• Tidak ada hasil yang ditemukan

ii W Artinya: Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan

D. Prosedur Perceraian

46

Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h.56 47

Muhammad Amin Suma, dkk., Pidana Islam Di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h.63

48

Sebelum membahas perceraian karena isteri nusyuz secara khusus, terlebih

dahulu penulis akan menggambarkan prosedur perceraian baik penerimaan

perkara sampai jalannya persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara

dikepaniteraan pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan.

Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani

diajukan ke kepaniteraan Pengadilan Agama (surat gugatan diajukan pada sub

kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepaniteraan

permohonan). Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak

suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum

Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian.49

Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan perceraian

atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut hukum Islam suamilah yang

memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang berhak melepaskan tali

perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Permohonan cerai talak meskipun

bentuknya adalah permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontentius (perkara

gugatan). Sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugat.50

Sebelum perkara terdaftar dikepaniteraan, panitera melakukan penelitian

terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk

dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan.

49

Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003), cet.ke-4, h.206

50

Misalnya dalam membuat surat gugatan, kepaniteraan dibolehkan memberikan

arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila

terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan

sebelum petita dan positanya jelas, seperti ada petita namun tidak didukung oleh

posita berarti gugatan atau permohonan tidak jelas.51

Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih

dahulu harus diperbaiki, Panitera sebagai pihak yang mempunyai otoritas dalam

meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya melakukan penelitian

tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara,

lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan

(dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya). Dengan disertai saran tidak misalnya

berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk disidangkan”.52

Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk menaksir

besarnya biaya perkara dan menulisnya pada Surat Kuasa Untuk Membayar

(SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk

menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg / pasal 182

ayat (1) HIR / pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.3 tahun 2006 perubahan dari

Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang meliputi:

a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai.

51

Ibid., h.76 52

Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. raja Grafindo Persada, 2001), ed.ke-2, cet.ke-8, h.129

b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah.

c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain.

d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan

yang berkenaan dengan perkara tersebut.53

Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk

mengajukan gugatan perkara secara Prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuannya

dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala

Desa setempat yang dilegalisir oleh Camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon

menghadap ke meja II dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan dan Surat

Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian

surat gugatan/permohonan tersebut dimasukan dalam map berkas acara, kemudian

menyerahkannya pada Wakil Panitera untuk disampaikan kepada Ketua

Pengadilan melalui panitera.54

Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara kemudian diajukan kepada

Ketua Pengadilan, setelah Ketua Pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk

hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya

pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua menunjuk

seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota.55

53

Pasal 90 ayat (1), Undang-Undang No.3Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h.74

54

M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Perdata Peradilan Agama dan mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), cet.ke-2, h.14

Setelah itu hakim yang bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat

menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua

majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam

persidangan. Pasal 121 HIR,56 untuk membantu Majelis Hakim dalam

menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam

hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.57

Tata cara pemanggilan dimana harus secara resmi dan patut, yaitu:

a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi

yang dipanggil ditempat tinggalnya;

b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada

Kepala Desa dimana ia tinggal;

c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli

warisnya;

d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah

(tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan

memeriksa perkara yang bersangkutan;

e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.58

55

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), cet.ke-6, h.39

56

M. Fauzan, Pokok-pokok Acara Peradilan Agama, h.13 57

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet.ke-1, h.214 58

Sedangkan proses pemeriksaan perkara didepan sidang dilakukan melalui

tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam UU

No.3 tahun 2006 perubahan dari UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

pasal 5459:

“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”.

Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum,

dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya

bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa

mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif

perdamaian dapat timbul dari hakim. Penggugat ataupun tergugat. Hakim harus

sungguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian

yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum

dilanjutkan ketahap pemeriksaan, diawali dengan membaca surat gugatan.60

Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan

untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat

melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya

yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas

59

Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h.202-203 60

sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat

menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat.61

Tahap Replik dan Duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat

memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap

pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang

dimiliki untuk mendukung jawabannya (sanggahan), masing-masing pihak berhak

menilai alat bukti pihak lawannya.

Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat

akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim

menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan

dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.62

61

Ibid., h.43 62

BAB III

Dokumen terkait