• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masalah kecacingan yang disebabkan oleh Ascaridia galli pada ayam petelur masih saja terjadi, akibatnya dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat berarti. Meskipun jarang menimbulkan kematian, namun ayam petelur mengalami penurunan produksi yang sangat signifikan karena sifat penyakit yang berjalan kronis (Kanwar et al. 1998). Cacing yang survive di dalam saluran cerna menjadi pengganggu pertumbuhan sehingga dapat menurunkan 30% bobot badan dan penurunan produksi telur yang mencapai 63% (Tiuria et al. 2001). Infeksi A. galli dapat menimbulkan lesio patologis seperti deskuamasi, hiperemi dan hemoragi (Balqis 2004), dan juga ulserasi intestinal yang kadang-kadang berakhir dengan kematian (Taiwo et al. 2002).

Sampai saat ini metode pengendalian ascaridiosis masih mengandalkan pada pemberian anthelmintika. Senyawa ini hanya berfungsi mengeluarkan cacing dewasa dari dalam lumen saluran cerna, sedangkan larva yang hidup dalam fase jaringan tidak terjangkau. Keburukan lainnya akibat pemberian anthelmintika secara terus-menerus dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan resistensi cacing terhadap anthelmintika. Oleh sebab itu harus dicari metode alternatif pengganti anthelmintika.

Untuk mendapatkan metode pengendalian alternatif yang tepat dan akurat, haruslah dipahami mekanisme interaksi parasit dan inang definitif. Interaksi cacing dengan inang definitif ditentukan oleh faktor invasif berupa suatu substansi bioaktif yang dieksresi/sekresikan oleh cacing selama bersarang di dalam tubuh inang definitif. Ekskretori/sekretori cacing nematoda mengandung protease yang berperan sebagai pemecah barier pertahanan selaput lendir (mukosa) saluran cerna dan bersifat antigenik (Rhoads et al. 1997; Harnett et al. 1997; dan Vervelde et al. 2003). Untuk menjalani fase jaringan, stadium L3 A. galli melepaskan protease ekstraselular yang dapat memecah jaringan inang definitif sehingga cacing bertahan (survive) mencapai dewasa. Ekskretori/sekretori A. galli dewasa yang dihasilkan melalui metabolisme cacing dapat ditanggapi oleh inang definitif sebagai antigen yang dapat memicu terjadinya peningkatan imunitas selaput lendir ayam petelur (Darmawi 2003 dan Balqis 2004).

Penelitian ini dirancang untuk purifikasi dan karakterisasi protease yang akan diaplikasikan sebagai antigen pemicu respons pertahanan selaput lendir mukosa saluran cerna ayam petelur. Pemanfaatan protease yang dilepaskan larva A. galli sebagai antigen untuk merangsang respons imunitas inang definitif sangat prospektif diterapkan. Seperti laporan peneliti terdahulu telah membuktikan bahwa ekskretori/sekretori yang dilepaskan cacing nematoda seperti Ostertagia circumcincta dan Onchocerca gipsoni pada sapi (Harnett et al., 1997), Ascaris suum pada babi (Rhoads et al., 2001),

Haemonchus contortus pada domba (Vervelde et al., 2003) mengandung protease yang berperan sebagai molekul biologik aktif pemicu respons imunitas inang definitif.

Penelitian yang menunjukkan prospek pengendalian helminthosis secara imunoprofilaksis telah banyak dikembangkan. Tiuria et al. (2000) melaporkan bahwa respons imunitas dapat dipicu oleh pemberian larva infektif. Aplikasi 380 μg protein ekskretori/sekretori A. galli dewasa dapat merangsang proliferasi sel mast mukosa (Darmawi 2003) dan proliferasi sel goblet (Balqis 2004) sehingga mengurangi ancaman infeksi A. galli pada ayam petelur. Cacing A. galli memiliki antigen somatis, antigen permukaan dan antigen ekskretori/sekretori (Tiuria et al. 2003). Antigen ekskretori/sekretori terbukti mengandung konsentrasi protein yang lebih tinggi dibandingkan antigen lainnya (Darmawi 2003 dan Balqis 2004a). Visualisasi pita protein antigen ekskretori/sekretori stadium L2 dan stadium dewasa A. galli pada uji Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) menunjukkan berat molekul masing-masing protein adalah 35 dan 40 – 66 kDa (Tiuria et al. 2003). Namun, hingga saat ini belum pernah dilakukan purifikasi dan karakterisasi protease yang dilepaskan oleh stadium L3 A. galli, dan belum juga diketahui potensinya sebagai pemicu respons pertahanan mukosa intestinum terhadap ascaridiosis.

Protease dipilih menjadi fokus penelitian karena senyawa aktif tersebut berperan sebagai faktor invasif yang memudahkan invasi larva ke jaringan. Protease juga berpotensi sebagai pemicu respons imunitas karena dianggap sebagai benda asing oleh inang definitif. Dengan demikian, protease memfasilitasi interaksi antara cacing A. galli

sebagai parasit dengan ayam petelur sebagai inang definitif dan bersifat antigenik yang dapat menggertak sistem imun inang definitif untuk menghalangi invasi larva. Apabila

strategi pengendalian ascaridiosis dengan cara memutus rantai siklus hidup cacing pada stadium transisi L3 dapat dilakukan, maka larva gagal bertahan di jaringan, sehingga larva A. galli dapat dikeluarkan secara cepat (worm expulsion).

Respons imunitas selaput lendir saluran cerna inang definitif terhadap infeksi cacing nematoda dapat dibangkitkan oleh antigen cacing tersebut (Tizard 1995). Vervelde et al. (2003) melaporkan bahwa antigen ekskretori/sekretori dapat memicu peningkatan respons sel T helper 2 (Th-2). Roitt dan Delves (2001) menyatakan bahwa reaksi sel Th-2 dapat menggertak pelepasan sitokin terutama interleukin (IL-3, IL-4 dan IL-5). Menurut Tizard (1995) IL-3 merangsang sel mast berdegranulasi untuk melepaskan mediator peradangan, senyawa vasoaktif dan kemoatraktan yang berfungsi untuk merekrut sel eosinofil. IL-5 merangsang aktivasi sel eosinofil untuk melepaskan mediator kimia seperti enzim hidrolitik dan zat sitotoksik. Aktivasi sitokin yang dilepaskan oleh sel Th-2 merangsang proliferasi, hiperplasia, dan pelepasan mukus yang bersifat viscoelastic gel oleh sel goblet. Mukus melindungi permukaan usus halus dari ancaman invasi, dan membatasi gerakan cacing dengan cara menutupi kutikulanya.

Mekanisme pengeluaran cacing dari dalam tubuh dijelaskan oleh Roitt dan Delves (2001) bahwa kutikula cacing nematoda Nipprostrongylus brasiliensis dirusak oleh antibodi yang disekresikan ke dalam lumen intestinal tikus. Tizard (1995) menyatakan bahwa untuk melawan infeksi cacing nematoda Toxocara canis, antibodi spesifik menutupi oral dan saluran anal (secretory pores) cacing nematoda tersebut. Cacing dijerat melalui fragment antibodi (Fab), sedangkan fragment constant (Fc) antibodi tertanam ke dalam reseptor FcєRI yang terdapat pada permukaan sel mast mukosa dan sel eosinofil. Transduksi sinyal dari rantai γ pada reseptor FcєRI menyebabkan degranulasi sel mast mukosa untuk melepaskan senyawa faktor kemotaktik, faktor vasoaktif, histamin dan serotinin. Histamin memicu kontraksi otot pada usus halus, dan serotonin menyebabkan vasokontriksi sehingga meningkatkan tekanan darah. Kontraksi usus halus dan sel eosinofil melepaskan major basic protein

Tujuan Penelitian

1. Untuk mendapatkan protease murni yang dipurifikasi dari ekskretori/sekretori stadium L3Ascaridia galli asal Bogor.

2. Untuk mengetahui karakter protease yang dilepaskan melalui ekskretori/sekretori stadium L3A. galli.

3. Untuk mengetahui potensi protease sebagai pemicu respons kekebalan mukosa berdasarkan proliferasi sel goblet, sel mast mukosa serta migrasi sel eosinofil ke jaringan mukosa usus halus ayam petelur.

4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian protease dan infeksi A. galli terhadap perubahan patologi usus halus ayam petelur.

Hipotesis

1. Diduga bahwa ekskretori/sekretori stadium L3A. galli mengandung protease. 2. Diduga bahwa ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli memiliki karakter

protease.

3. Diduga bahwa protease dari ekskretori/sekretori stadium L3 A. galli berpotensi sebagai pemicu respons kekebalan mukosa berdasarkan hiperplasia dan proliferasi sel goblet, sel mast mukosa serta migrasi sel eosinofil ke jaringan mukosa usus halus ayam petelur.

4. Diduga bahwa pemberian protease dapat berpengaruh terhadap perubahan patologi usus halus ayam petelur yang diinfeksi dengan A. galli.

Manfaat Penelitian

Manfaat Akademik

1. Untuk menambah informasi bahwa protease serin bersifat imunogenik.

2. Untuk melengkapi data mengenai sumber protease serin yang sudah diketahui pada spesies lain.

Manfaat Operasional

Protease serin diharapkan dapat diaplikasikan sebagai salah satu alternatif untuk dikembangkan sebagai kandidat vaksin terhadap ascaridiosis pada ayam petelur.

TINJAUAN PUSTAKA

Cacing Ascaridia galli

Menurut Soulsby (1982) cacing Ascaridia galli mempunyai sinonim Ascaridia lineata dan Ascaridia perspiculum yang diklasifikasikan ke dalam kelas Nematoda, sub kelas Secernentea, ordo Ascaridia, superfamili Ascaridiodea, famili Ascarididae, dan genus Ascaridia. Cacing A. galli merupakan cacing terbesar dalam kelas nematoda pada unggas. Tampilan cacing dewasa adalah semitransparan, berukuran besar, dan berwarna putih kekuning-kuningan. A. galli memiliki kutikula ekstraseluler yang tebal untuk melindungi membran plasma hipodermal nematoda cacing dewasa (Bankov dan Barrett 1993). Pada bagian anterior terdapat sebuah mulut yang dilengkapi dengan tiga buah bibir, satu bibir terdapat pada dorsal dan dua lainnya pada lateroventral. Pada kedua sisi terdapat sayap yang sempit dan membentang sepanjang tubuh (Calneck 1997). Permin dan Hansen (1998) mengatakan bahwa cacing jantan dewasa berukuran panjang 51 – 76 mm dan cacing betina dewasa 72 – 116 mm. Cacing jantan memiliki preanal sucker dan dua spicula berukuran panjang 1 – 2,4 mm, sedangkan cacing betina memiliki vulva dipertengahan tubuh. Telur A. galli berbentuk oval, berkerabang lembut, dan

berukuran 73–92 x 45–57μm.

Siklus hidup A. galli bersifat langsung yaitu pematangan seksual berlangsung

di dalam traktus gastrointestinal inang definitif dan stadium infektif (L2) berlangsung

di dalam telur resisten berembrio di lingkungan bebas. Telur dikeluarkan bersama feses inang definitif dan akan mencapai stadium infektif dalam waktu 10 – 20 hari atau tergantung kepada temperatur serta kelembaban lingkungan (Permin dan Hansen

1998). Daur hidup disempurnakan ketika L2 tertelan oleh inang definitif melalui

makanan atau air terkontaminasi. Telur mengandung larva L2 secara mekanik

terbawa ke duodenum atau jejunum hingga menetas setelah 24 jam kemudian. Selama penetasan gelungan larva muncul dari ujung anterior telur melewati celah

terbuka keluar ke dalam lumen intestinal untuk menjadi L3. Menurut Permin dan

Hansen (1998) larva L3 A. galli melanjutkan fase histotropik dengan cara

menanamkan dirinya pada lapisan mukosa duodenum (fase jaringan). Durasi fase histotropik berlangsung selama 3 – 54 hari pasca infeksi. Setelah mengalami empat

kali molting, L5 (cacing muda) akan tumbuh dan mencapai dewasa di dalam lumen duodenum (fase lumen). Periode prepaten cacing A. galli berlangsung dalam waktu 5 – 8 minggu (Soulsby 1982), dan 11 – 15 minggu (Athaillah 1999).

Permin et al. (1998) juga mengatakan bahwa sifat penyakit parasitik cacing

A. galli biasanya berjalan kronis sehingga menimbulkan gejala sakit yang perlahan atau subklinis. Kecacingan tidak menyebabkan mortalitas tetapi menghasilkan morbiditas. Infeksi A. galli pada ayam normal umumnya singkat dan jarang menyebabkan kerusakan permanen (Permin et al. 1998), karena tubuh ayam memiliki suatu sistem kekebalan yang dapat melindungi tubuhnya dari unsur-unsur patogen (Tizard 1996). Namun, Taiwo et al. (2002) melaporkan bahwa Ascaridiosis yang telah berlangsung dalam waktu yang lama (infeksi kronis) dapat menyebabkan gastroenteritis ulseratif, hepatitis nekrotik dan nepritis yang dapat berakhir dengan kematian.

Enzim Protease Pada Eksretori/Sekretori Cacing

Protease adalah enzim yang menghidrolisis ikatan peptida pada protein. Untuk melakukan aktivitasnya, protease membutuhkan air sehingga dikelompokkan ke dalam kelas hidrolase. Protease berperan dalam sejumlah reaksi biokimia seluler. Selain diperlukan untuk degradasi senyawa protein nutrien, protease terlibat dalam sejumlah mekanisme patogenisitas, sejumlah proses pasca translasi protein, dan mekanisme ekspresi protein ekstraseluler (Rao et al. 1998).

Pelepasan protease oleh cacing nematode parasitik mempunyai peranan

penting pada proses reaksi biologik seperti metabolisme protein, hatching, molting,

patogenesis, dan respons imun. Aktivitas protease mempunyai korelasi yang signifikan pada saat cacing parasitik menjalani penetrasi ke jaringan diantaranya Ascaris suum pada babi (Rhoads et al. 1997), Ostertagia ostertagi pada sapi (Cock et al. 1993), Ostertagia circumcincta, Haemonchus contortus, Trichostrongylus spp. pada ruminansia (Knox dan Jones 1990), Onchocerca gibsoni pada sapi (Harnett et al. 1997), Trichinella spiralis pada mamalia dan manusia (Todorova 2000), dan Anisakis simplex pada ikan (Iglesias et al. 2005), Onchocerca volvulus pada manusia (Ford et al. 2005).

Hasil identifikasi Rhoads et al. (1997) membuktikan bahwa A. suum mensekresikan aminopeptidase. Aktivitas protease diidentifikasikan di dalam cairan

kultur yang dikoleksi selama perkembangan larva stadium transisi L3 –L4. Substrat

peptida flurogenik yang tidak menghambat N-terminal secara spesifik dihidrolisa yang mengidentifikasi aktifitas aminopeptidase. Cairan kultur tidak menghidrolisa substrat peptida fluorogenik yang dihambat N-terminal (endopeptidase substrat). Aktifitas aminopeptidase dihambat oleh 1,10-phenanthrolin (metalloprotease inhibitor), amastatin, dan bestatin (aminopeptidase inhibitor). Berat molekul aminopeptidase 293 kDa diestimasi dengan densitas gradient sentrifugasi. Aminopeptidase tersebut menunjukkan keasaman dengan titik isoelektrik pada 4,7. Pelepasan aminopeptidase dianggap esensial sebagai perantara proses perkembangan

dan survival parasit, seperti penetasan telur, molting, excystment, dan merupakan

interaksi yang kritis antara inang dan parasit sebagai pemecah jaringan inang untuk menfasilitasi invasi, migrasi, dan modulasi mekanisme imun inang. Produk yang

dilepaskan selama perkembangan larva stadium transisi L3–L4 A. suum berpotensi

digunakan dalam strategi pengendalian imunoprofilaksis infeksi cacing parasitik. Beberapa enzim yang bercirikan proteinase berukuran 25 – 55 kDa diidentifikasi pada larva Trichinella spiralis melalui substrat gel elektroforesis dan dikarakterisasi berdasarkan pH optimum, spesifisitas substrat, dan sensitivitas inhibitor dengan menggunakan uji azocasein. Aktivitas serine, sisteine, dan metalloproteinase diidentifikasi pada pH 5 – 7. Proteinase serine yang dilepaskan pada stadium larva T. spiralis diketahui menghasilkan respons antibodi lebih menonjol. Aktivitas proteinase dihambat oleh IgG yang diisolasi dari mencit yang diinfeksi dengan T. spiralis. Aktivitas azolitik dan elastolitik kemungkinan sebagai implikasi penetrasi ke jaringan. Interaksi host-parasit yang dikaji oleh Todorova (2000) tersebut menerangkan relevansi pengembangan vaksin anti trichinellosis.

Nagano et al. (2004) membuktikan bahwa protease sistein yang diekspresikan

oleh Clonorchis sinensis dapat diaplikasikan sebagai perangkat diagnostik pada uji enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) untuk imunodiagnosis terhadap clonorchiasis. Aplikasi protease sistein yang dihasilkan oleh Haemonchus contortus dapat memberikan imunoproteksi terhadap haemonchosis pada kambing (Ruiz et al. 2004). Eksperimen Yadav et al. (2005) pada ruminansia membuktikan bahwa

cathepsin-L protease sistein dari ekskretori/sekretori Fasciola gigantica dapat digunakan sebagai antigen dalam uji ELISA untuk mendeteksi fasciolosis selama empat minggu pascainfeksi pada kerbau dan domba.

Menurut komisi tatanama Internasional Union of Biochemist and Molecular Biologist, protease termasuk kedalam kelompok III sub kelompok IV, yaitu golongan hidrolase pemecah substrat protein (Thenawijaya 1989). Protease dapat dikelompokkan berdasarkan jenis reaksi yang dikatalisis, sifat kimiawi sisi aktif enzim dan hubungan evolusi struktur enzim. Protease dibagi atas 2 golongan besar, yaitu peptidase dan proteinase. Golongan peptidase terdiri atas aminopeptidase, karboksipeptidase dan omega peptidase, sedangkan golongan proteinase berdasarkan kerjanya terdiri atas protease serin, protease sistein atau sulfhidril, protease metal dan protease asam (Suhartono 2000).

Protease serin adalah enzim yang mempunyai residu serin pada lokasi aktifnya. Enzim ini bersifat endopeptidase misalnya tripsin, kimotripsin, elstase, dan subtilisin. Aktivitas protease golongan ini dihambat dengan kuat oleh disoprofilfluorophosphate (DFP) karena adanya reaksi DFP dengan gugus hidroksil dari residu serin pada sisi aktif (Armas-Serra et al. 1993). Nagano et al. (2004) menyatakan bahwa protease sistein disebut juga sulfhidril atau protease tiol yaitu enzim yang aktivitasnya tergantung pada adanya satu atau lebih residu sulfhidril pada sisi aktifnya. Aktivitas enzim ini menurut Ruiz et al. (2004) dapat dihambat oleh adanya senyawa oksidator, alkilator, dan ion-ion logam berat yang akan mengikat grup tiolnya. Protease yang termasuk golongan ini adalah papain, fisin, dan bromelin.

Menurut Armas-Serra et al. (1993) protease metal adalah protease yang aktivitasnya tergantung pada adanya ion logam. Biasanya terdapat hubungan stoikiometri yaitu satu mol logam per mol enzim. Logam-logam yang dapat mengaktifkan enzim-enzim golongan ini adalah Mg, Zn, Co, Mg, Cd, dan Cu. Aktivitas protease golongan ini dihambat oleh sianida dan logam berbahaya serta senyawa EDTA karena senyawa ini dapat mengkelat logam sehingga aktivitasnya akan berkurang. Protease yang termasuk ke dalam golongan ini adalah karboksi peptidase A dan beberapa amino peptidase. Protease asam adalah enzim yang aktivitasnya disebabkan oleh adanya dua gugus karboksil pada sisi aktifnya. Aktivitas protease ini dihambat oleh bromofenolsil bromida atau pelarut diazo.

Protease yang termasuk golongan ini adalah pepsin, renin, dan protease yang aktif pada pH rendah antara 2 sampai 4.

Peranan Sel Goblet Pada Kekebalan Terhadap Cacing

Sel goblet adalah sel yang berbentuk seperti piala yang terletak diantara sel absobtif pada saluran cerna. Sel goblet menghasilkan lendir intestinal yang berfungsi sebagai media pertahanan yang penting terhadap infeksi cacing. Menurut McKeand et al. (1995) sel goblet mensintesis granula-granula yang bersifat netral yang mengandung musin glikoprotein dan asam sialat. Mukus yang dihasilkan bersifat protektif terhadap pengeluaran atau penjeratan cacing, menghalangi kontak langsung dengan mukosa sehingga mencegah establishment bagi cacing. Lendir juga berfungsi sebagai pelindung bagi epitel dari aktifitas enzim yang dihasilkan oleh bakteri patogen serta terlibat dalam mekanisme self cure terhadap cacing nematoda (Takeyama et al.1998).

Tizard (1996) mengatakan bahwa sel goblet berasal dari stem sel yang terdapat pada dasar kripta, berdiferensiasi dan bermigrasi dari dasar kripta ke bagian atas villi yaitu lamina propria selanjutnya disalurkan ke dalam lumen. Daya hidup sel ini berlangsung 2-3 hari, tetapi secara konstan terus-menerus digantikan dengan sel yang baru. Adanya cacing parasitik menyebabkan proses stimulasi sistem kekebalan dan merangsang respon kekebalan humoral dan selular. Respon ini ditunjukkan pada proliferasi sel goblet pada permukaan tubuh (Tiuria et al. 2000).

Nematoda parasitik yang berhabitat dalam saluran cerna inang definitif menyebabkan proliferasi sel goblet. Aktivitas sel goblet dipicu oleh beberapa reaksi; didahului oleh adanya antigen nematoda yang mengaktifkan limfosit B dan limfosit T. IgE yang dihasilkan oleh limfosit B akan merangsang respon inflamasi dan juga memicu IgG untuk merusak metabolit cacing. Limfosit T yang aktif beserta sitokinnya akan merangsang sel goblet mensekresikan mukus (Roitt dan Delves 2001). Peran sel goblet dalam mekanisme pengeluaran cacing saluran pencernaan sering dihubungkan dengan aktivitas sel mast mukosa (Athailah 1999; Tiuria et al. 2000; Darmawi 2003 dan Balqis 2004).

Peranan Sel Mast Pada Kekebalan Terhadap Cacing

Sel mast berasal dari stem sel hemopoitik yang ditemukan pada semua hewan vertebrata. Berdasarkan sifat histokimianya sel mast dibagi menjadi 2 sub tipe, yaitu tipe mukosa (mucosal mast cells = MMC) dan tipe jaringan (connectif tissue mast cells/CTMC (Tizard 1996). Sel mast mempunyai inti yang berlobus tunggal, memiliki granula yang berisi mediator-mediator peradangan. Khusus bagi MMC, banyak ditemukan pada selaput lendir pernafasan dan saluran pencernaan dengan distribusi yang bervariasi di setiap organ dan spesies (Kresno 2001).

Sel mast berperan penting dalam mekanisme peradangan dan induksi reaksi-reaksi peradangan akut. Mediator peradangan yang dihasilkan sel mast seperti glikosaminoglikan, monoamin dan basik protein (Woodbury et al. 1982), enzim protease, histamin dan prostaglandin (Bendixsen et al. 1995) dilaporkan dapat menghambat migrasi larva nematoda (Douch et al. 1996). Mediator-mediator tersebut juga diketahui dapat menyebabkan larva infektif gagal menempel atau masuk ke dalam mukosa, sehingga larva-larva tersebut beberapa jam kemudian dikeluarkan dari saluran pencernaan.

Menurut Else dan Finkelman (1998) antibodi dapat mencegah perlekatan larva pada mukosa usus halus, dan bersama mukus menjerat larva untuk dikeluarkan bersama tinja. Tizard (1996) menyatakan bahwa IL-5 yang dilepaskan oleh Th-2 karena rangsangan antigen cacing dapat menggertak eosinophoesis, mobilisasi sel eosinofil, dan degranulasi sel eosinofil untuk melepaskan substansi helmintoksik seperti enzim proteolitik, peroksidase, dan major basic protein.

Peranan Sel Eosinofil Pada Kekebalan Terhadap Cacing

Secara normal sel eosinofil berada di dalam buluh darah yang intact. Pada infeksi cacing, sel eosinofil bergerak menuju situs infeksi untuk membunuh cacing parasitik. Sel eosinofil termasuk ke dalam famili sel-sel leukosit yang meliputi sel neutrofil, sel mast, dan sel basofil yang melawan invasi dengan mengembangkan inflamasi akut (Tizard 1996). Sel eosinofil menyelenggarakan fungsi ini dengan bermigrasi ke situs invasi parasit dan melepaskan enzim-enzim penghancur atau perusak parasit. Aktivitas tersebut menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamasi akut (Kresno 2001). Mobilisasi sel eosinofil merupakan suatu integral dan

komponen karakteristik dari reaksi hipersensitifitas tipe I. Tizard (1996) menyatakan bahwa sel eosinofil diproduksi dalam sumsum tulang dibawah pengaruh IL-3 dan IL-5 yang dihasilkan oleh Th-2 dan sel mast. Th-2 menanggapi mobilisasi sel eosinofil dan dalam waktu yang bersamaan mereka merangsang tanggap kebal Ig E. Sel eosinofil secara spesifik ditarik ke situs degranulasi sel mast oleh faktor kemotaktik eosinofil, leukotrin B4, histamin, platelet activating faktor (PAF), ekstrak cacing, komplemen (C5a) dan produk asam imidiazole asetat pecahan histamin. Sel eosinofil dapat juga diaktivasi oleh histamin dan leukotrin B4.

Selama ini sel eosinofil yang merupakan salah satu sel fagosit diduga sebagai sel efektor yang paling efektif dalam membunuh larva cacing. Menurut Tizard (2000) mekanisme respons imun yang mendasari pembunuhan ini adalah sebagai berikut, sel eosinofil melalui reseptor Fc berikatan pada komplek antibodi yang bertindak sebagai opsonin melekat pada permukaan sel sasaran yang terinfeksi. Pengikatan antibodi pada reseptor Fc merangsang fagosit untuk memproduksi lebih banyak leukotrien dan prostaglandin, yang merupakan molekul-molekul yang berperan pada respons inflamasi. Sel efektor yang telah terikat kuat pada membran sel sasaran menjadi teraktivasi dan akhirnya dapat menghancurkan sel sasaran. Sebagian besar kuman patogen difagositosis dan dibunuh intralisosom, ditambah kemampuan eosinofil untuk memproduksi ROI (reactive oxygen intermediates) misalnya superoksida. Dari uraian ini jelas bahwa reseptor Fc berfungsi sebagai jembatan antara sel efektor dengan sel sasaran.

Struktur Usus Halus Unggas

Saluran cerna merupakan alat penghubung antara lingkungan internal dan eksternal dengan fungsi utamanya sebagai absorbsi zat-zat makanan. Menurut Yamauchi dan Isshiki (1991) dan Ferrer et al. (1995) karakteristik morfologi saluran cerna terutama usus halus pada ayam, menentukan fungsi usus pada pertumbuhan ayam. Morfologi mukosa usus halus terdiri dari villi yang berfungsi memperluas area penyerapan zat nutrien. Pada permukaan villi terdapat mikrovilli sebagai penjuluran sitoplasma yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan. Semakin luas permukaan villi usus semakin besar peluang terjadinya absorbsi pada saluran cerna.

Usus halus unggas terdiri dari duodenum, jejunum dan ilium. Dinding usus halus terdiri atas 4 bagian dasar yaitu: mukosa, sub mukosa, muskularis mukosa dan serosa (Cotran et al. 1999). Lapisan mukosa diselaputi oleh villi yang panjangnya 0,5-1,5 mm, dan menyebabkan gambaran mukosa menyerupai beludru. Pada

permukaan luar setiap villi terdapat tonjolan berupa jari-jari yang panjangnya 1μm

yang disebut mikrovilli. Pada bagian tengah villi terdapat lamina propria yang terdiri dari pembuluh darah, pembuluh limfatik, kumpulan sel-sel limfatik, kumpulan sel-sel limfosit, sel eosinofil, sel mast dan sel fibroblas (Price dan Wilson 1995). Permukaan villi terdiri atas 3 jenis sel: yaitu sel-sel absorbtif, sel goblet dan sel paneth. Sel

Dokumen terkait