besar. Dalam hal ini
keseimbangan antara protein yang dapat dicerna dan energi yang dapat dicerna
dalam pakan juga penting. Produk akhir yang utama dari metabolisme protein
pada ikan teleost adalah ammonia.
Secara alami limbah budidaya ikan akan menghasilkan ammonia (NH3)
dari pakan yang tidak termakan, urin dan feses. Amonia melalui proses nitrifikasi
akan berubah bentuk menjadi nitrit dan nitrat. Amonia dan nitrit bersifat racun
dan dapat menghambat pertumbuhan ikan, sedangkan nitrat tidak berbahaya dan
dapat dimanfaatkan bagi tumbuhan. Proses perubahan ammonia menjadi nitrit dan
nitrat melibatkan bakteri Nitrosomonas sp. dan Nitrobacter sp.
Produksi ammonia pada ikan terutama tergantung pada protein yang
masuk dan efisiensi metabolisme dari ikan, dimana species-spesifik dan
dipengaruhi oleh tingkat kelarutan ammonia dalam air.
Jenis ikan air tawar biasanya mengeluarkan total ammonia nitrogen (TAN)
yang lebih banyak dibandingkan dengan ikan air laut (Jobling 1995). Boyd (1988)
menyatakan bahwa kadar NH3 0,2-2,0 mg/l dalam waktu singkat bersifat racun
bagi ikan dan NH3 sudah berbahaya pada konsentrasi 0,04 mg/l, karena dapat
menurunkan kapasitas darah untuk membawa oksigen sehingga jaringan akan
kekurangan oksigen. Konsentrasi ammonia (NH3
Kapasitas penggunaan protein pada ikan berbeda tergantung jenis ikan,
stadia hidup, dan ada hubungan yang kuat antara tingkat protein pada makanan
dan produksi ammonia N (Begum et al. 1994). Protein biasanya mengandung
) yang diizinkan untuk budidaya
16% N (NRC 1993). Produksi ammonia dipengaruhi oleh hubungan protein atau
energi dan keseimbangan asam amino dalam pakan (Kaushik 1998). Pakan yang
diformulasikan dengan sumber protein dengan profil asam amino yang rendah
akan menghasilkan ekskresi ammonia yang lebih tinggi.
Fosfor
Di perairan umum fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai
elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan
polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Fosfor berbentuk
kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, besifat tidak larut, dan
mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh alga akuatik.
Fosfor berperan dalam transfer energi di dalam sel, misalnya yang terdapat pada
ATP (Adenosine Triphosphate) dan ADP (Adenosine Diphosphate). Ortofosfat
yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat adalah bentuk fosfor yang
paling sederhana di perairan (Boyd 1988). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor
yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan
polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu,
sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Setelah masuk ke dalam
tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi
organofosfat. Fosfat yang berkaitan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut
dan mengendap di dasar perairan. Saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi
tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang
bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan
keberadaan fosfat di perairan (Brown 1987).
Fosfor total menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat
maupun terlarut, anorganik maupun organik. Fosfor organik biasanya disebut
soluble reactive phosphours, misalnya ortofosfat. Fosfor organik banyak terdapat
pada perairan yang banyak mengandung bahan organik. Oleh karena itu, pada
perairan yang memiliki kadar bahan organik tinggi sebaiknya ditentukan juga
Unsur fosfor berubah bentuk secara terus-menerus, akibat proses
dekomposisi dan sintesis antara bentuk organik dan bentuk anorganik yang
dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk
ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu. Pada suhu yang mendekati titik
didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini
meningkat dengan menurunnya nilai pH. Perubahan polifosfat menjadi ortofosfat
pada air limbah yang mengandung bakteri berlangsung lebih cepat dibandingkan
dengan perubahan yang terjadi pada air bersih. Keberadaan fosfor diperairan
alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit dari pada kadar
nitrogen, karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber
nitrogen di perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan
mineral, misalnya fluorapatite [Ca5-(PO4)3F], hydroxylapatite [Ca5-(PO4)3OH],
strengite [Fe(PO4)2H2O], whitlockite [Ca3-(PO4)2], dan berlinite (AIPO4). Selain
itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik
fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari
detergen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga
memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi 2003).
Fosfor adalah nutrisi mineral penting karena dibutuhkan untuk
pertumbuhan, mineralisasi tulang, reproduksi, sintesis asam nukleat, dan
metabolisme energi. Tanda-tanda kekurangan fosfor seperti mengurangi
pertumbuhan tulang dan kelainan bentuk dan kuantitatif persyaratan telah
ditentukan untuk beberapa jenis ikan. Seperti fosfat rendah di sebagian besar
lingkungan perairan, sumber utama fosfor terutama berasal dari daging atau
premixes, tulang ikan dan tanaman. Bentuknya sangat beragam, namun umumnya
anorganik (kalsium dan kalium garam) dan organik (fosfolipid) yang ditemukan
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 – Juni 2011 di
Instalasi Riset Lingkungan Perikanan Budidaya dan Toksikologi, Cibalagung,
Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang air tawar
(Pilsbryoconcha exilis) dengan berat total 91,44 ± 11,08 gram/individu, panjang
total 11,56 ± 0,55 cm/individu, lebar 5,94 ± 0,41 cm/individu dan tebal 2,31 ± 0,2
cm/individu. Ikan nila yang digunakan berukuran rata-rata 10 ± 0,83 gram/ekor.
Wadah percobaan adalah akuarium berukuran 70x40x45 cm sebanyak 12
buah yang diisi air sebanyak 100 liter sebagai wadah budidaya ikan nila, dan bak
fiber berukuran 50x30x30 cm sebanyak 12 buah yang diisi air sebanyak 30 liter
sebagai wadah filter yang berisi kerang air tawar. Akuarium pemeliharaan ikan
nila dan bak fiber berisi kerang di desain dengan resirkulasi. Pakan yang diberikan
pada ikan nila adalah pakan komersil yang lazim diberikan oleh pembudidaya
dengan kadar protein 27%.
Prosedur Penelitian Persiapan Penelitian
Hewan uji berupa ikan nila yang digunakan dalam penelitian ini di
aklimatisasi terlebih dahulu selama 7 hari sebelum perlakuan. Kerang air tawar
yang digunakan pada penelitian ini dibersihkan dari lumpur yang menempel lalu
kerang di aklimatisasi selama 7 hari. Air dalam akuarium yang akan digunakan
sebagai wadah budidaya ikan nila di aerasi terlebih dahulu selama 24 jam untuk
Penelitian Utama
Ikan nila berukuran rata-rata 10 gram dengan kepadatan 50 ekor dipelihara
pada akuarium dengan volume 100 L. Ikan diberi makan dengan feeding rate
3-5% dan frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari. Kerang air tawar diletakkan
dalam bak fiber dengan volume 30 L dan tidak diberi pakan tambahan. Akuarium
pemeliharaan ikan nila dan bak fiber berisi kerang air tawar di disain dengan
sistem resirkulasi. Sampling dilakukan dengan interval waktu 7 hari dan
pemeliharaan ikan nila dilakukan selama 42 hari.
Rancangan Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang diberikan yaitu:
A : Tanpa kerang air tawar
B : Kepadatan kerang : 30 individu
C : Kepadatan kerang : 60 individu
D : Kepadatan kerang : 90 individu
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati adalah pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan
nila dan kerang air tawar, total N, total P, bahan organik total (TOM), padatan
tersuspensi total (TSS), oksigen terlarut, pH dan suhu serta kandungan N dan P
dalam pakan ikan nila, tubuh ikan nila dan dalam daging kerang air tawar.
Adapun parameter yang diukur, metode dan alat yang digunakan selama
Tabel 1. Metode dan Alat pengukuran Parameter Pengamatan
Parameter Pengamatan
Metode Alat yang digunakan
Total N pada Air (mg/l) APHA,Ed.21,2005,4500-N-C Spektrofotometer
Total P pada Air (mg/l) Standard Methods 424 C Spektofotometer
Bahan Organik Total (TOM) (mg/l)
SNI 06-6989.22-2004 Spektrofotometer
Padatan tersuspensi total (TSS) (mg/l)
APHA, Ed.21, 2005, 2540-D Gravimetri
Kekeruhan (NTU) APHA,Ed.21,2005,2130-B Turbidimeter
Suhu (°C) SNI 06-6989.23-2004 DO meter
pH SNI-06-6989.11-2004 pHmeter
Oksigen terlarut (mg/l) SNI 06-6989.14-2004 DO meter
Total N pada Ikan dan Kerang (%)
AOAC 1995 Semi mikro Kjedahl
Total P pada Ikan dan Kerang (%)
AOAC 2003 Spektrofotometer
Evaluasi Parameter
1. Efisiensi penyisihan limbah di dalam air yang masuk ke bak fiber dan yang
keluar bak fiber (Drennan et al. 2006; Eding et al. 2006):
% Polutan removal = (Polutan in – Polutan out) x 100%
Polutan in
Keterangan:
Polutanin = Polutan air yang masuk ke bak fiber
Polutanout = Polutan air yang keluar dari bak fiber.
2. Retensi N dan P oleh ikan nila dan kerang air tawar (Lorena et al. 2008):
3. Laju pertumbuhan harian ikan nila dan kerang air tawar (Huismann 1976):
α = - 1 x 100
Keterangan:
α = Laju Pertumbuhan Harian Individu (%)
Wt = Bobot rata-rata ikan nila dan kerang pada akhir pengamatan (g) Wo = Bobot rata-rata ikan nila dan kerang pada awal pengamatan (g) t = Waktu pengamatan (hari)
4. Kelangsungan hidup ikan nila dan kerang air tawar (Zonneveld et al. 1991):
SR = Nt x 100% No
Keterangan:
SR = “Survival Rate”/ Tingkat Kelangsungan Hidup (%); Nt = Jumlah ikan nila dan kerang pada akhir penelitian (ekor); No = Jumlah ikan nila dan kerang pada awal penelitian (ekor).
Analisis Data
Data kelangsungan hidup ikan dan kerang, pertumbuhan ikan nila,
efisiensi penyisihan Total N, Total P, TOM dan TSS dianalisa dengan
menggunakan analisis ragam menggunakan SPSS versi 17 dan dilanjutkan dengan
uji Duncan untuk melihat pengaruh antar perlakuan terhadap masing-masing
peubah yang diamati (Steel and Torrie 1991).
Retensi pada ikan dan kerang, laju pertumbuhan panjang dan bobot
kerang, rasio daging dan cangkang pada kerang dan kualitas air disajikan dalam
Hasil
Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Ikan Nila
Kelangsungan hidup ikan nila tertinggi selama penelitian adalah pada
perlakuan C (100%) diikuti oleh perlakuan B dan D (98,67%), kemudian
perlakuan A (94,33%) (Gambar 2). Hasil uji statistik juga menunjukkan bahwa
kepadatan kerang perlakuan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan nila
(P<0,05).
Gambar 2. Kelangsungan hidup ikan nila pada setiap perlakuan selama penelitian
Laju pertumbuhan bobot dan panjang harian ikan nila dapat dilihat pada
Gambar 3. Berdasarkan uji statistik, kepadatan kerang perlakuan berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan ikan nila (P<0,05).
Efisiensi Penyisihan
Efisiensi penyisihan Total N, Total P, kandungan bahan organik (TOM)
dan padatan tersuspensi total (TSS) yang dihasilkan selama penelitian dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Efisiensi penyisihan air yang masuk dan keluar bak fiber pada setiap perlakuan selama penelitian: a). Total N, b). Total P, c). TOM, d). TSS
Efisiensi penyisihan Total N yang masuk ke bak fiber dan yang keluar bak
fiber tertinggi adalah pada perlakuan C (kepadatan kerang 60 individu) yaitu
sebesar 29.56% diikuti oleh perlakuan D (kepadatan kerang 90 individu) sebesar
25.39%, B (kepadatan kerang 30 individu) sebesar 16.69% dan A (tanpa kerang)
sebesar 3.23% (Gambar 4). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan
kerang perlakuan berpengaruh terhadap efisiensi penyisihan Total N dari air yang
masuk ke bak fiber dan yang keluar bak fiber (P<0,05).
Efisiensi penyisihan Total P yang masuk ke bak fiber kerang dan yang
keluar bak fiber tertinggi adalah pada perlakuan D (kepadatan kerang 90 individu) a)
d) c)
yaitu sebesar 55,25% diikuti oleh perlakuan C (kepadatan kerang 60 individu)
sebesar 42,33%, B (kepadatan kerang 30 individu) sebesar 30,21% dan A (tanpa
kerang) sebesar 4,31% (Gambar 4). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
kepadatan kerang perlakuan berpengaruh terhadap efisiensi penyisihan Total P
dari air yang masuk ke bak fiber dan yang keluar bak fiber (P<0,05).
Efisiensi penyisihan TOM yang masuk ke bak fiber kerang dan yang
keluar bak fiber tertinggi adalah pada perlakuan C (kepadatan kerang 60 individu)
yaitu sebesar 22.57% diikuti oleh perlakuan D (kepadatan kerang 90 individu)
sebesar 17.40%, B (kepadatan kerang 30 individu) sebesar 11.75% dan A (tanpa
kerang) sebesar 6.27% (Gambar 4). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
kepadatan kerang perlakuan berpengaruh terhadap efisiensi penyisihan bahan
organic (TOM) dari air yang masuk ke bak fiber dan yang keluar bak fiber
(P<0,05).
Efisiensi penyisihan TSS yang masuk ke bak fiber kerang dan yang keluar
bak fiber tertinggi adalah pada perlakuan C (kepadatan kerang 60 individu) yaitu
sebesar 31.74% diikuti oleh perlakuan D (kepadatan kerang 90 individu) sebesar
25.39%., B (kepadatan kerang 30 individu) sebesar 20.54% dan A (tanpa kerang)
sebesar 14.29% (Gambar 4). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kepadatan
kerang perlakuan berpengaruh terhadap efisiensi penyisihan TSS dari air yang
masuk ke bak fiber dan yang keluar bak fiber (P<0,05).
Retensi N dan P oleh Kerang Air Tawar
Retensi N tertinggi oleh kerang berturut-turut adalah pada perlakuan C
(535,83), D (361,38%), B (290,65%) dan A (248,56%) sedangkan retensi P oleh
ikan nila berturut-turut adalah pada perlakuan D (644,77%), B (556,80%), A
Gambar 5. Retensi N dan P oleh kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis)
Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Kerang Air Tawar
Kelangsungan hidup kerang air tawar tertinggi adalah pada perlakuan B
(98,89%) diikuti oleh perlakuan C (88,33%) dan D (80,89%) (Gambar 6).
Berdasarkan uji statistik, kepadatan kerang perlakuan mempengaruhi
kelangsungan hidup kerang (P<0,05).
Gambar 6. Kelangsungan hidup kerang air tawar pada setiap perlakuan selama penelitian
Laju pertumbuhan panjang, lebar, tebal dan berat kerang air tawar dapat
dilihat pada Gambar 7. Kepadatan kerang perlakuan tidak berpengaruh terhadap
Gambar 7. Laju pertumbuhan panjang, lebar, tebal dan berat kerang air tawar pada setiap perlakuan selama penelitian
Rasio Daging dan Cangkang pada Kerang Air Tawar
Data rasio antara daging dan cangkang pada kerang air tawar setelah
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Rasio Daging dan Cangkang pada Kerang Air Tawar
Retensi N dan P oleh Ikan Nila
Retensi N tertinggi oleh ikan nila berturut-turut adalah pada perlakuan C
(535,83), D (361,38%), B (290,65%) dan A (248,56%) sedangkan retensi P oleh
ikan nila berturut-turut adalah pada perlakuan D (644,77%), B (556,80%), A
Gambar 9. Retensi N dan P oleh ikan nila (Oreochromis niloticus)
Data Kualitas Air
Data kualitas air yang meliputi suhu, pH dan Oksigen terlarut pada
akuarium pemeliharaan ikan nila dan bak filter kerang selama penelitian dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kisaran nilai kualitas air pada akuarium ikan nila dan bak filter kerang
Parameter kualitas air Kepadatan Kerang (individu)
0 30 60 90
Akuarium
Suhu (⁰C) 27.5-31.20 29.2-31.00 30.1-31.00 29.4-30.5
pH 6.23-7.80 7.17-7.79 7.11-7.74 7.27-7.64
DO (mg/l) 0.81-4.66 1.19-3.47 1.47-5.00 1.42-4.17
Bak filter
Suhu (⁰C) 28.3-31.5 29.6-31.2 30.1-31.2 29.5-30.9
pH 7.02-7.78 7.16-7.76 7.27-7.76 7.36-7.6
DO (mg/l) 0.6-4.13 1.1-3.36 1.47-4.53 1.29-3.56
Data kekeruhan pada akhir penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah
ini.
Tabel 3. Data kekeruhan (NTU) di akuarium dan bak filter pada akhir penelitian
Lokasi Kepadatan Kerang (individu)
0 30 60 90
Akuarium 27,8 13,8 11,7 31,3
Pembahasan
Limbah adalah sisa suatu usaha atau kegiatan, yang mengandung bahan
berbahaya atau beracun yang karena sifat, konsentrasi, atau jumlahnya, baik
secara langsung atau tidak langsung akan dapat membahayakan lingkungan,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia atau makhluk hidup lainnya (Mahida
1984). Nitrogen (N) dan Fosfor (P) adalah limbah metabolisme utama yang
diproduksi oleh ikan dalam budidaya perikanan intensif. Pelepasan kedua elemen
ini terhadap sistem akuakultur dapat menyebabkan eutrofikasi dan mengakibatkan
perubahan dalam sistem akuatik selanjutnya dapat menyebabkan penurunan
produktivitas kolam budidaya. Tingkat penggunaan N dan P dalam pakan ikan
dan keefisienan penggunaannya mempengaruhi pelepasan nutrien ini ke
lingkungan (Lazzari dan Baldisserotto 2008) sedangkan ikan menggunakan
protein untuk mendapatkan energi, tidak seperti halnya hewan terrestrial yang
banyak menggunakan karbohidrat dan lipid (Hepher 1988).
Kebutuhan protein ikan sekitar dua sampai tiga kali lebih tinggi
dibandingkan dengan mamalia. Hal inilah yang menyebabkan pelepasan limbah
protein yang berasal dari pakan ikan yang diberikan akan banyak terbuang ke
perairan budidaya maupun ke lingkungan sekitarnya. Produk akhir yang utama
dari metabolisme protein pada ikan teleost adalah amonia. Melalui proses
nitrifikasi dengan bantuan bakteri Nitrosomonas sp. amonia akan diubah menjadi
nitrit dan selanjutnya dengan bantuan bakteri Nitrobacter sp. akan diubah menjadi
nitrat. Produksi amonia pada ikan terutama tergantung pada protein yang masuk
dan efisiensi metabolisme dari ikan, dimana species-spesifik dan dipengaruhi oleh
tingkat kelarutan ammonia dalam air.
Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik.
Nitrogen anorganik terdiri atas ammonia (NH3), ammonium (NH4), nitrit (NO2),
nitrat (NO3), dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Nitrogen organik
berupa protein, asam amino dan urea. Beberapa organisme akuatik dapat
memanfaatkan nitrogen dalam bentuk gas, akan tetapi sumber utama nitrogen di
nitrogen anorganik yang bersifat larut dan nitrogen organik yang berupa partikulat
yang tidak larut dalam air.
Ikan dalam komposisi zat gizinya juga membutuhkan mineral dalam
campuran pakannya agar ikan dapat tumbuh dengan baik. Mineral merupakan
unsur anorganik yang dibutuhkan oleh organisme perairan (ikan) untuk proses
hidupnya secara normal. Ikan sebagai organisme air mempunyai kemampuan
untuk menyerap beberapa unsur anorganik ini, tidak hanya dari makanannya saja
tetapi juga dari lingkungan. Jumlah mineral yang dibutuhkan oleh ikan sangat
sedikit tetapi mempunyai fungsi yang sangat penting. Dalam penyusunan pakan
buatan, mineral yang dicampur biasanya berkisar di antara 2- 5% dari total jumlah
bahan baku dan bervariasi bergantung pada jenis ikan yang akan
mengkonsumsinya. Walaupun sangat sedikit yang dibutuhkan oleh ikan, mineral
ini mempunyai fungsi yang sangat utama dalam tubuh ikan antara lain merupakan
bagian terbesar dari pembentukan struktur kerangka, tulang, gigi, dan sisik.
Mineral yang terkandung dalam tubuh ikan tergantung dari umur dan
mineral yang diperoleh. Salah satu makromineral yang dibutuhkan oleh ikan
adalah fosfat. Kebutuhan fosfat dalam formulasi pakan ikan hanya sekitar 0,7%
pakan ikan per kilogram. Gejala kekurangan fosfor pada ikan dapat menghambat
pertumbuhan, kelainan tulang, efisiensi pakan rendah (Wiramiharja et al. 2007).
Penambahan fosfat dalam pakan ikan akan turut pula meningkatkan buangan
limbah fosfat dalam perairan. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai
dengan keberadaan nitrogen dapat menyebabkan ledakan pertumbuhan alga di
perairan (algae bloom), yang selanjutnya dapat berdampak pada penetrasi oksigen
dan cahaya matahari yang masuk ke perairan dan dapat menghambat pertumbuhan
ikan.
Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai
elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan
polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Ortofosfat merupakan
bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik,
sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih
menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut,
anorganik maupun organik.
Fosfor merupakan komponen biokimia sebagai pengubah energi di dalam
sel dan terdapat dalam bentuk adenosin fosfat, yang sangat diperlukan dalam
kehidupan sel. Kekurangan fosfor akan menghambat metabolisme secara
keseluruhan, sehingga menyebabkan penurunan pertumbuhan biomassa.
Sementara itu, nitrogen adalah merupakan bagian dari struktur protein dan asam
amino yang penting untuk kehidupan.
Limbah N dan P yang terbuang ke perairan dapat dimanfaatkan oleh
hewan jenis filter feeder seperti kerang air tawar (Pilsbryoconcha exilis).
Kebiasaan makan kerang air tawar yaitu menyaring makanan yang masuk ke
dalam tubuhnya yakni berupa diatom, alga/fitoplankton, paramecium, protozoa,
zooplankton, karapas dari krustacea kecil, bakteri, detritus dan berbagai zat
tersuspensi (Allen 1914). Ukuran makanan yang dapat disaring oleh kerang air
tawar yakni 0,1 – 50 mm dan dapat menyaring air sebanyak 24 ml/menit/ekor.
Daging kerang mengandung asam lemak tak jenuh EPA dan DHA yang
dapat meningkatkan kecerdasan otak, dan mengandung asam amino esensial
(arginin, leusin dan lisin) (Suwignyo et al. 1981). Lebih lanjut kerang dari famili
Unionidae ini bermanfaat secara ekologis karena mampu menjernihkan air berkat
efisiensinya menyaring partikel-partikel tersuspensi dan alga.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kerang sebanyak 60
individu adalah yang terbaik menghasilkan kelangsungan hidup ikan nila yakni
sebanyak 100%. Demikian pula dengan laju pertumbuhan panjang dan bobot
harian ikan nila tertinggi didapat oleh perlakuan dengan kepadatan kerang 60
individu. Lebih lanjut Frid dan Dobson (2002); Benli dan Koksal (2005);
Voslarova et al. (2008) menyebutkan bahwa parameter kualitas air yang cukup
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan sintasan adalah nitrit, nitrat, ammonia,
oksigen terlarut dan fosfat. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan kepadatan
kerang sebanyak 60 individu adalah yang terbaik dalam menurunkan buangan
limbah yang dihasilkan oleh ikan nila sehingga dapat menghasilkan kelangsungan
Kualitas air pemeliharaan ikan nila yang baik diindikasikan dengan hasil
penelitian yang menunjukkan bahwa limbah berupa Total N, Total P, bahan
organik (TOM) dan total padatan tersuspensi (TSS) dari budidaya ikan nila, secara
umum dapat ditekan dengan penggunaan kerang air tawar sebagai biofilter dengan
sistem resirkulasi. Efisiensi penyisihan Total N terbaik dicapai oleh kepadatan
kerang 60 individu, yakni sebesar 29,56%.
Total P menggambarkan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat
maupun terlarut, anorganik maupun organik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
efisiensi penyisihan Total P terbaik dicapai pada perlakuan kepadatan kerang 90
individu yaitu sebesar 55,25%, namun secara umum, perlakuan kepadatan kerang
efisien dalam menurunkan limbah fosfat. Kandungan fosfat dalam perairan alami
dapat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, limbah
industri dan domestik serta limpasan dari daerah pertanian (Effendi 2003). Pada
perairan budidaya, kandungan fosfat berasal dari pakan yang diberikan pada ikan.
Menurut Goldman & Horne (1983), fosfor dan nitrogen merupakan unsur
pembatas dalam proses eutrofikasi. Bila rasio N dan P > 12, maka sebagai faktor
pembatas adalah P, sedangkan rasio N dan P < 7 maka sebagai faktor pembatas
adalah N. Rasio N dan P yang berada antara 7 dan 12 menandakan bahwa N dan P
bukan sebagai faktor pembatas (non-limiting factor). Ryding & Rast (1989)
menyatakan bahwa perairan termasuk dalam klasifikasi eutrofik bila kandungan
total N di perairan sebesar 0,393–6,100 mg/l dan bila > 6,100 mg/l perairan
termasuk dalam klasifikasi hipertrofik. Dampak negatif lain dari eutrofikasi
adalah meningkatnya jumlah alga yang mati dan tenggelam ke dasar perairan.
Alga tersebut akan diuraikan oleh bakteri, mereduksi kandungan oksigen di dasar
perairan, dapat mencapai ke tingkat yang sangat rendah untuk mendukung
kehidupan organisme, sehingga menyebabkan kematian ikan.
Nilai TOM menggambarkan kandungan bahan organik total dalam suatu
perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid (Hariyadi
et al. 1992). Semua perairan alami mengandung bahan organik yang terdiri atas
plankton, partikel tersuspensi bahan organik dan bahan organik terlarut (Boyd
1990). Bahan organik yang ada dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari
menunjukkan bahawa efisiensi penyisihan TOM antara akuarium pemeliharaan
ikan nila dan bak filter kerang sebesar 22,57%. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa kijing ukuran besar dapat
menekan pembentukan TOM sebesar 20,80%. Hamsiah (2000) juga menyebutkan
bahwa keberadaan keong bakau sebagai biofilter dapat menurunkan kadar TOM
pada limbah budidaya tambak udang intensif.
Padatan tersuspensi total (TSS) adalah bahan tersuspensi dan tidak larut
dalam air, tertahan pada saringan Millipore dengan diameter pori 0,45 µm
(Hariyadi et al. 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan
TSS antara akuarium pemeliharaan ikan nila dan bak filter kerang sebesar
31,74%. Nugroho (2006) juga menyebutkan bahwa kijing ukuran besar dapat
menurunkan nilai TSS sebesar 96,05% sedangkan Hamsiah (2000) menyatakan
bahwa perlakuan dengan pemberian keong bakau (T. telescopium L.) pada limbah
budidaya tambak udang intensif cenderung lebih besar menurunkan kadar TSS
daripada kontrol. Penurunan kadar TSS ini diduga akibat kegiatan filter feeder
oleh kerang. Kerang menyaring air dan menangkap bahan-bahan tersuspensi yang
termasuk makanannya seperti plankton dan detritus. Pengurangan jumlah
bahan-bahan tersebut dalam air menyebabkan nilai TSS menurun. Seperti diketahui TSS
dapat meningkatkan nilai kekeruhan, yang selanjutnya akan menghambat
penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh terhadap proses
fotosintesis di perairan.
Menurut US-EPA (1972), pengaruh padatan tersuspensi sangat beragam,
tergantung pada sifat kimia alamiah bahan tersuspensi tersebut, khususnya bahan
toksik. Untuk zat padat tanpa bagian toksik yang nyata seperti tanah liat,
pemisahan bahan tersuspensi serta penutupan oleh tanaman bentik dan hewan
tidak bertulang belakang dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi.
Tanaman menderita abrasi dan kerusakan mekanik, hewan yang tidak bertulang
belakang yang lebih kecil mati tercekik, dan hewan tidak bertulang belakang besar
yang mempunyai insang akan mengalami penyumbatan pada alat penglihatan dan
permukaan tubuh lainnya. Pengaruh yang berbahaya pada ikan, zooplankton, dan
makhluk hidup lainnya pada prinsipnya adalah penyumbatan insang oleh partikel.
yang tinggi. Partikel terlarut juga dapat menyebabkan kematian pada telur non
bentik dengan melalui penyerapan pada permukaan telur. Kedua pengaruh
tersebut mengakibatkan penurunan aliran air dan oksigen terlarut ke dalam telur
(Alabaster 1980). Pengaruh keduanya terhadap perilaku ikan terjadi dalam bentuk
penolakan ikan terhadap air keruh, hambatan makan dan peningkatan pencarian
tempat berlindung. Selain itu kekeruhan juga mengurangi aktivitas dan
mempengaruhi jalur migrasi ikan.
Nilai efisiensi penyisihan limbah Total N, Total P, TOM dan TSS yang
terbaik dihasilkan oleh kepadatan kerang sebanyak 60 individu, ternyata didukung
oleh data retensi N dan P terhadap daging kerang. Berdasarkan hasil penelitian
didapatkan bahwa retensi N tertinggi dicapai oleh kepadatan kerang 60 individu
yakni sebesar 281,91% dan retensi P sebesar 1121,32%. Nilai retensi P yang
cenderung lebih besar dibandingkan dengan retensi N diduga terjadi karena unsur
P cenderung mengendap di dasar perairan, dimana merupakan habitat yang umum
dari kerang air tawar kelompok Bivalvia. Metode penelitian yang digunakan juga
menempatkan kerang air tawar di dasar bak filter sehingga cenderung menyerap
unsur P lebih banyak daripada N. Menurut Nell (1983), luas permukaan epithel
yang besar dari insang dan mantel kerang sangat cocok untuk menyerap nutrient
secara langsung. Selama aktivitas menyaring yang normal, luas permukaan ini
terbuka terhadap volume air yang besar. Sebagai akibatnya, kerang menyerap
kalsium, fosfor dan trace elements dengan penyerapan langsung dari air.
Penyerapan langsung nutrient organik terlarut telah ditunjukkan tapi kapasitas
untuk penyerapan langsung jumlah nutrisi yang penting dari nutrien organik
terlarut belum diperiksa/diuji. D-glukosa yang diberi label tritium, metionin,
L-Lysine.HCl, myo-inositol dan kolin klorida digunakan untuk mengusut dan
nutrien tanpa label ditambahkan untuk memperoleh konsentrasi yang diinginkan.
Akumulasi nutrien pada jaringan kerang tergantung pada konsentrasi nutrien
dalam air.
Kelangsungan hidup kerang air tawar tertinggi dicapai oleh kepadatan
kerang 30 individu, yakni sebesar 98,89%,diikuti oleh kepadatan 60 (88,33%)
dan kepadatan 90 (80,89%). Berdasarkan uji statistik, kepadatan kerang perlakuan
diduga terjadi karena persaingan kerang dalam mendapatkan oksigen lebih sedikit
pada kepadatan 30 jika dibandingkan dengan kepadatan 60 dan 90 yang
menyebabkan aliran air tidak lancar. Kerang jenis Unionidae membutuhkan
oksigen terlarut 3,8-12,5 mg/l, namun masih mampu bertahan dengan kadar
oksigen yang sedikit dalam jangka waktu pendek. Unionidae dapat mengatur
tingkat metabolisme oksigen dengan baik sehingga masih dapat hidup pada
keadaan dimana kandungan oksigen dalam air sangat rendah (Hart and Fuller
1974). Hal lain yang turut pula mendukung adalah luas area bak filter yang
menunjang kelangsungan hidup kerang, dimana kerang pada kepadatan 30 tidak
dalam posisi bertumpuk sehingga persaingan mendapatkan partikel limbah juga
lebih tinggi.
Laju pertumbuhan kerang (bobot) tertinggi didapat oleh kepadatan kerang
90, dimana hal ini diduga terjadi karena berat kerang didominasi oleh cangkang.
Menurut Purnama (2009), berat total kijing lokal lebih didominasi oleh berat
cangkang itu sendiri, sedangkan berat daging termasuk berat terkecil dari berat
total, lebih kecil dari berat organ dalamnya. Kadar air merupakan komposisi yang
paling mendominasi dari seluruh total komposisi yang dikandung oleh kijing itu
sendiri. Laju pertumbuhan kerang yang diekspresikan dengan panjang, lebar dan
tebal kerang tertinggi didapat oleh kepadatan 30 individu. Berdasarkan uji
statistik, kepadatan kerang perlakuan tidak mempengaruhi laju pertumbuhan
panjang dan bobot harian kerang air tawar (P>0,05). Hal ini dimungkinkan terjadi
karena waktu penelitian yang cenderung singkat, sedangkan kerang membutuhkan
waktu yang lama untuk pertumbuhan tubuhnya terutama pembentukan cangkang.
Menurut Rachman (2007), laju pertumbuhan bobot kerang air tawar jenis
Margaritifera sp. selama 10 bulan pemeliharaan baru bisa mencapai di atas
0,90%.
Laju pertumbuhan panjang dan bobot harian kerang air tawar yang tidak
berbeda nyata dengan kepadatan kerang perlakuan, juga diekspresikan dengan
rasio antara daging dan cangkang, dimana kepadatan kerang 60 individu adalah
yang terendah. Hal ini tidak berkorelasi positif dengan hasil penelitian yang
sebelumnya disebutkan bahwa efisiensi penyisihan limbah terbaik dan retensi
individu. Menurut Zonneveld et al. (1991), makanan yang diserap akan dirubah
menjadi energi dan dimanfaatkan selain untuk bergerak dan pertumbuhan, juga
untuk reproduksi. Kerang yang digunakan adalah kerang yang berukuran relatif
besar dan sudah mencapai stadia dewasa, dimana energi banyak dimanfaatkan
untuk reproduksi. Seperti diketahui, kerang adalah jenis hewan yang
perkembangbiakannya tergolong cepat. Di daerah tropis seperti Indonesia, kerang
dapat berkembang biak sepanjang tahun. Sekali berkembang biak keturunannya
bisa 300.000 individu (Suwignyo 1975). Sementara itu menurut Suhardjo (1977),
setiap kali memijah kerang dapat menghasilkan telur sebanyak 369.227-458.000
butir.
Perubahan suhu di alam seperti halnya suhu air sangat kritis mengatur
kematangan gonad dan pemijahan pada kerang. Variasi suhu tahunan telah
dilaporkan merupakan faktor yang utama berkaitan dengan waktu reproduksi
kerang Dreissena (Ram et al. 1996).
Pada akhir penelitian, kekeruhan terendah yang terukur pada akuarium
ikan nila dengan kepadatan kerang 60 individu adalah yang terendah, yakni 11,7
NTU. Hal ini turut mendukung efisiensi penyisihan TSS, dimana efisiensi
tertinggi juga didapat oleh kepadatan kerang 60 individu.
Status kekeruhan sebagaimana diketahui merupakan gambaran sifat optik
air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan
oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan
organik dan anorganik baik terlarut maupun tidak terlarut seperti lumpur, pasir
halus dan jasad renik. Kekeruhan sangat terkait dengan TSS. Kekeruhan yang
tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi seperti pernafasan
dan daya lihat organisme. Kekeruhan pada perairan tergenang lebih banyak
disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan partikel halus. Oleh karena
itu, kekeruhan yang meningkat selain dikhawatirkan mengganggu konsentrasi DO
di perairan juga dikhawatirkan akan mengganggu penetrasi sinar matahari ke
dalam kolom air. Perairan yang keruh akan menghambat proses fotosintesis dan
Berdasarkan data hasil dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa:
1. Kepadatan kerang yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan nila.
2. Pada kepadatan kerang 60 individu menghasilkan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan bobot dan panjang ikan nila terbaik (100%; 1,93%; 0,61%),
efisiensi penyisihan limbah terbaik (Total N 29,56%; Total P 42,33%; TOM
22,57%; TSS 31,74%) dan retensi pada daging kerang yang terbaik (Retensi N
281,91%; Retensi P 1121,32%).
Saran
Untuk menyisihkan limbah N dan P dari budidaya ikan nila skala
pendederan sebaiknya digunakan kerang air tawar sebagai biofilter, serta perlu
dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji penerapan kerang air tawar sebagai