• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Kultivasi dan Produksi Enzim

4.2.3 Kultivasi Aspergillus niger dan produksi amiloglukosidase

Kultivasi kultur A. niger juga dilakukan selama 7 hari dengan melakukan perhitungan jumlah spora yang terbentuk setiap hari. Pada awal inokulasi terdapat rata-rata jumlah spora 3,47 x 106/ml. Pada akhir hari ke-1 spora mengalami penurunan karena diduga spora mengalami germinasi membentuk miselium berwarna hitam (Gambar 5). Pada hari berikutnya mulai terbentuk spora dengan jumlah rata-rata 3,45 x 108/ml. Mikroba menghasilkan spora dengan cepat mulai hari ke-1 hingga hari ke-4 dengan spora berwarna hitam. Setelah hari ke-4 laju pembentukan spora relatif lambat dan jumlah spora maksimum mulai terjadi pada hari ke-6 dengan jumlah rata-rata spora 1,33 x 109/ml. Kurva pertumbuhanA. nigerdisajikan pada Gambar 7.

Pada pengukuran aktivitas enzim kasar amiloglukosidase menunjukkan bahwa variasi lama fermentasi berpengaruh nyata terhadap aktivitas enzim (p-value<0,05), dimana pada awal fermentasi terjadi penurunan aktivitas enzim sampai pada hari ke-3 dan selanjutnya mengalami peningkatan sampai hari ke-7. Aktivitas maksimal sebesar 62,77 ± 4,49 U/ml diperoleh pada lama fermentasi 7 hari dan berdasarkan uji lanjut

Duncan, aktivitas ini berbeda nyata dengan semua perlakuan lama fermentasi (Lampiran 5). 0 20 40 60 80 0 1 2 3 4 5 6 7

Lama fermentasi (Hari)

A k ti v it a s A M G (U /m l) -1,00E+08 4,00E+08 9,00E+08 1,40E+09 1,90E+09 J m l s p o ra (p e r m l) AMG spora

Gambar 7 Kurva pertumbuhanA. nigerdan aktivitas glukoamilase

Dari Gambar 7 terlihat bahwa aktivitas enzim glukoamilase pada fermentasi hari ke-1 sampai hari ke-3 mengalami penurunan dari 32,41 U/ml -26,47 U/ml, hal ini dapat disebabkan enzim dalam masa penyesuaian, sedangkan pada hari ke-4 sampai hari ke-7 aktivitas enzim semakin meningkat. Ini menunjukkan semakin lama difermentasi aktivitas glukoamilase semakin besar dalam menghidrolisis pati menjadi monomer glukosa.

Perbedaan aktivitas enzim dengan variasi waktu fermentasi dapat disebabkan meningkatnya aktivitas glukoamilase I pada kompleks glukoamilase A. niger pada kondisi waktu fermentasi yang lebih lama. Hal ini dapat pula disebabkan oleh adanya perubahan pH selama fermentasi (Kombong 2004)

Enzim glukoamilase I merupakan komponen kompleks glukoamilase yang aktif menghidrolisis ikatanα-1,6 glikosidik pada rantai cabang pati dan glukoamilase II aktif menghidrolisis ikatanα-1,4 glikosidik pada rantai lurus pati menjadi monomer glukosa.

Selama proses fermentasi terjadi penurunan pH awal dari 4,0 sampai 2,68 pada hari ke-3. Penurunan pH berhubungan dengan konsumsi karbohidrat oleh mikroba. Bila karbohidrat atau glukosa telah habis dikonsumsi, aktivitas glukoamilase dan pH akan meningkat kembali. Meningkatnya pH berhubungan dengan dihasilkannya senyawa amoniak atau dengan dikonsumsinya asam yang terbentuk dalam siklus pertumbuhan

segera setelah semua karbohidrat dikonsumsi. Perubahan pH selama fermentasi produksi enzim glukoamilase dapat dilihat pada Lampiran 5.

4. 3 Proses Hidrolisis dan Karakteristik Hidrolisat

Proses pembuatan hidrolisat dilakukan dengan menghidrolisis fraksi pati dan serat yang terkandung pada bahan. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan glukosa yang akan dipergunakan sebagai substrat S. cerevisiae dalam proses fermentasi. Pada dasarnya prinsip hidrolisis adalah memutuskan rantai polimer bahan menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pemutusan rantai polimer tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya secara enzimatis, kimiawi ataupun kombinasi keduanya. Hidrolisis secara enzimatis memiliki perbedaan mendasar dibandingkan hidrolisis secara kimiawi dan fisik dalam hal spesifitas pemutusan rantai polimer bahan. Hidrolisis secara kimiawi dan fisik akan memutus rantai polimer secara acak, sedangkan hidrolisis enzimatis akan memutus rantai polimer secara spesifik pada percabangan tertentu.

Dalam penelitian ini, pembuatan hidrolisat dilakukan dengan 2 cara yaitu hidrolisis menggunakan asam dan enzim. Asam yang dipergunakan adalah H2SO40,4 M dengan waktu hidrolisis 10 menit pada suhu 121oC, tekanan 1 atm. Penggunaan H2SO4 0,4 M diharapkan hanya menghidrolisis fraksi pati tanpa menghidrolisis fraksi seratnya.

Hidrolisis enzimatik mempunyai beberapa keuntungan, yaitu menghasilkan produk yang lebih spesifik sesuai dengan yang diinginkan, kondisi proses dapat dikontrol dan lebih sedikit menghasilkan produk samping. Enzim yang dipergunakan meliputiα-amilase, amiloglukosidase komersial (AMG), selulase komersial dan selulase kasar dari T. viride. Enzim α-amilase dan AMG dipergunakan untuk menghidrolisis fraksi pati menjadi glukosa, sedangkan selulase komersial dan selulase kasar dipergunakan untuk menghidrolisis fraksi serat atau selulosa menjadi glukosa atau gula-gula sederhana lainnya yang merupakan monosakarida.

Proses hidrolisis secara enzimatik meliputi proses likuifikasi dan sakarifikasi. Pada tahap ini tepung dikonversi menjadi gula melalui proses pemecahan gula kompleks. Pada tahap likuifikasi dilakukan penambahan enzim α-amilase untuk memotong ikatanα-1,4 glikosida pati menjadi dekstrin. Proses ini dilakukan pada suhu

90 oC selama 1 jam. Dosis enzim yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1 ml/kg pati (Budiyanto et al. 2005 ). Likuifikasi merupakan proses pencairan pati yang telah mengalami gelatinisasi. Gelatinisasi dapat dilakukan dengan melakukan pemanasan pati di dalam air sehingga granula pati mulai mengembang sehingga kekentalannya meningkat (Thomas dan Atwell 1997). Adanya proses gelatinisasi menyebabkan ikatan-ikatan antar molekul pati lebih lemah sehingga kerja enzim dapat lebih mudah.

Tahap sakarifikasi dilakukan pada suhu 50 oC selama 48 jam. Enzim yang ditambahkan pada tahap ini adalah AMG yang berfungsi untuk memutuskan rantai pati menjadi molekul-molekul glukosa pada bagian non pereduksi, baik pada ikatan α-1,4 maupun α-1,6 glikosida dan menghasilkan unit-unit glukosa. Dosis AMG yang dipergunakan sebesar 1,2 ml/kg pati (Budiyanto et al. 2005 ). Beberapa perlakuan hidrolisis pada tahap sakarifikasi ditambahkan enzim selulase baik yang komersial maupun filtrat enzim selulase kasar. Enzim selulase yang ditambahkan pada tahap sakarifikasi ini diharapkan dapat menghidrolisis fraksi serat terutama selulosa yang mempunyai ikatan β-1,4 glikosida untuk menghasilkan glukosa. Karakteristik hasil hidrolisis asam dan enzim disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik hasil hidrolisis asam dan enzim

Hidrolisis Total gula

(% b/v) Gula reduksi (% b/v) DE (%) Asam (H2SO40,4 M) α-amilase, AMG

α-amilase, AMG, selulase kasar

α-amilase, AMG, selulase komersial

38,93 ± 8,09 34,93 ± 10,28 35,59 ± 11,32 36,62 ± 22,23 22,04 ± 4,31 19,50 ± 3,65 21,11 ± 1,94 26,43 ± 2,60 56,63 55,82 59,32 72,17 AMG : Amiloglukosidase komersial, Data : Rerata ± standar deviasi (n = 3)

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan jenis hidrolisis tepung ubi kayu berpengaruh nyata terhadap total gula yang dihasilkan (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara hidrolisis asam dengan hidrolisis yang hanya menggunakan enzim amilolitik (α-amilase, AMG), namun perlakuan asam ini tidak bebeda nyata dengan perlakuan hidrolisis yang menggunakan enzim amilolitik dan selulase. Total gula tertinggi diperoleh dari hasil hidrolisis asam yaitu sebesar 389,25 ± 8,09 g/L.

Penggunaan H2SO4 menghasilkan total gula lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis secara enzimatik, hal ini diduga karena hidrolisis menggunakan asam akan memecah secara acak polisakarida pati maupun non pati seperti selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah yang lebih besar. Proses hidrolisis kulit ubi kayu dengan menggunakan H2SO4 dengan konsentrasi 0,01-0,25 M pada suhu 135oC, tekanan 15 lb/ inch2, selama 90 menit diperoleh hasil 199 mg gula pereduksi/gram bahan (bk) dengan komposisi 37 % glukosa, 4,8 % xilosa dan 4,1 % ramnosa (Kongkiattikajorn dan Kalaya 2006).

Analisis keragaman terhadap gula pereduksi menunjukkan perbedaan perlakuan hidrolisis berpengaruh nyata terhadap gula pereduksi, dan dari uji lanjut Duncan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan, dimana gula pereduksi tertinggi diperoleh dari hasil hidrolisis menggunakan kombinasi α-amilase, AMG, selulase komersial yaitu sebesar 264, 28 ± 2,60 g/L (Gambar 8 dan Lampiran 6).

0 100 200 300 400 500

Asam H2SO4 α-amilase, AMG α-amilase, AMG, selulase komersial α-amilase, AMG, selulase kasar Jenis hidrolisis K o n se n tr as i (g /L )

Total gula Gula pereduksi

Gambar 8 Pengaruh hidrolisis terhadap total gula dan gula pereduksi

Angka pereduksi atau dextrose equivalent (DE) menunjukkan jumlah gula pereduksi dari pati atau turunannya yang dihitung sebagai nilai dekstrosa (Wurzburg 1989). Nilai DE sesungguhnya memberikan sedikit gambaran tentang kandungan gula pereduksi dalam suatu larutan, namun besaran ini dapat dipergunakan secara tidak

langsung untuk mengukur jenis dan kuantitas gula-gula yang ada di dalam larutan atau spektrum gula (Tjokroadikoesoemo 1986).

Pada hidrolisis secara enzimatik, terlihat bahwa adanya penambahan enzim selulase komersial dan enzim kasar dapat meningkatkan kandungan gula pereduksi yang ada pada bahan jika dibandingkan dengan perlakuan yang hanya menggunakan enzimα -amilase, AMG. Angka pereduksi tertinggi 72,166 % diperoleh dari proses sakarifikasi dengan AMG yang ditambahkan selulase komersial 15 Unit/g serat kasar, diikuti oleh proses sakarifikasi dengan AMG yang ditambahkan selulase kasar sebesar 59,315 % dan hidrolisis tanpa penambahan enzim selulase sebesar 57,154 %. Adanya peningkatan konsentrasi gula pereduksi dengan penambahan enzim selulase jika dibandingkan dengan hanya menggunakan enzim amilolitik diduga enzim selulase mampu menghidrolisis selulosa pada fraksi serat untuk menghasilkan lebih banyak glukosa. Selain itu, diduga enzim selulase mampu melonggarkan dan menghidrolisis ikatan-ikatan pada serat sehingga kinerja enzim AMG dapat lebih maksimal untuk menghidrolisis fraksi pati menghasilkan glukosa.

Peningkatan konsentrasi gula pereduksi dapat disebabkan oleh serangan selulase secara sinergis antara endoglukonase, selobiohidrolase dan β-glukosidase. Pada tahap awal endoglukonase menghidrolisis ikatan 1,4 secara acak dan bekerja pada bagian amorf dari serat selulosa. Selanjutnya selobiohidrolase menghidrolisis ujung rantai selulosa menghasilkan selobiosa, dimana selobiosa ini dihidrolisis oleh β -glukosidase menjadi glukosa ( Dewi 2002; Reezeyet al. 1996)

Menurut Sriroth et al. (2000), untuk meningkatkan hasil hidrolisis singkong yang mengandung fraksi pati dan serat dapat dilakukan dengan menggunakan campuran enzim selulase, xilanase, β,D-glukosidase, amilase, AMG dan pektinase. Dengan adanya campuran enzim akan dapat meningkatkan efisiensi ekstraksi pati dengan meregangkan atau menghidrolisis struktur polisakarida yang mengikat pati. Penggunaan selulase 15 U/g substrat dan pektinase 122,5 U/g substrat untuk menghidrolisis tepung ubi kayu selama 1 jam dapat meningkatkan perolehan pati 40 %.

Obalua (2007), melaporkan bahwa hidrolisis onggok ubi kayu dengan menggunakan selulase dan pektinase pada suhu 28 oC selama 1 jam, diikuti dengan hidrolisisα-amilase pada suhu 100oC selama 2 jam dam kemudian dihidrolisis dengan AMG pada suhu 60 oC selama 4 jam menghasilkan 12,24 % (b/v) gula pereduksi.

Peningkatan konsentrasi gula pereduksi disebabkan oleh adanya sinergi antara selulase,

α-amilase, AMG dan adanya penambahan pektinase dapat mengurangi kekentalan substrat sehingga kinerja enzim lebih efektif.

Srinorakutara et al. (2004) menyatakan bahwa hidrolisis onggok ubi kayu dengan menggunakan H2SO4 0,6 M pada suhu 120 oC selama 30 menit menghasilkan gula pereduksi maksimum 6,09 % (b/v). Hidrolisis dengan menggunakan enzim α -amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula pereduksi 4,23 % (b/v). Hidrolisis dengan kombinasi enzim selulase, α-amilase dan AMG menghasilkan konsentrasi gula pereduksi 4,74 % (b/v). Hidrolisis dengan menggunakan enzim pektinase, selulase, α -amilase dan AMG menghasilkan 4,98 % (b/v) gula pereduksi.

Dokumen terkait