• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Metode Penelitian

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data dalam penelitian ini dengan menyesuaikan judul dan meteri yang disajikan, dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) melalui penelitian di kepustakaan atau sumber bacaan tertulis yang mempunyai hubungan dengan judul penelitian ini, untuk dijadikan sebagai bahan-bahan atau data-data yang bersifat teoritis ilmiah sebagai dasar penelitian dan analisa terhadap masalah yang dihadapi.

2. Penelitian lapangan (Field Research) yaitu melakukan kegiatan pengamatan langsung dan wawancara dengan informasi untuk memperoleh data-data yang diperlukan, narasumber sebagai sumber data primer dan sumber data sekunder ialah diambil secara sampel dengan memilih yang dianggap telah mewakili secara umum.

5. Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu suatu analisis data yang menggunakan dan memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan jawaban-jawaban dari informan yaitu hakim dan komandan, yang dicari hubungan antara data yang satu dengan data yang lain kemudian disusun secara sistematis.

“Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menyeleksi data yang telah terkumpul dan memberikan penafsiran terhadap data-data itu kemudian menarik kesimpulan”.36

36 Winarno Surakhman, Paper, Skripsi, Disertasi, (Bandung: Tarsito, 1998), hal. 16

BAB II

PERANAN ANKUM DAN PAPERA DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

A. Gambaran Umum Ankum dan Papera

Dalam dunia hukum kita sering mendengar kata ‘Ankum’ dan ‘Papera’.

Ankum37

Bagi anggota militer di Indonesia berlaku dua ketentuan materil sekaligus yaitu KUHPidana (KUHP) sebagai pidana umum, dan KUHPidana Militer (KUHPM) sebagai aturan khusus. Pemberlakuan hukum pidana khusus (KUHPM) itu berkaitan dengan adanya beberapa perbuatan yang jika dilakukan masyarakat sipil tidak diancam hukum, tetapi jika dilakukan militer menjadi suatu tindak pidana. Misalnya insubordinasi atau disebut juga melawan kepada atasan dan desersi.

yaitu singkatan dari atasan yang berhak menghukum, sedangkan papera singkatan dari perwira penyerah perkara. Istilah ankum dikenal dalam hukum pidana militer.

38

Penyelesaian suatu perkara pidana memiliki proses terpenting yaitu proses penyidikan. Karena pada proses penyidikan inilah, tindakan penyidik ditekankan pada tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana (Pasal 71 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer) serta untuk mengumpulkan barang bukti sehingga tindak pidana yang terjadi

37 Babinkum TNI, 2006, Atasan yang berhak Menghukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia, Jakarta.

38 Soeroengan, 1995, Subekti. Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan, Jakarta.

dapat menjadi terang dan dapat menemukan pelakunya/tersangka (Pasal 1 angka 16 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Sehingga dari proses inilah seseorang dapat disangkakan sebagai pelaku sebuah tindak pidana ( tersangka ) atau bukan.

Proses ini memang sedikit berbeda apabila kita bandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ) dimana tentang tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana diatur sebagai proses dalam penyelidikan ( Pasal 1 angka 5 UU Nomor 8 Tahun 1981 ), sedangkan tindakan untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti sehingga tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta menemukan pelakunya diatur sebagai proses penyidikan (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1981). Jadi dalam KUHAP yang mengatur hukum acara pidana umum terdapat proses penyelidikan dan proses penyidikan, sementara dalam hukum acara pidana militer proses tersebut dijadikan satu menjadi proses penyidikan.39

Dalam pelaksanaan penyidikan untuk mencari pelaku dan membuat terang suatu tindak pidana yang diduga terjadi haruslah dilaksanakan secara teliti dan hati-hati serta tidak dengan mudah menyimpulkan atau menuduhkan bahwa seseorang tersebut adalah sebagai pelaku suatu tindak pidana, kecuali dengan didukung oleh alat bukti yang cukup dan meyakinkan. Cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa

39http:// Perwira. Kodam Mulawarman. mil.id/ 2010/12/23/ Peran Ankum Dalam Proses-Penyidikan /, diakses 15 Juli 2013

dan mengutamakan pemerasan pengakuan daripada menemukan bukti-bukti adalah cara-cara masa lalu yang sudah tidak layak dilakukan, serta merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, merendahkan harkat martabat manusia, dan menganggap sepele nasib seseorang. Dan sudah waktunya pelaksanaan penyidikan dilakukan dengan metode scientific criminal detection yaitu suatu metode penyidikan secara ilmiah, tidak lagi menggunakan sistem kuno yang main hantam kromo.

Cakupan tindakan yang dilakukan selama proses penyidikan ini memang begitu luas, dimulai dari diterimanya laporan atau pengaduan tentang dugaan terjadinya suatu tindak pidana kepada penyidik, lalu dilakukan pemeriksaan sampai dengan dilimpahkannya berkas perkara ke pengadilan. Yang dalam hukum acara pidana militer pelaksanaan proses penyidikan tersebut dilakukan oleh polisi militer dan apabila setelah berkas dilimpahkan ke oditurat militer dan Oditur Militer merasa perlu untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi berkas yang ada, maka Oditur Militer dapat melakukan pemeriksaan tambahan.

Keberadaan penyidik tersebut tercantum dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa Penyidik adalah terdiri dari Atasan yang berhak menghukum, Polisi Militer dan Oditur Militer. Sehingga apabila berpegang terhadap dasar tersebut, maka atasan yang berhak menghukum atau Ankum adalah salah satu penyidik dalam hukum acara pidana militer, bukan hanya Polisi Militer dan Oditur militer40

40 Wahyudi Misran, 2013, “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsi Oditurat Militer III-14 Denpasar” (Tesis,) Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar

. Namun demikian

dimanakah peran dan kewenangan Ankum dalam proses penyidikan, karena pada kenyataan di lapangan semua proses penyidikan dilakukan oleh Polisi militer dan Oditur militer. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Di dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Penyidik adalah :

a. Ankum b. Polisi Militer c. Oditur Militer

Dari bunyi Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ankum itu ialah Atasan yang berhak menghukum. Akan tertapi karena Atasan yang berhak menghukum adalah komandan suatu kesatuan, maka tidak mungkin ia melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana. Oleh karena itu demi efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan dari Atasan Yang Berhak Menghukum tersebut dan untuk membantu supaya Atasan yang berhak menghukum dapat lebih memusatkan perhatian, tenaga dan waktu dalam melaksanakan tugas pokoknya pelaksanaan penyidikan tersebut dilaksanakan oleh Penyidik Polisi Militer atau Oditur Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 butir (a).

Sedangkan yang dimaksud dengan penyerahan perkara adalah keputusan tertulis seorang PAPERA untuk menyerahkan suatu perkara pidana setelah selesai diperiksa dan setelah mendengar pendapat Oditur Militer (Jaksa Tentara) pada tingkat

komando yang bersangkutan kepada Pengadilan Tentara (Pengadilan Mililer) yang dianggap berwenang untuk memeriksa dan diadili olehnya41

Dalam tugas selaku Panglima TNI, wewenang Penyerah Perkara tidak ditangani sendiri oleh Panglima TNI, oleh karena itu kewenangan tersebut dibagi-bagi sesuai menurut tingkat-tingkat organisasi TNI. Di dalam Pasal 6 Keputusan Pangab Nomor : 02/III/1987 menyatakan bahwa Kepala Staf (Kas) Angkatan adalah Papera bagi Tersangka anggota ABRI (TNI) yang secara organik bertugas di lingkungan Angkatan.

.

42

Kas Angkatan menunjuk Papera untuk lingkungan masing-masing, dengan ketentuan yang dapat ditunjuk adalah Perwira Pemegang Komando yang paling rendah adalah:43

1. Untuk TNI-AD, Danrem / Dan Brigif.

2. Untuk TNI-AL, Dan Lanal.

3. Untuk TNI-AU, Dan Lanud type-C.

Penunjukan Papera tersebut di atas di atur lebih lanjut dengan surat keputusan oleh Kas Angkatan,

a. Papera untuk Mabes TNI Angkatan Darat

Dengan Surat Keputusan Kepala Staf Agkatan Darat Nomor : Kep/6/VI/1987 ditunjuk Perwira Penyerah Perkara untuk tingkat Mabes TNI Angkatan Darat

41Ibid, Hlm. 23

42 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

43 Ibid Hal. 30

(Mabesad), Kepala Staf TNI Angkatan Darat adalah Papera tertinggi di lingkungan TNI Angkatan Darat dan berwenang untuk menyerahkan perkara yang dilakukan oleh Militer Angkatan Darat atau yang dipersamakan dengannya atau berdasarkan undang-undang kepada Mahkamah Militer atau Pengadilan yang berwenang.

Kepala Staf TNI Angkatan Darat melakukan pengawasan dan pengendalian kebijaksanaan penyerahan perkara dengan dibantu oleh Dinas Hukum Angkatan Darat, serta dapat membekukan sementara wewenang Papera bawahan dansecara langsung memegang wewenang tersebut,

Kepala Staf TNI Angkatan Darat bertindak langsung selaku Papera apabila terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh :44

1) Wakil Kepala Staf Angkatan Darat

2) Inspektur Jendral TNI Angkatan Darat 3) Asisten Kepala Staf TNI Angkatan Darat

1. Komandan kesatuan dan wewenang komandannya dan merupakan Papera terhadap anggotanya.

2. Militer Ankgatan Darat atau yang dipersamakan dengannya berdasarkan Undang-Undang yang secara organik atau secara penegasan atau perbantuan dalam susunan eselon pembantu (Staf, Eselon pelayanan) pelaksanaan dan Eselon Badan pelaksana dalam wewenang komandannya dan seterusnya.

b. Papera Untuk Mabes TNI Angkatan Laut

44Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor : Perkasad/15/VII/2007 tanggal 25 Juli 2007 tentang Penunjukan Perwira Penyerah Perkara Dilingkungan Angkatan Darat, Jakarta.

Dengan Surat Keputusan Angkatan Laut Nomor : Skep/2548/IX/1987 tanggal 2 September 1987 menunjuk para pejabat Papera yang berhak atau berwenang menyerahkan perkara dilingkungan TNI-AL kepada Mahkamah Militer adalah sebagai berikut :

1) Tingkat Mabes Angkatan Laut

a) Kasal adalah Perwira yang berhak atau berwenang menyerahkan perkara terhadap :

(1) Perwira TNI-AL dalam oraganisasi TNI-AL (2) Perwira TNI-AL yang ditugas karyakan.

(3) Perwira menengah TNI-AL yang ditugas karyakan tingkat pusat.

(4) Perwira menegah TNI-AL yang secara organic, penugasan atau perbantuan termasuk dalam susunan organisasi MAbes dan Badan Extra Struktural tingkat pusat, kecuali Seskoal, AAL dan UPT dalam wilayah DKI Jaya dan sekitarnya.

(5) Militer TNI-AL yang bertugas diluar negeri yang belum termasuk dalam kewenangan salah satu lembaga ke-Paperaan dilingkungan TNI (ABRI).

c. Perwira Untuk Mabes TNI Angkatan Udara

Penunjukan Perwira Perkara dalam lingkungan TNI-AU berdasarkan Surat Keputusan Kepala Staf TNI Angkatan Udara No. KEP/03/I/1987 tanggal 10 Januari 1987 degan perincian sebagai berikut :

1) Tingkat Mabes TNI Angkatan Udara

a) Kepala Staf TNI Angkatan Udara sebagai Papera tertinggi di Lingkungan TNI Angkatan Udara mempunyai wewenang pengendalian dan pengawasan atas penggunaan wewenang penyerahan perkara dilingkungan TNI Angkatan Udara sesuai dengan ketentuan Per Undang-Undangan.

b) Kepala Staf TNI Angkatan Udara bertindak selaku Papera terhadap:

(1) Anggota TNI Angkata Udara berpangkat Perwira Tinggi yang secara organic, penugasan atau perbantuan termasuk dalam susunan organisasi TNI-AU.

(2) Anggota TNI Angkatan Udara berpangkat Perwira menengah yang secara organic, penegasan atau perbantuan termasuk dalam susunan Staf Mabes TNI Angkatan Udara.

(3) Anggota TNI Angkatan Udara berpangkat Perwira Tinggi dan Perwira menengah yang ditugas karyakan ditingkat Pusat dan anggota-anggota TNI Angkatan Udara yang ditugaskan di luar negeri, kecuali ditentukan lain.

B. Tugas Wewenang Ankum dan Papera

Kewenangan mengenai Atasan Yang Berhak Menghukum diatur dalam Pasal UU No.

31 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa :45

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

1. Dalam Pasal 71 ayat (1), dinyatakan bahwa penyidik dapat :

b. Melakukan tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian.

c. Mencari keterangan dan barang bukti.

d. Menyuruh berhenti seseorang yang diduga sebagai tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya.

e. Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat.

45 Atasan yang berhak Menghukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia, Jakarta;

Mabesad, 2007

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.

g. Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka

h. Meminta bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara, dan

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2. Penangkapan dan penahanan ( Pasal 75,76,77, 78, 79, 80, dan 81 UU Nomor.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ).

3. Penggeledahan dan penyitaan ( Pasal 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, dan 95 UU Nomor.31 Th 1997 Peradilan Militer ).

4. Pemeriksaan Surat ( Pasal 96, 97, 98 UU Nomor.31 Th 1997 Peradilan Militer).

Disamping wewenang tersebut di atas, atasan yang berhak menghukum juga mempunyai wewenang :

1. Melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya, yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik POM dan penyidik Oditur. (Pasal 74 huruf a ).

2. Menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik Pom atau penyidik Oditur (Pasal 74 huruf b).

3. Menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik POM Dan penyidik Oditur. (Pasal 74 huruf c).

4. Melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.(Pasal 74 huruf d).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, jelas terlihat begitu besar peran Ankum sebagai penyidik. Dan hal inipun dapat menimbulkan pertanyaan kenapa Ankum memiliki kewenangan yang begitu besar, mengingat :

1. Bahwa sebagai penyidik, Ankum tidak melaksanakan proses penyidikan secara langsung tetapi pelaksanaan dilakukan oleh POM dan Oditur militer.

2. Bahwa disamping sebagai penyidik, Ankum juga sebagai seorang komandan satuan yang memiliki tugas dan tanggung jawabnya juga besar, sehingga memiliki keterbatasan untuk melaksanakan proses penyidikan.

3. Bahwa sebagai penyidik, Ankum sebagian besar bukanlah seorang sarjana hukum sehingga pemahamam tentang hukum, tentulah tidak sepaham seorang yang berkualifikasi sebagai sarjana hukum.

Berdasarkan Pasal 122 UU 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, menyebutkan bahwa :

1) Perwira Penyerah Perkara adalah:

a. Panglima46

Sedangkan, kewenangan PAPERA tercantum dalam Pasal 123 yang menyebutkan bahwa :

;

b. Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2) Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk komandan/kepala kesatuan bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan Komandan Komando Resor Militer, untuk bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara.

46Banyak kata “Panglima” disebutkan secara berulang-ulang dalam pasal-pasal UU No. 31 tahun 1997, namun tidak ditemukan pengertian istilah “Panglima” tersebut, baik dalam pasal-pasalnya, penjelasan Umum, maupun dalam penjelasan Pasal demi Pasal. Hal tersebut dapat menimbulkan salah pengertian atau penafsiran misalnya dapat berarti Panglima Angkatan Bersenjata. Panglima Kostrad, attau Panglima Komando Daerah Militer (Panglima Kodam), dari sebagainya.

1) Perwira Penyerah Perkara mempunyai wewenang:47

a. memerintahkan Penyidik untuk melakukan penyidikan;

b. menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;

c. memerintahkan dilakukannya upaya paksa;

d. memperpanjang penahanan;

e. menerima atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian suatu perkara;

f. menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;

g. menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit; dan h. menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.

2) Kewenangan penutupan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.

3) Panglima selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya.

Berdasarkan hal yang disampaikan tersebut diatas dapat diketahui bahwa peranan daripada Ankum dan Papera dalam proses penyelesaian perkara tindak pidana desersi bersifat aktif dimana dalam hal ini dalam memproses penyelesaian perkara tersebut, ke aktifan Ankum dan Papera menentukan cepat tidaknya proses penyelesaian tindak pidana desersi diselesaikan.

Peranan lain dari Ankum terlihat juga saat memberikan suatu penilaian dalam penerapan hukuman terhadap anggotanya yang memiliki masalah seperti tindak pidana ketidak hadiran tanpa izin pada satuannya, antaralain seorang tersangka tindak pidana tersebut memberikan etikat baik yang memiliki penilaian tersendiri oleh seorang komandan serta memiliki prestasi-prestasi selama kedinasannya yang menharumkan satuan ataupun negara, Ankum dapat mengambil kebijakan hanya karena suatu pertimbangan tertentu dan

47 Perkasad, op. Cit, Hlm. 9

atau karena sifatnya ringan masih dibuka kemungkinan untuk menyelesaikan perkara tersebut secara Hukum Disiplin (pasal 2 KUHDM), tanpa meniadakan hak penuntutnya secara hukum pidana apabila dipandang perlu (pasal 52 KUHDM). Dalam praktek penjatuhan hukuman disiplin, sering terjadi penyelesaian suatu perkara seperti tersebut secara hukum Disiplin oleh Ankum (atasan yang berhak menghukum/hakim disiplin). Terutama pada ankum yang tidak ditugaskan sebagai Papera, tetapi tidak serta merta memberitahukannya kepada Oditur Militer/pejabat penuntut. Penyelesaian ditingkat ankum tersebut juga melalui mekanisme sidang hukuman disiplin serta dikeluarkannya Surat Keputusan Hukuman Disiplin. Namun penilaian seorang Ankum tidak hanya sampai penyelesaian suatu perkara dari seorang tersangka akan tetapi dibentuknya juga suatu jaminan bila seorang prajurit tidak akan melakukan tindak pidana yang sama atau tindak pidana lain baik dalam satuan maupun diluar satuan. Bila seorang prajurit tersebut terlihat dan didapati melakukan tindak pidana sekecil apapun maka akan diajukannya suatu pertimbangan dalam penyidikan Ankum dengan lampiran surat penetapan penyerahan pengusutan dengan pertimbangan bahwa Tersangka telah melakukan tindak pidana sebelumnya kepada penyidik POM. Maka bila penyelesaian perkara yang tersangkanya melakukan pidana tersebut wajib kiranya seorang Papera memberikan penilaian dan melimpahkan perkara tersebut untuk diperiksa dipengadilan, oleh seorang Hakim juga akan memiliki pertimbangan yang khusus yaitu seorang prajurit yang menjadi Terdakwa dan tidak dapat dipertahankan dalam kedinasan. Maka pertimbangan Hakim tersebut pasti akan diberikan pidana tambahan dalam putusan dengan pemecatan, dengan kata lain takut merusak nama baik satuan serta nama besar lembaga institusi TNI.48

48 Wawancara penulis kepada Yan Akhmad Mulyana, SH, MH, Kepala Pengadilan Militer Tinggi Kolonel Chk selaku Ankum di Pengadilan Militer Tinggi., Medan, 28 Juli 2017.

Analisa penulis terhadap pendapat dari seorang komandan dalam hal ini diberi kewenangan dalam proses hukum selaku Ankum sebenarnya bertujuan memberikan keringanan terhadap anggota personel yang berada di bawah komandonya serta untuk menjaga nama baik satuan memberikan pertimbangan khusus untuk ditarik disidangkan secara disiplin, namun bila keputusan Hakim disiplin atau Ankum memberikan dampak saat suatu perkara yang pernah diselesaikan disatuan kepada penilaian Majelis Hakim Militer dalam mempertimbangkan suatu putusan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang prajurit yang telah berulang kali melakukan tindak pidana sudah tepat jangan sampai memberikan dampak negatif terhadap personel TNI lainnya.

C. Tanggung jawab Ankum dan Papera dalam Peradilan Militer

Adapun Proses yang dilaksanakan dalam pepenyelesaian perkara yang dilakukan dari awal dan hingga penyelesaian lebih lanjut dari satuan hingga pengadilan sesuai dengan tanggung jawab dari penyidik dan pejabat terkait sesuai dengan acara pidana militer adalah sebagai berikut :

Di dalam hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak membedakan pengertian “Penyeledikan dengan Penyidik” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 1, 2, 3, 4, 5 dan Pasal 102, 106 KUHAP. Tidak dibedakannya pengertian tersebut karena HAPMIL adalah Hukum Acara Pidana Khusus, jadi tidak perlu mengatur semua hal yang telah diatur oleh Hukum Acara Pidana Umum, maka aturan Hukum Acara Pidana Umum yang tidak diatur dalam Hukum Acara Pidana Khusus dengan sendirinya berlaku bagi Hukum Acara Pidana Khusus sepanjang ketentuan itu tidak

bertentangan dengan Hukum Acara Pidana Khusus, baik yang tersurat maupun tersirat.

Demikian halnya ketentuan mengenai penyidikan sebagaimana tersebut di atas berlaku bagi penyidikan Hukum Acara Pidana Militer, dimana kalau dalam Hukum Acara Pidana Umum Penyidikan tersebut dilakukan oleh Polisi Negara, di dalam Hukum Acara Pidana Militer dilakukan oleh Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM) melauli bagian I (Provost/Intelejen) tiap-tiap kesatuan dan Polisi Militer.

Jadi di dalam Hukum Acara Pidana Militer proses pemeriksaan pendahuluan sangat berbeda dengan KUHAP, dimana kekuasaan komandan meliputi dua hal/macam wewenang, yaitu wewenang lazimnya disebut hak komando dan wewenang hak menghukum Wewenang Komando ini meliputi tiga hal yaitu :

1. Mengarahkan (directing) 2. Mengkordinir (coordinating) 3. Mengendalikan (control)

Hak Komando dari pada Komandan diperolehnya dari delegasi yang berasal dari puncak pimpinan Angkatan Bersenjata, sedangkan hak untuk menghukum anak buahnya diatur oleh Undang-Undang.

Pengalaman membuktikan bahwa seorang Komandan dalam kewenangannya harus dapat mengarahkan, mengkoordinir dan mengendalikan tugasnya dengan sempurna, karena apabila salah satu wewenang tersebut tidak ada maka ketenteraman pasukan/ketertiban pasukan akan terganggu, karena berarti apabila salah satu

wewenang itu berada di pihak luar terhadap keutuhan suatu pasukan. Oleh karena itu ketiga macam wewenang itu tidak boleh lepas dari tangan seorang komandan, agar dia dapat melaksanakan tugas pokoknya dengan baik.

Akan tetapi seorang Komandan harus selalu mengingat bahwa ketiga macam wewenang atau haknya itu mempunyai sumber yang berlainan, maka cara melaksanakan kedua jenis wewenang itupun berlainan pula. Pedoman menjalankan hak komandannya adalah apa yang layak dalam keadaan dan pada waktu itu, dan yang tidak dilarang. Keputusan seorang komandan untuk memerintahkan pasukannya dalam suatu operasi untuk menyebrangi sungai atau merebut suatu sasaran yang strategis, walaupun resikonya akan mengalami banyak korban dan kerugian, maka tindakan itu hanya dapat dinilai oleh atasannya dan kemudian oleh sejarah.

Penilaian ini hanya merupakan suatu penilaian yang subjektif sekali.

Sedangkan cara menjalankan haknya untuk menghukum anak buahnya tidak dapat dilakukan semaunya, karena hal tersebut telah diatur oleh Undang-Undang secara jelas yaitu dalam hal apabila dan bagaimana seorang komandan dapat menghukum seorang bawahannya. Juga ditentukan hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan.

Atas putusan-putusan tersebut yang bersangkutan (terhukum) dapat mengadakan perlawanan secara tertulis kepada atasan langsunng setelah putusan itu dijalankan.

Berdasarkan contoh tersebut di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa seorang Komandan guna kepentingan taktik dan strategi Militer, maka ia bebas mengambil tindakan sesuai dengan estimitnya sendiri bedasarkan keadaan

Berdasarkan contoh tersebut di atas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa seorang Komandan guna kepentingan taktik dan strategi Militer, maka ia bebas mengambil tindakan sesuai dengan estimitnya sendiri bedasarkan keadaan

Dokumen terkait