• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Pemeriksaan Bahan Uji (Determinasi)

Sebelum dilakukan penelitian, daun kelor (Moringa oleifera Lam) terlebih dahulu dideterminasi di di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong untuk mengetahui kebenaran bahan uji.

3.4.2 Penyiapan Simplisia dan Pembuatan Ekstrak

Daun kelor (Moringa oleifera Lam) sebanyak 4,3 kg dikumpulkan, kemudian dicuci dengan air mengalir hingga bersih. Daun kelor yang telah dicuci selanjutya dikering anginkan. Daun kelor yang telah kering dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi serbuk sebanyak 0,53 kg. Serbuk daun kelor selanjutnya ditimbang dan dilakukan ekstraksi cara dingin dengan metode maserasi. Pelarut yang digunakan untuk maserasi adalah etanol 90% (Nath, 1992). Maserasi dilakukan dengan memasukkan serbuk kering simplisia ke dalam maserator, lalu ditambahkan pelarut etanol 90% hingga seluruh bagian serbuk kering simplisia terendam dengan pelarut. Maserat selanjutnya dipisahkan dengan cara filtrasi. Proses penyarian diulang sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama (Departemen Kesehatan RI, 2008). Filtrat yang diperoleh selanjutnya disaring menggunakan kapas dan kertas saring, lalu dipekatkan menggunakan vacuum rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Jika belum didapatkan ekstrak kental, maka proses pemekatan ekstrak dilanjutkan dengan freeze dryer. Ekstrak kental yang diperoleh kemudian ditimbang.

3.4.3 Penapisan Fitokimia

Pada penapisan fitokimia dilakukan identifikasi kandungan golongan senyawa kimia pada ekstrak etanol 90% daun kelor (Moringa oleifera Lam) seperti alkaloid, flavonoid, terpenoid, tannin, saponin, steroid dan triterpenoid.

1. Identifikasi Golongan Alkaloid (Depkes RI, 1995)

Ekstrak sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam tabung rekasi, lalu ditambahkan 1 mL etanol 70%. Ekstrak kemudian ditambahkan 1 mL asam klorida 2N dan 9 mL aquadest. Selanjutnya dipanaskan di atas penangas air

selama 2 menit, dan didinginkan. Kemudian disaring dan filtratnya ditampung. Filtrat digunakan sebagai larutan percoban selanjutnya:

a. Larutan percobaan ditambahkan 2 tetes 2 tetes reagen dragendrof, terbentuknya endapan jingga coklat menandakan bahwa ekstrak mengandung alkaloid

b. Larutan percobaan ditambahkan 2 tetes reagen Mayer LP, terbentuknya endapan menggumpal putih atau kuning menandakan bahwa ekstrak mengandung alkaloid.

2. Identifikasi Golongan Flavonoid (Arifin Helmi, 2006)

Ekstrak sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 mL etanol 70%. Ekstrak kemudian ditambahkan serbuk Mg dan asam klorida pekat. Terbentuknya warna orange, merah, atau kuning menandakan bahwa ekstrak mengandung flavonoid.

3. Identifikasi Golongan Terpenoid (Farnsworth,1966)

Ekstrak sebanyak 100 mg dalam cawan penguap ditambahkan 1 ml etanol 70% kemudian dilarutkan dalam 5 ml eter. Selanjutnya diuapkan hingga kering. Larutan pereaksi yang terdiri dari 10 tetes asam asetat anhidrat dan 5 tetes asam sulfat disiapkan, lalu ditambahkan ke dalam residu. Terbentuknya warna merah-hijau-violet-biru mendandakan bahwa ekstrak mengandung terpenoid

4. Identifikasi Golongan Tanin (Ramya, B. Shiney dan P. Ganesh, 2012)

Ekstrak sebanyak 500 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 2 ml etanol 70% dan 0,1% FeCl3.Terbentuknya warna hijau kecoklatan menandakan bahwa ekstrak mengandung tannin.

5. Identifikasi Golongan Saponin (Departemen Kesehatan RI, 1995)

Ekstrak sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam tabung rekasi lalu ditambahkan 1 ml etanol 70%. Ekstrak kemudian ditambahkan 10 mg air panas, lalu didinginkan. Selanjutnya dilakukan pengocokan vertikal selama 10 detik dan didiamkan selama 10 menit. Terbentuknya buih setinggi 1 cm dan tidak hilangnya buih setelah penambahan 1 tetes asam klorida 2N menandakan bahwa ekstrak mengandung saponin.

Ekstrak sebanyak 100 mg dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 1 ml etanol 70%. Ekstrak kemudian ditambahkan pereaksi Lieberman-Buchard. Terbentuknya warna biru-kehijauan menandakan bahwa ekstrak mengandung steroid, sedangkan terbentuknya warna merah, merah muda, atau ungu menunjukkan bahwa ekstrak mengandung triterpenoid.

7. Identifikasi Golongan Glikosida (Depkes RI, 1979 dalam jurnal Padmasari, 20013)

Larutan uji sebanyak 0,1 ml diuapkan diatas penangas air, larutkan sisa dalam 5 ml asam asetat anhidrat. Tambahkan 10 tetes asam sulfat P, terjadinya warna biru atau hijau menunjukkan adanya glikosida.

3.4.4 Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik

1. Pengujian Parameter Spesifik (Departemen Kesehatan RI, 2000) a. Identitas Ekstrak

Deskripsi tata nama: - Nama ekstrak

- Nama latin tumbuhan

- Bagian tumbuhan yang digunakan - Nama Indonesia tumbuhan

b. Organoleptik

Penggunaan panca indera untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan rasa sebagai berikut:

- Bentuk: padat, serbuk-kering, kental, cair - Warna: kuning, coklat, dll

- Bau: aromatik, tidak berbau, dll - Rasa: pahit, manis, kelat, dll 2 Pengujian Parameter Non Spesifik

a. Kadar Abu (Departemen Kesehatan RI, 2000)

Ekstrak sebanyak 2 gram yang telah digerus dan timbang secara seksama dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan kemudian ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan,

kertas dan kertas saring dalam kurs yang sama. Masukkan filtrat ke dalam kurs, uapkan. Kemudian pijarkan hingga bobot tetap, lalu ditimbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

b. Kadar Air (Departemen Kesehatan RI, 2000)

Ekstrak ditimbang secara seksama sebanyak 1g sampai 2g dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 1050C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan cara menggoyangkan botol hingga menjadi lapisan setebal kurang lebih 5mm-10mm. Jika ekstrak yang diuji berupa ekstrak kental, ratakan dengan bantuan pengaduk. Kemudian dimasukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu 1050C hingga bobot tetap

3.4.5 Penyiapan Hewan Uji

Sebelum diberi perlakuan, tikus jantan galur Sprague-Dawley diaklimatisasi di animal house Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama minimal 7 hari pada kondisi laboratorium agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Selama proses aklimatisasi, hewan uji diberi makan dan minum ad libitum dan dilakukan pengamatan kondisi umum hewan uji serta ditimbang berat badannya. Tikus yang digunakan untuk penelitian adalah tikus yang sehat, yaitu tikus yang berat badan selama proses aklimatisasi tidak mengalami perubahan lebih dari 10% dan secara visual memperlihatkan perilaku yang normal.

3.4.6 Pemberian Perlakuan

Penelitian ini dilakukan terhadap 24 ekor tikus jantan galur Sprague-Dawley yang dibagi menjadi 4 kelompok uji dengan perlakuan yang berbeda, sesuai dengan jenis perlakuan yang tertera pada tabel rancangan percobaan. Ekstrak daun kelor (Moringa oleifera Lam) yang diberikan kepada hewan uji disuspensikan dalam pembawa Na CMC 0,5% dan diberikan secara oral menggunakan sonde. Pemberian perlakuan diberikan selama 15 hari, satu hari sekali setiap pagi hari.

3.4.7 Pengukuran Parameter Antifertilitas

1. Perhitungan konsentrasi spermatozoa

Perhitungan konsentrasi spermatozoa tikus putih jantan dilakukan dengan cara mengambil spematozoa pada kauda epididimis. Spermatozoa yang didapat diletakan dalam cawan penguap yang berisi cairan NaCl sebanyak 500μl. Spermatozoa dimasukkan ke dalam kamar Neubauer (Hemasitometer) sampai kamar Neubauer terisi rata. Jumlah spermatozoa selanjutnya dihitung pada salah satu kamar hitung Neubauer. Kemudian ditentukan pengenceran yang akan dilakukan dan jumlah kotak yang akan dihitung, sesuai dengan jumlah spermatozoa yang telah diketahui (Tabel 3.2) (Ilyas, 2007).

Tabel 3.2. Pengenceran Spermatozoa dan Jumlah Kotak yang Dihitung No Jumlah spermatozoa dalam 1

kotak

Faktor Pengenceran Kotak kecil yang dihitung

1. > 40 50 kali 5

2. 15-40 20 kali 10

3. ≤15 10 kali 25

Adapun cara pengenceran spermatozoa dilakukan sesuai dengan cara yang tertera pada tabel 3.3 (Ilyas, 2007).

Tabel 3.3 Cara Pengenceran Spermatozoa

No. Pengenceran Pembuatan Pengenceran

1. 50 kali a. 980µl larutan George + 20 µl

spermatozoa

b. 2.450 µl larutan George + 50µl spermatozoa

2. 20 kali 90µl larutan George + 50µl spermatozoa

3. 10 kali a. 900µl larutan George + 100 µl

spermatozoa

Setelah pengenceran, dilakukan perhitungan spermatozoa kembali sesuai dengan jumlah kotak yang dihitung. Kemudian dilakukan perhitungan konsentrasi spermatozoa sesuai rumus dibawah ini (Ilyas, 2007).

Konsentrasi spermatozoa = n x 10.000x Fp x

x vNaCl

Keterangan : n merupakan jumlah spermatozoa yang terhitung. Angka 10.000 merupakan volume kamar hitung Neubauer. Fp menunjukkan faktor pengenceran. Angka 25 adalah total kotak kecil yang terdapat dalam kamar hitung Neubauer. k adalah kotak kecil yang dihitung pada saat pengamatan. vNaCl merupakan volume NaCl fisiologis (ml) yang digunakan untuk membantu mengeluarkan spermatozoa dari kauda epididimis.

Perhitungan konsentrasi spermatozoa (juta/ml) dapat terlihat dari tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.4. Rumus Konsentrasi Spermatozoa

No. Jumlah Kotak yang Dihitung Rumus Konsentrasi Spermatozoa

1. 5 n x 10.000 x 50 x 5 x 0,5

2. 10 n x10.000 x 20 x 2,5 x 0,5

3. 25 n x 10.000 x 10 x 1 x 0,5

2. Pengamatan Morfologi (Inversk Research et al, 2000)

Sampel sperma yang digunakan untuk pengamatan morfologi diambil dari bagian kauda epididimis. Sampel sperma selanjutnya dibuat suspensi dalam NaCl. Morfologi sperma dapat diamati pada sediaan apus dengan pewarnaan eosin Y 1%. Suspensi sperma sebanyak 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Lalu, ditambahkan 2 tetes eosin Y 1% dan dikocok perlahan. Sperma selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang kurang lebih 45-60 menit, kemudian diresuspensikan dengan pipet tetes.

Pemeriksaan morfologi sperma dilakukan dengan membedakan bentuk sperma normal dan abnormal dari sperma yang diamati. Jumlah sperma yang diamati minimal sejumlah 200. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400-1000 kali.

3. Diameter Tubulus Seminiferus

Pengukuran diameter tubulus seminiferus dilakukan dengan membuat preparat histologi testis tikus terlebih dahulu. Preparat histologi dilihat di bawah mikroskop dan diukur menggunakan mikrometer okuler. Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak terdekat antara 2 titik bersebrangan pada garis tengah nya yang terpendek dan mengukur jarak terjauh antara titik yang bersebrangan, kemudian dibagi dua. Tiap masing-masing preparat diukur minimal 10 tubulus. Hasil pengukuran dinyatakan dalam satuan mikro meter (µm) (Turk, 2007 dan Wahyuni, 2012).

3.4.8 Analisis Data

Data hasil pengamatan parameter antifertilitas (konsentrasi spermatozoa, morfologi spermatozoa, dan diameter tubulus seminiferus) pada tiap kelompok perlakuan selanjutnya diolah secara statistik dengan menggunakan software SPSS 21. Uji statistik yang dilakukan meliputi uji normalitas, uji homogenitas, uji parametrik (one-way ANOVA), atau uji non-parametrik (Kruskal Wallis). Hasil uji one-way ANOVA maupun Kruskal Wallis dilanjutkan dengan uji multiple comparison tipe LSD (Least Significant Different) jika hasil analisis data menunjukkan perbedaan yang signifikan (p≤0,05).

Dokumen terkait