• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Tinjauan Umum UNTOC

2. Proses Berlakunya UNTOC

Untuk dapat berlaku atau mengikat sebagai hukum internasional positif, berdasarkan Pasal 36 ayat 3 UNTOC, negara-negara diberi kesempatan untuk menyatakan persetujuannya untuk terikat pada (consent to be bound by) konvensi dengan cara melakukan peratifikasian (ratification), penerimaan (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi (accession). Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1, Konvensi ini akan mulai berlaku (entry into force) pada hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi

(ratification), penerimaan (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi

(accession) yang keempat puluh.39

Dengan telah dipenuhinya ketentuan Pasal 38 ayat 1 maka kini UNTOC sudah berlaku sebagai hukum internasional positif. Akan tetapi, sesuai dengan salah satu prinsip hukum perjanjian (internasional), yakni pacta tertiis nec nosent nec

prosunt,40 UNTOC hanya berlaku dan mengikat terhadap negara-negara yang

sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat, baik hal itu dilakukan dengan peratifikasian, penerimaan, persetujuan, ataupun pengaksesian.41 Berkenaan

38

Ibid.

39

I Wayan Parthiana,et.al, Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations Convention against Transnational Organized Crime dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Op.cit,

hlm.3.

40http://www.oxfordreference.com, “

a treaty binds the parties and only the parties; it does not

create obligations for a third state”, yang berarti suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangungjawaban. Diakses secara online pada 2 Februari 2015, Pukul 23.08 WIB.

41

25

dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal

assistance in criminal matters), Indonesia telah memiliki undang-undang

tersendiri, yakni, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006.42 Sedangkan dalam konteks ASEAN, delapan negara anggota ASEAN yakni, Brunei Darrussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Vietnam, juga telah menandatangani Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Maters di Kuala Lumpur pada tanggal 29 November 2004 yang diratifikasi dengan UU Nomor 15 Tahun 2008.43

Selanjutnya, Myanmar sudah resmi menjadi pihak ASEAN Treaty on MLA pada bulan Desember 2009. Dengan demikian hanya 1 (satu) negara yaitu Thailand yang belum menjadi pihak pada Treaty tersebut. Jika ditelaah dengan seksama ketentuan tentang Bantuan Timbal Balik dalam UNTOC, yakni, Pasal 18 yang terdiri dari 30 ayat (ayat 1-30) tampak bahwa Pasal 18 ini merupakan pemadatan/pemampatan dari ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Jika diperbandingkan antara Pasal 18 UNTOC dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, memang ada beberapa ketentuan yang sama tetapi juga ada kekosongan di pihak yang satu ataupun di pihak yang lain. Artinya, di dalam UNTOC ada pengaturannya sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tidak ada ataupun sebaliknya. Beberapa materi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 yang tidak ada atau tidak diatur di dalam UNTOC, antara lain:44

42 Ibid. 43 Ibid. 44 Ibid.

26

a. tentang memperoleh kembali seluruh sanksi denda yang berupa uang; b. tentang pengidentifikasian dan pencarian orang.

c. tentang “transit” yang diatur di dalam Pasal 40 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tetapi sama sekali tidak diatur di dalam UNTOC.

Sejak meningkatnya tindak pidana transnasional pada pertengahan abad 20 sampai saat ini, PBB telah menetapkan Kovensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Terorganisasi atau United Convention Against Transnational

Crime (UNTOC, 2000) dan Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut

dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009.45 Korupsi dan pencucian uang termasuk salah satu dari 6 (enam) tindak pidana yang dicantumkan dalam UNTOC 2000.46 Beberapa hambatan hukum dalam implementasi kerjasama internasional Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana sebagai berikut:47

a. Ancaman pidana dan prinsip dual criminality b. Asas resiprositas (reciprocity principle) c. Tes pembuktian (evidentiary test)

d. Alasan penolakan kerjasama yang meliputi:

1) alasan kepentingan esensial dan kepentingan publik; 2) tindak pidana politik;

3) asas ne bis in idem atau double jeopardy;

4) tindak pidana dilakukan sebagian atau seluruhnya di negara lain; 5) sifat dan jenis hukuman.

Merujuk hambatan praktik dalam implementasi kerjasama internasional tersebut di atas, ternyata pencegahan dan terutama penyelesaian kasus-kasus

45 Romli Atmasasmita, “Jurnal”,

Asset Recovery Dan Mutual Assistance In Criminal Matters , diakses secara online pada 15 Maret 2015 pukul 09.18 WIB.

46

Tindak pidana transnasional yang masuk lingkup UNTOC 2000, adalah: korupsi, pencucian uang, larangan perdagangan manusia khusus perempuan dan anak (human trafficiking ; larangan penyelundupan orang (people smuggling); larangan penyelundupan senjata (smuggling firearms); larangan menghalang-halangi proses peradilan (obstruction of justice).

47

Romli Atmasasmita, 2007, OECD-ADB, “Mutual Assistance, Extradition and Recovery of

Proceeds of Corruption in Asia and the Pacific: Frameworks and Practice in 27 Asian and Pacific Jurisdiction:Thematic Review-Preliminary Report.

27

tindak pidana yang bersifat lintas batas negara (transnasional) bukan persoalan mudah dan tingkat keberhasilannya tentu rendah dibandingkan dengan penanganan perkara tindak pidana sebatas wilayah negara yang bersangkutan baik mengenai pelaku maupun aset-aset terkait tindak pidananya. Indonesia telah memiliki dua undang-undang nasional dalam hal ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana,48 dan telah mengikatkan diri ke dalam dua bentuk perjanjian tersebut dengan Negara anggota ASEAN, Australia, Korea Selatan, Cina termasuk Hongkong. Namun tingkat keberhasilannya masih rendah dibandingkan sebagai Negara peminta

(requesting state) dibandingkan sebagai Negara yang diminta (requested state).

Berbeda dengan perjanjian internasional pada umumnya ataupun perjanjian tentang kejahatan internasional pada khususnya yang memiliki sistematika yang sudah baku, yakni, terdiri dari preambul (preamble) yang berisi dasar-dasar pertimbangan dan maksud serta tujuan mengapa perjanjian itu dibuat, kemudian berlanjut dengan batang tubuh yang memuat substansinya yang terbagi menjadi bab-bab dan bab-bab ini terdiri dari satu atau lebih pasal, sebaliknya UNTOC sama sekali tidak memuat preambul ataupun pembagian atas batang tubuhnya menjadi bab-bab melainkan langsung dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal (dari pasal yang paling awal sampai yang paling akhir). Oleh karena itu, untuk menelaah substansinya secara lebih mendalam, tidak ada jalan lain selain dengan mengikuti urutan pasal-pasalnya. Namun demikian, penguasaan dan pemahaman secara utuh dan terpadu atas UNTOC itu sendiri merupakan suatu keharusan

48

UU RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana.

28

sebab antara pasal yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan di dalam keseluruhannya itulah terkandung maksud dan tujuan dari konvensi ini.

Secara keseluruhan, substansi UNTOC secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

a. Kaidah hukum materiil-substansial yakni tentang kejahatan itu sendiri sebagaimana dapat dijumpai dalam Pasal 5, 6, 8, 9 dan 23, tentang yurisdiksi (Pasal 15) maupun hal-hal yang terkait dengan itu, antara lain tentang istilah-istilah yang digunakan (Pasal 2), ruang lingkup berlakunya Konvensi (Pasal 3), prinsip perlindungan dan penghormatan atas kedaulatan negara-negara peserta atau pihak pada Konvensi (Pasal 4);

b. Kaidah hukum formal-prosedural, yakni, tentang masalah-masalah prosedural penanganan perkara, yang meliputi kerjasama internasional antara negara-negara peserta Konvensi, seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), dan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana yang disebut juga dengan bantuan hukum timbal balik (Pasal 18) ataupun pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan kerjasama internasional.

Perlu ditegaskan disini, bahwa pembedaan ini bukanlah sesuatu yang bersifat hitam dan putih sebab di dalam kaidah hukum formal-prosedural itupun terdapat hal-hal yang bersifat materiil-substansial, atau ada pasal-pasal yang substansinya merupakan area abu-abu (grey area). Pembedaan ini sekadar untuk memudahkan dalam penelaahannya saja. Konvensi memuat asas-asas hukum pidana sejalan

29

dengan perkembangan asas-asas hukum internasional yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum nasional, yaitu:49

a. Perlindungan kedaulatan negara sesuai dengan hak eksklusif suatu negara yang ditentukan dalam Pasal 4 Konvensi yaitu Negara Pihak wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan yang sejajar dan integritas wilayah negara-negara dan prinsip tidak melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri negara lain. Konvensi juga tidak memberikan hak kepada suatu Negara Pihak untuk mengambil tindakan dalam wilayah Negara Pihak lainnya untuk menerapkan yurisdiksi dan melaksanakan fungsi-fungsi yang hanya dimiliki oleh pejabat berwenang Negara Pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.

b. Pertanggungjawaban badan hukum bukan hanya pidana saja tetapi juga meliputi tanggungjawab menurut hukum perdata dan hukum administrasi. Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi hukum pidana tetapi juga sanksi yang bersifat pelarangan termasuk sanksi moneter (Pasal 10).

c. Tenggang waktu daluwarsa ditentukan lebih panjang dan ditentukan lebih panjang lagi bila tersangka menghindari pelaksanaan proses peradilan (Pasal 11).

d. Perluasan yurisdiksi kriminal dengan menerapkan asas extra-territorial

jurisdiction, perluasan asas teritorial yang ditentukan dalam Pasal 15:

49

30

1) Hukum pidana nasional memiliki yurisdiksi atas setiap tindak pidana jika:

a) tindak pidana dilakukan terhadap warga negara dari Negara Pihak tersebut;

b) tindak pidana dilakukan oleh warga negara dari Negara Pihak yang bersangkutan atau oleh orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang biasa bertempat tinggal di dalam wilayah negara yang bersangkutan atau;

c) tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan Pasal 5 ayat (1) dan dilakukan di luar wilayahnya dengan tujuan melakukan tindak pidana serius dalam wilayahnya;

d) tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) (b) (ii) Konvensi yang dilakukan di luar wilayah dengan tujuan untuk melakukan tindak pidana dalam wilayahnya.

2) Memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya atas tindak pidana yang diatur dalam Konvensi ketika tersangka berada di wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi atas orang tersebut dengan alasan semata-mata bahwa ia adalah warga negaranya.

3) Memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya ketika tersangka berada dalam wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi atas orang tersebut.

31

Dokumen terkait