• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3 Hasil Penelitian terhadap 8 kasus pasangan Kawin Lar

4.4.3 Proses atau langkah-langkah penyelesaian pasangan kawin lari secara adat pada Tahun 2007-2013.

Penyelesaian masalah adalah hal yang terpenting dalam kehidupan kelompok masyarakat, karena dengan adanya penyelesaian masalah maka kehidupan dalam kelompok masyarakat tersebut semakin erat, sehingga tercapai suatu kehidupan yang harmonis dalam kelompok masyarakat. Proses penyelesaian kasus 8 pasangan kawin lari dilakukan dalam bentuk

95

pertemuan dirumah kepala marga atau “saniri’ dengan tujuan harapan pertemuan tersebut bisa memecahkan mengenai gejala yang terjadi seperti kawin lari.

Berdasarkan hukum adat perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.

Dari beberapa 8 kasus pasangan kawin lari yang sudah penulis paparkan tersebut diatas, dapat dilihat bahwa kawin lari diselesaikan oleh adat dengan ketentuan-ketentuan adat yang berlaku atau dalam hal ini sangat jelas bahwa adat yang mengambil alih untuk menyelesaikan kasus kawin lari tersebut. Setelah penulis membuat penelitian ternyata dalam peraturan adat di Kei, sudah diatur langkah-langkah proses penyelesaian kasus kawin lari. Apabila terjadi kawin lari dan walaupun kawin lari bermasalah tetapi dapat diterima sebagai perkawinan yang sah setelah mendapat denda adat.

Menurut Hilman Hadikusuma (1990:27), sah atau tidaknya suatu bentuk perkawinan adat apabila dilaksanakan oleh anggota masyarakat entah itu masyarakat tradisional ataupun masyarakat moderen apabila pelaksanaan perkawinan tersebut sah menurut pandangan mereka berdasarkan hukum adat. Demikian juga masyarakat Kei pada umumnya berkeyakinan perkawinan dinyatakan sah apabila dilaksanakan sesuai

96

perkawinan adat masing-masing. Selain itu hal ini diperkuat dengan bunyi dari pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 2 ayat (1) ini secara tidak langsung mengakui bahwa perkawinan yang dilaksanakan secara adat atau sesuai kepercayaan masyarakatnya adalah sah. Maka mengacu pada hal tersebut upaya hukum yang akan dikenakan bagi setiap masyarakat yang melanggar ketentuan hukum adat yang berlaku akan dikenakan denda adat yaitu dikucilkan dari pertemuan-pertemuan adat. Sebagaimana juga kita ketahui bersama bahwa kawin lari merupakan suatu bentuk perkawinan adat yang melanggar hukum adat perkawinan.

Perkawinan adat dengan cara kawin lari pada dasarnya dirahasiakan terutama terhadap pihak orangtua dan keluarga wanita yang tidak menyetujui perkawinan anaknya, yang melalui kawin lari karena dianggap melanggar ketentuan dari perkawinan adat yang sesungguhnya atau perkawinan adat secara resmi atau meminang. Hal ini sejalan dengan adanya larangan hukum adat yaitu menurut Hilman Hadikusuma (1990 : 63) dimana Segala sesuatu yang dapat menjadi sebab perkawinan tidak dapat dilakukan, atau jika dilakukan maka keseimbangan masyarakat akan terganggu. Maka dari situlah ada larangan perkawinan bagi hukum adat Karena hubungan kekerabatan dimana melarang terjadinya perkawinan antara pria dan wanita

yang mana satu keturunan “marga”, dan seorang pria dilarang melakukan

97

dan wanita yang besaudara kandung ayahnya, begitu pula dilarang jika bersaudara misan.

Sedangkan dalam larangan perkawinan diatur dalam Pasal 8 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan yang dilarang ialah antara dua orang yang :Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas.Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri. Hubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan, dan berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Dalam kasus kawin lari di Desa Wab Kepulauan Kei, sesuai analisis penulis bahwa setiap pasangan yang melaksanakan perkawinan dengan diawali kawin lari, pada akhirnya perkawinannya tetap dilaksanakan, walaupun prosesnya berbelit-belit dan memerlukan penanganannya yang lebih bijaksana, namun selama perempuan dan laki-laki telah memenuhi syarat yang sah berdasarkan ketentuan agama dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka perkawinannya akan dinyatakan sah.

Hal di atas diperkuat dengan adanya syarat-syarat suatu perkawinan yaitu Menurut hukum adat yang walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua atau kerabatnya. Maka persetujuan para pihaklah yang sangat

98

berperan. Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas usia untuk melangsungkan perkawinan (Hilman Hadikusuma, 1990 : 46 ). Sedangkan menurut Iman Sudiyat, (1981 : 1) mengemukakan syarat perkawinan apabila wanita sudah menstruasi dan pria sudah kuat gawe, pemberian mas kawin dari pihak pria serta bersedia membantu orang tua.

Adapun syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pasal 6 sampai pasal 11 adalah sebagai berikut :Adanya persetujuaan kedua mempelai ( pasal 6 ayat 1 ).Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun ( pasal 6 ayat 2 ).Adanya calon mempelai pria sudah mencapai usia 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun ( pasal 7 ayat 1 ).Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita yang akan kawin tidak boleh ada hubungan darah ( pasal 8 huruf a-f ).

Hasil penelitian penulis mengenai proses penyelesaian secara adat di tempuh oleh pasangan kawin lari dan akhirnya disetujui oleh pihak keluarga, sehingga kawin lari tersebut menjadi sah karena pernikahan tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan Adat, agama dan negara dan walaupun ada pihak keluarga yang belum mengizinkan agar pasangan tersebut menikah secara agama tetapi sesuai hukum adat telah sah dan cuma menunggu persetujuan agar pernikahan mereka juga sah secara agama dan negara.

Dokumen terkait