• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN ATASAN BERHAK MENGHUKUM DAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI DI PERADILAN MILITER TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERANAN ATASAN BERHAK MENGHUKUM DAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI DI PERADILAN MILITER TESIS."

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN ATASAN BERHAK MENGHUKUM DAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM PROSES PENYELESAIAN

PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI DI PERADILAN MILITER

TESIS

Oleh

ERLANGGA PRASADY 157005001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)

PERANAN ATASAN BERHAK MENGHUKUM DAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM PROSES PENYELESAIAN

PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI DI PERADILAN MILITER

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum dalam Program Studi

Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

ERLANGGA PRASADY 157005001

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(3)
(4)

Tanggal : 15 Agustus 2017

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H, M.S Anggota : 2. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S

3. Dr. Edi Yunara, S.H., MH 4. Dr. Hamdan S.H., M.H 5. Dr. Eka Putra S.H., M.Hum

(5)
(6)

PERANAN ANKUM DAN PAPERA DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI DI PERADILAN MILITER

ERLANGGA PRASADY *) Alvi Syahrin

Madiasa Ablisar Edi Yunara 1

*) Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana USU Medan

**) Dosen Program Sekolah Pasca Sarjana USU Medan

) ABSTRAK

Ankum dan Papera sangat menentukan hasil kerja proses peradilan militer.

Indenpendensi peneyelidik dan penyidik tindak pidana militer bisa terganggu akibat mekanisme atasan-bawahan. Dan dalam praktiknya sering terjadi tarik menarik antara Ankum disatu pihak dengan aparat penegak hukum di pihak lain. Aparat penegak hukum berkepentingan membawa tersangka ke pengadilan, sedangkan Ankum/Papera cenderung menghindari karena karena membawa ke pengadilan sama saja mempersoalkan tanggung jawab Ankum bersangkutan sebagai komandan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum/ normatif dan bersifat deskriptif analisis, Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach), pengambilan dan pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi lapangan, penelitian ini menggunakan analisis kualitatif.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 Peranan dan wewenang Ankun selaku komandan seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap anak buahnya. Papera dalam menentukan suatu perkara pidana meminta pendapat dari Oditur Miilter tetapi sifatnya dalam bentuk saran dan pendapat maka hal tersebut tidak mengikat para komandan, akhirnya komandan juga yang menentukan sehingga penilaian bersifat subyektif padahal penyelesaian suatu perkara haruslah bersifat objektif. Proses penyelesaian perkara tindak pidana desersi diawali oleh tindakan penyelidikan dari kesatuan terdakwa yang diduga malakukan tindak pidana desersi dimana pada proses ini meliputi proses pengumpulan alat bukti, seterusnya dilakukan penyidikan oleh Ankum sebagai atasan yang berhak menghukum dimana hasil penyidikan diteruskan kepada Penyidik POM, atas dasar Penyidikan POM tersebut selanjutnya berkas perkara dilimpahkan kepada Oditur Militer untuk mempersiapkan dakwaan kepada terdakwa yang akan dilimpahkan ke Pengadilan dimana sebelum berkas perkara terdakwa tindak pidana desersi itu dilimpahkan, sebelumnya Oditur akan meminta saran dan pendapat kepada Papera selaku Perwira Penyerah Perkara.Pertimbangan Hakim Pengadilan Militer pada putusan terdapat perbedaan yang signifikan dalam pertimbangan hakimnya, jika di lihat dari aspek Terdakwa.

Kata Kunci : Peranan, Ankum, Papera, Tindak Pidana Desersi, Pengadilan Militer

(7)

THE ROLE OF ANKUM AND PAPERA IN THE PROCESS OF CUSTOMER SETTLEMENT OF CRIMINAL ACCIDENTS IN MILITARY JUSTICE

ERLANGGA PRASADY *) Alvi Syahrin

Madiasa Ablisar Edi Yunara2

Student Master of Law Science Post Graduate USU Medan Lecturer of Post Graduate School Program USU Medan

) ABSTRACT

Ankum and Papera are crucial to the work of the military justice process.

The propriety of investigators and investigators of military crimes can be disrupted by the superior-subordinate mechanisms. And in practice there is often an interesting attraction between Ankum on the one hand with law enforcement officers on the other. Law enforcement officials have an interest in bringing the suspect to court, while Ankum / Papera tends to avoid because bringing to justice is equally concerned about Ankum's responsibilities as commander.

The type of this research is legal / normative research and descriptive analysis. The problem approach used in this research is statute approach and conceptual approach, collecting and collecting data is done by literature study and field study, research It uses qualitative analysis.

Based on Law Number 31 of 1997 The role and authority of Ankun as commander of a commander has a central position and fully responsible for his subordinates. Papera in determining a criminal case to seek opinions from Oditur Miilter but its nature in the form of suggestions and opinions then it does not bind the commanders, ultimately the commander is also decisive so that the assessment is subjective when the settlement of a case must be objective. The process of settling the case of desertion crime was initiated by the investigation action of the alleged defendant who committed the criminal act of desertion which in this process included the process of gathering evidence, and further investigation by Ankum as the eligible superior to the result of the investigation forwarded to the POM Investigator, on the basis of the Investigation POM is then the case file delegated to the Military Oditur to prepare the indictment to the defendant who will be delegated to the Court where before the case file the defendant desertion was delegated, before Oditur will ask advice and opinion to Papera as Offender Offering Officer.Jimbangan Judge Military Court on the verdict there is a significant difference in the judges' judgment, if viewed from the aspect of the Defendant.

Keywords: Role, Ankum, Papera, Crime Desertion, Military Court

(8)

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala lemurahan dan rahmatnya dan diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini tepat pada waktunya.

Tesis ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Magister Hukum di Universitas Sumatera Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul Tesis yang penulis kemukakan “Peranan Atasan Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara dalam Proses Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Desersi di Peradilan Militer”. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan Tesis ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan Tesis ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.

Di dalam penyusunan Tesis ini penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

- Prof. DR. Runtung, SH., M.Hum, Sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara;

- Prof. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Dekan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

- Prof. DR. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi masukan dan arahan sejak awal penulisian sampai selesainya penulisan tesis ini;

- Prof. Dr. Madiasa Ablisar, SH., MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing I yang telah banyak memberikan motivasi masukan dan arahan sejak awal penulisian sampai selesainya penulisan tesis ini;

(9)

- Dr. Edi Yunara, SH., M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing II yang telah banyak memberikan motivasi masukan dan arahan sejak awal penulisian sampai selesainya penulisan tesis ini;

- Dr. M. Hamdan, SH., MH dan Dr. M. Ekaputra, SH., MH selaku Penguji yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan masukan dalam menyempurnakan penulisan tesis ini;

- Bapak dan Ibu Dosen dan sekaligus Staf administrasi di Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

- Seluruh Personel Dilmilti dari Mulai Kadilmilti I Medan beserta Staf atas doa dan ijin yang diberikan hingga saya bisa menyelesaikan kuliah ini;

- Alm. Papa (Peltu Husein Saidy, SH) dan Mama (Irianai K) Kedua orang tua saya selaku penulis sebagai panutan yang memberikan motivasi dan doa;

- Istri saya Liza Lestari Ginting, SS dan anak orang yang tersayang karena telah memberikan semangat dan dukungan untuk mencapai selesainya penulisan tesis ini;

- Ade Irsa Putri, SE & Isna Joko, ST adik yang telah mendoakan untuk kesuksesan seorang abang/kakak nya;

- Fahmi Tanjung, SH., MH selaku adik/teman/sahabat yang sudah banyak membantu hingga Tesis ini selesai;

- Seluruh Rekan-rekan dan teman Pasca Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara yang saling memberikan semangat dan saling dukung untuk pencapaian akhir kita.

Dengan demikian penulis hajatkan agar tesis ini dapat berguna dan bermanfaat kelak bagi sesama mahasiswa ataupun khalayak banyak.

Medan, Agustus 2017 Penulis

Erlangga Prasady

(10)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Erlangga Prasady

NIM : 157005001

Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 18 Februari 1989

Program Studi : Magister Ilmu Hukum/Hukum Pidana

Nama Bapak : Alm. Husein Saidy

Nama Ibu : Iriani Kardun

Nama Istri : Liza Lestari Ginting, SS

Nama Anak : Fesya Elza Prasady

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Jln. B.Z Hamid Gg. Keluarga Medan

Latar Belakang Pendidikan Formal

1995-1996 : TK. Kartika Candra Kirana Yon Armed-2 1996-2001 : SD Negeri Teladan Tebing Tinggi

2001-2004 : SMP Negeri 2 Banda Aceh

2004-2007 : SMA Swasta Singosari Delitua

2009-2013 : Strata I Ilmu Hukum Universitas Medan Area

2015-2017 : Strata II Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... .1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitan ... 16

E. Keaslian Penelitian ... 17

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1.Kerangka Teori ... 17

2.Kerangka Konsepsi ... 22

H. Metode Penelitian ... 28

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 28

2. Metode Pendekatan ... 29

3. Lokasi Penelitian ... 30

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 30

5. Analisis Data ... 31

BAB II PERANAN ANKUM DAN PAPERA DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER ... 32

A. Gambaran Umum Ankum dan Papera ... 32

B. Tugas dan Wewenang Ankum dan Papera ... 39

C. Tanggung Jawab Ankum dan Papera dalam Peradilan Militer ... 44

D. Hubungan Penegakan Hukum dan Disiplin Militer ... 59

(12)

BAB III PROSES PENYELESAIAN PERKARA DESERSI DI

LINGKUNGAN PERADILAN MILITER ... 68

A. Gambaran Umum Tindak Pidana Desersi ... .68

B. Proses Penyelesaian Perkara Di Peradilan Militer ... 75

C. Pengaruh Satu Atap Setelah Keluarnya UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehkiman ... 86

BAB IV PERTIMBANGAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN MILITER TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANA DESERSI ... 105

A. Putusan Nomor 10-K/PMT-I/AD/IX/2015 ... .105

B. Putusan Nomor 05-K/PM I-07/AD/ I /2016 ... 110

C. Putusan Nomor 225-K/PM.I-01/AD/XII/2016 ... 119

D. Analisa Putusan ... 125

BAB V PENUTUP ... 131

A. Kesimpulan ... .131

B. Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak secara tegas memberikan defenisi Peradilan Militer. Namun beberapa pendapat pakar bisa dijadikan acuan:

Peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan (kamus besar bahasa Indonesia).

Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim memutus perkara, baik perdata maupun pidana, untuk menjamin ditaatinya hukum materil (Sudikno Mertokusumo).

Militer adalah yang mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada angkatan perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas.(pasal 46 KUHPM).

Peradilan Militer adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata, untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara (pasal 5 UU No. 31 Tahun 1997).

Mengenai perkataan “tentara” dan “Militer” dalam kehidupan sehari-hari sering di dengar, sedangkan asal kata tersebut berbeda. Jika kita telusuri asal bahasa yang berlainan yaitu : kata “tentara atau laskar” berasal dari bahasa Arab yang daerahnya adalah gurun-gurun pasir, serta perjuangan sehabat-sahabat Nabi

(14)

Muhammad dalam menaklukkan negara-negara tetangga dalam rangka menyebarkan agama Islam pada masa yang lalu.

Sedangkan kata “Militer” berasal dari kata “miles” dalam bahasa Yunani berarti “orang yang bersenjata yang siap untuk bertempur, yaitu orang yang sudah terlatih untuk menghadapi tantangan atau ancaman pihak musuh yang mengancam keutuhan suatu wilayah atau negara. Oleh karena itulah pengertian Militer ini lebih luas dibandingkan dengan pengertian tentara atau laskar, karena pengertian tersebut meliputi semua angkatan (baik darat, laut dan udara).

Akan tetapi tidak setiap orang yang bersenjata dan siap berkelahi atau bertempur disebut Militer. Sesuatu baru dapat dikatakan Militer kalau telah mempunyai ciri-ciri yaitu :

a) Mempunyai organisasi yang teratur.

b) Mengenakan pakaian seragam.

c) Mempunyai disiplin serta mentaati hukum yang berlaku dalam peperangan.

Apabila ciri-ciri tersebut tidak dipenuhi, maka kelompok itu tidak dapat dikatakan Militer atau lebih tepat disebut “gerombolan bersenjata”.

Anggota Militer yang mempunyai organisasi, bergabung di dalam satu wadah atau kesatuan disebut dalam bahasa Indonesia istilah “tentara” sehingga pengertian tentara mengandung pengertian kelompok. Jadi pengertian tentara itu adalah wadah dari pada para Militer, misalnya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan Tentara Nasional Angkatan Udara. Sebagai

(15)

warganegara Republik Indonesia, Militer bukan merupakan kelas tersendiri, karena setiap anggota Militer adalah juga bersumber dari masyarakat biasa. sekaligus adalah warga negara biasa.

Dipandang dari segi hukum, maka anggota Militer mempunyai kedudukan yang sama dengan masyarakat biasa artinya bahwa sebagai warganegara, baginyapun berlaku semua ketentuan hukum yang berlaku, baik hukum pidana maupun perdata, acara pidana dan acara perdata. Perbedaan hanya karena adanya beban kewajiban yang lebih banyak dari warganegara biasa dalam hal yang berhubungan dengan pertahanan negara.

Sebelum PD II peradilan militer Belanda di kenal dengan nama ‘ Krijgsraad’ dan

‘Hoog Militair Gerechtshof’, hal ini sebagaimana tercantum dalam bepalingen Betreffende de rechtsmaacht Van De militaire rechter in nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De

Provisionele Instructie Voor Het Hoog Militair Gerechtshof Van Nederlands Indie, S.1992 No. 163.3

3 http://wonkdermayu.wordpress.com/sejarah-peradilan-militer-di-indonesia

Peradilan ini ruang lingkupnya meliputi pidana materil yang anggotanya terdiri dari anggota angkatan darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan Angkatan Laut Belanda. Untuk diketahui, Angkatan Laut ini merupakan bagian integral dari Angkatan Laut kerajaan Belanda (Koninklijke Marine), sedangkan KNIL merupakan organisasi tersendiri dalam arti terlepas dari tentatara kerajaan Belanda (Koninklijke Leger). Atas dasar ini maka KNIL diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshop pada tingkat banding, sedangkan anggota angkatan laut diperiksa dan diadili oleh Zee Krijraad dan Hoog Militair Gerecht Shoof.

Krijgsraad terdapat di kota, Cimahi, Padang, dan Makassar dengan wilayah meliputi :

(16)

- Cimahi : Jawa Madura, Palembang, Bangka, Belitung, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Kalimantan, Bali, Lombok.

- Padang : Sumbar, Tapanuli, Aceh dan Sumatera Timur - Makassar : Sulawesi, Maluku dan Timor

Krijsraad memeriksa dan mengadili perkara pidana pada tingkat pertama terhadap anggota militer dengan pangkat Kapten ke bawah dan orang-orang sipil yang bekerja di militer. Sedangkan Hoog Militair Gerecht shoof merupakan pengadilan militer instansi kedua (banding) serta mengadili pada tingkat pertama untuk Kapten ke atas dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta.

Pada masa pendudukan Balatentara Jepang pada tanggal 2 maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, membentuk Gunritukaigi (peradilan militer) untuk mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini bertugas mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati.

Gunritukaigi dikepalai oleh Sirei Kan (pembesar Balatentara Jepang), yang beranggotakan :4

1. Sinbankan ; hakim yang memberikan putusan

2. Yosinkan ; hakim yang memeriksa perkara sebelum persidangan 3. Kensatakun ; Jaksa

4. Rokusi ; Panitera

5. Keiza ; Penjaga terdakwa.

Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.

Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-

4 Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan sejak tahun 1942 dan apa manfaatnya bagi kita Bangsa Indonesia, Yokjakarta; Liberty 1983.

(17)

undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari : 5

1. Pengadilan Militer 2. Pengadilan Militer Tinggi 3. Pengadilan Militer Utama 4. Pengadilan Militer Pertempuran.

Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan atau kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 22 PNPS Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan Undang-undang Nomor 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi.6

Pada tanggal 1 September 2004, Panglima Tentara Nasional Indonesia telah menyerahkan pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dalam

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan pula dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan Kehakiman.

Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan Kehakiman

dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi yang sering disebut istilah “ satu atap”, sebagai mana tertera pada pasal 2 dan pasal 10 Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang sekarang telah di revisi menjadi Undang-Undang 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5 Undang-Undang 31 tahun 1997 tentang peradilan militer Pasal 1 ayat (1)

6 http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/sejarah-peradilan-militer-di-indonesia/

(18)

lingkungan Peradilan Militer dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu sebagai realisasi dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi peradilan militer.

Keberadaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer tidak terlepas dari keberadaan Tentara Nasional Indonesia, karena pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman untuk mengadili perkara pidana dan sengketa tata usaha Militer di lingkungan Tentara Nasional Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Meskipun secara organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer beralih dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Agung Republik Indonesia, namun pembinaan keprajuritan bagi personil Militer yang bertugas pada pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personil Militer. Berbeda halnya dengan pembinaan bagi para Pegawai Negeri Sipil pada pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer, setelah pengalihan ini sepenuhnya menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Berbicara mengenai yurisdiksi Peradilan Militer tidak sama dengan yurisdiksi Peradilan Umum. Hal ini terutama adalah sebagai akibat dari pembagian Komando Daerah Militer (Kodam), dimana para pemegang komando tersebut merupakan Perwira Penyerah Perkara (Papera) dari suatu perkara kepada Mahkamah Militer

(19)

(Peradilan Militer). Pembedaan yurisdiksi badan-badan Peradilan Militer juga sebagai akibat atau konsekuensi dari penitik beratan pada asas personalitas mengenai berlakunya ketentuan pidana untuk Militer.

Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer terdiri dari Pengadilan Militer (PM), Pengadilan Militer Tinggi (PMT), Pengadilan Militer Utama (PMU), dan Pengadilan Militer Pertempuran (PMP)7. Tempat kedudukan PMU di ibukota negara yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara RI, sedangkan tempat kedudukan dan daerah hukum Peradilan Milter lainnya ditetapkan dengan Putusan Panglima.8

Hakim pada Peradilan Militer, yaitu Hakim Militer tinggi, dan Hakim Militer utama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan ketua Mahkamah Agung.9

7Bandingkan istilah ”Pengadilan Militer Pertempuran” dengan Undang-Undang baru ini dengan istilah yang pernah digunakan oleh Peraturan Penguasa Perang Pusat No.

Prt/Peperpu/024/1958, yaitu “Pengadilan Tentara Daerah Pengadilan”.

8) UU No. 31 tahun 1997, lihat Pasal 12 dan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2).

9) Ibid, Pasal 21 .

Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Militer, seorang perajurit harus memenuhi syarat-syarat antara lain yaitu paling rendah berpangkat Kapten dan berijazah sarjana hukum, serta berpengalaman di bidang Peradilan dan/atau hukum. Syarat untuk Hakim Militer Tinggi, antara lain paling rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah sarjana hukum; sedang syarat untuk Hakim Militer Utama antara lain, yaitu paling rendah

(20)

berpangkat Kolonel dan barijazah sarjana hukum, serta berpengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai Oditur Militer Tinggi. 10

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tidak mengatur tentang pimpinan badan-bandan Peradilan Militer, baik tentang wewenang pengangkatan, persyaratan, maupun tugas dan wewenang pimpinan.

11

Tugas seorang Ankum akan bertambah jika ia diangkat menjadi Perwira Penyerah Perkara (Papera). Urgensi Ankum dalam peradilan militer berangkat dari prisnsip kesatuan komando atau disebut juga asas unity of command. peran komandan prajurit dalam menangani suatu tindak pidan militer tidak bisa dikesampingkan, sebab adakalanya peran

Di samping kekuasaan yang bersifat yustisial. di atas, PMU juga memiliki kekuasaan nonyustisial, antara lain yaitu (a) melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Peradilan pada PM, PMT, dan PMP; (b) melakukan pengawasan terhadap tingkah laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya; dan (c) meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan kembali. dan grasi kepada Mahkamah Agung.

Ankum, dalam UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer diartikan sebagai atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan.

Ankum memiliki beberapa kewenangan yaitu melakukan penyelidikan terhadap prajurit yang ada di bawah wewenang komandonya, melakukan penyidikan, melakukan penahann tersangka prajurit yang ada di bawah komandonya, jika bertugas sebagai penyidik, kewenangan seorang penyidik berlaku juga bagi Ankum.

10) Ibid, Pasal 18, 19 dan 20.

11)Dalam Pasal 13 ditentukan bahwa “Susunan organisasi dan prosedur Pengadilan sebagaimana dimaksud Pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.

(21)

komandan lebih diutamakan ketimbang petugas penegak hukum seperi polisi militer, oditur, dan hakim militer.12

Di dalam fungsinya Ankum dan Papera dalam kesatuan komandonya dapat memberikan perlakuan hal pencegahan atau pembinaan, dalam membina anak buah yaitu seorang prajurit di satuan masing-masing dalam fungsi Ankum ini sendiri pembinaan dilakukan seperti antara lain dengan adanya penyuluhan hukum ke satuan bawah, penyuluhan hukum ini hal yang sering dilakukan oleh seorang Ankum terhadap anggota bawahnya agar mengetahui lebih dalam norma-norma hukum yang berlaku di dalam Instansi Militer ini sendiri, selain dari pada norma-norma hukum yang berlaku atasan yang berhak menghukum (Ankum) dan Perwira penyerah perkara (Papera) ini juga sering melakukan pencegahan yaitu dengan cara memberikan batasan-batasan juga penekanan ke komando bawah untuk melakukan hal atau perbuatan yang tidak menyimpang dari norma hukum itu sendiri, jadi setiap langkah seorang prajurit sebenarnya telah di lakukan pemberitahuan batasan-batasan dan penekanan berjalan di atas norma hukum yang berlaku. adapun Fungsi lain dari Ankum dan Papera ini sendiri bila seorang prajurit yang melakukan tindak pidana dalam permasalahan ini yaitu tindak pidana Desersi , tindak pidana Desersi ini termasuk dalam kategori tindak pidana yang sangat dilarang pada instansi militer itu senidiri karena dari tindak pidana desersi ini sangat merugikan bagi Satuan militer juga Negara Kesatuan Republik Indonesia, ketidak hadiran seorang prajurit dalam dinas secara berturut-turut selama 30 hari hal ini yang di katakan Tindak pidana Desersi yang di atur dalam pasal 87 KUHPM.

Desersi ini bisa terjadi di karenakan adanya beberapa faktor diantara lain kesengajaan prajurit untuk tidak hadir dalam kewajiban dinasnya, ada juga di karenakan permasalahan pribadi

12 S.R Sianturi. Hukum Pidana Militer di Indonesia. Jakarta ; Alumni AHEM-PETEHAEM, 1985

(22)

yang menjadikan anggota prajurit tidak ingin masuk satuan dan menjalankan kewajibannya.

Pada perihal ini Ankum dan Papera sangat berperan aktif untuk penanganan setelah prajurit TNI melakukan pelanggaran, fungsi Ankum memberikan tindakan penahanan selama 20 hari di satuan, dan fungsi Papera memiliki peran untuk mengeluarkan surat keputusan bila berkas akan di limpahkan ke Pengadilan.13

1. Setelah terbukti bahwa terdapat prajurit yang telah melakukan kejahatan, atas perintah Ankum prajurit tersangka tersebut dapat ditahan selama maksimum 20 hari.

Adapun proses penyelesaian perkara pidana di Pengadilan Militer yang intinya sebagai berikut :

2. Selanjutnya Ankum memerintahkan Provoost satuannya untuk mengadakan pemeriksaan awal dan pembuatan Berita Acara di tempat kejadian perkara (TKP), dan selanjutnya membuat laporan Polisi.

3. Kemudian berkas perkara tersangka diserahkan kepada Polisi Militer (POM).

4. Apabila Tersangka masih perlu ditahan, maka Ankum mengajukan perpanjangan penahanan sementara kepada Papera selama 30 hari.

5. Kemudian Ankum memerintahkan POM dengan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan untuk melakukan penyidikan terhadap anggota satuan bawahannya yang melakukan tindak pidana.

13 Sianturi S.R., Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Babinkum TNI, Jakarta 2010

(23)

6. Hasil penyidikan tersebut disusun menjadi berkas dan dikirim kepada Ankum 1 (satu) berkas, Perwira Penyerah Perkara (Papera) 1 (satu) berkas, dan Oditurat Militer (Otmil) berikut barang bukti untuk proses penyelesaian perkara lebih lanjut.

7. Kemudian hasil penyidikan tersebut dimuat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) selanjutnya dilimpahkan kepada Penuntut Umum atau Oditur Militer untuk penyelesaian lebih lanjut.

8. Oditurat Militer menyerahkan berkas disertai saran pendapat hukum kepada Papera.

9. Setelah menerima berkas perkara dan mempelajari pendapat hukum dari Oditurat Militer, Papera wajib mengeluarkan Surat Keputusan tentang penyelesaian perkara setelah terlebih dahulu mendengar pendapat hukum dari Dinas Hukum Kotama untuk tingkat Kotama (Komando Utama).

10. Surat Keputusan Papera dapat berupa :

a. Surat Keputusan Penyerah Perkara (Skeppera).

b. Surat Keputusan Penutupan Perkara (Skeptupra).

c. Surat Keputusan Penyampingan Perkara (Skeppingra).

d. Surat Keputusan Pengembalian Perkara (Ankum menyelesaikan perkara secara hukum disiplin Militer).

Selanjutnya setelah Surat Keputusan Penyerahan Perkara diterbitkan berarti kasus kejahatan yang dilakukan prajurit tersebut diselesaikan melalui Pengadilan Militer untuk selanjutnya diproses melalui persidangan di Pengadilan Militer.

(24)

Akibat dari sistem Kepaperaan ini sering mengakibatkan kesulitan atas kemacetan di dalam penyelesaian perkara tersebut ke sidang pengadilan. Banyak perkara tidak terselesaikan karena menunggu putusan dari Papera, dan menumpuknya perkara pidana di meja atau di tangan Papera kadang-kadang sama banyaknya dengan perkara-perkara yang berada pada Pengadilan Militer untuk menunggu pemeriksaan.

Banyaknya perkara yang menumpuk pada Papera ini selain disebabkan asas unity of command juga disebabkan pula dengan banyaknya pekerjaan Papera yang lain yang juga harus diselesaikan, sehingga kurangnya waktu untuk mengurus perkara yang diajukan kepadanya. Apalagi tugas-tugas atau kewenangan Papera tidak dapat diwakilkan atau didelegasikan kepada pejabat di bawahnya.

Dalam hal ini yang seharusnya perkaranya dapat diselesaikan dengan cepat, namun karena rantai penyelesaiannya menjadi panjang, sehingga penyelesaian perkara tersebut terkesan lamban. Seharusnya guna menunjang kecepatan proses perkara apalagi di dalam zaman angkatan perang modern dan selalu berkembang, sudah seharusnya pula hukum dan proses penyelesaian perkara harus berkembang pula, bagaimana membuat proses penyelesaian perkara sesederhana mungkin.

Dalam proses penuntutan perkara meskipun sebelumnya komandan, dalam hal ini Papera menentukan suatu perkara pidana meminta pendapat dari Oditur Militer terlebih dahulu, tetapi karena sifatnya suatu pendapat atau nasehat, maka hal tersebut tidak mengikat para komandan, akhirnya komandan sendiri yang menentukan, sehingga dapat lebih bersifat subjektif, padahal seharusnya penyelesaian suatu perkara haruslah objektif.

(25)

Selain itu apabila terjadi pertentangan antara keputusan Papera dengan pendapat Oditur yang akhirnya setelah melalui prosedur yang berlaku tentang ketetapan untuk menyerahkan perkara pidana seorang prajurit adalah kewenangan Pengadilan Militer Utama yaitu instansi yang tidak termasuk rantai komando (chain of command) dan berada di luar pertanggungjawaban komandan / Papera (command respon sibility) dari organisasi Militer. Namun pada prakteknya hal ini tidak pernah dipergunakan oleh Oditur Militer, mungkin dengan pertimbangan bahwa komandan yang bersangkutan karena kebijaksanaannya di tentang oleh bawahannya sehingga unsur subyektif dari komandan akan membawa akibat kurang menguntungkan bagi Oditur Militer dalam karir selanjutnya, sehingga Oditur menerima saja putusan dari Papera walaupun diketahui atau disadari bahwa untuk kepentingan yustisi suatu perkara seharusnya mendapat penyelesaian sebagaimana mestinya.

Ankum dan Papera sangat menentukan hasil kerja proses peradilan militer.

Indenpendensi peneyelidik dan penyidik tindak pidana militer bisa terganggu akibat mekanisme atasan-bawahan. Dan dalam praktiknya sering terjadi tarik menarik antara Ankum disatu pihak dengan aparat penegak hukum di pihak lain. Aparat penegak hukum berkepentingan membawa tersangka ke pengadilan, sedangkan Ankum/Papera cenderung menghindari karena karena membawa ke pengadilan sama saja mempersoalkan tanggung jawab Ankum bersangkutan sebagai komandan.14

14 M. Fajrul Falaakh et al. Implikasi Reposisi TNI-Polri di bidang hukum. Yogyakarta Fakultas Hukum UGM Yogyakarta, 2001.

(26)

Oleh karena itu, dengan pendahulan tersebut di atas adalah sangat menarik untuk dilakukan penelitian.

B. Rumusan masalah

Dari latar belakang yang diuraikan di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana Peranan Ankum dan Papera dalam proses penyelesaian perkara di lingkungan Peradilan Militer ?

2. Bagaimana proses penyelesaian perkara Desersi di lingkungan Peradilan Militer ?

3. Bagaimanakah Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Militer Terhadap Perkara Tindak Pidana Desersi?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan pembahasan yang dilakukan dalam pembahasan tesis ini adalah pada dasarnya :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan Peranan Ankum dan Papera di lingkungan Peradilan Militer dalam perkara Desersi.

2. Untuk memberikan gambaran mengenai proses penyelesaian perkara Desersi di lingkungan Peradilan Militer.

3. Untuk Mengetahui Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan Militer Terhadap Perkara Tindak Pidana Desersi.

(27)

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi baik teoritis kepada disiplin ilmu hukum yang ditekuni oleh peneliti maupun praktisi kepada para praktisi hukum. Disini dapat dijelaskan kegunaan secara teoritis dan praktis15

1. Keguanaan/manfaat yang bersifat teoritis adalah mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran dibidang hukum yang akan mengembangkan disiplin ilmu hukum serta memberikan sumbangan pemikiran ilmu hukum bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer khususnya tindak pidana desersi.

2. Keguanaan/manfaat yang bersifat praktis adalah bahwa hasil penelitian nantinya diharapakan dapat memberikan jalan keluar yang akurat terhadap permasalah yang diteliti dan disamping itu hasil penelitian ini dapat mengungkapkan teori-teori baru serta pengembangan teori-teori yang sudah ada serta memberikan pengetahuan terhadap para pejabat/petinggi TNI yang diberikan wewenang menghukum, para akademisi dan masyarakat pada umumnya mengenai peranan Atasan berhak menhukum dan perwira

15Soerjono Soekamto dalam Ediwarman, cetakan ketiga, 2016, Monograf Metode Penelitian Hukum (Panduan Penelitian Hukum), PT. Genta Publishing, Yogyakarta, hlm. 63

(28)

pernyerah perkara dalam penyelesaian perkara tindak pidana desersi di lingkungan Militer.

E. Keaslian Penelitian

Guna Menghindari terjadinya duplikasi terhadap penelitian dengan judul dan rumusan masalah yang sama maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan dari penelusuran yang dilakukan tidak ditemukan judul yang sama dengan judul dan perumusan masalah dalam penelitian ini. Dari hasil penelusuran diperoleh judul tesis atas nama : Ahmad Azahari NIM : 097005095 dengan judul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Desersi yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (Studi Kasus Desersi Di Pomal Lantamal I Belawan”. Bila dilihat dari judul tesis di atas, tidak ada yang sama dengan judul Peranan Atasan Berhak Menghukum dan Perwira Penyerah Perkara dalam Proses Penyelesaian Tindak Pidana Desersi Di Pengadilan Militer.

Maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini adalah asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain, serta dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

(29)

Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berhubungan yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu.16 Fungsi teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses terjadi. Suatu teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Sehingga kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir- butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis,17

Terjemahan bebas : Tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai hukum serta postulat-pustulatnya sampai pada landasan filosofisnya yang terdalam.

yang akan dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian ini. Teori adalah bagian yang sangat penting dalam menganalisis suatu permasalahan, sehingga akan memudahkan dalam mencari suatu solusi pemecahannya.

Radbruch mendefinisikan makna dari teori hukum sebagai : “The task of legal theory is clarification of legal values and postulates up to their ultimate philosophical foundation”.

18

Menurut Lawrence M. Friedman bahwa efektivitas penegakan hukum tergantung dari 3 (tiga) unsur sistem hukum yang mempengaruhi, yaitu struktur

Tesis ini menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

Adapun teori yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Teori Sistem Hukum

16 J.J.H. Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, dialihbahasakan oleh Arief Sidharta, (Bandung;

Citra Aditya Bakti, 1999), Hal. 2

17M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994). hlm. 80

18Jhonny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, hlm. 179-180

(30)

hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat. Tentang struktur hukum Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa :

“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts; their jurisdiction…strukture. Also means how the legislature is organized. What procedures the police department follow, and go. Structure is away, is a kind of crosss section of the legal system. Akind of photograph with free the action”.

Terjemahan bebas : Untuk mulai dengan, sistim hukum memiliki struktur sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur semacam ini: jumlah dan ukuran pengadilan;

Yurisdiksi mereka ... struktur. Juga berarti bagaimana badan legislatif diorganisir.

Prosedur apa yang diikuti polisi, dan pergi. Strukturnya jauh, adalah semacam cross section dari sistem hukum. Semacam foto dengan bebas aksi.

Struktur dalam sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal structure) terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat hukum yang ada.19

19 Lawrence M. Friedman, 1984, American Law An Introduction, WW. Norton and Company, New York, hlm. 7

Substansi hukum (substance of the law) dapat dipahami sebagai berikut :

(31)

“Another aspect of the legal system is its substance. By this is meast the actual rules, norm, and behavioral patterns of people inside the system …the stress here is on living law, not just rules in law goods”

Terjemahan bebas : Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Dengan ini meast aturan aktual, norma, dan pola perilaku orang-orang di dalam sistem ... stres di sini adalah tentang hukum hidup, tidak hanya peraturan dalam barang hukum).

Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Jadi substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum.20

Budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun

Mengenai budaya hukum Friedman berpendapat sebagai berikut :

“The third component of legal system, of legal culture. By this we mean people‟s attitudes toward law and legal system their belief, in other word, is the eliminate of social thought and social force which determines how law is used aveded andavused”.

Terjemahan bebas : komponen ketiga sistem hukum, budaya hukum. Dengan ini kita maksudkan sikap orang terhadap sistem hukum dan hukum, kepercayaan mereka, dengan kata lain, adalah menghilangkan pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan dan dilupakan

20 Ibid

(32)

kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh orang- orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.

b. Teori Sistem Peradilan Pidana

Muladi mengemukakan bahwa sistemperadilan pidana merupakan suatu jaringan (network) yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksana pidana.21 Makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dibedakan dalam : 1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. 2) Sinkronisasi subtansial (subtancial syncronization), adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. 3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.22

Menurut teori utility, Jeremy Bantham berpendapat bahwa tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat luas.

Hukum dapat mengorbankan kepentingan individu perorangan demi kepentingan masyarakat c. Teori Fungsi Hukum

21 Romli Atmasasmita,2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 5.

22Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 77.

(33)

luas terpenuh. Hukum bertujuan untuk mewujudkan hal-hal yang bermanfaat atau berfaedah bagi orang, dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Oleh sebab itu apa yang bermanfaat belum tentu memenuhi nilai-nilai keadilan.

Sedangkan fungsi hukum dalam masyarakat menurut Roscoe Pound yaitu la as a tool of social engineering.23

Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan yang secara sah dilindungi, dalam tiga golongan yaitu :

Dalam hal ini hukum bukan saja sebagai sekumpulan sistem

peraturan, doktrin, dan kaidah atau azas-azas, yang dibuat dandiumumkan oleh badan yang berwenang, tetapi juga proses-proses yang mewujudkan hukum itu secaranyata melalui penggunaan kekuasaan. Oleh karena itu hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya, sehingga hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap rakyatnya.

24

Penggolongan-penggolongan kepentingan tersebut dimaksudkan jika terjadi perselisihan kepentingan dalam proses pembangunan khususnya benturan kepentingan umum atau social dengan kepentingan individu, maka perlu diupayakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan. Harmonisasi kepentingan akan terjadi perubahan-perubahan social, serta membawa kemajuan dalam masyarakat dan perabahannya, sehingga hukum akan memilih dan mengakui kepentingan yang lebih utama melalui penggunaan kekuasaan.

1) Kepentingan-kepentingan umum (public interests);

2) Kepentingan-kepentingan social (social interest);

3) Kepentingan-kepentingan individu (individual interests).

23H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, h. 33

24W. Friedmann, 1994, Teori & Filsafat Hukum : Idealisme Filosafis & Problema Keadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 141

(34)

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.25 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.26 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal- hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.27

25 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), hal. 122.

26 Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei,

27 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hal 3.

Pentingnya defenisi adalah untuk menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dirumuskan serangkaian defenisi sebagai berikut :

a. Peranan

Peranan (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksankan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. perbedaan antara kedudukan dan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.

(35)

b. Papera

Papera atau Perwira Penyerah Perkara adalah Perwira yang oleh atau atas dasar undang-undang mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit TNI yang berada di bawah komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer atau pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan penyerahan perkara adalah keputusan tertulis seorang PAPERA untuk menyerahkan suatu perkara pidana setelah selesai diperiksa dan setelah mendengar pendapat Oditur Militer (Jaksa Tentara) pada tingakat komando yang bersangkutan kepada Pengadilan Tentara (Pengadilan Mililer) yang dianggap berwenang untuk memeriksa dan diadili olehnya.

c. Ankum

Ankum atau Atasan yang berhak menghukum adalah atasan yang oleh atau dasar undang-undang ini diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada di bawah wewenang komandonya.28

Ditinjau dari sudut organisasi, untuk menang dalam suatu pertempuran diperlukan mutlak suatu pengomandoan tunggal, yang istilah teknisnya disebut

“Unity Of Command” yang artinya setiap bagian dari organisasi Militer hanya

)

28Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Pasal 11.

(36)

seorang saja yang bertanggung jawab secara total. Mengenal segala hal ikhwal kesatuannya dan pelaksanaan tugasnya. Juga dari segi pertanggungjawaban ini akan lebih efektif asal unity of command ini, sebab efektifitas seorang individu sangat terganggu kalau kepadanya diminta untuk melaporkan kepada lebih dari satu atasan.

d. Proses (process)

Pengertian proses (process) dalam kamus lengkap Inggris_Indonesia, Indonesia_Inggris karangan Prof. Drs. S. Wajo Wasito dan W.J.S Poerwadarmita hal. 159 berarti : a. 1. Jalannya, bekerja, a.2. cara mengerjakannya,29

Menurut Muhammad Abduh, S.H ”memang sepintas lalu sepertinya antara proses dan prosedur hampir sama, akan tetapi bila diteliti maka akan terlihat dengan nyata tentang perbedaan antara proses dan prosedur. Oleh karena itu suatu prosedur dapat dikatakan telah berjalan dengan baik sepanjang hal tersebut telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku sedangkan proses hanyalah semata-mata memberikan gambaran kerja dari prosedur itu sendiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prosedur telah berjalan dengan sempurna manakala telah sesuai dengan peraturan atau ketentuan b.1. menuntut menurut Undang-undang, b.2.

mengerjakannya.

29W.J.S Poerwadarmata, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta ; 1984

(37)

hukum yang berlaku, sedangkan proses hanyalah jawaban telah terlaksana atau tidak terlaksananya tentang pekerjaan prosedur itu sendiri”30

1. Proses penyidikan.

Proses acara yang dimaksud disini adalah :

2. Proses pelimpahan perkara ke Pengadilan.

3. Proses pemeriksaan dimuka sidang pengadilan.

e. Desersi

Tindak pidana Desersi adalah salah satu tindak pidana yang sering terjadi di dalam lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tentang pengertian atau defenisi tindak pidana Desersi tidak diatur secara khusus didalm Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Tetapi pengertian atau defenisi dari Desersi tersebut dapat disimpulkan dari pasal 87 KUHPM, bahwa Desersi adalah tidak hadir dan tidak sah lebih dari tindak pidana Desersi ini adalah ketidakhadiran tanpa izin yang dilakukan oleh seorang militer pada suatu tempat dan waktu yang ditentukan baginya dimana dia seharusnya berada untuk melaksanakan kewajiban dinas. Tindak pidana Desersi ini Termasuk dalam delik berlanjut yang erat hubungannya dinas. Tindak pidana desersi ini termasuk dalam delik berlanjut yang erat hubungannya dengan ketentuan yang telah melewati batas waktu.

f. Pengadilan Militer

Kehadiran lembaga pengadilan di alam merdeka ini tidak sekedar menunjukan bahwa telah meninggalkan model-model peradilan Hindia Belanda

30Muhammad Abduh, Makalah Prosedur, 1999

(38)

yang cenderung memihak dan kurang objektif, melainkan juga sebagai suatu bukti bahwa Negara Indonesia telah memenuhi syarat sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum, yakni dengan terbentuknya Badan-badan Peradilan yang bebas dari campur tangan kekuasan lain. Dan yang lebih penting dengan hadir nya lembaga pengadilan tersebut dimaksudkan untuk mengawasi dan melaksanakan aturan-aturan hukum atau Undang-Undang Negara atau dengan kata lain untuk menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.31

Peranan Pengadilan tidak dapat disangsikan lagi, sebab dengan lembaga pengadilan inila segala yang menyangkut hak dan tanggung jawab yang terabaikan dapat diselesaikan, lembaga ini memberikan tempat bahkan membantu kepada mereka yang merasa dirampas hak-haknya dan memaksa kepada pihak-pihak agar bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan yang dilakukan yang merugikan pihak lainnya, aktivitas lembaga pengadilan demikian itu pada dasarnya adalah berupaya melendingkan rumusan-rumusan hukum yang sifatnya masih abstrak, karena dengan melalui berkerjanya lembaga pengadilan, hukum itu baru dapat diwujudkan, sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, bahwa kehadiran lembaga hukum itu merupakan operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum yang nota bene

31 Rusli Muhammad, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan Kontroversial, UII Press, Yogyakarta, 2013, hal.2

(39)

bersifat abstrak. Melalui lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah hal- hal yang bersifat abstrak tersebut dapat diwujudkan ke dalam kenyataan.32

32Satjipto Rahardjo, Makalah “Teori dan Metode dalam Sosiologis Hukum” dalam Pertemuan Ilmiah Fakultas Hukum UII, Yogyakarta,11-12 Nopember 1984, hal.5.

Pasal 1 angka 1 UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer menentukan, Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Pasal 5 ayat (1) UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer menentukan, Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Kekuasaan pengadilan militer diatur dalam Pasal 45 sampai dengan pasal 47 UU 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer :

Pasal 45 menjelaskan : “Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran”.

Pasal 46 menentukan: “Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran”.

G. Metode Penelitian

(40)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka jenis penelitian ini adalah Metode penelitian hukum/ normatif.33

Penelitian ini juga bersifat deskriptif analisis yaitu suatu metode dalam penelitian status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas persitiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki dan kasus yang maksudnya adalah studi hukum dalam eksplorasi literatur (law in books).

dimaksudkan untuk mengkaji mengenai arti dan maksud berbagai kaedah hukum yang berlaku mengenai kekuasaan Kehakiman atau yang berkaitan dengan pelaksana kekuasaan Kehakiman oleh Mahkamah Agung di bawah satu atap, dan peraturan perundang-undangan serta latar belakang pemberian kewenangan atau peranan Ankum dan Papera dalam proses perkara tindak pidana Desersi di Peradilan Militer.

34

33Mukti Fajar N.D dan Achmad, Yulianto, 2007, Dualisme Penelitian, Pensil Komunika, Yogyakarta, Hlm. 32.

34Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.

Penelitian ini menggambarkan peranan komandan dalam penyelesaian perkara tindak piadana Desersi dalam Peradilan Militer dengan menggunakan pendekatan Yuridis normatif sedangkan sebagai materi penelitian adalah penyelesaian perkara tindak pidana Desersi pada Peradilan Militer Tinggi I Medan.

(41)

2. Metode Pendekatan

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji, dalam hal ini akan akan diteliti mengenai hukum acara pidana umum dan hukum acara pidana militer serta penerapannya.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) merupakan pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, doktrin-doktrin tersebut merupakan pijakan bagi peneliti dalam membangun argumentasi hukum dalam memecahkan permasalahan yang dikaji.35

35Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 95.

Dalam hal ini pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin ilmu hukum tersebut didapatkan dari kepustakaan khususnya literatur-literatur mengenai hukum acara pidana umum dan hukum acara pidana militer, serta literatur-literatur hukum yang lain yang relevan dengan isu yang dikaji.

3. Lokasi Penelitian.

Sehubungan dengan judul penelitian ini, maka lokasi penelitian adalah Pengadilan Militer Tinggi-I Medan serta Pengadilan Militer I-02 Medan dan Oditurat Militer Tinggi Medan serta Oditur Militer I-02 Medan.

(42)

4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Untuk melengkapi data dalam penelitian ini dengan menyesuaikan judul dan meteri yang disajikan, dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Penelitian Kepustakaan (Library Research) melalui penelitian di kepustakaan atau sumber bacaan tertulis yang mempunyai hubungan dengan judul penelitian ini, untuk dijadikan sebagai bahan-bahan atau data-data yang bersifat teoritis ilmiah sebagai dasar penelitian dan analisa terhadap masalah yang dihadapi.

2. Penelitian lapangan (Field Research) yaitu melakukan kegiatan pengamatan langsung dan wawancara dengan informasi untuk memperoleh data-data yang diperlukan, narasumber sebagai sumber data primer dan sumber data sekunder ialah diambil secara sampel dengan memilih yang dianggap telah mewakili secara umum.

5. Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu suatu analisis data yang menggunakan dan memahami kebenaran yang diperoleh dari hasil penelitian dan jawaban-jawaban dari informan yaitu hakim dan komandan, yang dicari hubungan antara data yang satu dengan data yang lain kemudian disusun secara sistematis.

“Metode analisis data kualitatif dilakukan dengan cara menyeleksi data yang telah terkumpul dan memberikan penafsiran terhadap data-data itu kemudian menarik kesimpulan”.36

36 Winarno Surakhman, Paper, Skripsi, Disertasi, (Bandung: Tarsito, 1998), hal. 16

(43)
(44)

BAB II

PERANAN ANKUM DAN PAPERA DALAM PROSES PENYELESAIAN PERKARA DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

A. Gambaran Umum Ankum dan Papera

Dalam dunia hukum kita sering mendengar kata ‘Ankum’ dan ‘Papera’.

Ankum37

Bagi anggota militer di Indonesia berlaku dua ketentuan materil sekaligus yaitu KUHPidana (KUHP) sebagai pidana umum, dan KUHPidana Militer (KUHPM) sebagai aturan khusus. Pemberlakuan hukum pidana khusus (KUHPM) itu berkaitan dengan adanya beberapa perbuatan yang jika dilakukan masyarakat sipil tidak diancam hukum, tetapi jika dilakukan militer menjadi suatu tindak pidana. Misalnya insubordinasi atau disebut juga melawan kepada atasan dan desersi.

yaitu singkatan dari atasan yang berhak menghukum, sedangkan papera singkatan dari perwira penyerah perkara. Istilah ankum dikenal dalam hukum pidana militer.

38

Penyelesaian suatu perkara pidana memiliki proses terpenting yaitu proses penyidikan. Karena pada proses penyidikan inilah, tindakan penyidik ditekankan pada tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak pidana (Pasal 71 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer) serta untuk mengumpulkan barang bukti sehingga tindak pidana yang terjadi

37 Babinkum TNI, 2006, Atasan yang berhak Menghukum di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia, Jakarta.

38 Soeroengan, 1995, Subekti. Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan, Jakarta.

(45)

dapat menjadi terang dan dapat menemukan pelakunya/tersangka (Pasal 1 angka 16 UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Sehingga dari proses inilah seseorang dapat disangkakan sebagai pelaku sebuah tindak pidana ( tersangka ) atau bukan.

Proses ini memang sedikit berbeda apabila kita bandingkan dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP ( Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ) dimana tentang tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana diatur sebagai proses dalam penyelidikan ( Pasal 1 angka 5 UU Nomor 8 Tahun 1981 ), sedangkan tindakan untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti sehingga tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta menemukan pelakunya diatur sebagai proses penyidikan (Pasal 1 angka 2 UU Nomor 8 Tahun 1981). Jadi dalam KUHAP yang mengatur hukum acara pidana umum terdapat proses penyelidikan dan proses penyidikan, sementara dalam hukum acara pidana militer proses tersebut dijadikan satu menjadi proses penyidikan.39

Dalam pelaksanaan penyidikan untuk mencari pelaku dan membuat terang suatu tindak pidana yang diduga terjadi haruslah dilaksanakan secara teliti dan hati- hati serta tidak dengan mudah menyimpulkan atau menuduhkan bahwa seseorang tersebut adalah sebagai pelaku suatu tindak pidana, kecuali dengan didukung oleh alat bukti yang cukup dan meyakinkan. Cara-cara penegakan hukum yang tergesa-gesa

39http:// Perwira. Kodam Mulawarman. mil.id/ 2010/12/23/ Peran Ankum Dalam Proses- Penyidikan /, diakses 15 Juli 2013

(46)

dan mengutamakan pemerasan pengakuan daripada menemukan bukti-bukti adalah cara-cara masa lalu yang sudah tidak layak dilakukan, serta merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia, merendahkan harkat martabat manusia, dan menganggap sepele nasib seseorang. Dan sudah waktunya pelaksanaan penyidikan dilakukan dengan metode scientific criminal detection yaitu suatu metode penyidikan secara ilmiah, tidak lagi menggunakan sistem kuno yang main hantam kromo.

Cakupan tindakan yang dilakukan selama proses penyidikan ini memang begitu luas, dimulai dari diterimanya laporan atau pengaduan tentang dugaan terjadinya suatu tindak pidana kepada penyidik, lalu dilakukan pemeriksaan sampai dengan dilimpahkannya berkas perkara ke pengadilan. Yang dalam hukum acara pidana militer pelaksanaan proses penyidikan tersebut dilakukan oleh polisi militer dan apabila setelah berkas dilimpahkan ke oditurat militer dan Oditur Militer merasa perlu untuk melakukan pemeriksaan tambahan guna melengkapi berkas yang ada, maka Oditur Militer dapat melakukan pemeriksaan tambahan.

Keberadaan penyidik tersebut tercantum dalam Pasal 69 ayat (1) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang menyatakan bahwa Penyidik adalah terdiri dari Atasan yang berhak menghukum, Polisi Militer dan Oditur Militer. Sehingga apabila berpegang terhadap dasar tersebut, maka atasan yang berhak menghukum atau Ankum adalah salah satu penyidik dalam hukum acara pidana militer, bukan hanya Polisi Militer dan Oditur militer40

40 Wahyudi Misran, 2013, “Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsi Oditurat Militer III-14 Denpasar” (Tesis,) Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar

. Namun demikian

(47)

dimanakah peran dan kewenangan Ankum dalam proses penyidikan, karena pada kenyataan di lapangan semua proses penyidikan dilakukan oleh Polisi militer dan Oditur militer. Hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Di dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Penyidik adalah :

a. Ankum b. Polisi Militer c. Oditur Militer

Dari bunyi Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Ankum itu ialah Atasan yang berhak menghukum. Akan tertapi karena Atasan yang berhak menghukum adalah komandan suatu kesatuan, maka tidak mungkin ia melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana. Oleh karena itu demi efektifnya pelaksanaan kewenangan penyidikan dari Atasan Yang Berhak Menghukum tersebut dan untuk membantu supaya Atasan yang berhak menghukum dapat lebih memusatkan perhatian, tenaga dan waktu dalam melaksanakan tugas pokoknya pelaksanaan penyidikan tersebut dilaksanakan oleh Penyidik Polisi Militer atau Oditur Militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 butir (a).

Sedangkan yang dimaksud dengan penyerahan perkara adalah keputusan tertulis seorang PAPERA untuk menyerahkan suatu perkara pidana setelah selesai diperiksa dan setelah mendengar pendapat Oditur Militer (Jaksa Tentara) pada tingkat

Referensi

Dokumen terkait

Ini berarti bahwa informan yang dipilih adalah yang mengetahui secara mendalam permasalahan yang dikaji, orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap

All that parcel of land together with the building thereon and appurtenances thereof situate at Jalan Patingan, Kuching, containing an area of 483.2 square metres, more or less,

Dalam putusan ini, oleh hakim di putus dengan pidana 4 (empat) bulan tidak dengan pidana tambahan pemecatan, menurut peneliti pertimbangan yang diberika

Hasil analisis menunjukkan pemasangan filter pasif menyebabkan kandungan THD arus dan tegangan telah sesuai dengan standar IEEE 519-1992 yang ditentukan yaitu ≤

Pelaksanaaan kegiatan penegakan hukum di lingkungan kemiliteran, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada tiap-tiap Komandan Satuan untuk berkedudukan sebagai Atasan Yang

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan metode dokumentasi, yaitu merupakan suatu cara yang digunakan untuk memperoleh data berupa laporan tahunan (annual

pada penderita diare anak di Puskesmas Rawat Inap kota Pekanbaru yaitu sebanyak 10 orang (10,41%) yang lebih banyak didapat pada anak laki-laki dengan usia 1-3 tahun..

Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis (e) dan (i) adalah mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan yang diambil sebagai suatu keputusan (Direktori