• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN SEKITARNYA

5.1. Proses Enkulturasi Nilai Budaya Jawa Dalam Kehidupan Keluarga

Pada dasarnya keluarga merupakan persekutuan hidup primer dan alami, di antara seorang wanita dengan seorang pria yang diikat oleh tali perkawinan yang didasari cinta kasih. Dalam persekutuhan tersebut terdapat unsur hakiki yang

sama yaitu; saling mencintai, saling ketergantungan, saling memberi, saling membutuhkan, ada loyalitas/ kesetiaan , pengorbanan, dan saling melengkapi sesuai dengan kodrat masing-masing.

Dengan lahirnya anak maka ikatan perkawinan suami-isteri tersebut menjadi semakin kokoh dan erat terpatri, karena anak menjadi jaminan bertautnya cinta kasih. Dengan keberadaan anak tersebut menuntut tanggungjawab orang tua untuk bersama-sama memelihara dan merawat, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh tanggung jawab.

Mendidik keturunannya adalah menjadi tugas utama orang tua. dengan begitu maka dalam relasi antara anak dan orang tua tersebut secara kodrati tercakup unsur pendidikan. Orang tua menjadi agen pertama dan utama untuk menolong keturunannya, serta mendidik anak-anaknya.

Interelasi di antara semua anggota keluarga merupakan simbol ikatan manusiawi yang ideal. Maka keluarga menjadi sumber cinta-kasih antara suami istri, dan sumber kasih sayang antara anak dengan orang tua. Karena di dalam keluarga terdapat rasa solidaritas, loyalitas, saling menyandar dan saling bergantung, maka keluarga juga disebut sebagai orde sosial primer, yang didalamnya terdapat unsur afeksi dan rasa keadilan dalam bentuknya yang murni ( Baca Kartono 1991: 64 )

Adanya ikatan darah antara anak dengan orang tua, yang dilambari kasih sayang serta dorongan naluriah untuk melindungi anaknya; maka orang tua menjadi pendidik paling pertama dan utama bagi anak-anaknya. Dalam kondisi demikian inilah para orang tua memikul tanggung jawab moril untuk

menghantarkan anak-anaknya menyongsong masa depan yang lebih baik. Maka prioritas pertama untuk mendidik anak ada di tangan orang tua

Pada dasarnya interaksi di dalam kehidupan rumahtangga adalah interaksi edukasi, dalam proses inilah anak-anak mengidentifikasi nilai dan norma dalam kehidupan di lingkungannya. Disamping itu di dalam proses interaksi tersebut anak melakukan pula internalisasi nilai yang kemudian sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadiannya.

Di dalam kehidupan rumahtangga tersebut dapat pula dikatakan sebagai institusi peletak dasar kepribadian anak; dengan begitu maka pola kepemimpinan orang tua dalam mendidik anak-anaknya akan sangat berpengaruh bagi perkembangan kepribadiannya kemudian.

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Interaksi dalam keluarga tersebut termasuk orientasi pembentukan norma-norma sosial, internalisasi norma-norma, terbentuknya frame of reference, sence of belongingness dll. Di dalam keluarga yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati, anak akan pertama-tama belajar memperhatikan keinginan-keinginan orang lain, belajar bekerja sama, bantu- membantu dengan kata lain anak pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan tertentu sebagai modal untuk pergaulan dengan orang lain.( Baca Gerungan 1986: 181 ). Dengan begitu maka pengalaman yang terbentuk dari proses interaksi dalam keluarga tersebut turut menentukan tingkah laku anak terhadap orang lain dalam

pergaulan sosial diluar keluarganya. Pada umumnya jika interaksi sosial dalam kelompok keluarga tersebut tidak lancar atau tidak wajar, kemungkinan besar interaksi sosialnya dengan masyarakat luaspun akan berlangsung tidak wajar pula. Hal demikian mudah dipahami mengingat keluarga sebagai intitusi memiliki tujuan-tujuan, struktur, aturan-aturan, dinamika kelompok, dan termasuk cara-cara kepemimpinan orang tua.

Sebagai intitusi sosial primer, di dalam keluarga tersebut bukan berarti tidak mungkin terjadi gangguan atau penyimpangan fungsi dalam struktur tersebut. Hal demikian sangat mungkin akibat munculnya kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan, ketidaksetiaan, godaan seksual, ketidakadilan, tergesernya posisi anggota keluarga, gaya kepemimpinan orang tua dll. Pada dasarnya pola- pola kepemimpinan dalam keluarga baik dengan cara demokratis, laissez –faire, ataupun otoriter sangat berpengaruh pada suasana interaksi anggota keluarga; dan akan cenderung merangsang perkembangan anak pada ciri-ciri tertentu. Ketiga gaya kepemimpinan tersebut pada dasarnya ada dalam kehidupan masyarakat di Mayangsari dan sekitarnya. Dampak dari persoalan tersebut adalah pada kadar kelekatan nilai budaya pada kehidupan anak-anak mereka.

Proses enkulturasi nilai budaya tradisi Jawa dalam kehidupan keluarga di Kampung Mayangsari dan sekitarnya pada dasarnya telah dilakukan oleh para orang tua kepada anak-anak dimulai semenjak anak ada dalam kandungan ibu. Ritual mitoni, atau selamatan kehamilan tujuh bulan esensinya adalah proses edukasi bagi calon ibu muda yang sebentar lagi harus mengasuh dan mendidik anaknya. Perangkat ritual yang digunakan untuk upacara tersebut sarat dengan

makna simbolik, yang ujung-ujungnya berpengharapan agar anak yang akan lahir kemudian akan lahir dengan selamat, menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, dan berguna bagi nusa bangsa dan agama.

Setelah anak terebut lahir, dilakukan pula upacara selamatan selapanan, dan bagi yang beragama Islam serta mampu melaksanakan ada kewajiban untuk melaksanakan akhikoh yaitu berkorban menyembelih kambing satu ekor jika anak yang lahir perempuan dan dua ekor jika yang lahir anak laki-laki. Dalam ritual selapanan tersebut biasanya disajikan seperangkat nasi yang dilengkapi dengan lauk gudangan, ikan asin, tempe dan tahu, yang kemudian setelah didoakan bersama-sama yang dipimpin oleh seorang Modin; kemudian dibawa pulang masing-masing.

Selapanan adalah ekspresi edukasi bagi para orang tua kepada anaknya yang telah berusia 35 hari. Pada saat itu anak mulai diberi nama, dikenalkan secara sosial, yang berarti keberadaannya akan senantiasa menjadi bagian dari kehidupan masyarakatnya; dan kelak diharapkan pula bahwa anak tersebut akan menjadi anak yang memiliki kepatuhan terhadap nilai-nilai dalam kehidupan masyarakatnya. Hampir 95% para ibu di wilayah tersebut mengasuh anaknya sendiri, bagi mereka yang terpaksa harus bekerja di luar rumah pengasuhan anak tersebut lebih cenderung dititipkan pada anggota keluarga terdekat, sebagian kecil mempercayakan kepada pembantu, namun setelah mereka berada di rumah tanggung jawab pengasuhan sepenuhnya berada pada ibu kembali.

Berdasarkan kajian di lapangan pada dasarnya hampir 95 % keluarga yang ada di Wilayah Mayangsari dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa sebagai

bahasa ibu, dan 5% menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Bahasa Jawa yang mereka gunakan sebagai alat berkomunikasi keseharian secara internal lebih banyak menggunakan jenis bahasa Jawa ngoko, sedikit diantara mereka yang masih menggunakan bahasa Jawa krama; khususnya pada beberapa keluarga yang strata pendidikannya relatif baik.

Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua atau yang lebih dihormati masih tetap menjunjung tinggi berupaya menggunakan bahasa Jawa krama. Komunikasi antar anak-anak sebagian besar menggunakan bahasa Jawa ngoko dan kadang diselingi dengan kosa kata bahasa Indonesia.

Melalui komunikasi dengan bahasa Jawa itulah sebagai salah satu media internalisasi nilai budaya tradisi tersebut dilakukan dalam kehidupan keluarga. Pada dasarnya hampir semua orang tua sebagai kepala keluarga mengidealkan agar para anak-anak mereka masih tetap bisa berbahasa dengan bahasa Jawa yang baik. Pengertian baik disini dimaknai bahwa anak-anak diharapkan dapat memiliki kemampuan berbahasa Jawa krama sebagai ungkapan dimilikinya rasa hormat mereka dengan orang yang lebih tua. Jika ditanyakan bagaimana upaya para orang tua dalam membudayakan penggunan bahasa Jawa yang baik pada anak-anak mereka; pada dasarnya mereka telah merasa menanamkan pembiasaan penggunaan bahasa Jawa yang baik tersebut namun banyak diantara mereka yang merasa kewalahan berhadapan dengan terpaan pengaruh luar yang berakibat pada terjadinya distruksi bahasa.

Dalam kehidupan masyarakat Mayangsari, esensi nilai budaya Jawa pada dasarnya masih melekat cukup baik dalam kehidupan mereka. Rasa hormat

dengan orang yang lebih tua masih menjadi keharusan yang hendaknya dilakukan oleh siapa saja, demikian pula bagi anak-anak mereka. Ungkapan rasa hormat tersebut ditunjukkan dengan berkomunikasi yang baik, diatur dengan penggunaan bahasa Jawa yang baik, saat berinteraksi dengan berperilaku yang santun; dan senantiasa mendahulukan kepentingan orang tua di atas kepentingan dirinya. Hidup guyup – rukun atau sikap hidup bergotong royong masih menjadi kebiasaan hidup yang masih mentradisi dalam kehidupan mereka. Ungkapan keguyuban tersebut ditunjukkan dalam interaksi antar keluarga dalam mengatasi kebutuan keseharian, yang diekspresikan pada kebiasaan saling memberi jika mereka memiliki sesuatu yang lebih dan merasa tetangga membutuhkan pula sesuatu yang dimiliki; serta keinginan untuk saling membantu manakala tetangga sedang dalam kerepotan, atau sedang memiliki hajat tertentu.

Sikap hidup untuk senantiasa memiliki rasa hormat dan hidup guyub tersebut pada dasarnya masih terjalin pula dalam kehidupan masing-masing keluarga. Harapan para orang tua, Anak-anak akan mampu mengidentifikasi diri dengan nilai-nilai yang baik yang telah mereka tradisikan dalam rumah tangga. Ungkapan: ojo nakal, sing rukun karo sedulur, ojo wani karo wong tuwa, mengko ndhak kewalat, ojo kurang ajar, dll menjadi ungkapan yang sangat biasa terdengar dalam interaksi keseharian para orang tua dalam mengarahkan anak- anaknya. Dapat disimpulkan bahwa mereka masih sangat berharap agar anak-anak dapat tumbuh menjadi manusia Jawa yang tetap memiliki kesantunan sebagaimana nilai-nilai dalam kebudayaannya mengatur kehidupan mereka.

Hampir semua keluarga membiasakan anak-anak mereka jika makan, dan memberikan sesuatu kepada orang lain dengan tangan kanan. Jika dalam melalukan aktivitas tersebut keliru dengan menggunakan tangan kiri, mereka menyebutnya ora ilok, atau tidak sopan. Demikian juga dalam berperilaku yang lain, pada dasarnya hal-hal yang menuju pada sifat yang alus atau halus adalah nilai yang dituju dan dianjurkan pada anak-anak, sebaliknya nilai yang menuju pada sifat kasar adalah sesuatu yang disarankan untuk dihindari oleh anak-anak; termasuk didalamnya adalah bicara kasar apalagi membentak dengan orang yang lebih tua.

Berdasarkan hasil observasi, di beberapa keluarga masih dapat dijumpai wayang atau gambar wayang digunakan sebagai hiasan dalam rumah tangga. Tokoh wayang yang dipilih kebanyakan para Satria Pandhawa, Kresna, dan Punakawan. Alasan pemilihan tokoh-tokoh tersebut pada dasarnya mereka merasa senang saja, dan ada diantaranya yang menyatakan bahwa tokoh wayang tersebut diharapkan dapat mensugesti dirinya dan para anak-anak mereka agar memiliki watak yang baik sebagaimana yang disimbulkan oleh tokoh tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu kepala keluarga di antara mereka menyatakan bahwa, gambar Kresna yang dipajang pada dinding ruang tamunya menjadi simbul pribadi, dan orientasi hidup yang dapat menuntun perilaku kehidupannya; yaitu: Memiliki sifat dinamis ( trengginas ), berwibawa, cerdas, adil, dan memiliki kekuasaan. Pesan-pesan moral tersebut diharapkan pula dapat dicerap oleh anak-anak mereka, dan dapat pula mensugesti siapa saja yang melihat gambar tersebut

Gambar : 28

Tokoh wayang Kresna pada Lukisan kaca, salah satu contoh gambar wayang yang digunakan

Gambar : 29

Tokoh wayang Hanoman,

sebagai salah satu contoh wayang yang digumakan sebagai elemen interior rumah tangga

Pilihan mereka terhadap musik yang mereka apresiasi dalam keseharian cenderung menempatkan musik ndangdut sebagai pilihan pertama, baru kemudian campursari, dan pada prosentasi yang relatif kecil mereka membiasakan mendengarkan musik gamelan Jawa. Bagi mereka irama musik campursari dianggap sebagai irama musik Jawa, dan terhadap musik gamelan mereka sudah mulai berjarak, apa lagi para anak-anak dan generasi mudanya. Namun disetiap perhelatan yang mereka selenggarakan ( khususnya pada upacara perkawinan) musik gamelan Jawa masih menjadi sajian wajib yang arus ada untuk menyemarakkan suasana perhelatan tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa proses enkulturasi nilai tradisi Jawa dalam lingkungan keluarga pada masyarakat Mayangsari pada dasarnya berlangsung secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud dengan proses internalisasi yang bersifat langsung yaitu, proses tersebut terjadi dalam interaksi komunikasi antara orang tua dengan anak baik yang bersifat pembimbingan, arahan, teguran, larangan, dll. Yang pada dasarnya berorientasi pada pembentukan sikap hidup yang berbudi luhur dan tahu sopan santun. Dan yang dimaksud dengan inkulturasi secara tidak langsung yaitu anak-anak tersebut melakukan identifikasi diri terhadap nilai-nilai yang ditawarkan oleh lingkungan keluarganya. Nilai-nilai tersebut khususnya yang dicontohkan oleh para orang tua mereka, serta nilai-nilai yang dicerap dari pesan-pesan yang ada di lingkungannya. Pesan-pesan tersebut bisa muncul dari proses mengapresiasi lagu atau musik, gambar, tata arsitektur, tata busana, tata boga, dan tata krama, selama mereka para anggota rumah tangga tersebut melakukan interaksi dalam keseharian.

5.2. Proses Enkulturasi Nilai Budaya Jawa Dalam Kehidupan