• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. METODOLOGI

3.4 Prosedur Pengujian

3.4.1 Analisis Proksimat

Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang ada pada suatu bahan. Analisis proksimat dilakukan pada sampel kulit udang kering dan kitin yang telah disintesis, yang meliputi: analisis kadar air, abu, dan protein.

1) Analisis kadar air (AOAC 2007)

Tahap pertama yang dilakukan untuk menentukan kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali

Sentrifuse I : 15 menit; 10.000 rpm; T=40C Pencucian dengan etanol glacial (p.a)

Sentrifuse II : 15 menit; 10.000 rpm; T=40C Pengeringan : 60oC; 4 jam

KARAKTERISASI GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA Peritungan rendemen glukosamin hidroklorida

Analisis derajat deasetilasi (DD) dengan metode (FT-IR) Spektrum Identifikasi tingkat konsentrasi dengan metode (HPLC)

Pengukuran titik leleh

UJI TOKSISITAS BSLT (LC50)

Penetasan telur Artemia salina Leach

Perlakuan GlcN-HCl dalam 3 konsentrasi (1000 ppm; 100 ppm; 10 ppm) dan kontrol

Perhitungan LC setelah 24 jam Kitin

HIDROLISIS GLUKOSAMIN HIDROKLORIDA*

Perendaman kitin dalam larutan HCl : 20% , 32%, 35% dan 37% Rasio padatan dan larutan : (9:1 v/w)

Waktu : 4 jam

hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram sampel uji dimasukkan ke dalam cawan, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC selama 5 jam atau sampai beratnya konstan. Setelah selesai, cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya dilakukan penimbangan kembali.

Perhitungan kadar air:

2) Analisis kadar protein (AOAC 2007)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahapan, yaitu dekstruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein

dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0,25 gram kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 ml, lalu ditambahkan 0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 (p.a) pekat. Sampel didekstruksi pada suhu 410ºC selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, sebanyak 50 ml akuades dan 20 ml NaOH 40% dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu desikator 100ºC. Hasil destilasi ditampung dalam labu erlenmeyer 125 ml yang berisi campuran 10 ml asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red

yang berwarna merah muda (1:2). Setelah volume destilat mencapai 40 ml dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Kemudian dilakukan titrasi destilat dengan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda dan dicatat volume titrat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel.

Perhitungan kadar protein:

*) faktor koreksi alat = 2.5

3) Analisis kadar abu (AOAC 2007)

Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105ºC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator danditimbang

hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 ºC selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.

Perhitungan kadar abu:

3.4.2 Derajat deasetilasi kitin dengan FTIR (Fourier Transform-Infra Red)

(Kasaai 2008 dan Khan et al. 2002)

Sampel sebanyak 2 mg dan 200 mg KBr dicampurkan dan dihancurkan dengan mortar. Campuran ini ditempatkan dalam alat pengepresan dan dilakukan pengepresan pada tekanan 800 kg. Kepingan hasil pengepresan diukur absorbansinya pada 1655 dan 3450 cm-1 dengan spektrofotometer Infra Red. Puncak tertinggi dicatat dan diukur dari garis dasar yang dipilih. Nilai absorbans dapat diukur dengan menggunakan rumus:

dengan: A = absorbans

P = transmitans pada puncak minimum Po = transmitans pada garis dasar

Perhitungan derajat deasetilasi (DD) mengacu pada Robert (1997), yaitu dengan membandingkan nilai absorbansi pada bilangan gelombang 1655 cm-1 (serapan pita amida) dengan bilangan gelombang 3450 cm-1 (serapan pita hidroksil). Kitin yang tidak terdeasetilasi menghasilkan nilai perbandingan A1655/A3450 = 1,33. DD dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

3.4.3 Analisis tingkat konsentrasi glukosamin hidroklorida (GlcN HCl)

dengan HPLC (High Performance Layer Chromatography)

(Crespo et al. (2006) Termodifikasi)

Analisis tingkat konsentrasi glukosamin hidroklorida diukur dengan menggunakan metode HPLC yang mengacu pada Crespo et al. (2006)

termodifikasi. Penentuan konsentrasi dengan HPLC dilakukan dengan teknik kromatografi partisi terbalik, yaitu dengan fase diam bersifat nonpolar, sedangkan fase gerak bersifat polar. Proses pemisahan kromatografi fase normal berjalan dengan mengeluarkan komponen-komponen yang nonpolar terlebih dahulu, sementara komponen lainnya yang lebih polar akan tertahan lebih lama dalam kolom. Laju alir fase gerak yang digunakan isokratik, yaitu nisbah volume fase gerak selalu tetap sama selama proses pemisahan. Detektor yang digunakan dalam pengujian HPLC adalah refraksi indeks. Hal ini dikarenakan terdapat beberapa gugus primer dan sekunder pada glukosamin, sehingga perlu dilakukan derivatisasi (Zhu et al. 2005) akan tetapi proses ini memerlukan biaya yang cukup tinggi (Saharty & Bary 2002). Crespo et al. (2006) menyatakan bahwa refraksi indeks merupakan detektor yang dapat mengidentifikasi hampir seluruh komponen non-ionik yang tidak dapat diserap oleh detektor lainnya seperti UV-Vis dan fluorescence.

Metode ini menggunakan kolom Waters Bondapak NH2 3,9 x 300 mm dengan pompa Waters 1525 Binary Pump. Fase gerak yang digunakan adalah asetonitril (HPLC grade) dan air (HPLC grade) (60:40) dengan sistem eluen isokratik. Laju alir 1 ml/menit dengan volume penyuntikan 50 µl, dan suhu kolom 40oC. Deteksi dilakukan menggunakan detektor Refractive Index (RI) Waters

2414. Konsentrasi glukosamin hidroklorida standar dan hasil hidrolisis yang digunakan sebesar 1000 ppm (1 mg/ml).

3.4.4 Analisis FTIR glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) (Stuart 2004)

Analisis FTIR merupakan salah satu teknik spektroskopi inframerah yang dapat mengidentifikasi kandungan gugus kompleks, struktur kimia, pita serapan, serta informasi ikatan polimer pada suatu senyawa dengan spektra infra merah yang terdapat pada range 400-4000 cm-1 (Kauppinen & Partanen 2001). Spektrofotometer inframerah dispersif menggunakan monokromator sebagai pemilah panjang gelombang yang pada FTIR digantikan dengan interferometer. Teknik ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu relatif cepat, sampel uji tidak perlu murni, dan tingkat ketelitian tinggi (Stuart 2004).

Padatan glukosamin hidroklorida hasil hidrolisis dan standar masing-masing dicampur dengan KBr dengan nisbah 1:100 lalu digerus sampai rata

dengan menggunakan mortar. Campuran ini ditempatkan dalam alat pengepresan dan dilakukan pengepresan pada tekanan 800 kg. kepingan hasil pengepresan diukur absorbansinya menggunakan FTIR. Kisaran scanning yang digunakan antara 450 cm-1 hingga 4000 cm-1.

3.4.5 Uji titik leleh (AOAC 1995)

Padatan glukosamin hidroklorida sintetik dimasukkan dalam tabung kapiler melalui ujung tabung yang terbuka. Agar padatan turun ke dasar tabung, tabung diketuk dengan dasar tertutup di bagian bawah atau dijatuhkan melalui sebuah tabung sempit yang panjang. Cara ini dilakukan berulang kali untuk mendapatkan contoh padat dalam tabung setinggi 1-2 mm. Tabung kapiler dimasukkan ke pemanas listrik untuk penetapan titik leleh. Alat dinyalakan dan suhu dinaikkan perlahan sampai titik leleh tercapai.

3.4.6 Pengujian toksisitas glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) dengan

metode brine shrimp lethal toxicity (BSLT) (Meyer et al. (1982).

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode skrining

yang dapat digunakan sebagai tahapan awal dalam menentukan ketoksikan suatu ekstrak ataupun senyawa Metode BSLT memiliki beberapa keunggulan yaitu, perkembangbiakan hewan uji cepat, harganya murah, metode percobaannya mudah, sampel yang diperlukan sedikit, tidak memerlukan laboratorium yang khusus dan hasilnya dapat dipercaya (Indiastuti et al. 2008).Menurut Meyer et al.

(1982), suatu ekstrak dianggap sangat toksik bila memiliki nilai LC50 di bawah 30 ppm, dianggap toksik bila memiliki nilai LC50 30 -1000 ppm dan dianggap tidak toksik bila nilai LC50 di atas 1000 ppm.

Tahapan awal adalah penetasan telur Artemia salina Leach dalam gelas piala ukuran 1 liter yang telah berisi air laut kemudian diletakkan di bawah lampu neon 40 watt dan diberi aerasi. Setelah 48 jam telur menetas menjadi naupilus dan siap untuk diujicobakan. Larutan uji dibuat dengan konsentrasi 1000 ppm, 100 ppm, dan 10 ppm. Uji bioaktivitas dilakukan dengan cara memasukkan 2 ml air laut yang berisi 10-12 ekor Artemia salina Leach yang telah berumur 48 jam ke dalam vial uji. Selanjutnya, ke dalam vial uji ditambahkan 2 ml larutan uji untuk masing-masing konsentrasi akhir pada tiap-tiap lubang vial uji adalah 1000 ppm, 100 ppm, dan 10 ppm kemudian disimpan di bawah lampu neon 40 watt.

Sebagai kontrol dipakai 4 ml air laut yang berisi 10 -12 ekor larva udang tanpa penambahan larutan uji.

Perhitungan jumlah larva udang yang mati dilakukan setelah 24 jam dan dianalisis menggunakan metode Sam (Colegate et al. 1993) berdasarkan perhitungan jumlah larva yang mati dan yang masih hidup, dan tingkat kematian atau mortalitas (%) diperoleh dengan membandingkan antara jumlah yang mati dibagi dengan jumlah total larva. Nilai LC50 diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a+bx. Harga y yang dimasukkan adalah 50 setelah masa inkubasi 24 jam. Nilai a dan b diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linear berdasarkan data dari tiga titik konsentrasi yang digunakan. Harga x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan yang menyebabkan kematian pada 50 % larva.

Dokumen terkait