• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Eksekusi Hak Jaminan Fidusia Di Dalam Kepailitan Pada Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H Juanda Medan

4. Proses Lanjutan Setelah Penarikan Barang Jaminan

4. Proses Lanjutan Setelah Penarikan Barang Jaminan

Remedial field atau DC wajib menyerahkan Unit kendaraan hasil penarikannya ke kantor Bank CIMB Niaga dalam waktu 1x24 jam, kecuali dalam hal khusus dan dapat dibuktikannya kebenarannya, misalnya keamanan Bank CIMB Niaga dan memberikan laporan atas hasil kunjungan berdasarkan surat tugas atau surat kuasa yang diterimanya. Setelah barang jaminan tiba di kantor Bank CIMB Niaga.

65

Wawancara dengan Lia Erika Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga, Cabang Ir. H Juanda Medan, Tanggal 10 Mei 2013.

Remedial akan mengirimkan surat pemberitahuan ke penerima fasilitas untuk melunasi seluruh hutangnya di Bank CIMB Niaga tenggang waktu yang diberikan 7 hari dari tanggal penyerahan kendaraan dan penerima fasilitas dapat memohon perpanjangan waktu selama 6 hari kerja, ini diberikan terkait kebijakan apabila customer ada permasalahan musibah66, jika sampai batas waktu yang diberikan penerima fasilitas belum melunasi maka akan dilakukan reproses atau proses aktiva yang dikuasai (WD). Namun dalam waktu 7 di tambah dengan 6 hari berikutnya, pemberi fasilitas memberikan 2 proses kepada penerima fasilitas, yaitu:

a. Proses Pelunasan

Apabila penerima fasilitas bersedia untuk melakukan pelunasan hutangnya setelah kendaraan ditarik atau setelah proses negosiasi dengan remedial field, maka penerima fasilitas membawa KTP asli dan copy berita acara serah terima barang jaminan (BASTBJ) untuk diserahkan ke Remedial di kantor Bank CIMB Niaga Remedial meminta AR untuk mengeluarkan print out Draft Pelunasan.

Negosiasi Nilai Pelunasan Apabila penerima fasilitas berkeberatan atas jumlah pelunasan tersebut dengan alasan yang dapat diterima oleh Bank CIMB Niaga, maka dapat dilakukan negosiasi pelunasan dengan nilai diskon pelunasan dalam SK Direksi.

66

Wawancara dengan Chairun bagian Legal Officer Officer PT. Bank CIMB Niaga, Cabang Ir. H Juanda Medan,Tanggal, 10 Mei 2013

b. Proses BTCA Komite (Back To Current A R)

Back to current AR adalah diperbolehkannya penerima fasilitas yang telah wanprestasi untuk melakukan pembayaran angsuran seperti biasanya dengan persetujuan Backto current AR Komite. Back to current AR diperbolehkan dengan alas an yang dapat diterima oleh komite, antara lain musibah/kecelakaan/sakit yang dialami penerima fasilitas yang membutuhkan biaya sehingga penerima fasilitas tidak mampu membayar angsuran secra temporary.

Back to current AR dilakukan dengan proses permohonan dari penerima fasilitas beserta bukti kwitansi pengeluaran biaya lain-lain. Surat permohonan tersebut diteruskan oleh remedial ke komite yang terdiri dari Branch Manager, AR Control dan Remedial, jika disetujui penerima harus membuat surat pernyataan untuk tidak akan lalai lagi membayar angsuran di Bank CIMB Niaga. Proses Back to current AR dapat pula dilakukan tanpa penyerahan kendaraan ke Bank CIMB Niaga terlebih dahulu penerima fasilitas datang ke kantor Bank CIMB Niaga untuk memohon BTCA.67

Prinsip dasar negosiasi dalam penyelesaian kasus yaitu :

a) Asas persamaan hak dan kedudukan antara penerima fasilitas dan pemberi fasilitas.

b) Menjaga etika dan norma umum. c) Musyawarah.

d) Win win solution.

67

e) Customer service.

Di dalam sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini penerima fidusia dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek Jaminan Fidusia tanpa melalui pengadilan.

Ketidak jelasan lain yang timbul sehubungan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang No.37 tahun 2004 tersebut adalah tentang bagaimana uang hasil penjualan barang-barang itu akan dibagikan kepada para kreditur. Apakah hasilnya akan diserahkan seluruhnya oleh kurator kepada kreditur preferen yang menjadi pemegang Jaminan Fidusia itu, ataukah akan dibagikan kepada semua kreditur dengan mengabaikan berlakunya hak jaminan tersebut.

Ternyata Undang-Undang No.37 tahun 2004 tidak berbicara apa-apa mengenai hal ini.Logika hukumnya menentukan bahwa hasil penjualan itu harus diserahkan kepada kreditur preferen yang bersangkutan untuk melunasi piutangnya. Berkenaan dengan berlakkunya Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No.37 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kreditur pemegang hak jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), yang melaksanakan haknya wajib memberikan pertanggung jawabannya kepada kurator tentang hasil penjualan barang yang menjadi agunan menyerahkan kepada kurator sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah hutang, bunga dan biaya.

Berkenaan dengan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No.37 tahun 2004 tersebut sudah barang tentu harus diberlakukan dalam kaitannya dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) mengenai keharusan bagi pemegang hak jaminan tersebut untuk menunggu 90 hari terlebih dahulu sebelum dapat melaksanakan haknya untuk menjual agunan tersebut. Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang No 37 tahun 2004 menentukan bahwa atas tuntutan kurator atau kreditur yang diistimewakan, pemegang hak jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan. Sesuai dengan penjelasan Pasal 60 ayat (2), yang dimaksud dengan “ kreditur yang diistimewakan” adalah kreditur pemegang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata.

Bagaimana Undang- Undang Kepailitan dan penangguhan pembayaran hutang menyikapi dalam hal terdapat seorang kreditur pemegang hak Jaminan Fidusia (kreditur preferen) yang pelunasan hutang nya tidak dapat tertutup seluruhnya dari hasil eksekusi atau penjualan agunan yang dibebani denghan hak jaminan itu, sebagai jangkauan dari sifat mendahulukan yang dimilki pemegang hak preferen, Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa tiap tiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah olah tidak terjadi kepailitan.

Hal ini yang berarti Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa kepailitan tidak menghilangi pelaksanaan hak preferenyang diberikan oleh

Undang-Undang dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa jika hakatas penagihan yang mereka miliki adalah suatu piutang-piutang yang wajib dicocokkan menurut ketentuan Pasal-Pasal 126 dan 127 Undang-Undang Kepailitan, maka eksekusi lainnya dapat dijalankan apabila tagihan atau piutang telah dicocokkan, dan eksekusi tersebut hanya dapat dipergunakan untu mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui atas penagihan atau piutang tersebut.

Selanjutnya dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan dan pemegang hak tanggugan seperti tersebut dikenal sebagai “separatisen”. Hal ini sesuai dengan Pasal 1178 KUHperdata, bahwa kreditur yang mempunyai hak hipotik dengan disertai dengan klausula

eigenmachtige verkoop diberi kuasa untuk secara sendiri-sendiri melakukan

eksekusi atas benda yang jadi jaminan. Demikian pula yang terjadi bagi pemegang gadai, hak tanggungan dan fidusia.

Ketentuan Pasal29 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :

2. Penjualan bendayang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnyabdari hasil penjualan.

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cra demikan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Sehingga pada prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia harus melaui pelelangna umum, karenanya dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik penerima fidusia maupun pemberi fidusia. Maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hak tersebut disepakati oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia dan syarat dan jangka waktu pelaksanaan tersebut dipatuhi.

Misalnya ada seorang kreditur memiliki piutang kepada debitur yang jumlah keseluruhannya adalah Rp. 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan oleh debitur dijaminkan dengan Jaminan Fidusia sebesar (lima ratus juta rupiah). Pada waktu agunan (tanah beserta bangunan diatasnya) itu dijual dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan tersebut, dapat terjadi kemungkinan sebagai berikut, yaitu tergantung kepada nilai jual dari agunan tersebut.

Nilai jual agunan tersebut melebihi nilai hak tanggungan, dengan kata lain agunan itu berasal dijual dengan nilai di atas Rp. 500.000.000 (lima ratus juta

rupiah), harga jual yang terjadi dapat di bahwa nilai piutang kreditur, misalnya berhasil dijual dengan harga Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah). Nilai jual agunan bukan saja melebihi nilai hak tanggungan tetapi bahkan berada di atas nilai piutang nya, misalnya berhasil dijual dengan harga Rp. 1.700.000.000 (satu miliar tujuh ratus juta rupiah).

Nilai jual agunan kurang dari nilai hak tanggungan dengan kata lain, hasil penjualan agunan itu kurang dari Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), misalnya laku dijual dengan harga Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah). Di dalam ketiga kasus di atas, bagaimana sikap Undang-Undang Kepailitan ? Sikap Undang-Undang Kepailitan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang No.37 tahun 2004.

Menurut Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang No.37 tahun 2004, apabila hasil penjualan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) tidak cukup melunasi piutang yang bersangkutan (piutang pemegang hak jaminan tersebut), maka pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren, setelah mengajukan pencocokan utang. Bagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang No.37 tahun 2004 tersebut diterapkan dalam kedua kasus penjualan agunan diatas.

Dalam kasus yang pertama dan kedua, kreditur preferen yang bersangkutan berhak memperoleh pelunasan dari hasil penjualan agunan itu hanya sampai nilai Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) saja, sedangkan selisih harga

penjualan setelah dikurangi nilai hak tanggungan itu, yaitu sisanya sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk kasus yang pertama atau sisanya sebesar Rp. 1.400.000.000 (satu miliar empat ratus juta rupiah).

Untuk kasus yang kedua, tidak berhak dipakai untuk melunasi sisa hutangnya.Sisa harga penjualan itu harus dimasukkan dan merupakan bagian dari harta pailit yang merupakan hak dari para kreditur konkuren. Untuk sisa piutangnya sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) pada kasus pertama, yaitu setelah dikurangi pelunasan sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), menjadi piutang yang belum lunas, kreditur tadi berkedudukan sebgai kreditur konkuren yang harus berbagi secara pari passu atau secara proposional dengan semua kreditur konkuren lainnya sesuai dengan perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditur konkuren tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, berarti di dalam kasus pertama dan di dalam kasus kedua itu kreditur tersebut berkedudukan sebagai kreditur preferen hanya sampai sebesar nilai hak tanggungan saja, yaitu sampai nilai Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah ). Sedangkan untuk nilai piutangnya di atas nilai hak tanggungan itu, yaitu untuk nilai piutang sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah), kreditur berkedudukan sebgai kreditur konkuren.

Pada kasus ketiga, kreditur berhak mengambil seluruh hasil penjualan jaminan itu.Sedangkan sisa piutangnya yang belum lunas, yaitu sebesar Rp. 1.300.000.000 (satu miliar tiga ratus juta rupiah), ditagih dari hasil likuidasi harta

pailit sebagai kreditur konkuren lainnya menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditur konkuren.

BAB V

Dokumen terkait