• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK SD ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG: EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT JAWA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK SD ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG: EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK PADA MASYARAKAT JAWA."

Copied!
283
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK

SD ISLAM SITI SULAECHAH

MAYANGSARI SEMARANG:

EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK

PADA MASYARAKAT JAWA

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan

Pada Universitas Negeri Semarang

Oleh

Purwanto

NIM: 2001501024

Program Studi Pendidikan Seni

(2)

MOTTO DAN PERUNTUKAN

Motto

‘Mangkono ngelmu kang nyata Sanyatane mung weh reseping ati

Bungah ingaranan cubluk Sukeng tyas yen den ina

Nora kaya si Pengung anggung gumrunggung Ugungan sadina-dina

Aja mangkana wong urip’

(Wedharaga, R. Ng. Ranggawarsita 1802- 1873)

Peruntukan

Tesis ini kuperuntukan kepada

(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah

melimpahkan rahmatNya sehingga tesis yang berjudul GAMBAR

WAYANG BUATAN ANAK-ANAK SD ISLAM SITI SULAECHAH

MAYANGSARI SEMARANG: EKSPRESI KULTURAL ANAK-ANAK

PADA LINGKUNGAN MASYARAKAT JAWA . dapat penulis

selesaikan. Tesis ini ditulis sebagai salah satu persyaratan untuk

memperoleh gelar Magister Pendidikan, bagi Mahasiswa Program

Studi Pendidikan Seni Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.

Untuk menyelesaikan tesis ini banyak terlibat berbagai

pihak, mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian, dan

penulisannya, maka tidak berlebihan kiranya jika penulis

sampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Rektor UNNES Semarang, yang telah memberikan kesempatan

belajar kepada penulis untuk menyelesaikan jenjang studi S2.

2. Direktur Pascasarjana UNNES, yang telah memberikan ijin dan

kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan studi S2. di

Program Pascasarjana UNNES.

3. Ketua Program Studi Pendidikan Seni Pascasarjana UNNES,

yang telah memberikan ijin dan kemudahan bagi penulis

untuk menyelesaikan studi S2 di Program Pascasarjana

UNNES.

4. Bapak Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi.M.A. sebagai

pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan baik

dan penuh kearifan.

5. Dr. Sri Iswidayati. M.Hum. Sebagai pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan dengan baik dan penuh kearifan.

6. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Pendidikan Seni

(4)

ilmunya hingga penulis merasa cukup bekal untuk melakukan

penulisan ini.

7. Kepala Sekolah dan seluruh Guru SD Islam Siti Sulaehah

Mayangsari Semarang yang telah memberi ijin dan membantu

pelaksanaan kegiatan penelitian ini.

8. Bapak Edy Susilo ( Panjangan ) sebagai narasumber yang telah

banyak membantu memberikan data penelitian yang sangat

bermanfaat bagi penulis.

9. Bapak Rusman ( Kembangarum ), sebagai narasumber yang

banyak memberikan data penelitihan berkaitan dengan

persoalan teknis dalam pelaksanaan upacara ritual dalam

masyarakat, yang bermanfaat besar bagi penyelesaian

penulisan ini.

10. Seluruh tokoh dan warga masyarakat Mayangsari dan

sekitarnya yang telah penulis wawancarai dan gunakan sebagai

informan untuk menjelaskan berbagai hal yang berkenaan

dengan penelitian yang penulis lakukan, yang tak dapat

disebutkan satu-persatu.

11. Seluruh rekan-rekan Dosen Jurusan Seni Rupa FBS

UNNES, yang telah memberikan dorongan moril, hingga

penulisan ini dapat terselesaikan.

Dengan doa, semoga kebaikan yang telah diberikan kepada

penulis tersebut akan dibalas dengan selaksa kebaikan pula oleh

Allah SWT.

Semoga tulisan ini ada manfaatnya bagi pengembangan ilmu

pengetahuan, pendidikan, dan bagi kehidupan masyarakat luas.

Semarang, 9 September 2008

(5)

ABSTRACT

Purwanto, 2008. The Picture of Wayang Made by Children of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang: Cultural Expression in the Javanese Community. The Thesis of Art Education Magister Study Program. Post Graduate Program of Semarang State University.

First Suvervisor : Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A. Second Supervisor: Dr. Sri Iswidayati, M.Hum.

Key wards: Culture, Javanese Culture, wayang, The picture of wayang

Basically, the relationship between people and their environment is a component that cannot be separated. By using their culture, people try to adapt and to use their environment to continue their life. The interaction prosess of people and their enviroment bath phisicaly and sosialy consists of adaptation and self internalization procsses so that culture used in their community covil be implemented in the value of their personal life, conversely, an ideal culture which comes from themsellves as personal potential and as a civilized creative, and make a contribution for the forming of culture chain in the groups of society. Hence, it could be stated that the relationship between people and their evironment goes on integratively, including ways done in fulfilling their aesthetic needs.

The problems discussed in the study is explaining an relation between wayang picture expression made by the student of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School and culture values in the socio cultural life of their community. In this case, Javanese culture values, the problems are cathegorized spesificaly into:

(1) How the process of Javanese culture values enculturation, happening in the life of Mayangsari community and it’s surrounding. (2) What factors influencing the Javanese culture values in the community. (3) How the wayang picture expression made by student of Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang.

To explain the problems presented, especially in interpreting and analysing the aestetical value of wayang picture expression created by the children, as case study with the basis structure of Javanese culture, by giving attention the conceps of culture: Geerts, Suparlan, and Rohidi; viewing a culture as a sistematical and integral web. The expression of wayang picture by childrens become as phenomena in the recant society’s life. The wayang picture created by children living in a certain group of society which is still familiar with the Javanese culture as their basis of their life, could be assumerd that those expressions will reflect the Javanese culture value as well.

The methods used to explain the problems in this thesis is qualitative asseesment by descriptive method to determine the focus of this thesis, the technique used to get the data, source data and the technique of analyzing the data is based on background problem: The prosess of Javanese cultural values enculturation happening in the life of Mayangsari community and it’s surrounding. By understanding the setting of cultural condition, it can be used to explain the aesthetical ezpression needs of community members.

(6)

The social area of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang which has a character as community strongly keeping their Javanese culture, has an effect in the enculturation process to Javanese values in their community life, in household life, school, and community this cultural life atmosphere is found to influence greatly for the wayang picture expressive taste made by their children. The expression of the wayang picture of their children Still reflecting the tendenly of understanding and relation level with the essence of Javanese cultural values. The essence of Javanese cultural values reflected in the wayang picture expression made by those childrend are still easy to identify as the realization of same figure in classical puppet reference. It’s line expression is smooth, firm, sure, and full of convidence. The whole expression of picture expression tends to have the character of being complicated, ngrawit, jlimet, (Java) and involutif; as the characteristic of Javanese culture. Besides, the essenceof the wayang picture expressive form made by those children still preser to soft values are alus as the reflection of the taste of ethical and aesthetical values

Actually, if can be concluded that there is relation which is closed and in an integral relation which is closed and in an integral relation between the wayang picture expression made by the studends of The Siti Sulaechah Mayangsari Islamic Elementary School Semarang, with the values of Javanese culture in their community life.

(7)

SARI

Purwanto,2008. Gambar Wayang Buatan Anak-anak SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang: Ekspresi Kultural Anak-anak pada Lingkungan Masyarakat Jawa. Tesis Program Studi Magister Pendidikan Seni. Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing I Prof. DR. Tjetjep Rohendi Rohidi, M.A.

Dosen Pembimbing II DR. Sri Iswidayati, M.Hum.

Kata kunci: Kebudayaan, Kebudayaan Jawa, wayang, gambar wayang.

Pada dasarnya hubungan manusia dengan lingkungannya merupakan sebuah komponen yang tak dapat dipisahkan. Dengan menggunakan kebudayaannya manusia berusaha beradaptasi dengan lingkungannya dan mendayagunakan lingkungannya untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Proses interaksi manusia dengan lingkungan baik fisik maupun sosial, di dalamnya terdapat proses adaptasi dan internalisasi diri sehingga kebudayaan yang digunakan dalam kehidupan masyarakatnya tersebut dapat terimplementasi dalam tata nilai kehidupan pribadinya, sebaliknya kebudayaan ideal yang berasal dari dirinya sebagai potensi personal sebagai makluk yang berbudaya ikut pula memberi konstribusi bagi pembentukan rajut kebudayaan di kelompok masyarakatnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan manusia dengan lingkungannya tersebut berlangsung secara integratif, termasuk didalamnya adalah cara-cara yang dilakukan dalam pemenuhan kebutuhan estetisnya

Permasalahan yang diangkat dalam studi ini adalah menjelaskan relasi yang terjadi antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang dengan nilai-nilai kultural dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya dalam hal ini adalah nilai kultural budaya Jawa. Secara spesifik permasalahan tersebut dirumuskan menjadi: (1) Bagaimana proses enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa terjadi dalam kehidupan masyarakat Mayangsari dan sekitarnya. (2) Faktor apasajakah yang mempengaruhi proses enkulturasi nilai budaya Jawa pada masyarakat tersebut. (3) Bagaimanakah ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang.

Untuk menjelaskan masalah yang dikaji, khususnya dalam menginterpretasi dan menganalisis nilai estetis ungkapan gambar wayang buatan anak-anak tersebut digunakan pendekatan studi kasus dengan kerangka acuan kebudayaan Jawa, dengan memperhatikan berbagai konsep-konsep kebudayaan, Geertz, Suparlan, dan Rohidi, yang memandang kebudayaan sebagai sebuah jaringan yang sistemik dan integral. Ungkapan gambar wayang buatan anak-anak, menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat pada konteks kini. Gambar yang dibuat oleh anak-anak yang hidup pada suatu kelompok masyarakat, yang masih pekat menggunakan kebudayaan Jawa sebagai pedoman dalam kehidupannya, akan dapat diasumsikan bahwa ungkapan gambarnya tersebut akan merefleksikan nilai-nilai kebuyaan Jawa pula.

(8)

memahami kondisi setting kultural tersebut maka dapat digunakan untuk menjelaskan kebutuhan ekspresi estetis anggota masyarakatnya.

Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sosial suatu masyarakat berpengaruh besar bagi perilaku kehidupan masyarakat, termasuk di antaranya adalah dalam pemenuhan kebutuhan estetisnya. Medan sosial Sekolah Dasar Islam Siti Sulaehah Mayangsari Semarang yang memiliki karakter sebagai masyarakat yang masih kuat mempertahankan nilai-nilai kultural Jawa, berdampak pada proses enkulturasi terhadap nilai budaya Jawa pada kehidupan masyarakatnya, dalam kehidupan rumahtangga, sekolah dan masyarakat. Atmosfer kehidupan budaya yang demikian ternyata berpengaruh besar bagi cita rasa ungkapan gambar wayang buatan anak-anak mereka. Ungkapan gambar wayang anak-anaknya masih pekat merefleksikan kecenderungan pemahaman dan tingkat kedekatannya dengan esensi nilai-nilai kultural Jawa. Esensi nilai kultural Jawa yang tereflekasi pada ungkapan gambar wayang buatan anak-anak tersebut masih gampang dapat diidentifikasi sebagai perwujudan dari tokoh tertentu dalam referensi wayang klasik. Ungkapan garis-garisnya lancar, tegas, pasti, dan penuh percaya diri. Ekspresi keseluruhan ungkapan gambar cenderung bersifat, rumit, ngrawit, jlimet dan involutif; sebagaimana karakteristik kebudayaan Jawa. Disamping itu esensi bentuk ungkapan gambar wayang butan anak-anak tersebut masih mengedepankan nilai kehalusan atau alus sebagai refleksi cita rasa nilai etis dan estetis.

(9)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... vi

Abstract ... viii

Sari ... x

Daftar Isi ... xii

Daftar Gambar ... xiv

BAB 1. ... P ENDAHULUAN ... 1

1.1. ... L atar Belakang Masalah ... 1

1.2 Masalah Penelian ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

2. ... L ANDASAN TEORI ... .14

2.1. ... T eori Fenomenologi ... 14

2.2. ... K ebudayaan ... 17

2.3. ... K ebudayaan Jawa ... 19

2.4. ... E stetika Budaya Jawa ... 23

2.5. ... K esenian Wayang Dalam Kebudayaan Jawa ... 26

(10)

3. ... M ETODOLOGI PENELITIAN ... 46 3.1. ... P

endekatan Dan Metode ... 46 3.2. ... F

okus Penelitian ... 47 3.3. ... M

etode Pengambilan Data ... 49 3.4. ... S

umber Data ... 50 3.5. ... T

eknik Analisis Data ... 51

4. ... G AMBARAN UMUM SEKOLAH DASAR ISLAM SITI SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG ... 53 4.1. ... L

atar Belakang Berdirinya Sekolah ... 53 4.2. ... V

isi, Misi, dan Rencana Pengembangan Sekolah ... 55 4.3. ... S

arana dan Prasarana Sekolah ... 57 4.4. ... K

eadaan Guru dan Karyawan Sekolah ... 62 4.5. ... S

(11)

5. ... P ROSES ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA MASYARAKAT MAYANGSARI DAN SEKITARNYA ... 68 5.1. ... P

roses Enkulturasi Budaya Jawa Dalam Keluarga ... 68 5.2. ... P

roses Enkulturasi Budaya Jawa Dalam Masyarakat ... 78 5.3. ... P

roses Enkulturasi Budaya Jawa Di Sekolah ... 99 6. ... F

AKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT PROSES ENKULTURASI NILAI BUDAYA JAWA ... 106 6.1. ... F

aktor Penghambat... 106 6.2. ... F

aktor Pendukung ... 112

7. ... U NGKAPAN GAMBAR WAYANG BUATAN ANAK-ANAK ... 115 7.1. ... P

emilihan Tokoh Wayang ... 115 7.2. ... K

ehadiran Tokoh Dalam Gambar ... 120 7.3. ... F

ungsi Ornamen pada Gambar Wayang ... 125 7.4. ... K

arakteristik Gambar Wayang Buatan Anak-anak ... 129 7.5. ... A

(12)

8. ... P

ENUTUP ... 218

8.1. ... K esimpulan ... 218

8.2. ... S aran-saran ... 222

9. ... D AFTAR PUSTAKA ... 226

DAFTAR GAMBAR

BAB : 2 Gambar: 1 Profil wayang putren ... 31

Gambar: 2 Dodot wayang putren gaya Surakarta dan Yogyakarta ... 31

Gambar: 3 Berbagai bentuk gelung wayang putren ... 32

Gambar: 4 Dewi Shinta gaya Yogyakarta ... 33

Gambar: 5 Profil wayang alusan ... 34

Gambar: 6 Bentuk bokongan dengan posisi kaki jangkahan alus ... 34

Gambar: 7 Berbagai bentuk tutup kepala tokoh satria alusan ... 35

Gambar: 8 Contoh waaayang satria alusan (Arjuna) ... 36

Gambar: 9 Profil wayang gagahan ... 37

Gambar: 10 Busana dodot wayang gagahan ... 37

Gambar: 11 Berbagai bentuk tutup kepala wayang gagahan ... 38

Gambar: 12 Beberapa tokoh wayang gagahan ... 39

Gambar: 13 Profil wayang tokoh raksasa ... 40

Gambar: 14 Busaana bentuk dodod dan bentuk rapekan tokoh raksasa ... 41

Gambar: 15 Tokoh raksasa Kala Srenggi ... 42

Gambar: 16 Beberapa tokoh raksasa ... 43

(13)

BAB: 4

Gambar: 18 Foto Kepala Sekolah dengan latar berbagai piala penghargaan ... 57

Gambar: 19 Denah bangunan gedung SD Islam Siti Sulaechah ... 58

Gambar: 20 Foto Gedung SD Islam Siti Sulaechah tampak depan ... 59

Gambar: 21 Foto gedung SD Islam Siti Sulaechah tampak bagian lantai atas ... 59

Gambar: 22 Foto fasilitas jalan depan SD Islam Siti Sulaechah ... 60

Gambar: 23 Foto mural pada dinding luar bangunan SD ... 60

Gambar: 24 Gallery board ... 62

Gambar: 25 Denah wilayah Kelurahan Kalipancur Ngaliyan Semarang ... 66

BAB: 5 Gambar: 26 Tokoh wayang Kresna pada lukisan kaca ... 75

Gambar: 27 Tokoh wayang Hanoman ... 76

Gambar: 28 Suasana HUT RI di Kampung Mayangsari ... 90

Gambar: 29 Panembrama ... 90

Gambar: 30 Pentas tari pada malam pentas seni HUT RI ... 91

Gambar: 31 Suasana proses belajar mengajar di kelas ... 100

Gambar: 32 Tokoh Punakawan ... 105

BAB: 7 Gambar: 33 Contoh gambar wayang berwatak baik ... 118

Gambar: 34 Contoh gambar wayang berwatak buruk... 119

Gambar: 35 Tokoh gambar wayang binatang Gajah ... 120

Gambar: 36 Gambar wayang berkelompok, para Punakawan ... 121

Gambar: 37 Gambar wayang berkelompok persahabatan para Satria ... 122

Gambar: 38 Gambar wayang persahabatan Punakawan dengan binatang ... 122

Gambar: 39 Gambar wayang persahabatan Satria dengan Punakawan ... 123

Gambar: 40 Gambar wayang persahabatan tokoh-tokoh jahat ... 124

Gambar: 41 Ornamen berfungsi sebagai hiasan tepi ... 126

Gambar: 42 Fungsi ornamen sebagai representasi ruang ... 127

Gambar: 43 Fungsi ornamen sebagai penghias latar... 128

(14)

Gambar: 45 Bima ... 132

Gambar: 46 Bima ... 134

Gambar: 47 Gathotkaca ... 136

Gambar: 48 Puntadewa dan Arjuna ... 138

Gambar: 49 Puntadewa ... 140

Gambar: 50 Bima ... 142

Gambar: 51 Puntadewa ... 144

Gambar: 52 Bima ... 146

Gambar: 53 Janaka ... 148

Gambar: 54 Bima ... 150

Gambar: 55 Janaka dan Petruk ... 152

Gambar: 56 Buta Cakil dan temannya ... 154

Gambar: 57 Arjuna ... 156

Gambar: 58 Bima ... 158

Gambar: 59 Sadewa ... 160

Gambar: 60 Werkudara ... 161

Gambar: 61Arjuna dan Hanoman ... 164

Gambar: 62 Persahabatan para Raksasa ... 166

Gambar: 63 Satria ... 168

Gambar: 64 Petruk ... 170

Gambar: 65 Bratasena ... 172

Gambar: 66 Kresna ... 174

Gambar: 67 Petruk ... 177

Gambar: 68 Bima ... 179

Gambar: 69 Bima ... 181

Gambar: 70 Batari Durga ... 183

Gambar: 71 Bagong ... 185

Gambar: 72 Srikandhi ... 186

Gambar: 73 Dewi Sinta ... 188

Gambar: 74 Arjuna ... 191

(15)

Gambar: 76 Dewa ... 195

Gambar: 77 Gareng dan Gajah ... 197

Gambar: 78 Punakawan ... 199

Gambar: 79 Bima ... 201

Gambar: 80 Tiga Satria ... 203

Gambar: 81 Tokoh wayang yang relatif sulit diidentifikasi ... 210

Gambar: 82 Perbedaan tokoh wayang baik dan buruk... 213

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

(17)

proses adaptasi tersebut, manusia mendayagunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya

Merujuk pendapat Forde tersebut, pada dasarnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya, tidak saja hubungan dengan lingkungan fisik semata, tetapi menyangkut pula hubungan dengan lingkungan sosial budaya. Sebagai individu yang berada dalam suatu komunitas masyarakat, untuk tetap survive dan tetap dapat menjaga eksistensinya mau tidak mau manusia harus dapat mengikuti dan memanfaatkan kondisi sosial budayanya, sekaligus berperan ikut mewarnai kehidupan sosial yang ada di lingkungan masyarakatnya. Proses intraksi manusia dengan kondisi lingkungan sosial masyarakatnya itu di dalamnya terdapat proses adaptasi dan internalisasi diri, sehingga kebudayaan yang digunakan sebagai pedoman dalam perilaku kehidupan masyarakatnya tersebut terimplementasi dalam tata nilai perilaku kehidupan pribadinya pula. Sebaliknya, pola-pola kebudayaan ideal yang berasal dari dirinya, sebagai potensi personal sebagai makluk yang berbudaya, ikut pula memberi konstribusi bagi pembentukan rajutan jaring-jaring kebudayaan yang ada di kelompok masyarakatnya. Atas dasar itu maka ekspresi pikiran, perasaan dan tindakannya senantiasa diwarnai dengan nilai-nilai budaya yang dianutnya; termasuk ekpresi estetisnya.

(18)

kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Manusia sebagai pribadi bagian integral dari masyarakat dan kebudayaannya mengemban fungsi sebagai penyangga kebudayaan- demikian pula kesenian yang ada di masyarakatnya, di dalamnya ada proses mencipta, memelihara, mewariskan, mengembangkan, yang kemudian membangunnya menjadi kebudayaan baru yang menawarkan nilai-nilai baru yang relatif mampu memenuhi kebutuhan estetisnya dalam konteks sekarang.

Rohendhi (1993: 2) mengatakan bahwa setiap masyarakat, baik secara sadar maupun tidak sadar, mengembangkan kesenian sebagai ungkapan pernyataan rasa estetik yang merangsangnya sejalan dengan pandangan, aspirasi, kebutuhan , dan gagasan yang mendominasinya. Cara-cara pemuasan terhadap kebutuhan estetik itu ditentukan secara budaya (seperti aspek-aspek kebudayaan yang lainnya), serta terintegrasi pula aspek-aspek kebudayaan lainnya itu. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa proses pemuasan kebutuhan estetik tersebut berlangsung dan diatur oleh seperangkat nilai dan asas yang berlaku dalam masyarakat dan oleh karena itu cenderung untuk direalisasikan dan diwariskan pada generasi berikutnya.

(19)

orientasi kehidupan pendukung budaya tersebut mengalami perubahan yang diakibatkan oleh suatu hal; yang menjadikan irama kehidupan budayanya sudah tidak selaras lagi dengan tuntutan kehidupannya.

(20)

Fenomena abrasi budaya tersebut, sesungguhnya telah melanda hampir di seluruh wilayah budaya tradisi di Indonesia saat ini, Bahkan jauh sebelumnya Ronggowarsito (1802- 1874), dalam Serat Kalatidha-nya telah memberikan isyarat perubahan itu dengan menyebutnya sebagai jaman edan.. Penyebutan jaman edan tersebut untuk menggambarkan kondisi kehidupan suatu masyarakat (Jawa) yang mengalami kerusakan tatanan, akibat orientasi kehidupan budaya yang berubah, yang berpengaruh besar pada tata perilaku kehidupan masyarakatnya. Salah satu pada tembang dalam Kalatidha tersebut menyebutkan demikian:

Amenangi jaman edan Ewuh aya ing pambudi Melu edan nora tahan Yen tan melu anglakoni Boya kaduman melik Kaliren wekasanipun Dilalah karsa Allah Begja begjaning kang lali

Luwih begja kang eling lawan waspada

(21)

penemuan lama. Difusi yaitu pembentukan budaya baru akibat percampuran budaya baru dengan budaya lama. Reinterpretasi, yaitu perubahan kebudayaan akibat terjadinya modifikasi kebudayaan yang telah ada agar sesuai dengan keadaan jaman.

Menyikapi terjadinya perubahan budaya tersebut banyak kalangan masyarakat yang ketakuan akan kehilangan jati diri kebudayaan tradisinya, dengan pertimbangan itu maka bisa difahami jika banyak kalangan yang melakukan proteksi terhadap kebudayaan tradisinya.

Sebagai salah satu tindakan dalam rangka menyelamatkan terjadinya abrasi budaya Jawa, maka melalui Kongres Bahasa Jawa IV 2006, yang berlangsung pada tanggal 10-14 September 2006 di Semarang, telah ditetapkan beberapa keputusan, diantaranya:

(1). Menekankan kembali berlakunya Keputusan Kongres Bahasa III di Yogyakarta, bahwa mata pelajaran bahasa Jawa wajib diajarkan di Sekolah-sekolah mulai SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA di tiga Propinsi; Jawa Tengah, Jawa Timur dan Daerah Istimewa Yogyakarta. (2). Pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah harus bersifat kontekstual, memanfaatkan teknologi informasi, mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif, serta dapat dimulai dari varian bahasa setempat sebagai titik tolak untuk mengajarkan bahasa Jawa baku.

(22)

(4). Perlu dikembangkan bengkel sastra Jawa sebagai sarana apresiasi dan kreativitas.

(5). Secara bertahap, guru bahasa Jawa harus lulusan lembaga pendidikan formal bahasa dan sastra Jawa. Perlu disiapkan fasilitas pembelajaran khas Jawa yang dapat meningkatkan kompetensi dan ketrampilan berbahasa dan bersastra Jawa.

Melalui keputusan Konggres Bahasa Jawa 2006 tersebut, adalah sebagai sebuah cara bagaimana kebudayaan Jawa diproteksi oleh masyarakatnya. Dengan pemberdayaan bahasa Jawa melalui jalur pendidikan formal diharapkan dapat menjadi media strategis untuk mengendalikan para peserta didik/ para siswa yang menempuh pendidikan formal di tiga propinsi tersebut agar senantiasa berperilaku budaya Jawa. Diyakini bahwa bahasa dan sastra Jawa masih memiliki potensi keunggulan dan peluang untuk tetap hidup, tumbuh, dan berkembang di lingkungan masyarakatnya. Indikator itu paling tidak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa masih menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, serta dapat memberikan konstribusi untuk membentuk kepribadian bangsa.

(23)

memahami terhadap kepentingan masing-masing. Kemampuan menghargai dan menghormati perbedaan dan keragaman diharapkan akan dapat menumbuhkan rasa bangga terhadap budayanya dan dimilikinya apresiasi yang baik pula terhadap budaya orang lain. Peran seni yang bersifat multikultural ini dapat dijadikan dasar pemersatu bangsa dengan mengembangkan sikap saling menghormati satu sama lain, menghargai adanya perbedaan dan kesadaran hidup dalam kesetaraan; diharapkan dengan sikap dasar tersebut dapat terwujud suasana kehidupan bermasyarakat yang berkualitas.

(24)

tersebut anggota masyarakat dituntun kearah kehidupan yang ideal sebagaimana yang diorientasikan oleh kebudayaannya, disisi lain seni tradisi wayang tersebut sekaligus berfungsi sebagai tiyang penyangga berdiritegaknya konstruksi kebudayaan tradisi Jawa.

Sejauh mana efektifitas kesenian wayang tersebut mampu berperan mempengaruhi perilaku kehidupan masyarakatnya, sudah barang tentu sangat tergantung dari intensitas kedekatan kesenian wayang itu sendiri dengan masyarakatnya. Dengan asumsi bahwa jika pertunjukan wayang dan sosialisasi tentang wayang tersebut dibudayakan menjadi sebuah kebutuhan yang mentradisi dalam suatu kelompok masyarakat, maka dimungkinkan perilaku anggota masyarakat tersebut akan merefleksikan nilai-nilai budaya Jawa yang ideal. Wayang menjadi ikon representasi pribadi-pribadi dalam konteks kehidupan kulturnya, dan wayang menjadi representasi simbol bagi pemenuhan kebutuhan etis dan estetisnya. Dengan begitu maka ungkapan ekspresi estetis anggota masyarakat tersebut sesungguhnya akan menjadi refleksi dari nilai-nilai kultur yang dianutnya.

Melalui penelitian ini peneliti berupaya menjelaskan relasi antara hasil ekspresi estetis bentuk gambar wayang hasil karya sekelompok anggota masyarakat, dengan nilai-nilai kultural Jawa.

(25)

terus-menerus melakukan tradisi melestarikan kesenian wayang. Tradisi penyelenggaraan pertunjukan wayang tersebut dilaksanakan setiap tahun sekali, pada bulan Apit atau bulan Dzulkangidah, sebagai ungkapan rasa syukur para anggota masyarakat di wilayah tersebut kepada Tuhan atas kemurahan yang telah diberikanNya. Di sekitar tempat keberadaan sekolah tersebut terdapat tiga titik tempat yang secara rutin menyelenggarakan kegiatan pentas wayang , dengan rentang jarak yang relatif tidak begitu jauh; yaitu di wilayah Panjangan, Kembangarum, dan Kalipancur. Serta di wilayah tersebut terdapat dua tempat untuk berlatih karawitan, yaitu di Panjangan dan Ringintelu; dan hamir tiap seminggu sekali irama gamelan itu membuai telinga warga masyarakatnya termasuk anak-anak yang tinggal di sekitar wilayah itu.

Disisi lain, sekolah tersebut telah melaksanakan dengan baik keputusan Kongres Bahasa Jawa IV 2006, yang diperkuat dengan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah, untuk melaksanakan pendidikan bahasa Jawa sebagai muatan kurikulumnya. Dengan asumsi, sinergi antara proses enkulturasi nilai-nilai budaya Jawa yang dilakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat secara intens, dengan intervensi nilai-nilai budaya tersebut melalui pendidikan formal yang berkesinambungan; akan mampu mengoptimalkan pembentukan sikap dan perilaku anak-anak untuk berbudaya tradisi Jawa.

(26)

wayang buatan mereka tersebut akan dapat digunakan sebagai teks untuk menjelaskan relasinya dengan ekspresi kultural mereka sebagai anak-anak yang hidup pada lingkungan masyarakat Jawa.

1.2. Masalah Penelitian

Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan kehidupan masyarakat yang masih kental melestarikan nilai-nilai tradisi budayanya dalam hal ini budaya Jawa, diharapkan akan senantiasa menjadi pewaris tradisi yang senantiasa mampu mengiplementasikan nilai-nilai kultural tersebut dalam perilaku kehidupannya. Karena keberadaan anak-anak tersebut telah menjadi bagian integral dari kebudayaan yang dianut oleh masyarakatnya, maka dimungkinkan ekspresi estetisnya akan mencerminkan kondisi sosial budayanya pula. Namun seiring dengan perubahan jaman, yang diakibatkan oleh perubahan orientasi pemenuhan kebutuhan masyarakat pendukungnya; nilai-nilai budaya tersebut dimungkinkan akan mengalami pergeseran ke arah tebentuknya pola-pola nilai budaya baru yang diyakini lebih sesuai untuk menjawab kebutuhannya saat ini.

Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah menjelaskan relasi yang terjadi antara gejala gambar wayang buatan anak-anak Siswa SD Islam Siti Sulaechah, Kalipancur Ngaliyan Semarang dengan nilai-nilai kultural dalam kehidupan sosial budayanya, dalam hal ini keberadaannya sebagai bagian dari komunitas sosial masyarakat Jawa.

(27)

muncul pada ungkapan gambar wayangnyapun akan mengalami pergeseran-pergeseran bentuk ungkapan sebagaimana yang mereka interpretasikan sesuai dengan kebutuhannya. Melalui gambar wayang buatan mereka itulah kiranya dapat difahami orientasi kehidupan dan konstruksi nilai-nilai kultural yang diperlukan sebagai bagian dari komunitas kehidupan masyarakat Jawa pada saat ini. Dengan lebih spesifik permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1. Bagaimanakah proses enkulturasi nilai-nilai tradisi Jawa dilakukan dalam kehidupan masyarakat di Kampung Mayangsari dan sekitarnya

1.2.2. Faktor apasajakah yang berpengaruh bagi proses inkulturasi budaya tradisi Jawa dalam kehidupan masyarakat di Kampung Mayangsari dan sekitarnya

1.2.3. Bagaimanakah ungkapan gambar wayang buatan anak-anak Siswa Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah yang ada di Kampung Mayangsari Semarang.

1.3. Tujuan Penelitian.

Secara umum penelitian ini bertujuan mengkaji relasi antara ungkapan gambar wayang buatan anak-anak dengan nilai-nilai kulturalnya dalam konteks kehidupan masyarakat Jawa saat ini. Secara khusus memberikan gambaran yang lebih mendalam tentang bagaimana ekspresi gambar wayang buatan anak-anak Siwa SD Islam Siti Sulaekhah Kalipancur Ngaliyan Semarang, yang dapat dijelaskan dari aspek:

(28)

mengenai hal terebut dapat digunakan untuk menjelaskan intensitas perhatian dan kepedulian lingkungan terhadap pelestarian nilai-nilai tradisi bagi anak-anak mereka; yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh bagi perilaku anak-anak, serta tingkat pemahaman mereka terhadap ciri-ciri keseniannya. Tingkat kemampuan pemahaman terhadap kesenian wayang pada anak-anak tersebut indikatornya dapat diketahui dari kemampuan mengungkapkan dalam bentuk gambar, menginterpretasi, dan memahami simbol yang digunakan dalam kerangka kebudayaan masyarakatnya.

1.3.2 Kajian analisis faktor-faktor yang berpengaruh pada proses enkulturasi nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada kehidupan anak-anak di wilayah Mayangsari dan sekitarnya, baik yang bersifat internal maupun eksternal.

1.3.3 Ungkapan bentuk tokoh wayang yang digambar oleh anak, yaitu kajian tentang organisasi unsur-unsur visual yang disusun mejadi bangunan makna, sebagai perwujudan tokoh wayang tertentu baik yang merepresentasikan perwujudannya yang klasik maupun segala penambahan dan perubahan yang dilakukan sebagaimana yang diinterpretasikan dalam kebutuhan estetisnya saat ini.

1.4. Manfaat Penelitian

(29)

konstribusi pemikiran dan pemahaman terhadap kasus serupa di tempat lain, di wilayah satuan budaya yang sama. Dengan demikian penelitian ini akan bermanfaat:

1.4.1 Bagi para pelaku budaya tradisi Jawa, dapat memperoleh gambaran tentang eksistensi nilai-nilai budaya Jawa tersebut yang terserap dalam pikiran anak-anak. 1.4.2 Bagi para tokoh dan pamong kesenian wayang, akan memperoleh informasi tentang efektivitas proses enkulturasi nilai yang ditanamkan melalui tradisi Apitan, selama ini; informasi tersebut menjadi refleksi dalam rangka mengukur tingkat keberhasilan proses pelestarian nilai seni budaya tradisi yang selama ini diupayakan.

1.4.3 Bagi para Guru di Sekolah Dasar, hasil penelitian ini akan dapat digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai budaya Jawa melalui Mata Pelajaran Bahasa Jawa yang diajarkan di sekolah.

1.4.4 Bagi Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, hasil penelitihan ini akandapat menjadi informasi yang berharga untuk menentukan kebijakan-kebijakan lanjut bagi upaya pelestarian dan pengembangan nilai-nilai budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat agar tercipta kondisi kehidupan masyarakat yang berbudaya; dengan tetap menjaga jalinan kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang.

(30)
(31)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Fenomenologi

(32)

disebut epoche atau ‘membisukan suara’ yang mungkin pernah mempengaruhi pengetahuan kita terhadap objek yang bersangkutan.

(33)

penggunaan istilah intuisi. Pengintuisian esensi-esensi disebut juga pengintuisian eidetic (eidetic intuiting). Kata eidetic berasal dari eidos, yang berarti esensi. Pengintuisian eidetic itu adalah untuk menangkap atau mencapai esensi-esensi berbagai hal melalui fenomena. Dan pencapaian esensi biasanya menyertakan survey atas sesuatu yang memperluasnya menjadi lebih umum.

Bogden & Taylor dalam Sutopo (1994) lihat juga Mulyana 2001, menjelaskan bahwa perspektif fenomenologi menempati posisi sentral di dalam metodologi penelitian kualitatif. Apa ang dicari peneliti di dalam kegiatan risetnya, bagaimana melaksanakannya dalam situasi riset, dan bagaimna peneliti melakukan tafsir pada hasil risetnya, semuanya tergantung pada perspektif teoritis yang digunakannya. teori fenomenologis memandang perilaku manusia, apa yang mereka katakan dan mereka lakukan adalah sebagai produk bagaimana orang melakukan tafsir terhadap dunia mereka sendiri. Kehadiran sebuah karya seni dan interaksinya dalam situasi yang khusus adalah merupakan gejala yang dapat diinterpretasi dan dipahami maknanya. Tugas peneliti kualitatif adalah menangkap proses tersebut, untuk itu diperlukan pemahaman empatik dengan kemapuan untuk mereproduksi diri di dalam ikiran orang lain, perasaan, dan motif, yang menjadi latar belakang kegiatannya.

(34)

dapat memahami bagaimana dan apa makna yang mereka bentuk dari berbagai peristiwa dalam kehidupan mereka sehari-hari. Langkah penting dalam tahapan kegiatan tersebut adalah melakukan deskripsi fenomenologis, atau mendeskripsikan ( menganalisis dan menjabarkan) fenomena yang digunakan sebagai objek riset.

Studi kasus pada penelitian ini penulis berusaha untuk menganalisis gejala yang ada pada gambar wayang buatan anak-anak SD Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang dengan menggunakan kerangka acuan kebudayaan Jawa sebagai motif untuk memahami fenomena tersebut. Dengan begitu maka relasi antara fenomena yang manifestasinya adalah gambar-gambar wayang tersebut akan dapat diketahui bagaimana relasinya terhadap kondisi kultural masyarakatnya, yang dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang diasumsikan masih cukup kuat memegang nilai-nilai tradisi budaya Jawa.

2.1. Kebudayaan

(35)

lingkungannya dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhannya (Geertz, 1973: 89)

Sejalan dengan pengertian kebudayaan tersebut maka dimensi dari kebudayaan tersebut menyiratkan adanya: pertama, merupakan pedoman hidup yang berfungsi sebagai blueprint atau desain menyeluruh bagi kehidupanm warga masyarakat pendukungnya. Kedua, sebagai sistem simbol, pemberian makna, model kognitif yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik. Ketiga, merupakan strategi adaptif untuk melestarikan dan mengembangkan klehidupan dalam menyiasati lingkungan dan sumber daya di sekitarnya.(Rohidi,1993: 7).

Koentjaraningrat (1983) menjelaskan ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistemata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut menjelma dalam wujud kebudayaan yaitu: (1) sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya. (2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat, (3) sebagai benda-benda hasil kebudayaan.

(36)

menyertai kehidupan manusia sejak kehidupan awalnya telah membuktikan bahwa kesenian bukan sebagai keharusan melainkan sebagai kebutuhan; dan dikatakan sebagai kebutuhan bio-sosiologis.

Pada kesenian melekat ciri-ciri khas suatu kebudayaan, yaitu kesenian milik bersama yang memiliki seperangkat nilai, gagasan, dan unsur daras berpijak bagi perilaku; merupakan acuan bersama yang membuat tindakan individu dipahami, dan begitu pula individu memahami kelompoknya. Ciri Khas berikutnya (atau juga disebarluaskan pada generasi sebaya) melalui proses enkulturasi, sosialisasi, dan internalisasi. Kebutuhan akan keindahan mungkin juga bersifat biologis- seperti yang dikemukakan di atas sejalan dengan diketahuinya fungsi benak otak sebelah kanan- namun jelas pemuasannya, inspirasi, dan pemerkayaan corak dan wujudnya bersifat budaya. (Rohendi, 2000: 208)

Dari pikiran-pikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pendekatan budaya yang digunakan untuk melakukan kajian dalam penelitihan ini, pada dasarnya memandang kehidupan ini sebagai suatu yang sistemik dan integral. Kebudayaan dalam kehidupan manusia sebagai unsur-unsur yang mempunyai fungsi pedoman dan energi timbal balik yang mengatur hubungan integral antara individu, sosial, maupun lingkungannya.

2.2. Kebudayaan Jawa.

(37)

Secara lebih detail esensi budaya Jawa tersebut terimplimentasi dalam kecenderungan manifestasi sikap hidup: religius, non doktriner/ non dogmatis, toleran, akomodatif, dan optimistik (Sujamto, 1992: 33). Rumusan tersebut paling tidak mewarnai baik secara keseluruhan maupun sendiri-sendiri terhadap pertumbuhan dan perkembangan dari unsur-unsur kebudayaan yang ada. Bahasa dan kesusasteraan, arsitektur, seni pertunjukan, seni rupa, sistem religi dll. Baik langsung maupun tidak langsung merefleksikan ciri-ciri tersebut.

Ciri-ciri utama atau sifat-sifat dasar yang ada dalam perilaku budaya Jawa menurut Sujamto (1992: 144) yaitu:

(1) Percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa sebagai sangkan paraning dumadi, dengan segala sifat dan kekuasaanNya. (2) Bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat imateriail (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supranatural) dan cenderung ke arah mistik. (3) Lebih mengutamakan hakekat ketimbang segi-segi formal dan ritual. (4) Mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia. (5) Percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah. (6) Bersifat konvergen (menyatu), dan universal dan terbuka. (7) Momot dan non sektarian. (8) cenderung simbolistik. (9) Interaksi sosial yang cenderung gotong-royong, guyub, rukun dan damai. (10) Cenderung tidak fanatik. (11) Luwes dan lentur. (12) Mengutamakan rasa ketimbang rasio. (13) Altruistis dan filanthropis. (14) Kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.

Bagaimana upaya masyarakat Jawa dalam menjaga nilai-nilai kebudayaannya, adalah menjadi tanggung jawab seluruh anggota masyarakat itu sendiri dengan berpedoman pada semboyan Tri Dharma Mangkunegara I, yaitu: (1) Rumangsa melu handarbeni. (2) Wajib melu hangrungkebi. (3) Mulat sarira

(38)

kebudayaan Jawa tersebut tetap menjadi acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat.

Sikap dasar bagaimana manusia Jawa harus menempatkan diri dalam berinteraksi dengan lingkungannya, senantiasa dituntut untuk menjaga hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang. Kebudayaan Jawa dikonstruksi dari pangkal tolak yang demikian, maka dapat difahami jika sikap hidup untuk rukun, hormat, eling lan waspada menjadi begitu penting dan di kedepankan dalam perilaku kehidupannya. Kalimat: Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, Mangan ora mangan waton kumpul. Mikul duwur mendhem jero, Kurmat karo wong tuwa.

Eling marang sangkan paraning dumadi. Sing awas lan waspada. Dll. Adalah ungkapan yang sering digunakan sebagai emplementasi dari nilai-nilai di atas. Magnis Suseno menyatakan (1996: 83):

Tolok ukur arti pandangan dunia bagi orang Jawa adalah nilai pragmatisnya untuk mencapai suatu keadaan psikis tertentu, yaitu ketenangan, ketenteraman, dan keseimbangan batin. Maka pandangan dunia dan kelakuan dalam dunia tidak dapat dipisahkan seluruhnya. Keyakinan-keyakinan deskriptif orang Jawa terasa benar sejauh membantu dia untuk mencapai keadaan batin itu tadi. Bagi orang Jawa suatu pandangan dunia dapat diterima semakin semua unsur-unsurnya mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis, semakin unsur-unsur itu cocok satu sama lain (sreg). Dan kecocokan itu merupakan suatu kategori psikologis diri dalam tidak adanya ketegangan dan gangguan batin.

(39)

Niels Mulder (dalam De Jong, 1976:81) menyatakan bahwa sikap manusia Jawa terhadap dunia sekitarnya pada dasarnya memperlihatkan pola, bahwa masyarakat Jawa tradisional seorang individu tak dapat dipisahkan dari lingkungannya; identitasnya terdapat dalam lingkungannya atau masyarakatnya tersebut. Hubungan sosial tersebut dihayati bertalian dengan alam raya sekitarnya.

Dalam masyarakat tradisional individu-individu tidak dapat dipisahkan dari lingkungan mereka; mereka hidup baik dalam alam dan dalam masyarakat mereka. Identitas manusia tradisional terutama terletak dalam masyarakat, mereka makluk sosial, yang berhubungan dengan alam secara alamiah, secara langsung. Irama alam, yaitu irama musism-musim, merupakan irama hidup masyarakat pula. Alam individu-individu, dan masyarakat mereka, terikat secara akrab dan ketiga unsur tersebut saling berpartisipasi’ (Niels Mulder dalam De jong, 1976: 81)

Sebagai ciri kehidupan modern pada dasarnya ditandai oleh objektivasi, menaruh perhatian mental terhadap benda-benda, rasa hormat terhadap materi. Hubungan positif emosional dengan materi ini merupakan salah satu ciri bagi perubahan hidup kearah modernisasi. Dalam masyarakat Jawa tak ada satu hubungan emosionalpun dengan materi. Hubungan emosionalnya terpatri dalam kehidupan kolektif masyarakatnya. Masyarakatlah yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk yang harus dipatui oleh anggota masyarakatnya

(40)

orang harus mnyesuaikan diri dengan harapan; bisa bekerja sama, ambil bagian, sopan, mengetahui aturan, bersikap santun, menghormati yang lebih tinggi dan bersikap baik terhadap yang lain dalam herarki yang lebih rendah dan seterusnya; amatlah penting untuk menjaga kedudukan seseorang dan untuk memperoleh pengakuan sosial. Ditariknya pengakuan sosial, merupakan sanksi efektif untuk menghukum orang-orang yang berperilaku menyimpang dalam masyarakat; seperti terlihat dalam praktek jothakan, disengiti dll. (Niels Mulder, 1984:64). Dengan begitu maka bagi orang Jawa diterima dalam kelompoknya berarti rasa aman, dan tidak diterima oleh kelompoknya menjadi tidak aman, takut, dan akan menderita.

Dari pikiran-pikiran terebut kiranya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam kehidupan masyarakat Jawa, kolektivitas demikian sangat penting. Eksistensi masing-masing pribadi adalah representasi dari kehidupan kolektifnya, dan ekisistensi kondisi sosio kulturalnya adalah representasi dari pribadi-pribadi anggota masyarakatnya. Antara individu dengan lingkungannya baik yang bersifat fisik maupun sosial, telah menjadi satu jalinan yang homogen dan integral.

2.3. Estetika Budaya Jawa

(41)

dapat mengganggu hukum keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan lingkungannya; yang dimungkinkan dapat berakibat munculnya ketidaktenangan, kebingungan, dan ketidakadilan dalam lingkungan masyarakatnya.

Moralitas demikian pada dasarnya menjadi esensi dalam estetika budaya Jawa. Magnis Suseno (1996: 212) menandai ada dua kata kunci yang dipergunakan dalam etika dan estetika Jawa untuk mengatur semua unsur lahir dan batin, yaitu kategori alus (halus) dan kasar

Dalam budaya Jawa mengenal kata alus, yang mengungkapkan kehalusan dalam kelakuan, kesopanan, dan menunjuk kualitas dari sebuah ungkapan karya seni ( bathikane alus, tatahane alus, garise alus, wiramane alus, dsb.) Sedangkan kata kasar dipergunakan untuk menunjukkan karakteristik ungkapan yang berkebalikan dengan kata alus. Halus adalah tanda keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang sempurna. Apabila masyarakat berada dalam kondisi demikian maka semuanya akan berjalan dengan baik dan tenang. Sikap dan perilaku seseorang yang disebut alus adalah orang yang telah dapat mengontrol jasmaninya dan telah mengatur batiniahnya, sehingga ia akan mencapai rasa yang benar. sebaliknya perilaku kasar adalah tanda ketidakmampuan mengontrol diri dan ketidakmatangan pribadi. Dengan begitu maka sekaligus dapat disimpulkan bahwa kata alus memiliki makna, yang paling baik, kesempurnaan, kekuatan; sedangkan kata kasar memiliki makna, yang buruk, kurang, dan lemah.

(42)

gamelan, tembang, karya seni rupa/ kerajinan, dll. pada dasarnya merepresentasikan karaktristik yang bersifat ngrawit, rumit, dan involutif.

Dengan bertitik tolak dari karakteristik esensi estetika Jawa tersebut maka dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kualitas gejala gambar wayang buatan anak-anak, dengan kriteria sebagai berikut:

2.3.1 Semakin rinci (elaboratif) ungkapan bentuk gambar, maka akan semakin halus; dan jika ungkapan gambar menunjukkan kecenderungan yang lakar saja (tidak rinci) akan semakin kasar.

2.3.2 Sifat garis yang banyak mengeksploitir ungkapan garis lengkung 0dan menunjukkan elastisitasnya, maka sifaf garis tersebut akan semakin halus; dan garis yang cenderung patah-patah, kaku akan cenderung menunjukkan sifat kasar. 2.3.3 Ungkapan garis yang bersifat lancar dan yang dibuat dengan penuh perasaan akan mengesankan sifatnya yang lebih halus, dibanding garis yang dibuat secara tersendat.

2.3.4 Ungkapan gambar yang dibuat dengan isian atau ornamen yang cenderung penuh akan menunjukkan sifatnya yang semakin halus; dan ungkapan gambar yang cenderung dengan ungkapan yang hanya sederhana akan menunjukkan sifat yang kasar.

2.3.5 Gambar yang dibuat cenderung memenuhi bidang gambar akan menunjukkan sifatnya yang halus; sedangkan gambar yang dibuat kecil dan tidak cukup menguasai bidang gambar maka menunjukkan sifatnya yang kasar.

(43)

dalam kecenderungan mengurai warna, atau warna hadir dalam keadaan terpisah-pisah dengan hue masing-masing maka akan cenderung menunjukkan sifatnya yang kasar.

Dengan demikian maka kaidah-kaidah estetika yang digunakan untuk mengkaji gejala kesenian Jawa, dalam hal ini gambar-gambar wayang buatan anak-anak, menggunakan koridor estetika tersebut di atas. Sejalan dengan esensi estetika Jawa pada pikiran tersebut, menarik untuk mempertimbangkan pendapat Beadsley (dalam Smith. 1989: 218) yang menyatakan bahwa ada tiga ciri yang menjadi sifat-sifat membuat baik (indah) dari benda benda estetis yaitu: (1) Aspek kesatuan (unity). (2) Aspek kerumitan (complexity). (3) Aspek kesungguhan (intensity)

(44)

yang dicapai saat proses kegiatan berlangsung. Data yang mengindikasikan aspek kesungguhan tersebut diperoleh saat observasi, amatan terhadap efektivitas waktu yang digunakan pada saat proses menggambar, serta suasana batin yang melingkupi saat kegiatan berlangsung; disamping amatan terhadap hasil karya itu sendiri.

2.4. Kesenian Wayang Dalam kebudayaan Jawa

Kedudukan kesenian wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa tak sekedar sebagai bentuk ekspresi estetis semata, sebab bagi kehidupan masyarakat Jawa antara falsafah dan wayang sebenarnya tak dapat dipisahkan; karena dalam kesenian wayang mengambil ajaran-ajaran dari sistem-sistem kepercayaan dan wayangpun menawarkan berbagai macam falsafah hidup yang bersumber dari sistem-sistem tersebut. Sumber-sumber falsafah tersebut dapat ditarik benang merahnya dengan konstruk teoritikalnya bahwa, ‘hidup harus didasarkan pada kebenaran’.

(45)

Sebagai pertunjukan yang multidimensional, wayang dapat dikatakan memiliki fungsi komunikatif, disamping bidang studi filsafat, teologi, psikologi, karaktereologi, pedagogi, sosiologi, kultural, literatur (sastra), serta dramatologi. Selain itu pertunjukan wayang dapat digolongkan sebagai karya seni yang di dalamnya memiliki muatan seni sastra dan teater, seni karawitan dan tari, serta seni rupa pada bentuk peraga-peraganya. Disamping itu telah beberapa abad yang lalu dunia wayang telah menarik perhatian para cendikiawan sebagai objek studi menurut disiplin ilmu masing-masing, namun keunikan dalam berbagai aspek yang terkandung di dalamnya tiada habis-habisnya untuk diteliti dan dibahas. ( Satoto dalam Haryanto. 1991: 2)

(46)

menggunakan rasa sejati. Dengan ini manusia akan dapat melihat kenyataan hakiki tentang dirinya, asal mula dirinya, asal mula kehidupan, kemana tujuan hidup; yang lazim dalam wayang disebut Sangkan paraning dumadi (asal mula dan akhir kehidupan). (Timur, 1990). Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa esensi kesenian wayang kedudukannya dalam budaya Jawa adalah sebuah sistem filsafat kejawen yang mengajarkan pada manusia kesadaran akan sangkan paraning dumadi. Yang didasarkan pada lima prinsip: rasa sejati, kenyataan sejati, ilmu sejati, kesadaran sejati, dan kebenaran sejali. Kelima hal tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh. Dengan demikian maka wayang adalah menjadi pedoman perilaku darma hidup manusia Jawa dalam rangka meniti sangkan dan paran menuju Yang Sempurna dan Yang Abadi (Tuhan).

Kias nilai filosofis dalam kesenian wayang tersebut dapat ditemukan antara lain: Tingkat kedewasaan manusia, berturut turut dalam tahap karma, darma, bakti, dan moksa. Watak manusia yang berperan mewujudkan peri kelakuannya dalam lakon, seperti kesatriya, raksasa, dur angkara. Penggambaran watak dalam tiap tokoh wayang tercermin dari bentuk dan warna. Penyusunan struktur pergelaran wayang semalam suntuk, dengan pola adegan atau alur tertentu. Iringan karawitan dengan pathet dan gendhing-gendhing yang sarat dengan kias nilai-nilai kehidupan. (Abdullah, 1980). Filsafat Jawa telah dimanifestasikan dalam seni pewayangan, atau dapat dikatakan bahwa acuan peri laku kehidupan masyarakat Jawa adalah kesenian wayang itu sendiri.

(47)

identitas utama manusia Jawa. Manusia Jawa gemar beridentifikasi dengan tokoh-tokoh wayang tertentu dan bercermin serta bercontoh padanya dalam melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-harinya. Identifikasi diri tersebut khususnya terhadap tokoh-tokoh Pandhawa ( Puntadewa, Bima, Arjuna, Nangkula dan Sadewa ), Para anak Pandhawa (Gathotkaca, Antasena, Abimanyu Dll). Kresna, Baladewa, Para Punakawan (Semar, gareng, Petruk, dan Bagong), dan adapula identifikasi diri terhadap tokoh yang bentuknya buruk (bukan manusia) tetapi berhati baik yaitu: Hanoman (berbentuk kera), dan Kumbakarna (berbentuk raksasa). Disisi lain tak pernah dijumpai manusia Jawa beridentifikasi diri terhadap tokoh tokoh jahat seperti para tokoh Kurawa (Durna, Sengkuni, Duryudana, Dursasana, dll.). Pemilihan tokoh-tokoh tersebut senantiasa dipertimbangkan dengan harapan semoga watak terpuji yang dimiliki tokoh-tokoh wayang tersebut terwarisi oleh pemilik nama. Hal tersebut sebagai hasil pertimbangan magis-religius belaka dan kadang tidak dapat diikuti secara logika.

(48)

Dalam pergelaran kesenian wayang, induk cerita yang dipakai adalah Ramayana dan Mahabarata. Keduanya memiliki inti ajaran: (1) Aklak dan moral, yaitu mengajarkan bahwa segala sifat yang terpuji akan mendapatkan kebahagiaan dan sifat tidak terpuji akan menemui kehancuran. (2) Kepahlawanan, yaitu mengajarkan keberanian untuk membela kebenaran. (3) Kenegaraan, yaitu tentang bagaimana negara harus diatur dan bagaimana negara harus bertindak mengatasi masalahnya. (4) Filsafat, yaitu ajaran mencari hakekat hidup yang sejati. Cita-cita hidup, yaitu mengandung ajaran hidup untuk dapat memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akherat.(5) Ketuhanan, yaitu adanya ajaran untuk percaya adanya kekuatan-kekuatan di luar kekuatan manusia; dan pemahaman tentang ‘sangkan paraning dumadi’. Dalam menyampaikan ajaran tersebut disampaikan dengan pendekatan langsung dan tidak langsung, atau secara tersurat, tersirat atau simbolik.

Sejalan dengan pendapat di atas, Mulyono (1979: 14) mengatakan bahwa kesenian wayang merupakan manifestasi peradaban, moralitas pandangan hidup, dan sikap religius masyarakat pendukungnya; sekaligus mencerminkan peranan yang fungsional dalam kehidupan masyarakat . Wayang telah menjadi bagian sistem dalam kebudayaan Jawa, dan yang sekaligus sebagai acuan dalam perilaku kehidupan masyarakat.

(49)

atau karakter yang dimiliki oleh masing-masing tokoh. Sosiologis, ialah ciri-ciri yang menyangkut status dan kedudukan dalam tata kemasyarakatan (Satoto, 1985: 19).

Tokoh-tokoh dalam wayang tersebut dikelompokkan menjadi empat yaitu: satria halusan, gagahan, wanita, dan raksasa. Dan dengan tambahan para Punakawan dan beberapa sosok binatang. Masing-masing karakter tokoh-tokoh tersebut dibedakan oleh ciri-ciri ukuran dan bentuk tubuh, rincian pada feature (bentuk hidung, mata, dan mulut), warna, dan atribut-atribut lain yang digunakan. Dari penggunaan atribut-atribut tersebut sekaligus dapat dikenali kedudukan wayang tersebut berada pada strata sosial yang bagaimana ( Satria, Raja, Begawan, Dewa, Prajurit, Punakawan, Putri, dll ). Dan dari penggunaan warna pada wajah, dapat pula diidentifikasi beraneka karakter yang saling berbeda, yang dengan istilah khusus disebut sebagai wanda.

Halus dan kasarnya karakter wayang pada dasarnya ditentukan oleh ciri-ciri fisik yang dimiliki masing-masing tokohnya. Haryanto, S (1991: 25) membagi karakteristik wayang klasik menjadi empat yaitu: jenis wanita (putren), satria halusan, satria gagahan, dan raksasa. Disamping klasifikasi tersebut sebenarnya masih ada kelompok wayang yang memiliki ciri khusus, yaitu para punakawan dan kera. Kekhususan ciri pada dua kelompok wayang tersebut yaitu pada perbentukanya yang secara fisik mendekati gejala bentuk tokoh berkarakter jahat, namun dalam konteks cerita tokoh-tokoh tersebut malah selalu berbuat baik.

(50)

kepala/irah-irahan sesuai dengan ciri masing-masing, memakai dodot putren, (dodot putren gaya Surakarta ujung kainnya menjorok ke belakang seolah-olah wayang tersebut sedang berjalan, sedangkan dodot putren gaya Yogyakarta ujung kain terebut menjorok ke depan seolah-olah wayang tersebut sedang berdiri diam dengan posisi punggung agak membungkuk ), dan posisi kaki jangkahan alus.Tutup kepala atau irah-irahan putren pada dasarnya lebih banyak menggunakan bentuk gelung dengan berbagai jenisnya, antara lain: gelung ukel keyongan, gelung ukel keyongan ber-jamang dan ber-gurdha, gelung ukel kembang, gelung endhel, dan gelung malang; disamping masih ada bentuk irah-irahan yang lain dalam bentuk kethon, sebagaimana yang banyak dipakai oleh wayang putren gaya Yogyakarta.

(51)

Hidung walimiring, mata gabahan, mulut mingkem

Gambar: 2

(52)

Gambar: 3

(53)

Gambar: 4

Dewi Shinta gaya Yogyakarta memakai irah-irahan kethon.

(54)

Gambar: 5

Profil wayang alusan (berkarakter halus)

Hidung walimiring, dengan bentuk mata gabahan, dan kedhelen,

Gambar: 6

(55)

Gambar: 7

(56)

Gambar: 8

Contoh wayang satria alusan (Arjuna)

(57)

Gambar: 9 Profil wayang gagahan

hidung bentulan, mata kedhondhong, dan thelengan

Gambar: 10

(58)

Gambar: 11

(59)

Gambar: 12

Beberapa tokoh wayang gagahan

(60)

posisi kedua kaki jangkahan. Disamping hal tersebut terdapat ciri yang lain pula yaitu pada tangan belakang kebanyakan tokoh raksasa menyatu dengan badan, namun ada pula beberapa tokoh yang kedua tangannya diurai pisah dari badannya (Buta Cakil, dan Rahwana gaya Jogya).

Gambar: 13

Profil wayang tokoh raksasa

(61)

Gambar: 14

(62)

Gambar: 15

(63)
(64)

2.5. Gambar Kerangka Berpikir

Pola relasi dalam penciptaan karya seni ( gambar wayang buatan anak-anak ) dengan lingkungannya pada dasarnya dapat dijelaskan dengan diagram di bawah ini.

Kedudukan kreator (internal Subjek ), hasil ekspresi estetis ( gambar wayang ), dan lingkungan ( keluarga, sekolah, masyarakat ) bersifat integral. Unsur-unsur tersebut akan saling mempengaruhi untuk dapat memberi dan diberi, dalam proses kehidupan budaya yang terjalin secara sistemik.

Gambar wayang Buatan anak-anak

Internal subjek Lingkungan Sekolah

Keluarga Masyarakat

Gambar: 17

(65)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Metode

Kajian ini pada dasarnya merupakan studi kasus terhadap fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan anak-anak. Anak-anak sebagai bagian dari komunitas sosial menempati fungsi yang sangat strategis bagi upaya pelestarian nilai-nilai budaya kehidupan masyarakatnya. Proses enkulturasi nilai budaya itu senantiasa dilakukan oleh kelompok masyarakat manapun, baik melalui peran keluarga, sekolah dan masyarakat.

(66)

Medan kajian dalam penelitihan ini melibatkan anak-anak, sekolah, keluarga dan masyarakat, sebagai sebuah sistem yang integral yang tercermin dalam ekspresi gambar wayang buatan anak-anak; untuk dijelaskan esensi maknanya. Dengan begitu diperlukan pendekatan penelitian yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial itu secara efektif. Soetopo (1996: 5), dan beberapa para ahli sosiologi lainnya menyarankan agar penelitian bidang sosial budaya yang berupaya mengungkap esensi dari sebuah interaksi sosial hendaknya mendekati permasalahan tersebut secara kualitatif.

Gambar wayang buatan anak-anak adalah manifestasi adanya interaksi sosial antara anak-anak sebagai subjek kreator dengan lingkungan sosial budayanya. Fenomena yang tampak pada perbentukan gambar tersebut menyimpan makna yang memiliki relasi dengan kulturalnya, dan sebaliknya kondisi kultural dimana anak-anak tersebut tinggal akan berpengaruh besar pada gejala yang ada pada gambar wayang mereka. Dengan demikian agar kajian penelitian ini memperlihatkan kedalaman makna, serta menunjukkan keterlibatan peneliti secara langsung di lapangan, maka dipilih pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.

3.2. Fokus Penelitian

(67)

paling tidak terdapat tiga titik tempat yang setiap tahun mentradisikan pertunjukan wayang melalui tradisi Apitan, yaitu di wilayah Panjangan, Kembang Arum, dan Kalipancur (jarak lokasi sekolah dengan tempat-tempat kegiatan pentas wayang tersebut dapat dilihat pada gambar ). Disamping posisi geografis Sekolah Dasar tersebut, dikepung oleh potensi-potensi seni tradisi wayang, anak-anak yang sekolah di SD tersebut ternyata tidak saja berasal dari kampung Mayangsari itu saja, tetapi mereka berasal pula dari wilayah-wilayah tersebut di atas.

(68)

bagi pengungkapan, nilai-nilai, wacana, dan kondisi instrinsiknya. Ada kecenderungan anak mulai memusatkan perhatiannya pada benda-benda dan objek di lingkungannya dengan tersaring. Pengamatannya terhadap objek telah mulai rinci, hal-hal seperti draperi, ornamen-ornamen, dan detail dari suatu benda telah menarik perhatiannya. Gambar mereka tentang manusia/ figur, pada dasarnya telah mendekati proporsi yang benar. Berbagai ungkapan ekspresi wajah telah memiliki arti sendiri, Sangat menyukai gambar kartun. Kesadaran akan perbedaan sex menonjol, termasuk didalamnya kesadaran akan perbedaan karakter dari tokoh yang digambarnya.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut maka penulis berkesimpulan bahwa hasil gambar wayang buatan anak-anak pada usia kelas VI SD, dapat dijadikan objek penelitihan yang indikatornya dapat mewakili persoalan sosial yang ada pada kelompok masyarakatnya.

3.3. Metode Pengambilan Data

(69)

metode, pemanfaatan sumber belajar, dan tingkat perhatian siswa selama kegiatan pembelajaran. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap seluruh gambar wayang yang dihasilkan.

Untuk memperoleh data tambahan berkaitan dengan proses inkulturasi budaya dalam lingkungan keluarga, dan masyarakat peneliti melakukan wawancara dengan para orang tua siwa dan tokoh masyarakat. Substansi materi wawancara tersebut berkisar pada upaya yang dilakukan oleh para orang tua dan tokoh masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai kultural Jawa, khususnya melalui sosialisasi kesenian wayang, dan kesenian lain yang mendukung proses pelestarian nilai-nilai tradisi Jawa.

3.4. Sumber Data

Sebagai Sumber data primer dalam penelitian ini adalah:

3.4.1 Treatment pada Siswa kelas VI SD Islam Siti Sulaechah, anak-anak disuruh menggambar wayang melalui instruksi guru, yang diobservasi selama proses pembelajaran berlangsung.

3.4.2 Gambar wayang karya anak-anak Siswa Kelas VI SD Siti Sulaekhah sebagai outcome dari treatment yang telah dilakukan.

(70)

3.4.4 Hasil wawancara dengan para orang tua siswa berkenaan dengan upaya enkulturasi budaya, dan orientasi pembinaan dan pengembangan anak-anak mereka untuk menyongsong kehidupannya kedepan.

3.4.5 Hasil wawancara dengan para tokoh masyarakat, berkaitan dengan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai seni tradisi budaya Jawa.

Sumber data sekunder adalah sumber data yang dapat menunjang data primer yaitu berupa arsip-arsip sekolah, dan arsip yang ada pada organisasi kemasyarakatan setempat yang dapat memberikan informasi mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dinamika kegiatan sosial budaya yang memiliki relevansi bagi upaya penanaman nilai-nilai tradisi budaya Jawa tersebut.

3.5. Teknik Analisis Data

Mengacu pada pikiran Milles dan Hubberman (1992:11), ada empat komponen pokok dalam teknik analisis data yang harus dilakukan oleh peneliti yaitu:

3.5.1 Pengumpulan data

Pada proses ini peneliti mengumpulkan data terlebih dahulu dengan mengelompokkan data-data yang ditemukan di lapangan. Data-data tersebut diperoleh melalui teknik pengumpulan data, yang dipakai yaitu:

(71)

methode pembelajaran, serta gambar wayang hasil karya siswa setelah pembelajaran berlangsung.

(2) Wawancara, dilakukan dengan sejumlah responden dari Guru kelas, Kepala Sekolah, para orang tua siswa, dan para tokoh masyarakat. Fokus data yang dikumpulkan berkaitan dengan upaya inkulturasi nilai-nilai tradisi yang dilakukan, beserta faktor yang mendukung dan menghambat proses enkulturasi tersebut. (3) Dokumentasi, meliputi arsip-arsip yang memiliki relevansi dan konstribusi bagi pengembangan temuan data dilapangan. Arsip-arsip tersebut diupayakan diperoleh dari sekolah, Pemerintah Kelurahan dan masyarakat yang ada di Kampung Mayangsari dan sekitarnya.

3.5.2 Reduksi Data.

Dalam proses reduksi data, peneliti melakukan reduksi dengan: melakukan pemilihan, penyederhanaan, pemusatan perhatian pada data-data yang diperlukan, dan transformasi data. Pada proses ini peneliti memilih dan memilah data yang diperlukan untuk dikaji dan membuang data yang tidak sesuai dengan sasaran penelitian. Dengan demikian hasil penelitian yang disajikan dan analisis yang dilakukan akan menjadi lebih terfokus, sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan.

3.5.3 Sajian Data

Dalam menyajikan data, peneliti mencatat dan memaparkan data secara objektif dalam bentuk susunan kalimat yang ditulis secara sistematis.

(72)
(73)

BAB 4

GAMBARAN UMUM SEKOLAH DASAR ISLAM SITI

SULAECHAH MAYANGSARI SEMARANG

4.1. Latar Belakang Berdirinya Sekolah

Letak geografis Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah berada di Kampung Mayangsari Kelurahan Kalipancur Kecamatan Ngaliyan Semarang. Jarak dari pusat kota Semarang kurang lebih 10 Km, dan kurang dari 4 km jarak kampung tersebut dengan pusat-pusat keramaian yang melingkarinya; antara lain Pasar Sampangan, Pasar Simongan, Islamic Centre, dll.; namun kondisi kampung tersebut sesungguhnya relatif terisolir karena kontur batas kampung tersebut di sebelah Timur dan Selatan adalah sungai Kreo, dan batas kampung di sisi Barat dan Utara adalah perbukitan. Namun yang menarik pada perkembangan saat ini ternyata sekolah tersebut menjadi sekolah yang relatif difavoritkan oleh masyarakat disekitarnya dibanding SD lain yang ada di sekitarnya.

(74)

semata namun termasuk di dalamnya adalah mental-spiritual warga masyarakatnya, dan lebih khusus lagi pendidikan bagi anak-anak mereka. Penyebab dari itu semua dikarenakan kondisi geografis kampung tersebut berada di wilayah yang relatif terisolir. Rendahnya minat sekolah anak-anak di wilayah tersebut diakibatkan kedudukan sekolah dasar yang dapat mereka gunakan sebagai tempat belajar berada di seberang Sungai Kreo, tepatnya di Kampung Kedungwadas Kelurahan Sukorejo Kec. Gunungpati. Jika musim hujan Sungai Kreo tersebut hampir sering banjir; faktor inilah yang menjadikan surutnya minat anak belajar karena mereka menjadi sering tidak bisa masuk sekolah. Melihat kondisi yang demikian kemudian muncullah prakarsa dari salah satu anggota pengajian tersebut yaitu Ny. Hj. Siti Sulaechah istri H. Muhammad Sulchan (seorang pengusaha sukses di era 60 an) untuk mendirikan sekolah di kampung tersebut, dengan satu motivasi membantu memberikan pelayanan pendidikan bagi anak-anak di kampung tersebut. Pada tahun 1986 didirikan masjid yang cukup representatif untuk kegiatan peribadatan , yang diberi nama Masjid At Taqwa. Pada tahun 1987, didirikan TK Islam Siti Sulaechah, dan pada tahun 1989 berdirilah SD Islam Siti Sulaehah; yang pengelolaannya dibawah naungan Yayasan Badan Amal Jariyah Keluarga H Muhammad Sulchan Semarang dengan sekretariat di Jl. Ahmad Yani 54 Semarang.

(75)

tersebut dengan kampung-kampung di sekitarnya mendapat bantuan pengaspalan; dengan begitu secara fisik ada perubahan yang cukup signifikan kampung tersebut menjadi relatif nyaman.

Keberadaan Masjid At Taqwa, TK, dan SD Islam Siti Sulaecah di Kampung tersebut pada perkembangan kemudian ternyata menjadi magnit bagi terjadinya perubahan diberbagai bidang, khususnya pencitraan terhadap kampung beserta masyarakatnya dan bagi sekolah itu sendiri. Keberadaan sekolah yang pada awalnya hanya diperuntukkan bagi para anak-anaki di wilayah tersebut, namun dalam perkembangan kemudian telah berkembang relatif besar; dan mampu merekrut anak-anak dari daerah lain ( Ringintelu, Panjangan, Kembangarum, Kalipancur, Ngemplak Simongan dll. ) dan pada tahun ajaran 2008/2009 ini berhasil merekrut siswa berasal dari 14 TK. yang ada di sekitarnya; dengan batasan jumlah 70 anak.

SD Islam Siti Sulaechah di bawah naungan Yayasan Badan Amal Jariah Keluarga H. Muhammad Sulchan Semarang, mendapat ijin penyelenggaraan pendidikan pada tanggal 21 April 1990, No: 0180/103/I/1990 dari Dirjen Dikdas dan Menengah. Pada tahun pertama memiliki 35 siswa, dan proses belajar mengajarnya masih menumpang di bangunan TK Islam Siti Sulaechah, yang berjarak lebih kurang 50 meter dari lokasi yang sekarang. Pada saat ini sekolah tersebut telah berkembang relatif baik baik, pada sepuluh tahun terakhir setiap tahun ajaran baru menerima siswa sejumlah 70- an untuk dua kelas; dengan begitu jumlah siswa keseluruhan berkisar 400 anak.

(76)

Untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan secara utuh, Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari mempunyai visi dan misi sekolah yang berfungsi sebagai dasar sekaligus orientasi tujuan operasional institusi tersebut.

Adapun visi sekolah yaitu: Unggul dalam mutu dan prestasi berdasarkan iman dan taqwa.

Sedangkan misi sekolah yaitu:

(1). Mewujudkan masa depan Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang sebagai lembaga pendidikan yang maju, mandiri, dan berkualitas. (2). Meningkatkan kualitas pembelajaran serta aklaqul karimah bagi Siswa / Siswi Sekolah Dasar Islam Siti sulaechah Mayangsari Semarang

(3). Membimbing, mendorong dan membantu Siswa untuk mengembangkan bakat dan potensi yang dimiliki Siswa secara berkesinambungan dengan melibatkan warga sekolah dan komite sekolah.

Sekolah Dasar Islam Siti Sulaechah Mayangsari Semarang menyusun rencana strategi untuk pengembangan 10 tahun ke depan, dengan rincian sebagai berikut:

(1). Meningkatkan kualitas sistem pendidikan dasar Islam, sehingga mampu menjadi sekolah unggulan sebagai pilihan pertama dan utama bagi masyarakat. (2). Terciptanya kondisi guru yang beraklaqul karimah, berkompetensi dalam proses pembelajaran dan mampu menguasai iptek guna peningkatan pelayanan bagi peserta didik.

(77)

(4). Mampu memproduksi bahan ajar sendiri yang lebih sesuai dengan kebutuhan Siswa, dengan tetap mengacu pada kurikulum yang berlaku.

(5). Meningkatkan kerja sama de

Gambar

Gambar wayang
Gambar : 18
Gambar : 19
Gambar : 21
+7

Referensi

Dokumen terkait

This slide is taken from : MICR 300 : Microbiology, California State of University Macronutrients : elements required in fairly..

kalau disini gak hanya sekrearis yah sebetulnya semua staff disini itu iya bagian dari eee apa pencitraan sebuah organisasi gitu kan kami pekerjaannya memang banyak

Pengadaan alat peraga Montessori di Sekolah Dasar nampaknya masih belum menjadi harapan karena ketersediaan alat peraga di Sekolah Dasar sendiri masih perlu mendapat

Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum Perkembangan Sel Betina adala untuk memlelajari perkembangan katak

HUMAS dari Badan POM dalam kegiatan “Badan POM Sahabat Ibu” dalam melakukan pemberitaan/menyebarkan informasi yang bertujuan untuk mendapatkan respon positif dengan

Berilah tanda silang (X) huruf A, B, C, D, atau E pada jawaban yang paling benar! 1. Senyawa berikut yang bukan merupakan minyak bumi adalah ... Cara yang digunakan untuk

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dikaruniai akal pikiran, maka manusia harus senantiasa terus belajar. Orang yang

PNPM Mandiri Kehutanan dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian kawasan hutan. PNPM Mandiri