• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) MECHANISM TOWARD CRIME RESOLUTION REGULATED ON UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

(UNTOC) AND THE IMPLEMENTATIONS IN INDONESIA

By

T. Jessica Novia Hermanto

Transnational crime is a crime which transcends national jurisdictions. At present time transnational crime is being seen as one of the utmost serious threat against global security. International society has established cooperation to handled transnational crime issues that called as Mutual Legal Assistance (MLA). MLA is treaties which focus on demanding assistance which concerned on crime treatment process from requested country with demander country. In line with that, on November 15th 2000 the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) was adopted by United Nations General Assembly. This research will show how exactly is MLA mechanism toward crime resolution regulated by UNTOC and its implication in Indonesia.

This research is a normative legal research which using a normative law as its main data, and the data were gained by doing literature study. The between country in order to fights transnational crimes which frequently muddled on the occasion of being faced by the diverse national law which time consuming on crime investigation. The crimes listed on MLA included illicit drugs trafficking, money laundry and a crime which transcend internationally besides succeed double criminality basis. Indonesia as international law subject has joined the fight against transnational crimes with the ratification of UNTOC and also being implemented with reference to Law No.1 2006 concerning MLA and the Law No.5 2009 concerning the ratification of UNTOC. According to the convention and national regulation, the MLA implementation procedure has to be relies on law enforcement roles upon each country members. In Indonesia, several law enforcement were given extensive authority for instance, Indonesian National Police, Attorney General, Corruption Eradication Commission (KPK), Foreign Ministry, Ministry of Justice and Human Right, also Special Force Investigator on Convicted Corruptions Suspect. Formal and non-formal methods were being used upon the eradication of transnational organized crimes.

(2)

ABSTRAK

MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

(UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA Oleh

T. Jessica Novia Hermanto

Kejahatan transnasional dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Masyarakat internasional telah mewujudkan suatu kerjasama untuk membantu proses penegakan hukum transnasional yang kompleks melalui Mutual

Legal Assistance (MLA). MLA merupakan perjanjian yang bertumpu pada

permintaan bantuan terkait dengan proses penanganan kejahatan dari negara diminta kepada negara peminta dan atau sebaliknya. Berkaitan dengan itu Majelis Umum PBB membuat suatu kesepakatan oleh PBB yaitu United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime (UNTOC) yang disahkan pada tanggal 15 November

2000.Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah mekanisme MLA terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam UNTOC dan implementasi MLA di Indonesia.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang bersumber pada bahan hukum primer, sekunder, tersier yang pengumpulan datanya dilakukan melalui studi pustaka. Tujuan dan kegunaan studi pustaka pada dasarnya untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Hal yang paling mendasar dalam penelitian normatif adalah bagaimana peneliti dalam menyusun dan merumuskan permasalahan penelitiannya secara tepat dan tajam.

Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa MLA merupakan suatu perwujudan kerjasama antar negara dalam memerangi kejahatan-kejahatan transnasional yang sering terkendala oleh adanya perbedaan hukum nasional negara yang menimbulkan kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Kejahatan yang diatur MLA antara lain kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang dan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda (double

criminality), Indonesia telah memiliki UU No.1 Tahun 2006 Tentang MLA dan telah

meratifikasi ke dalam UU No. 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan UNTOC. Prosedur pelaksanaan MLA seperti yang tercantum dalam konvensi maupun undang-undang harus diikuti dengan peran para penegak hukum terkait di masing-masing negara peserta. Para penegak hukum di indonesia yaitu Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Kemlu, Kemenkumham, dan Tim Terpadu. Jalur formal maupun non-formal digunakan dalam memberantas para pelaku kejahatan dan penuntasan penanganan kejahatan transnasional.

(3)

MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED

CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

(Skripsi)

Oleh

T. JESSICA NOVIA HERMANTO

BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM

(4)

ABSTRACT

MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) MECHANISM TOWARD CRIME RESOLUTION REGULATED ON UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

(UNTOC) AND THE IMPLEMENTATIONS IN INDONESIA

By

T. Jessica Novia Hermanto

Transnational crime is a crime which transcends national jurisdictions. At present time transnational crime is being seen as one of the utmost serious threat against global security. International society has established cooperation to handled transnational crime issues that called as Mutual Legal Assistance (MLA). MLA is treaties which focus on demanding assistance which concerned on crime treatment process from requested country with demander country. In line with that, on November 15th 2000 the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) was adopted by United Nations General Assembly. This research will show how exactly is MLA mechanism toward crime resolution regulated by UNTOC and its implication in Indonesia.

This research is a normative legal research which using a normative law as its main data, and the data were gained by doing literature study. The between country in order to fights transnational crimes which frequently muddled on the occasion of being faced by the diverse national law which time consuming on crime investigation. The crimes listed on MLA included illicit drugs trafficking, money laundry and a crime which transcend internationally besides succeed double criminality basis. Indonesia as international law subject has joined the fight against transnational crimes with the ratification of UNTOC and also being implemented with reference to Law No.1 2006 concerning MLA and the Law No.5 2009 concerning the ratification of UNTOC. According to the convention and national regulation, the MLA implementation procedure has to be relies on law enforcement roles upon each country members. In Indonesia, several law enforcement were given extensive authority for instance, Indonesian National Police, Attorney General, Corruption Eradication Commission (KPK), Foreign Ministry, Ministry of Justice and Human Right, also Special Force Investigator on Convicted Corruptions Suspect. Formal and non-formal methods were being used upon the eradication of transnational organized crimes.

(5)

ABSTRAK

MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME

(UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA Oleh

T. Jessica Novia Hermanto

Kejahatan transnasional dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Masyarakat internasional telah mewujudkan suatu kerjasama untuk membantu proses penegakan hukum transnasional yang kompleks melalui Mutual

Legal Assistance (MLA). MLA merupakan perjanjian yang bertumpu pada

permintaan bantuan terkait dengan proses penanganan kejahatan dari negara diminta kepada negara peminta dan atau sebaliknya. Berkaitan dengan itu Majelis Umum PBB membuat suatu kesepakatan oleh PBB yaitu United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime (UNTOC) yang disahkan pada tanggal 15 November

2000.Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah mekanisme MLA terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam UNTOC dan implementasi MLA di Indonesia.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang bersumber pada bahan hukum primer, sekunder, tersier yang pengumpulan datanya dilakukan melalui studi pustaka. Tujuan dan kegunaan studi pustaka pada dasarnya untuk menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Hal yang paling mendasar dalam penelitian normatif adalah bagaimana peneliti dalam menyusun dan merumuskan permasalahan penelitiannya secara tepat dan tajam.

Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa MLA merupakan suatu perwujudan kerjasama antar negara dalam memerangi kejahatan-kejahatan transnasional yang sering terkendala oleh adanya perbedaan hukum nasional negara yang menimbulkan kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Kejahatan yang diatur MLA antara lain kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang dan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda (double

criminality), Indonesia telah memiliki UU No.1 Tahun 2006 Tentang MLA dan telah

meratifikasi ke dalam UU No. 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan UNTOC. Prosedur pelaksanaan MLA seperti yang tercantum dalam konvensi maupun undang-undang harus diikuti dengan peran para penegak hukum terkait di masing-masing negara peserta. Para penegak hukum di indonesia yaitu Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Kemlu, Kemenkumham, dan Tim Terpadu. Jalur formal maupun non-formal digunakan dalam memberantas para pelaku kejahatan dan penuntasan penanganan kejahatan transnasional.

(6)

MEKANISME MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) TERHADAP PENYELESAIAN KEJAHATAN YANG DIATUR DALAM UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED

CRIME (UNTOC) DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA

Oleh

T. Jessica Novia Hermanto

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(7)
(8)
(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Mei 1994, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Joni Hermanto dan Nursanti Setiawan .

Penulis memulai pendidikan Sekolah Dasar di SDK BPK Penabur Bandar Lampung pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMPK BPK Penabur Bandar Lampung pada tahun 2005-2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMAK BPK Penabur Bandar Lampung pada tahun 2008-2011.

(10)

Moto

Dan ketekunan menumbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan

( Roma 5:4)

Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada

upah bagi usahamu!

(11)

PERSEMBAHAN

Kuucapkan puji Syukurku kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah

memberikan kasih karunia dan anugerahNya kepadaku.

Sebagai perwujudan rasa kasih sayang, cinta, hormatku, dan tanda baktiku yang

tulus dari hatiku terdalam…

Aku mempersembahkan karya ini kepada:

Ayahku tercinta Bapak Joni Hermanto yang telah mengajarkanku untuk tetap

kuat dan bersyukur dalam segala hal.

Mamaku tercinta Nursanti Setiawan

Yang telah memberikan dukungan, doa serta ketulusan di dalam hidupku. Wanita

tercantik dan terbaik yang Tuhan beri kepada diriku.

Kepada adikku tercinta Tan Jefferson Satria Hermanto

Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku

dalam meraih cita-cita.

Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum Angkatan 2011

(12)

SANWACANA

Puji syukur selalu penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, atas berkat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan

judul “Mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) Terhadap Penyelesaian

Kejahatan Yang Diatur Dalam United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime (UNTOC) Dan Implementasinya Di Indonesia” sebagai salah

satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Khaidir Anwar, S.H, M.Hum (Alm) selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran, nasehat dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

(13)

4. Ibu Rehulina, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Ibu Desy Churul Aini, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkandan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Ahmad Syofyan, S.H, M.H, selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Agus Triono, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan nasehat dan pengarahan selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima kasih.

9. Pak Jarwo, Pak Marji dan staff bagian Hukum Internasional atas bantuan dan fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.

10.Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, SDK BPK Penabur Bandar Lampung, SMPK BPK Penabur Bandar Lampung, SMAKBPK Penabur Bandar Lampung. Penulis ucapkan terimakasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.

(14)

dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupanku.

12.Kepada adikku tercinta Tan Jefferson Satria Hermantoyang selalu memberikan motivasi buatku dan memberi dukungan moril, kegembiraan, semangat, serta materil yang diberikan.

13.Untuk temanku Merry Hutauruk, Very Susan, WardiyantiSukmaya ,Renni Ledia, Johanna Manalu, Surya Asmara, Mona Angelina Sinaga, Yuniar Ana Fitri, ,Marlina Siagian, TorangAlfontius, Kurniawan Manullangyang telah memberikan kenangan indah di masa kuliah.

14.Untuk temanku Tri Hana Pratiwi dan Bang Afandi Sitamala yang telah sangat membantu dalam proses pengerjaan skripsi ini.

15.Untuk teman-teman HI 2011 Anisa Apriyani, Beny Prawira, Very Susan dan Kurniawan Manullang, dan teman-teman HI 2012 Belardo, Elrenova, Farid dan Shinta.

16.Untuk teman-teman Formahkris angkatan 2011, Stevanus Lieberto, Yossafat Galang, Yonathan Aji, Bram Monang, Juna, Grace, Lasmaida, Salamat, Try Gilbert, Yustinus, Erna, Prisca, Daniel Sitanggang, DavidPandapotan, Ferry,Dopdon, Nova Simbolon, Yonathan P.H. yang telah memberikan kenangan yang luar biasa.

(15)

Bang Cio, Kak Ade Marbun, serta abang dan kakak lain yang tidak bisa disebutkan, terima kasih untuk persahabatan serta pelayanannya.

18.Teman-teman Formahkris Angkatan 2012, 2013, dan 2014, Christina Sidauruk, Ryan, Rio, Benny, Raymon, Anes, Meggy, Katherin, Elrenova, Helena, Innes, Kristu, Yosef, Lova, Edward, Dona, Vera, Cindy, Uthe, Johan, Agustina Sagala, Firdaus, Ridho, Landoria, Fauyani, Febri, Fernando, Dabe, Wafernanda, Rico, Biaton, Darwin serta adik-adik lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk kekeluargaan yang diberikan dalam wadah pelayanan Formahkris.

19.Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum yang lain Suzan Irwan, Dhana feby, Diana SavaAisyah, LiaNurjanah, LiaAprilia, Natalia Katherine Sitompul, MirantiDwiSaputri, serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat Viva JusticiaHukum Jaya.

20.Teman-teman Gereja Merry Hutauruk, Priska Buwono, Yoshoa, Ferdinand tetep kompak dan makin tulus melayani.

21.Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk Very Susan, Tria Putri, Sugma, Toto, Stefanus, Trio, Sandi, dan Taufik terima kasih untuk kebersamaannya selama 40 (empat puluh) hari.

(16)

orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, Maret 2016

Penulis,

(17)

DAFTAR ISI

E. Sistematika Penulisan... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi/Pengertian yang Relevan ... 12

1. Pengertian Mutual Legal Assistance in Criminal Matters atau Perjanjian Timbal Balik dalam Masalah Pidana ... 12

2. Pengertian Kejahatan Transnasional ... 14

B. Tinjauan Umum MLA ... 15

1. Prinsip-Prinsip Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana 15 2. Ketentuan-Ketentuan yang Diatur dalam MLA ... 19

3. Ketentuan Nasional ... 20

C. Tinjauan Umum UNTOC ... 23

1. Konsep Dasar Terbentuknya UNTOC ... 23

2. Proses Berlakunya UNTOC ... 24

3. Ketentuan-Ketentuan yang Diatur di UNTOC ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 33

B. Pendekatan Masalah ... 34

C. Sumber Data ... 35

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 37

(18)

IV. PEMBAHASAN

A. Pengaturan Mutual legal Assistance in Criminal Matters dalam Kejahatan-kejahatan yang diatur UNTOC ... 39

1. Sejarah MLA ... 39 2. Peran Lembaga Penegak Hukum Dalam kerjasama MLA ... 50 B. Implementasi MLA terhadap kejahatan- kejahatan yang diatur

dalam UNTOC di Indonesia ... 66 1. Prosedur permintaan bantuan MLA oleh Indonesia

kepada negara asing ... 66 2. Prosedur permintaan bantuan MLA kepada Indonesia ... 68 3. Ruang lingkup penerapan MLA ... 69

V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 74 B. Saran ... 75 LAMPIRAN

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Tahapan Proses Lembaga Kejaksaan Atas Permintaan Bantuan Indonesia Ke Negara Lain Dan Proses Permintaan Negara Lain

Kepada Pemerintah Indonesia ... 54 4.2 Beberapa kerjasama terkait MLA telah dilakukan KPK ... 58 4.3 Prosedur/mekanisme kinerja MLA ... 64 4.4 Jangka waktu penanganan penerimaan bantuan MLA

dari pemerintah negara lain ... 67 4.5 Jangka waktu penanganan penerimaan bantuan MLA

(20)

DAFTAR ISTILAH

Consent To Be Bound By = Pengikatan diri pada ketentuan suatu perjanjian internasional.

Double Criminality = Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana) baik menurut hukum negara peminta maupun hukum negara diminta

Entry Into Force = Saat mulainya suatu perjanjian berlaku. Extrateritorial Crime = Tindak pidana yang dilakukan di luar

negara peminta.

Konvensi = Persetujuan formal yang bersifat

multilateral, dan persetujuan ini harus dilegalisassi oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh.

Letters Rogatory = Surat yang diterbitkan oleh pengadilan suatu negara untuk memperoleh bantuan dari pengadilan negara lain

Modus Operandi = Cara operasi orang perorangan atau

kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya.

(21)

Nebis In Idem = Prinsip umum hukum pidana yang diakui secara internasional maksudnya adalah perlindungan bagi seorang pelaku untuk tidak diadili untuk yang kedua kalinya. Pacta Sunt Servanda = Asas hukum yang menyatakan bahwa

setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian.

Pacta Tertis Nec Nosent Nec ProSunt= Suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangungjawaban.

Protokol = Persetujuan yang mengatur masalah- masalah tambahan seperti penafsiran kalusul-kalusul tertentu.

Protokol Tambahan = Protokol yang memberikan hak tambahan, selain hak dan kewajiban yang diatur dalam perjanjian internasional.

Requesting State = Negara yang meminta Bantuan MLA Requested State = Negara yang diminta bantuan MLA

Transnasional Organized Crime = Kejahatan yang dilakukan dilebih dari satu negara melibatkan kelompok kejahatan terorganisir yang terencana, terorganisir, dan memerlukan persiapan yang matang. Kejahatan jenis ini merupakan kejahatan yang sistematis dan hierarki.

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejahatan transnasional adalah kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global yang dituntut di bawah yurisdiksi hukum domestik/nasional, tidak berada di bawah yurisdiksi peradilan internasional karena salah satu unsur dari transnasional adalah adanya lintas batas negara, maka diperlukan kerjasama antar negara untuk membantu proses penegakan hukum. Adanya perjanjian mutlak diperlukan oleh negara-negara untuk dapat menuntut pelaku tindak pidana transnasional yang melewati lintas batas negara.1 Pada lingkup multilateral, istilah yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC). Semakin maraknya kejahatan transnasional mendorong negara-negara untuk bergerak membentuk suatu pengaturan yang bersifat universal guna mencegah penyebaran dan menyelesaikan kejahatan transnasional.

Para ahli memberikan beberapa pengertian, diantaranya G.O.W. Mueller

“Kejahatan transnasional adalah istilah yuridis mengenai ilmu tentang kejahatan,

yang diciptakan oleh perserikatan bangsa-bangsa bidang pencegahan kejahatan dan peradilan pidana dalam hal mengidentifikasikan fenomena pidana tertentu

1

(23)

2

yang melampaui perbatasan internasional, melanggar hukum dari beberapa negara, atau memiliki dampak pada negara lain. Begitu pula Bassiouni mengatakan bahwa kejahatan transnasional atau transnational crime adalah kejahatan yang mempunyai dampak lebih dari satu negara, kejahatan yang melibatkan atau memberikan dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara, sarana dan prasarana, serta metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara.

Kejahatan transnasional memiliki karakteristik yang sangat kompleks sehingga sangat penting bagi negara-negara untuk meningkatkan kerjasama internasional untuk secara kolektif menanggulangi meningkatnya ancaman kejahatan lintas negara tersebut. Negara-negara mengadakan konferensi untuk membahas kejahatan transnasional, sifat, ciri, karakteristik, serta jenis dari kejahatan transnasional yang berkembang di dunia.

Majelis Umum PBB mendeteksi adanya peningkatan dan ekspansi aktivitas tindak pidana terorganisasi sehingga memprakarsai suatu ketentuan hukum internasional yang telah disepakati oleh negara-negara dan telah disahkan oleh PBB yaitu

United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC)

atau yang dikenal dengan sebutan Palermo Convention pada plenary meeting ke-62 tanggal 15 November 2000,2 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime-UNTOC)3 yang telah diratifikasi Indonesia dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention

2

http://www.unodc.org/unodc/treaties/CTOC/, diakses secara online pada 19 September 2015.

3

(24)

3

Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi).

Kejahatan transnasional yang diatur dalam UNTOC yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api.4 Mutual

Legal Assistance (disingkat dengan MLA) atau bantuan timbal balik dalam

masalah pidana merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan negara diminta. MLA merupakan suatu bentuk kerjasama memerangi kejahatan yang dikenal dari mekanisme yang berasal dari hukum yang timbul dalam pergaulan masyarakat internasional.

Sejarah pembentukan MLA yang berawal dari kerjasama antar negara dalam suatu proses saling membantu dalam penyidikan masalah pidana yang bermula dari

kerjasama antar kepolisian maupun “letters rogatory” yang merupakan suatu

sistem permintaan bantuan yang didasarkan pada sikap saling menghargai dalam rangka mendapatkan alat bukti, yang selanjutnya berkembang menjadi suatu bentuk perjanjian dan berbagai bentuk bantuan lainnya.5 Letters rogatory merupakan suatu surat yang diterbitkan oleh pengadilan suatu negara untuk memperoleh bantuan dari pengadilan negara lain. Adanya letters rogatory dikarenakan berdasarkan prinsip kedaulatan, pengadilan suatu negara dilarang untuk melaksanakan kekuasaan diluar wilayah yurisdiksinya termasuk juga untuk

4

Ibid.

5

(25)

4

mendapatkan alat bukti yang terdapat di luar negeri untuk kepentingan persidangan, sehingga suatu negara harus mengajukan permintaan terlebih dahulu kepada negara yang diminta apabila ingin mendapatkan alat bukti tersebut.6

MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan timbal balik

(resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa

perjanjian kerja sama MLA bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS. Sementara itu, MLA multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia.7

Pemerintah Indonesia telah memiliki “undang-undang sebagai payung hukum”

(umbrella act) untuk ekstradisi dengan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1979

tentang Ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan aset, dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual legal assistance in

criminal matters) 8 yang selanjutnya disebut Undang-Undang MLA yang

mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu.9 sebagai dasar pelaksanaan kerjasama MLA dengan negara lain. Kerjasama MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;

Siswanto Sunarso, 2009, Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.146.

9

(26)

5

mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana; melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Timbal Balik.

Adapun ketentuan di dalam UU tersebut mengecualikan wewenang untuk mengadakan: ekstradisi atau penyerahan orang; penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara.10 Undang-Undang MLA menyatakan bahwa status MLA, termasuk MLA yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan (requesting state). Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral mengenai MLA.11

10

Svetlana Anggita Prasasthi, Upaya Pemerintah Republik Indonesia Dalam Bantuan Hukum Timbal Balik Untuk Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance– Mla) Terhadap Pengembalian Aset Di Luar Negeri Hasil Tindakpidana Korupsi (Stolen Asset Recovery), Dimuat dalam Jurnal Hukum Volume 2 Mei 2011

11

(27)

6

Kerjasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi pihak dalam perjanjian multilateral. Di bawah kerjasama tersebut, legislasi negara diminta biasanya memformulasikan prosedur untuk mengirimkan, menerima, mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral, walaupun biasanya terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case basis.12

MLA telah mengkategorikan empat perbuatan sebagai tindak pidana serius apabila bersifat transnasional dan melibatkan organisasi kriminal. Empat perbuatan tersebut adalah kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang (money loundering), berdimensi internasional, dan kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda (double criminality), sedangkan UNTOC telah mengkategorikan enam perbuatan yang masuk lingkup kejahatan, yaitu korupsi, pencucian uang, perdagangan perempuan dan anak, penyelundupan orang, penyelundupan senjata, dan menghalangi proses peradilan. United Nations

Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) dilengkapi dengan

tiga protokol, yaitu: protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak; protokol menentang penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara; dan protokol terhadap

12

(28)

7

manufaktur ilegal dan perdagangan senjata api, suku cadang dan komponen dan amunisi. Negara harus menjadi peserta konvensi itu sendiri sebelum mereka dapat menjadi pihak dalam salah satu protokol.13

Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi telah meratifikasi perjanjian timbal balik itu kedalam UU NO. 5 Tahun 2009 Tentang Pengesahan United

Nations Convention Against Transnasional Organized Crime ( Konvensi PBB

Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir). Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang sering menghadapi kasus-kasus kejahatan transnasional terorganisasi yang terus berkembang dengan segala akibatnya telah meratifikasi dan turut serta dalam perjanjian MLA maupun UNTOC yang tentu merupakan suatu keuntunganan dikarenakan UNTOC secara yuridis formal yang kini sudah menjadi bagian dari dan berlaku sebagai hukum (positif) nasional Indonesia, secara yuridis formal sejajar kedudukannya dengan undang-undang nasional Indonesia yang lain pada umumnya, undang-undang pidana pada khususnya.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk membahas dan menganalisis secara dalam mengenai Mekanisme MLA terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnasional

Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang

Terorganisir) di Indonesia, untuk itu penulis ingin menyusun skripsi yang berjudul:

13

(29)

8

Mekanisme Mutual Legal Assistance (MLA) Terhadap Penyelesaian Kejahatan yang Diatur dalam United Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (UNTOC) dan Implementasinya di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah mekanisme MLA terhadap penyelesaian kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UNTOC?

2. Bagaimana implementasi MLA terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UNTOC di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini sebagai berikut:

a. Menjelaskan dan menganalisis pengaturan terhadap mekanisme Mutual

Legal Assistance atau perjanjian timbal balik dalam masalah pidana

terhadap penyelesaian kejahatan-kejahatan transnasional yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes

(UNTOC).

b. Menjelaskan implementasi Mutual Legal Assistance terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam United Nations Convention Against

(30)

9

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Bermanfaat untuk pengembangan kemampuan berkarya ilmiah dan daya nalar sesuai dengan disiplin ilmu yang telah dipelajari yaitu hukum pada umumnya dan hukum internasional pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi praktisi dalam penegakan perjanjian timbal balik guna menekan dan mengurangi terjadinya kejahatan terorganisir lintas batas negara.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini membahas mekanisme bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (selanjutnya disingkat MLA) terhadap penyelesaian kejahatan yang diatur dalam United

Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (selanjutnya

(31)

10

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan terhadap substansi penelitian ini maka diperlukan kerangka penulisan yang sistematis. Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari 5 bab yang diorganisasikan ke dalam bab demi bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini berisi latar belakang masalah yang menjelaskan secara singkat tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, selanjutnya terdapat rumusan masalah yang didasarkan atas latar belakang yang dikaji, selanjutnya ada tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup, dan bagian terakhir berisi sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan Pustaka

Bab ini berisi menguraikan secara singkat mengenai teori-teori hukum sebagai latar belakang dari pembuktian masalah dan hipotesa, umumnya dan kaitannya dengan masalah yang akan dibahas yang terdiri dari: definisi serta pengertian yang relevan, prinsip-prinsip bantuan timbal balik dalam masalah pidana, konsep dasar terbentuknya UNTOC, proses berlakunya UNTOC, serta ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UNTOC.

BAB III : Metode Penelitian

(32)

11

pengumpulan dan pengolahan data yang digunakan dalam proses pengumpulan data. Pada bagian terakhir,ditampilkan analisis data untuk mengetahui cara-cara yang digunakan dalam penelitian skripsi.

BAB IV : Hasil Penelitian dan Analisis Data

Bab ini merupakan pembahasan atas rumusan masalah yang terdiri atas mekanisme Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) terhadap penyelesaian kejahatan-kejahatan yang diatur dalam UNTOC dan implementasinya di Indonesia.

BAB V : Penutup

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi/ Pengertian yang Relevan

1. Pengertian Mutual Legal Assistance in Criminal Matters atau Perjanjian Timbal Balik dalam Masalah Pidana

Mutual Legal Assistance14, yaitu perjanjian yang bertumpu pada permintaan

bantuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain -lain, dari Negara Diminta dengan Negara Peminta.15 Pelaksanaan kerjasama internasional dalam penanganan masalah pidana dapat dilaksanakan melalui beberapa jalur, seperti jalur diplomatik (diplomatic channel), jalur institusi penegak hukum ke institusi penegak hukum , dan jalur otoritas pusat di negara lain.16 Untuk mempermudah pelaksanaan koordinasi dalam kerangka kerjasama internasional dan pelaksanaan bantuan hukum dalam masalah pidana, maka penegakan hukum dilaksanakan melalui lembaga Otoritas Pusat (Central of Authority) yaitu lembaga yang berwenang untuk melakukan pengajuan dan penanganan permintaan MLA dan permintaan ekstradisi.17

14

Mutual Legal Assistance in Criminal Matters, selanjutnya disingkat MLA.

15

Siswanto Sunarso, Loc.cit, hlm. 133.

16

Direktorat Hukum dan HAM, www.bphn.go.id/data/documents/lit, diakses pada 17 November 2015.

17

(34)

13

MLA yang merupakan bantuan timbal balik dalam masalah pidana mempunyai

frase “timbal balik” yang mengindikasikan bahwa bantuan hukum tersebut

diberikan dengan harapan bahwa akan ada timbal balik bantuan dalam suatu kondisi tertentu, meskipun tidak selalu timbal-balik tersebut menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan.18 Bentuk-bentuk bantuan dalam MLA sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi dan mencari orang;

b. Mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; c. Menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;

d. Mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;

e. Menyampaikan surat;

f. Melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; g. Perampasan hasil tindak pidana;

h. Memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana;

i. Melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana;

j. Mencari kekayaan yang dapat dilepaskan atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana dan/atau;

k. Bantuan lain sesuai dengan undang-undang ini.19

Pembentukan MLA dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan hukum pidana diantara beberapa negara mengakibatkan timbulnya kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing negara menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam penanganan kejahatan, hal yang sama terjadi pula pada negara lain, sehingga penanganan kejahatan menjadi lamban dan berbelit-belit.20

18

Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, www.cifor.cgiar.org/ilea, diakses pada 25 Februari 2015.

19

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.

20

(35)

14

2. Pengertian Kejahatan Transnasional

Kejahatan transnasional adalah semua hukum yang mengatur semua tindakan atau kejadian yang melampaui batas teritorial.21 Kejahatan ini telah terjadi di luar batas territorial antar negara. Oleh sebab itu, dalam penegakan hukumnya harus dipertimbangkan apakah peristiwa itu dianggap suatu tindak pidana. Tindak pidana transnasional merupakan salah satu bentuk kejahatan yang mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan dan perdamaian dunia. Perkembangan tindak pidana transnasional ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Disamping dapat memudahkan lalu lintas manusia dari suatu tempat ke tempat lainnya, dari satu negara ke negara lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan dampak negatif berupa tumbuh, meningkat, beragam dan maraknya tindak pidana. Pada saat ini tindak pidana transnasional telah berkembang menjadi tindak pidana yang terorganisasi yang dapat dilihat dari lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.22

Tindak Pidana Transnasional adalah tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah suatu negara atau negara-negara lain, tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di negara atau negara-negara lain, atau tindak pidana yang pelaku-pelakunya berada terpencar di wilayah dua negara atau lebih, dan melakukan satu atau lebih tindak pidana serta baik pelaku maupun tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan,

21Romli Atmasasmita, “Disertasi”, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum

Pidana Indonesia, hlm. 38, (1996).

22

(36)

15

yang menimbulkan akibat pada satu negara atau lebih.23 Selain memberikan definisi, Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan telah menyusun suatu Model Perjanjian di bidang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana ini yang dikenal dengan United Nations Model Treaty (UN Model Treaty).24

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi (United Nation Convention Against Transnasional Organized

Crime), yang selanjutnya disingkat UNTOC mengemukakan tindak pidana

transnasional yang terorganisasi itu dikualifikasi antara lain: (a) Tindak Pidana atas Kesertaan (partisipasi) dalam Kelompok Pelaku Tindak Pidana Terorganisasi,25 (b) Tindak Pidana atas Pencucian Hasil Tindak Pidana (termasuk, tidak terbatas pencucian uang),26 (c) Tindak Pidana Korupsi,27 (d) Tindak Pidana yang berkaitan dengan gangguan proses peradilan.28

B. Tinjauan Umum MLA

1. Prinsip-Prinsip dalam MLA

MLA harus mengatur hak negara-negara para pihak, terutama negara yang diminta untuk menolak permintaan bantuan. Hak negara diminta untuk memberikan bantuan dapat bersifat mutlak dalam arti harus menolak atau tidak mutlak dalam arti dapat menolak. Hak negara untuk menolak yang bersifat mutlak dilandaskan kepada prinsip-prinsip umum hukum internasional yang dalam suatu

23

I Wayan Parthiana, 2003, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Bandung; Yrama Widya, hlm. 41.

24

,http://www.unodc.org/pdf/model_treaty_extradition_revised_manual.pdf, diakses pada 16 September 2015.

25

Pasal 5 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.

26

Pasal 6 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.

27

Pasal 8 United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime.

28

(37)

16

perjanjian berkaitan dengan penuntutan atau pemidanaan tindak pidana yang berlatar belakang politik, tindak pidana militer, suku, ras, agama dan nebis in idem, serta yang berhubungan dengan kedaulatan negara.29 Hak negara diminta untuk menolak permintaan bantuan yang bersifat tidak mutlak didasarkan pada prinsip resiprositas. Prinsip ini terutama sangat menentukan dalam menghadapi tindak pidana yang disebut tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah negara peminta (extra territorial crime) dan tidak diatur menurut negara diminta atau terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati.30

Dalam UU No. 1 Tahun 2006 menganut beberapa prinsip di antaranya:

a. Prinsip kekhususan, artinya yang diberikan dalam bentuk bantuan adalah menurut yang telah dimintakan bantuannya dan selain bantuan penyerahan seorang pelaku tindak pidana, Pasal 3 dan 4;

b. Prinsip resiprositas atau berdasarkan hubungan baik antara kedua negara Pasal 5 ayat (2);

c. Prinsip ne bis in idem Pasal 6 huruf b, prinsip ini sangat umum dalam hukum pidana di mana pelaku tidak dapat dituntut/dihukum untuk yang kedua kalinya pada kejahatan yang sama;

d. Prinsip double criminality atau kejahatan ganda Pasal 6 huruf c, maksudnya perbuatan yang dilakukan pelaku haruslah merupakan tindak pidana bagi kedua negara;

29Mosgan Situmorang et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian

Kerjasama Timbal Balik Dalam Rangka Kepentingan Nasional, hlm.36, (2012).

30

(38)

17

e. Prinsip non rasisme Pasal 6 huruf c, negara diminta dapat menolak permohonan bantuan apabila menyangkut kejahatan yang didasarkan atas ras, suku, jenis kelamin, agama, kewarganegaraan, atau pandangan politik;

f. Prinsip kedaulatan Pasal 6 huruf e, negara diminta dapat menolak apabila persetujuan pemberian bantuan atas permintaan bantuan tersebut akan merugikan kedaulatan, keamanan, kepentingan, dan hukum nasional;

g. Prinsip tidak menerapkan hukuman mati negara diminta dapat menolak pemberian bantuan apabila ancaman terhadap tindak pidana yang dilakukan adalah hukuman mati;

h. Prinsip diplomatik termasuk kekebalan hukum yang terbatas Pasal 17, artinya perjanjian ini selain berdasarkan prinsip resiprositas akan tetapi pelaksanaannya melalui hubungan diplomatik di mana melekat pula hak-hak yang ada pada diplomatik. Termasuk pemberitahuan tentang penolakan pemberian bantuan;

(39)

18

Dari penggolongan prinsip yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 di atas dapat pula diklasifikasikan menurut prinsip yang menerima suatu permintaan bantuan dan hal-hal yang dapat menolak permintaan bantuan.31

a. Prinsip Yang Menerima Permintaan Bantuan

1) Prinsip resiprositas, adalah prinsip yang diakui internasional sebagai solusi dalam menjalin kerja sama antar negara-negara baik masalah perdata maupun pidana, terutama bagi negara-negara yang belum mempunyai perjanjian kerjasama. Esensinya prinsip ini hanya berlatar belakang hubungan baik antar kedua negara.

2) Prinsip double Piminaliry atau kejahatan ganda. Sebelum adanya perjanjian kerjasama kedua negara harus sudah mengkriminalisasi kejahatan terutama yang akan dimasukkan ke dalam perjanjian yang nantinya dapat dimintakan bantuannya, maksudnya adalah tindak pidana tersebut termasuk dalam tindak pidana yang diatur oleh hukum di kedua negara.

b. Prinsip Yang Menolak Permintaan Bantuan, yang termasuk prinsip yang menolak adalah:

1) Prinsip ne bis in idem, sebagai prinsip umum hukum pidana yang diakui secara internasional maksudnya adalah perlindungan bagi seorang pelaku untuk tidak diadili untuk yang kedua kalinya.

31Nobuala Halawa, “Makalah paper program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung”,

(40)

19

2) Prinsip tentang ancaman hukuman mati, sebagai perwujudan dari konvenan terhadap hak sipil dan politik yang menentang adanya hukuman mati. Walaupun Indonesia masih mengenal hukuman mati dalam produk perundang-undangannya akan tetapi pelaksanaannya sangat jarang, ketentuan seperti inilah juga yang membuat Indonesia dapat bekerjasama dengan negara lain karena pada prinsipnya, prinsip ini memang menolak kalau ancaman hukuman dari tindak pidana itu adalah hukuman mati, akan tetapi apabila ada pernyataan.

2. Ketentuan-Ketentuan yang diatur dalam MLA

Mutual Legal Assistance (MLA) pada dasarnya merupakan suatu bentuk

perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. Pembentukan MLA dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan sistem hukum pidana di antara beberapa negara mengakibatkan timbulnya kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. MLA muncul sebagai salah satu upaya untuk mengatasi dan memberantas berbagai kejahatan yang sifatnya lintas batas (transnasional), karena MLA memiliki cakupan/ruang lingkup yang sangat luas. MLA memegang peranan yang sangat penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, khususnya berkaitan dengan kejahatan yang memenuhi asas double criminality.32

32Marulak Pardede et.al, “Laporan Akhir Tim Penelitian Hukum”, Efektivitas Perjanjian

(41)

20

3. Ketentuan Nasional

Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance), sebagai realisasi persyaratan negara yang telah keluar dari daftar hitam negara pencuci uang, perlu mempunyai undang-undang yang mengatur tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Undang-undang ini mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan Pemerintah Republik Indonesia kepada negara di minta antara lain menyangkut pengajuan permintaan bantuan, persyaratan permintaan bantuan untuk mencari atau mengidentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayakan kehadiran orang.33

Perjanjian MLA dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Dalam hal perjanjian MLA dibuat secara bilateral, maka negosiasi terhadap isi perjanjian ini biasanya dilakukan oleh tim terpadu yang terdiri dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian dan Kejaksaan Agung RI. Perjanjian yang dibuat oleh kedua negara atas dasar peraturan MLA mengikat kedua belah pihak sehingga wajib dipatuhi dan dilaksanakan (prinsip pacta sunt servanda). Sampai saat ini Pemerintah Indonesia telah memiliki 5 (lima) perjanjian bilateral dibidang MLA, yaitu:34

1. Perjanjian Indonesia – Australia yang ditandatangani di Jakarta tanggal 27 Oktober 1995 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perjanjian Antara Republik Indonesia dan

33

Ibid, hlm .6.

34

(42)

21

Australia mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

(Treaty Between The Republic of Indonesia and Australia on Mutual Legal

Assistance in criminal Matters).

2. Perjanjian Indonesia – RRC yang ditandatangani di Jakarta tanggal 24 Juli 2000 dan diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat China mengenai Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana

(Treaty Between The Republic of Indonesia and The People’s Republic of

China on Mutual Legal Assistance in criminal Matters).

3. Persetujuan Indonesia – Hong Kong, ditandatangani oleh Jaksa Agung RI pada tanggal 3 April tahun 2008 dan disahkan dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2012 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik dan Pemerintah Daerah Administrasi Khusus Hong Kong Republik Rakyat China tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Agreement Between The Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Hong Kong Special Administrative

Region of the People’s Republic of China concerning Mutual Legal

Assistance in Criminal Matters).

4. Perjanjian Indonesia – India yang ditandatangani di India pada tanggal 25 Januari 2011 dan sampai saat ini belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

(43)

22

Disamping perjanjian MLA yang bilateral, maka saat ini Pemerintah Indonesia juga telah memiliki 4 (empat) perjanjian multilateral dibidang MLA, yaitu:35

1. ASEAN Declaration on Transnational Crimes pada tanggal 20 Desember

1997, yang meliputi kerjasama penanganan kerjasama regional terhadap kejahatan transnasional, antara lain seperti terorisme, perdagangan narkotika, perdagangan dan penyelundupan senjata, pencucian uang, perdagangan orang, kejahatan lingkungan, migrasi ilegal, dan lain-lain.

2. Perjanjian kerjasama antar negara ASEAN (ASEAN MLA Treaty), ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 29 November 2004, dan telah disahkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pengesahan Perjanjian Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Treaty On Mutual Legal Assistance In Criminal Matters).

3. Konvensi PBB Menentang Korupsi (United Nations Convention Against

Corruption/UNCAC) tahun 2003 yang telah diratifikasi dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006.

4. Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi (United Nations Convention Against Transnastional

Organized Crime/UNTOC) tahun 2000 yang telah diratifikasi dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009.

35

(44)

23

C. Tinjauan Umum UNTOC

1. Konsep Dasar Terbentuknya UNTOC

Dengan perkembangannya yang demikian pesat, kejahatan lintas negara

(transnational crimes) dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius

terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah

Transnational Organized Crimes (TOC) yang disesuaikan dengan instrumen

hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu Konvensi PBB mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on

Transnational Organized Crime-UNTOC).36 UNTOC menyebutkan bahwa

transnational organized crime (TOC) atau kejahatan lintas negara terorganisir

adalah kejahatan lintas negara yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas tiga orang atau lebih, dalam kurun waktu tertentu dan dilakukan secara terorganisir dengan tujuan untuk melakukan satu atau lebih kejahatan serius sebagaimana yang dimaksud di dalam konvensi dalam rangka memperoleh, secara langsung maupun tak langsung, keuntungan finansial atau material lainnya.37

Kejahatan lintas negara memiliki karakteristik yang sangat kompleks. Beberapa faktor yang menunjang kompleksitas perkembangan kejahatan lintas batas negara antara lain adalah globalisasi, migrasi atau pergerakan manusia, serta perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang pesat.

36

http://www.kemlu.go.id, Diakses secara online pada 17 Januari 2015, pukul 19.17 WIB.

37

(45)

24

Keadaan ekonomi dan politik global yang tidak stabil juga berperan menambah kompleksitas tersebut.38

2. Proses Berlakunya UNTOC

Untuk dapat berlaku atau mengikat sebagai hukum internasional positif, berdasarkan Pasal 36 ayat 3 UNTOC, negara-negara diberi kesempatan untuk menyatakan persetujuannya untuk terikat pada (consent to be bound by) konvensi dengan cara melakukan peratifikasian (ratification), penerimaan (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi (accession). Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1, Konvensi ini akan mulai berlaku (entry into force) pada hari kesembilan puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi

(ratification), penerimaan (acceptance), persetujuan (approval) atau aksesi

(accession) yang keempat puluh.39

Dengan telah dipenuhinya ketentuan Pasal 38 ayat 1 maka kini UNTOC sudah berlaku sebagai hukum internasional positif. Akan tetapi, sesuai dengan salah satu prinsip hukum perjanjian (internasional), yakni pacta tertiis nec nosent nec

prosunt,40 UNTOC hanya berlaku dan mengikat terhadap negara-negara yang

sudah menyatakan persetujuannya untuk terikat, baik hal itu dilakukan dengan peratifikasian, penerimaan, persetujuan, ataupun pengaksesian.41 Berkenaan

38

Ibid.

39

I Wayan Parthiana,et.al, Kajian Tentang Kesenjangan Antara United Nations Convention against Transnational Organized Crime dengan Peraturan Perundang-Undangan Indonesia, Op.cit,

hlm.3.

40http://www.oxfordreference.com, “

a treaty binds the parties and only the parties; it does not

create obligations for a third state”, yang berarti suatu perjanjian tidak memberikan hak maupun kewajiban kepada pihak ketiga. Bunyi asas tersebut dengan jelas memberikan pengertian bahwa pihak yang tidak terlibat dalam sebuah perjanjian tidak dapat memiliki hak dan tidak dapat dimintai pertangungjawaban. Diakses secara online pada 2 Februari 2015, Pukul 23.08 WIB.

41

(46)

25

dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal

assistance in criminal matters), Indonesia telah memiliki undang-undang

tersendiri, yakni, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006.42 Sedangkan dalam konteks ASEAN, delapan negara anggota ASEAN yakni, Brunei Darrussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Philipina, Singapura, dan Vietnam, juga telah menandatangani Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Maters di Kuala Lumpur pada tanggal 29 November 2004 yang diratifikasi dengan UU Nomor 15 Tahun 2008.43

Selanjutnya, Myanmar sudah resmi menjadi pihak ASEAN Treaty on MLA pada bulan Desember 2009. Dengan demikian hanya 1 (satu) negara yaitu Thailand yang belum menjadi pihak pada Treaty tersebut. Jika ditelaah dengan seksama ketentuan tentang Bantuan Timbal Balik dalam UNTOC, yakni, Pasal 18 yang terdiri dari 30 ayat (ayat 1-30) tampak bahwa Pasal 18 ini merupakan pemadatan/pemampatan dari ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana. Jika diperbandingkan antara Pasal 18 UNTOC dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, memang ada beberapa ketentuan yang sama tetapi juga ada kekosongan di pihak yang satu ataupun di pihak yang lain. Artinya, di dalam UNTOC ada pengaturannya sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tidak ada ataupun sebaliknya. Beberapa materi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 yang tidak ada atau tidak diatur di dalam UNTOC, antara lain:44

(47)

26

a. tentang memperoleh kembali seluruh sanksi denda yang berupa uang; b. tentang pengidentifikasian dan pencarian orang.

c. tentang “transit” yang diatur di dalam Pasal 40 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tetapi sama sekali tidak diatur di dalam UNTOC.

Sejak meningkatnya tindak pidana transnasional pada pertengahan abad 20 sampai saat ini, PBB telah menetapkan Kovensi PBB Menentang Tindak Pidana internasional Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana sebagai berikut:47

a. Ancaman pidana dan prinsip dual criminality b. Asas resiprositas (reciprocity principle) c. Tes pembuktian (evidentiary test)

d. Alasan penolakan kerjasama yang meliputi:

1) alasan kepentingan esensial dan kepentingan publik; 2) tindak pidana politik;

3) asas ne bis in idem atau double jeopardy;

4) tindak pidana dilakukan sebagian atau seluruhnya di negara lain; 5) sifat dan jenis hukuman.

Merujuk hambatan praktik dalam implementasi kerjasama internasional tersebut di atas, ternyata pencegahan dan terutama penyelesaian kasus-kasus

45 Romli Atmasasmita, “Jurnal”,

Asset Recovery Dan Mutual Assistance In Criminal Matters , diakses secara online pada 15 Maret 2015 pukul 09.18 WIB.

46

Romli Atmasasmita, 2007, OECD-ADB, “Mutual Assistance, Extradition and Recovery of

(48)

27

tindak pidana yang bersifat lintas batas negara (transnasional) bukan persoalan mudah dan tingkat keberhasilannya tentu rendah dibandingkan dengan penanganan perkara tindak pidana sebatas wilayah negara yang bersangkutan baik mengenai pelaku maupun aset-aset terkait tindak pidananya. Indonesia telah memiliki dua undang-undang nasional dalam hal ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana,48 dan telah mengikatkan diri ke dalam dua bentuk perjanjian tersebut dengan Negara anggota ASEAN, Australia, Korea Selatan, Cina termasuk Hongkong. Namun tingkat keberhasilannya masih rendah dibandingkan sebagai Negara peminta

(requesting state) dibandingkan sebagai Negara yang diminta (requested state).

Berbeda dengan perjanjian internasional pada umumnya ataupun perjanjian tentang kejahatan internasional pada khususnya yang memiliki sistematika yang sudah baku, yakni, terdiri dari preambul (preamble) yang berisi dasar-dasar pertimbangan dan maksud serta tujuan mengapa perjanjian itu dibuat, kemudian berlanjut dengan batang tubuh yang memuat substansinya yang terbagi menjadi bab-bab dan bab-bab ini terdiri dari satu atau lebih pasal, sebaliknya UNTOC sama sekali tidak memuat preambul ataupun pembagian atas batang tubuhnya menjadi bab-bab melainkan langsung dijabarkan dalam bentuk pasal-pasal (dari pasal yang paling awal sampai yang paling akhir). Oleh karena itu, untuk menelaah substansinya secara lebih mendalam, tidak ada jalan lain selain dengan mengikuti urutan pasal-pasalnya. Namun demikian, penguasaan dan pemahaman secara utuh dan terpadu atas UNTOC itu sendiri merupakan suatu keharusan

48

(49)

28

sebab antara pasal yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan di dalam keseluruhannya itulah terkandung maksud dan tujuan dari konvensi ini.

Secara keseluruhan, substansi UNTOC secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yakni:

a. Kaidah hukum materiil-substansial yakni tentang kejahatan itu sendiri sebagaimana dapat dijumpai dalam Pasal 5, 6, 8, 9 dan 23, tentang yurisdiksi (Pasal 15) maupun hal-hal yang terkait dengan itu, antara lain tentang istilah-istilah yang digunakan (Pasal 2), ruang lingkup berlakunya Konvensi (Pasal 3), prinsip perlindungan dan penghormatan atas kedaulatan negara-negara peserta atau pihak pada Konvensi (Pasal 4);

b. Kaidah hukum formal-prosedural, yakni, tentang masalah-masalah prosedural penanganan perkara, yang meliputi kerjasama internasional antara negara-negara peserta Konvensi, seperti ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), dan kerjasama timbal balik dalam masalah pidana yang disebut juga dengan bantuan hukum timbal balik (Pasal 18) ataupun pasal-pasal lainnya yang berkenaan dengan kerjasama internasional.

(50)

29

dengan perkembangan asas-asas hukum internasional yang secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan hukum nasional, yaitu:49

a. Perlindungan kedaulatan negara sesuai dengan hak eksklusif suatu negara yang ditentukan dalam Pasal 4 Konvensi yaitu Negara Pihak wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan prinsip-prinsip kedaulatan yang sejajar dan integritas wilayah negara-negara dan prinsip tidak melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri negara lain. Konvensi juga tidak memberikan hak kepada suatu Negara Pihak untuk mengambil tindakan dalam wilayah Negara Pihak lainnya untuk menerapkan yurisdiksi dan melaksanakan fungsi-fungsi yang hanya dimiliki oleh pejabat berwenang Negara Pihak lain berdasarkan hukum nasionalnya.

b. Pertanggungjawaban badan hukum bukan hanya pidana saja tetapi juga meliputi tanggungjawab menurut hukum perdata dan hukum administrasi. Oleh karena itu, sanksi yang diterapkan bukan hanya sanksi hukum pidana tetapi juga sanksi yang bersifat pelarangan termasuk sanksi moneter (Pasal 10).

c. Tenggang waktu daluwarsa ditentukan lebih panjang dan ditentukan lebih panjang lagi bila tersangka menghindari pelaksanaan proses peradilan (Pasal 11).

d. Perluasan yurisdiksi kriminal dengan menerapkan asas extra-territorial

jurisdiction, perluasan asas teritorial yang ditentukan dalam Pasal 15:

49

(51)

30

1) Hukum pidana nasional memiliki yurisdiksi atas setiap tindak pidana jika:

a) tindak pidana dilakukan terhadap warga negara dari Negara Pihak tersebut;

b) tindak pidana dilakukan oleh warga negara dari Negara Pihak yang bersangkutan atau oleh orang yang tidak memiliki kewarganegaraan yang biasa bertempat tinggal di dalam wilayah negara yang bersangkutan atau;

c) tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan Pasal 5 ayat (1) dan dilakukan di luar wilayahnya dengan tujuan melakukan tindak pidana serius dalam wilayahnya;

d) tindak pidananya adalah satu dari tindak pidana yang ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) (b) (ii) Konvensi yang dilakukan di luar wilayah dengan tujuan untuk melakukan tindak pidana dalam wilayahnya.

2) Memberlakukan yurisdiksi hukum nasionalnya atas tindak pidana yang diatur dalam Konvensi ketika tersangka berada di wilayahnya dan tidak melakukan ekstradisi atas orang tersebut dengan alasan semata-mata bahwa ia adalah warga negaranya.

(52)

31

3. Ketentuan-Ketentuan yang Diatur di UNTOC

UNTOC menegaskan bahwa permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana merupakan ketentuan yang wajib dipertimbangkan oleh negara yang diminta (shall afford), sepanjang negara yang diminta memiliki alasan kuat bahwa kejahatan yang dimintakan bantuan tersebut bersifat transnasional, dan kejahatan tersebut melibatkan organisasi kejahatan. Ketentuan penting dalam MLA ini adalah, bahwa negara pihak tidak dapat menolak permintaan dimaksud dengan alasan tidak adanya dual criminality (Pasal 18 ayat 9), dan sepanjang negara tersebut memandang permintaan bantuan tersebut diperlukan dan wajar, wajib memberikan fasilitas yang diperlukan untuk kelancaran permintaan tersebut.

MLA juga tidak dapat ditolak dengan alasan satu-satunya karena kejahatan yang dimintakan bantuan tersebut menyangkut masalah pajak (Pasal 18 ayat 22). Namun demikian permintaan tersebut dapat ditolak antara lain dengan alasan bahwa pelaksanaan MLA tersebut akan merugikan kedaulatan negaranya, keamanan, ketertiban umum dan kepentingan lainnya (Pasal 18 ayat 21 b), atau karena alasan bahwa pelaksanaan MLA tersebut akan bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku di negara diminta (Pasal 18 ayat 21 d).50

Berdasarkan UNTOC, bantuan hukum (MLA) ini meliputi perolehan barang bukti dan pernyataan, menyediakan bantuan dokumen-dokumen hukum; melaksanakan penelusuran dan penyitaan; melaksanakan pemeriksaan objek dan lokasi; menyediakan informasi, bukti, penilaian ahli, dokumen dan arsip-arsip; mengidentifikasi atau penelusuran proses kejahatan, harta benda, atau

50

(53)

32

peralatan yang digunakan untuk kepentingan pembuktian dan perampasan untuk kepentingan penyitaan; memfasilitasi kehadiran saksi-saksi; dan berbagai bentuk bantuan lainnya yang tidak dilarang oleh hukum nasional. Meskipun begitu bantuan yang diberikan oleh suatu negara tidak harus terbatas pada yang disebutkan di atas, bantuan lainnya juga dapat diberikan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional masing-masing negara.51

51

Referensi

Dokumen terkait