BAB III
TINJAUAN TENTANG KEPAILITAN
A. Pengertian Kepailitan
Kepailitan dikenal oleh sebagian besar sistem hukum sebagai bagian dari
ketentuan hukum yang berkaitan dengan hukum perusahaan. Dalam Ensiklopedia
Ekonomi Keuangan Perdagangan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pailit
atau bangkrut antara lain adalah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan
bangkrut, dan aktivanya atau warisannya telah diperuntukan untuk membayar
hutang-hutangnya42
Pengertian Kepailitan dapat dilihat pada Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang atau lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Kepailitan, yaitu
sebagai berikut : Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Pemberi
fidusia pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator
dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur oleh Undang-Undang
ini.43
Selain pengertian yang diberikan oleh Undang-Undang pengertian
kepailitan dapat pula diambil dari beberapa pendapat yang diberikan oleh
42
Munir Fuady, Hukum Pailit 1998, dalam Teori dan Praktek, Cet. II, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal 8.
43
beberapa ahli hukum, menurut Munir Fuady, Pailit atau bangkrut adalah suatu sita
umum atas seluruh harta Debitur agar dicapainya perdamaian antara Debitur dan
para kreditur atau agar harta tersebut dapat dibagi-bagi secara adil diantara para
kreditur.44
Kartini Muljadi mengemukakan bahwa kepailitan dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya dan untuk menghentikan sitaan terpisah dan/atau eksekusi
terpisah oleh para kreditur dan menggantikannya dengan mengadakan sitaan
bersama sehingga kekayaan Debitur dapat dibagikan kepada semua kreditur,
sesuai dengan hak masing-masing45
Kepailitan pada intinya merupakan sita umum berdasarkan
Undang-Undang atas harta kekayaan debitur. Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dari
kepailitan adalah :
.Oleh Karena itu, dapat dikatakan pailit
merupakan suatu keadaan yang menimpa seorang Debitur sebagai akibat ketidak
mampuannya melunasi kewajiban pembayaran utangnya kepada para krediturnya.
46
a. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka
sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “ semua harta
kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang telah adamaupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
jaminan bagi perikatan debitur”, yaitu dengan cara memberikan fasilitas
44
Munir Fuady, Op.Cit, hal. 1. 45
Mulyadi, Kartini, Hakim Pengawas dan Kurator Dalam Kepailitan, Makalah Seminar Tentang Perubahan Atas UU Kepailitan, Jakarta : Pusat Pengajian Hukum, 1998.
46
dan prosedur untuk merekadapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap
debitur, asas tersebut dijamin oleh Pasal 1131 KUH Perdata.
b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur di antara para
kreditursesuai dengan asas pari passu (membagi secara proporsional harta
kekayaan debitur kepada para kreditur konkuren atau unscured creditors
berdasarkanperimbangan besarnya masing-masing kreditur tersebut) Asas
tersebutdijamin oleh Pasal 1132 KUH Perdata.
c. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditur. Dengan dinyatakan pailit maka
debitur tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan
memindahkan harta kekayaannya yang status hukumnya sudah berubah
menjadi harta pailit.
d. Pada hukum kepailitan Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan
perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya
dengancara pembebasan utang.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa
keapilitan merupakan kondisi yang dihadapi debitur, berupa penyitaan umum atas
seluruh harta kekayaannya sebagai akibat dari ketidak mampuan melunasi
kewajiban pembayaran utangnya, untuk dibagi-bagikan secara proporsional
B. Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Kepailitan
Kepailitan sebagai salah satu upaya penyelesaian kewajiban pembayaran
utang melibatkan beberapa pihak. Pihak-pihak yang terlibat dalam kepailitan
tersebut bias timbul karena Undang-Undang, maupunkarena keterlibatan pihak
yang merasa berkepentingan atas proses kepailitan, yaitu kreditur pemohonan
pailit, debitur pemohon atau termohon pailit, kurator, hakim pengawas dan majelis
hakim (Pengadilan) yang memutus perkara yang terkait dengan proses kepailitan.
Pihak-pihak yang lain dapat terlibat dalam proses kepailitan termasuk menghadiri
rapat-rapat kreditur, Appraisal (penilai jaminan) dan notaris jika diperlukan.
C. Syarat Pengajuan Permohonan Kepailitan
Syarat-syarat untuk dapat diajukan pailit dapat dilihat dari Pasal 2 ayat(1)
Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang yang berbunyi sebagai berikut :
Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih dari krediturnya. (Undang-Undang No 37 tahun
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan tersebut dapat
disimpulkan bahwa pernyataan pailit terhadap seorang Debitur, dapat diajukan
baik oleh debitur sendiri ataupun salah satu kreditur.
a. Debitur yang diajukan permohonan pailit tersebut harus paling sedikit
mempunyai dua kreditur, atau dengan kata lain harus mempunyai lebih
dari satu kreditur.
b. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah
satu Krediturnya.
c. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Syarat pengajuan kepailitan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Kepailitan tersebut nampaknya sangat mudah, Kreditur yang mengajukan
kepailitan cukup membuktikan bahwa debitur mempunyai kewajiban hutang
terhadap Kreditur lain disamping dirinya sendiri dan terdapat utang pada pemohon
pailit yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, namun tidak dibayar oleh
Debitur.
Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan tersebut
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Kreditur dalam ayat ini adalah baik
Kreditur Konkuren, Kreditur Separitis maupun Kreditur Preferen.Khusus
mengenai Kreditur Separitis dan Kreditur Preferen, mereka dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaaan yang
Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal tersebut juga ditemukan bahwa yang
dimaksud dengan “utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih” adalah
kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sangsi atau denda oleh instansi
yang berwenang, maupun karena putusan Pengadilan, Arbiter atau Majelis
Arbitrase.
D. Sumber-Sumber Hukum Kepailitan
Sumber Hukum Kepailitan di Indonesia mengacu pada :
a. Kitab Undang-Undang Hukum perdat.
b. Het Herziene Indonesische Reglement (HIR).
c. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa :
“ Segala kebendaan, yang bergerak dan tak bergerak miliki debitur, baik yang
sudah ada maupun yang aka nada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan
perorangan debitur itu”.
Rumusan tersebut di atas menunjukan bahwa setiap tindakan yang
dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaaan selalu akan membawa
akibat terhadap harta kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta
kekayaannya (kredit), maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta
Demikianlah harta kekayaan setiap orang akan selalu berada
dalamkeadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. Setiap
perjanjian maupun perikatan yang dibuat dapat mengakibatkan harta kekayaan
seseorang bertambah atau berkurang, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
bahwa kebendaan yang merupakan harta kekayaan seseorang baik yang telah ada,
maupun yang akan ada dikemudian hari akan selalu menjadi jaminan bagi
perikatan orang tersebut dari waktu ke waktu.
Jika ternyata bahwa dalam hubungan hukum harta kekayaan tersebut,
sesoarang memiliki lebih dari satu kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih
dari satu orang yang berhak atas pemenuhan kewajiban tersebut, maka Pasal 1132
KUH Perdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditur yang berhak
ataspemenuhan perikatan, haruslah mendapatkan pemenuhan perikatan dari harta
kekayaan pihak yang berkewajiban (debitur) tersebut secara :
a) Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa
ada yang didahulukan.
b) Pro rata atau proposional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya
piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara
keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut.
E. Tujuan Hukum Kepailitan
Berdasarkan UU No.37 tahun 2004 maka tujuan UU Kepailitan dan
a. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang
sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
b. Untuk menghindari ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa
memperhatikan kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh
salah seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya debitur berusaha
untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu
sehingga kreditur lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari
debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur.
Sedangkan tujuan hukum kepailitan menurut Louis E. Levinthal dalam
bukunya yang berjudul “The Early of bankrupicy Law” adalah :
a. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur
dan diantara nya para kreditur.
b. Mencegah para debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan para kreditur.
c. Memberikan perlindungan kepada kreditur yang beritikad baik dari para
F. Kepailitan Harus Dinyatakan Dengan Putusan Hakim
Berhubung pernyataan pailit terhadap debitur itu harus melalui proses
pengadilan, maka segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit itu
disebut dengan istilah kepailitan. Seseorang debitur yang berutang baru dapat
dikatakan dalam keadaan pailit, apabila telah dinyatakan oleh hakim atau
pengadilan dengan suatu keputusan hakim.Kewenang pengadilan untuk
menjatuhkan putusan kepailitan itu telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 2
UUK.
Campur tangan pemerintah (Pembentuk Undang-Undang) sangat perlu,
karena dengan demikian pengadilan dapat melakukan langkah-langkah preventif,
dapat melakukan pensitaan umum (eksekusi missal) terhadap harta kekayaan
debitur demi kepentingan para kreditur47
Dalam peraturan kepailitan yang lama disebutkan, bahwa pengadilan yang
berwenang menjatuhkan putusan adalah read van justitie. Read van justitie
merupakan lembaga peradilan yang diperuntukan bagi orang-orang Eropa (hakim,
gubernemen), baik untuk daerah Jawa dan Madura hal ini diatur dalam Reglement
of de rechtterlijke organisatie en Hett Beleid der Justitie, atau disingkat RO.
Tetapi read justitie dapat pula merupakan peradilan tingkat banding, terhadap
perkara-perkara yang telah diputus, baik oleh Residentie-gerecht maupun oleh
Landread48
47
Ronald Anderson business Law, South Western, Publising, 1999, hal. 510
48
Dengan lahirnya UUK, maka pengadilan yang berwenang memeriksa dan
memutus permohonan kepailitan adalah sebuah pengadilan khusus dengan nama
pengadilan niaga. Akan tetapi mengingat kebutuhan yang mendesak dan
keterbatasan sumber dana sumber daya yang ada, maka untuk pertama kali
pengadilan niaga didirikan di Jakarta Pusat dengan lingkup kewenangan yang
mencakup seluruh wilayah Indonesia.
Berbeda dari ketentuan sebelumnya, Pasal 1 UUK menegaskan bahwa
paling sedikit harus ada dua kreditur dan debitur sedikitnya membayar satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Keharusan adanya sedikitnya dua
kreditur adalah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1132 KUHPerdata dimana
ditetapkan bahwa pada dasarnya pembagian kekayaan debitur antara para
krediturnya harus dilakukan secara pari passu pro rata parte.
Selanjutnya Pasal 1 UUK menetapkan pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit dan terhadap siapa saja permohonan tersebut dapat
diajukan.Yang menjadi persoalan ialah, apakah yang menjadi ukuran bagi
keadaan tidak membayar/berhenti membayar tersebut? Hal ini tidak dijumpai
perumusannya, baik di dalam Undang-Undang yuridprundensi, maupun pendapat
para sarjana. Hanya ada pedoman umum yang disetujui oleh para pengarang, yaitu
untuk pernyataan kepailitan tidak mampu untuk membayar utangnya dan tidak
diperdulikan, apakah berhenti membayar itu sebagai akibat dari tidak dapat atau
tidak mau membayar.49
49
Pembuktian tentang keadaan debitur yang berhenti membayar itu cukup
dilakukan secara sederhana (sumir), artinya pengadilan di dalam memeriksa
perkara kepailitan itu tidak perlu terikat dengan sistem pembuktian dan alat-alat
bukti yang ditentukan dalam hukum acara perdata. Di dalam hukum acara perdata
Pasal 164 HIR, Pasal 248 Rbg, Pasal 1866 KUHPerdata dikenal beberapa alat
bukti, yaitu :
a. Alat bukti tertulis
b. Pembuktian dengan saksi
c. Persangkaan-persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Selain itu masih dikenal beberapa alat bukti yang lain yaitu :
a. Pemeriksaan setempat Pasal 1 53 HIR
b. Keterangan ahli Pasal 154 HIR
c. Pembukuan Perusahaan Pasal 138 HIR
Pengetahuan hakim Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2009.Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berdasarkan peraturan peralihan
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung an Yurisprudensi.
Semangat pemeriksaan secara sumir itu terlihat dalam Pasal 5 ayat (3) UUK yang
dengan tegas disebutkan ”Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) telah
terbukti.
G.Akibat Hukum Putusan Pailit
Pada umumnya setiap pengusaha takut dinyatakan pailit atau bangkrut
oleh pengadilan kecuali dalam keadaan terpaksa, karena konsekuensi atau akibat
hukumnya sangat berat. Ada beberapa akibat hukum dari pernyataan pailit. Secara
umum antara lain:50
1. Boleh dilakukan kompensasi (Pasal 52, 53, 54)
2. Kontrak timbal balik boleh dilanjutkan (Pasal 36)
3. Berlaku penangguhan eksekusi (Pasal 56 a ayat 1)
4. Berlaku Actio Paulina (Pasal 41)
5. Berlaku sitaan umum atas seluruh harta debitur (Pasal 19, 20 56)
6. Debitur kehilangan hak mengurus (Pasal 22)
Sebagaimana dapat disimpulkan dari urutan terdahulu, yang menjadiobyek
Undang-Undang kepailitan adalah Debitur, yaitu Debitur yang tidakmembayar
utang-utangnya kepada para Krediturnya. Undang-Undang berbagai Negara
membedakan antara aturan kepailitan bagi Debitur orang perorangan (individu)
dan Debitur bukan perorangan atau badan hukum.
50
BAB IV
KEDUDUKAN BENDA JAMINAN YANG DI BEBANI JAMINAN FIDUSIA APABILA TERJADI EKSEKUSI DALAM HAL PEMBERI
FIDUSIA PAILIT
A. Kedudukan Benda Jaminan Fidusia Dengan Pailitnya Pemberi Fidusia Pada Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H Juanda Medan
Hukum jaminan yang bersumber dari KUHPerdata mengandung prinsip
bahwa harta kekayaan debitur menjadi jaminan hutang untuk segala perikatan
yang dibuatnya51
Dalam hal eksekusi, kalau harga jual benda melebihi utang debitur,
kreditur penerima fidusia wajib mengembalikan kelebihan sisa uang penjialan
kepada debiturnya. Sebaliknya, jika hasil dari eksekusi benda jaminan itu tidak . Prinsip ini kurang memberikan perlindungan yang cukup aman
bagi kreditur. Untuk menutupi adanya kelemahan itu, perlu diperjanjian secara
khusus benda-benda tertentu dari debitur yang diikat sebagai jaminan utang.
Hukum jaminan yang diperjanjikan adalah hipotik, hak tanggungan, gadai,
fidusia, dan jaminan perorangan. Secara teoritis, jika seorang debitur pemberi
fidusia wanprestasi, terhadap objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan eksekusi.
51
mencukupi untuk melunaskan utang debitur tersebut, debitur tetap harus
bertanggung jawab atas sisa utang tersebut52
Dalam proses perjanjian Jaminan Fidusia pada PT. Bank CIMB Niaga
cabang ,menurut Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia,
Tbk Cabang Ir. H.Juanda Medan, lazim ditentukan bahwa dalam hal penjualan
barang agunan bilamana ada sisanya, bank akan mengembalikan kepada
debiturnya dan jika hasil penjualan tidak mencukupi, debitur tetap bertanggung
jawab penuh untuk membayar sisa jumlah terutang kepada kreditur. .
Dari hasil wawancara yang telah di lakukan, sering menemukan adanya
barang agunan yang ada sisanya jika dilakukan penjualan atas barang tersebut.
Namun terkadang ada juga barang agunan tersebut yang dijual tidak memiliki
sisanya.
Kalau tidak mencukupi, bolehkah kreditur penerima fidusia meminta
pertanggungjawaban harta kekayaan debitur yang lainnya byang tidak turut
dijaminkan.Jika dibenarkan secara yuridis, apakah kedudukan kreditur penerima
fidusia tersebut masih disebut sebagai kreditur preferen.
Pertanyaan yuridis tersebut harus diberikan solusi hukumnya oleh hakim
dengan pertimbangan hukum yang logis dan rasional, sehingga tidak merugikan
kepentingan hukum debitur pemberi fidusia.Sebelum perkara ini sampai di
putuskan oleh Pengadilan, jawaban atas permasalahan tersebut masih
menimbulkan perbedaan pendapat.Menurut pihak Bank CIMB Niaga, apabila
52
ternyata objek Jaminan Fidusia tidak mencukupi untuk membayar utang, bank
dapat menyita barang-barang lain milik debitur. Selain Jaminan Fidusia, terkadang
pihak bank meminta jaminan lainnya yang diikat dengan surat kuasa memasang
hak tanggungan atau surat kuasa menjual atau hak tanggungan atas objek tanah
belum bersertifikat, kapal laut, hak guna bangunan, hak milik atau jaminan
bersifat perorangan53
Menurut hasil wawancara yang telah di lakukan, kenyataan yang terjadi
sebaliknya, pihak debitur beranggapan bahwa utang kredit tidak dapat melibatkan
harta kekayaan lainnya, tetapi benda yang dijaminkan itu saja yang dapat
dilakukan penyitaan.Seharusnya yang boleh dilakukan penyitaan dan diminta
pertanggungjawaban hanya sebatas benda Jaminan Fidusia dengan alasan bahwa
ketika membuat perjanjian kredit, pihak bank sudah dapat menaksir bahwa benda
agunan lebih tinggi nilainya dari jumlah pinjaman yang diberikan.Setiap saat bank
dapat mengontrol benda agunan dan debitur tetap membuat laporan secara
berkala.
.
Jadi,kalau ada benda Jaminan Fidusia tidak mencukupi untuk melunasi
hutang, tentu ada sesuatu yang “tidak beres” di dalam hubungan hukum antara
bank dan debiturnya adalah sesuatu yang tidak logis bahwa benda Jaminan
Fidusia tidak mencukupi untuk menutupi pembayaran utang debitur karena pada
saat perjanjian kredit dengan pengikatan Jaminan Fidusia, pihak bank telah
53
melakukan analisis faktor agunan terhadap nasabah debiturnya. Nilai agunan
Jaminan Fidusia adalah lebih besar dari pinjaman kredit yang diberikan.
Oleh karena itu tidak sepantasnya kreditur meminta penyitaanatas
benda-benda lain milik debitur. Namun, asas hukum jaminan dan doktrin hukum perdata
mengatakan bahwa semua harta debitur memikul beban untuk melunasi utangnya
kepada kreditur, sampai terpenuhi seluruh pembayaran utang54
Beberapa masalah dapat timbul kembali apabila benda Jaminan Fidusia
merupakan milik orang lain. Dalam hukum perdata dikenal asas Nemo dat rule.
Prinsip hukum ini juga berlaku di dalam hukum jaminan kebendaan, antara lain
Jaminan Fidusia. Pemberi fidusia adalah orang yang memiliki benda jaminan dan
memiliki kewenangan untuk menjaminkan benda itu kepada kreditur.Dalam
praktek perjanjian kredit dengan Jaminan Fidusia dikatakan bahwa debitur
pemilik benda jaminan.Bukti kepemilikan benda jaminan itu lazimnya diserahkan
kepada kreditur sesuai dengan jenis benda jaminan. Contoh, Mobil dengan bukti
kepemilikan yang diserahkan adalah BPKB.
.
Bukti kepemilikan mesin-mesin adalah kuitansi dan faktur pembelian.
Namun, dalam praktek pengadilan ditemukan kasus bahwa Jaminan Fidusia yang
diserahkan kepada bank bukan milik debitur melainkan orang lain. Hal ini
menimbulkan persoalan yuridis.Persoalan ini terletak kepada pengertian milik dari
benda yang dijaminkan. Pemahaman milik dalam masyarakat bisnis dapat
diartikan dalam dua hal, yaitu :
54
M. Yahya Harahap, “Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi BIdang Perdata”,
1. Debitur menguasai titel dari benda jaminan dan sekaligus menguasai
benda secara fisik.
2. Debitur menguasai benda jaminan secara fisik sedangkan secara
yuridis debitur belum menjadi pemilik. Dikaitkan dengan hukum
jaminan, saat debitur itu dianggap sebagai pemilik benda jaminan, atau
dapatkah pemilik benda yang hanya menguasai benda jaminan secara
fisik menjaminkan benda itu kepada bank untuk meminjam kredit.
Dalam hal pemberi fidusia dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga, maka
semua harta kekayaan debitur dinyatakan sebagai harta pailit, tak terkecuali
termasuk juga benda Jaminan Fidusia yang haknya telah beralih kepada penerima
Fidusia atau Kreditur pemegang Jaminan Fidusia, yang dalam kenyataannya
secara fisik benda jaminan tersebut masih dikuasai oleh debitur. Terhadap harta
pailit itu dilakukan likuidasi oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas
yang ditunjuk oleh pengadilan Niaga.
Dalam proses kepailitan, apabila pemberi fidusia (debitur) dinyatakan
pailit oleh pengadilan Niaga, maka benda Jaminan Fidusia dapat dimohonkan oleh
penerima fidusia pemegang Jaminan Fidusia kepada kurator untuk dipisahkan dari
boedel pailit.Benda Jaminan Fidusia milik pemberi fidusia yang dinyatakan pailit
tidak masuk dalam boedel pailit, dengan kata lain benda Jaminan Fidusia yang
pemberi fidusia wanprestasi pun tidak dapat dimasukkan dalam boedel pailit.
Jaminan Fidusia menurut Pasal 1 butir (1) UU Fidusia adalah hak jaminan
tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT, yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan utang tertentu yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Dari definisi di atas, jelas bahwa fidusia di bedakan dari Jaminan Fidusia,
dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan Jaminan
Fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia.Pengadilan hak
kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan hak kepemilikan atas suatu
benda dengan melanjutkan penguasaan atas benda tersebut untuk kepentingan
penerima Fidusia, dengan kata lain sebenarnya kedalam hanya merupakan suatu
jaminan saja untuk suatu utang.
Dalam perjanjian Jaminan Fidusia terjadi penyerahan hak milik secara
kepercayaan kepada kreditur, namun secasra fisik benda tersebut tidak diserahkan
kepada kreditur tetapi tetap ada pada debitur dengan suatu perjanjian bahwa
debiturtidak lagi menguasai benda-benda tersebut sebagai pemilik tetapi sebagai
penyimpan belaka.
Dalam hal debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga, maka semua
harta kekayaan debitur dinyatakan sebagai harta pailit. Terhadap harta pailit itu di
lakukan likuidasi oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas yang
ditunjuk oleh Pengadilan Niaga. Pasal 19 UU kepailitan, kekayaan debitur yang
siberutang pada saat pernyataan pailit beserta segala apa yang diperoleh selama
kepailitan.
Dalam proses kepailitan, apabila pemberi Fidusia (debitur) dinyatakan
pailit oleh pengadilan Niaga, maka benda Jaminan Fidusia dapat dimohonkan oleh
penerima Fidusia atau kreditur pemegang jaminan didusia kepada kurator untuk
dipisahkan dari boedel pailit. Tanpa adanya bukti pembebanan atas jaminan
terhadap suatu objek boedel kepailitan, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa
suatu objek tersebut termasuk dalam jaminan khusus, termasuk Jaminan Fidusia.
Salah satu atau lebih boedel kepailitan dimungkinkan dapat dikategorikan menjadi
objek jaminan khusus seperti fidusia, apabila benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia telah didaftarkan pada kantor pendaftaran Fidusia.
B. Kedudukan Penerima Fidusia ( Kreditur ) Pemegang Jaminan Fidusia Yang Pemberi Fidusianya Pailit Pada Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H Juanda Medan
Di dalam kenyataannya sebelum pernyataan pailit hak-hak debitur untuk
melakukan semua tindakan hukum berkenaan dengan kenyatannya yang harus di
hormati dengan memperhatikan semua hak-hak kontraktual serta kewajiban dari
debitur menurut peraturan Undang-Undangan. Pada saat pengadilan mengucapkan
putusan kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitur, hak
boedelnya. Akan tetapi si pailit masih berhak melakukan tindakan-tindakan atas
harta kekayaannya sepanjang menbawa keuntungan bagi boedelnya.
Pemaksaan seorang debitur yang telah dinyatakan pailit oleh pengadilan
Niaga untuk segera melepaskan hak pengurusan terhadap harta-hartanya, jika
debitur tersebut perseorangan atau pun pemilik/pengurus debitur korporasi adalah
harus dijelaskan pada pemberi fidusia pailit tersebut tentang akibat kepailitan
yang meletakkan aset-aset debitur dalam penyitaan umum atau berpindahnya hak
pengurusan dalam pemberesan aset-aset debitur tersebut dinyatakan pailit Pasal 12
Ayat (1) Undang-Undang kepailitan.
Benda Jaminan Fidusia milik pemberi fidusia yang dinyatakan pailit tidak
masuk dalam boedel pailit, dengan kata lain benda Jaminan Fidusia yang pemberi
(debitur) wanprestasi pun tidak dapat dimasukkan oleh boedel pailit.
Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut :
a. Kekayaan pemberi fidusia pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan
umum atas harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut Pasal 21
Undang-Undang Kepailitan , harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur pada
waktu putusan pailit di ucapkan serta segala kekayaan yang diperoleh
pemberi fidusia pailit selama kepailitan.
b. Kepailitan semata-mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai
c. Pemberi fidusia pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan
menguasai kekayaan yang termasuk harta pailit sejak hari putusan pailit
diucapkan.
d. Segala perikatan debitur yang timbul sesudah putusan pailitdi ucapkan
tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta
pailit.
e. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para
kreditur, debitur, hakim pengawas pemimpin dan menguasai pelaksanaan
jalannya kepailitan.
f. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta diajukan oleh
atau terhadap kurator.
g. Semua tuntutan atau yang bertujan mendapatkan pelunasan suatu perikatan
dari harta paili, dan dari harta debitur sendiri selama kepailitan harus
diajukan dengan syarta melaporkannya untuk dicocokkan.
h. Menurut ketentuan Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 UU
Kepailitan, setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai,
atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengesekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Jadi kreditur pemegang hak jaminan
(Hipotik, Hak Tanggungan, Hak Gadai, Fidusia) tidak terpengaruh oleh
putusanpernyataan pailit. Pasal ini sejalan dengan ketentuan mengenai,
dan dengan demikian mengakui hak separatis pemegang jaminan
i. Hak eksekusi kreditur yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55
ayat(1) Undang-Undang Kepailitan dan pihak ke tiga untuk menurut harta
nya yang berada di dalam penguasaan pemberi fidusia pailit ataupun
kurator ditangguhkan maksimum untuk 90 hari setelah putusan pailit
diucapkan.
Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia, Tbk Cabang
Ir. H. Juanda Medan mengatakanpada dasarnya kedudukan kreditur adalah sama,
karena mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai
dengan besarnya tagihan mereka masing-masing. Pihak-pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit adalah :55
a. Debitur itu sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditur, melihat
ketentuan itu maka berate debitur yang hanya memiliki seorang kreditur
tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan.
b. Seorang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama. Jika kreditur itu adalah satu-satunya kreditur maka permohonan
kepailitan itu tidak dapat diajukan oleh kreditur.
c. Jaksa atau penuntut umum.
Bentuk awal dari fidusia adalah fidusia cum creditore.Penyerahan hak
milik pada fidusia ini terjadi segala sempurna, sehingga penerima fidusia
55
(kreditur) berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna juga.56
“dimana sebagai pemilik tentunya saja ia bebas berbuat apapun terhadap barang yang dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajuban mengembalikan hak milik atas barang tersebut kepada debitur pemberi fidusia, apabila pihak yang belakangan ini telah melunasi hutangnya kepada kreditur”.
Hal senada juga,
di sampaikan oleh Dr.A. Veenhoven yang menyatakan:
Lebih dari pada itu tidak ada pembatasan-pembatasan lain dalam
hubungan fidusia cum crediture.Hak milik disini bersifat semprna yang terbatas,
karena digantungkan pada syarat tertentu.Untuk pemilik fidusia, hak miliknya
digunakan pada syarat putus. Hak miliknya yang sempurna baru lahir jika pemberi
fidusia tidak memenuhi kewajibannya ( wanprestasi).57
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu hal yang sangat penting
apabila untuk membuat suatu perjanjian, dimana dengan adanya kebebasan
berkontrak akan terciptanya suatu keadilan. Kebebasan berkontrak hanya dapat
mencapai keadilan, jika para pihak memiliki kedudukan yang seimbang.Karena
jika tidak adanya keseimbangan maka kontrak tersebut dpat menjadi tidak
seimbang terhadap kedudukan para pihak.
Di dalam kedudukan yang tidak seimbang itu terjadi bila pihak yang kuat
dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, sehingga pihak yang
lemah hanya mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya.
56
Marulak Pardede dan Badan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Op. Cit., hal 29.
57
Syarat lainnya adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak
sehingga membawa keuntungan kepadanya.
Kreditur pada Pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu
pihak yang memounyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang. Dalam
hal ini kreditur yang dimaksud adalah bank dan nasabah sebagai kreditur. Dari
segi kaca mata hukum, hubungan antara nasabah dengan bank yaitu hubungan
kontraktual. Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan nasabah
adalah hubungan kontraktual terhadap nasabah debitur, hubungan kontraktual
tersebut berdasarkan suatu kontrak yang dibuat antara nasabah sebagai debitur.
Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan antara bank
dengan nasabah sebagai debitur bersumber dari ketentuan-ketentuan KUHPerdata
tentang kontrak. Sebab menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sahberkekuatan sama dengan Undang-Undang bagi
kedudukan kedua belah pihak.
Pada perjanjian kredit pada PT. Bank CIMB Niaga, Tbk Cabang Ir. H.
Juanda Medan, yang memuat serangkaian klausula atau convenat, dimana
sebagaian besar dari klausula merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditur
dalam pemberian kredit. Dalam perjanjian kredit antara bank dengan nasabahnya,
kredit yang dipinjamnya maka benda jaminannya akan di eksekusi oleh bank
tersebut.58
Dari hasil wawancara yang telah di lakukan dalam bank meminta jaminan
kepada debiturnya itu banyak terjadi dalam sistem perkreditan yang ada pada
bank, dan begitu juga para debitornya yang juga telah memahami maksud dan
tujuan dari di mintakannya jaminan tersebut kepada debitor itu sendiri.
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan
mengakui hak separatis dari pemegang hak jaminan sebagaiman yang telah
ditentukan oleh KUHPerdata. Pencantuman Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan
ini sangat penting bagi kepentingan dan pemberian perlindungan kepada kreditur.
Menurut Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan, apabila penagihan kreditur
pemegang hak jaminan adalah suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
126 dan 127 Undang-Undang Kepailitan, maka kreditur pemegang hak jaminan
diperkenankan untuk berbuat demikian hanya sesudah piutang tersebutdicocokkan
yang dilakukan dengan maksud untuk mengambil pelunasan atau jumlah piutang
yang telah diakui dalam pencocokan utang-piutang tersebut.
Menurut ketentuan hukum yang menentukan terjadinya keadaan yang
disebut dengan automatic stay, yaitu keadaan status quo bagi debitur dan para
kreditur, biasanya diberikan setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan,
tetapi justru selama berlangsungnya pemeriksaan pailit oleh pengadilan yaitu
58
sejak permohonan pailit didaftarkan di pengadilan atau pada saat negosiasi antara
kreditur dan debitur dalam likuidasi terhadap pailit.
C. Eksekusi Hak Jaminan Fidusia Di Dalam Kepailitan Pada Bank CIMB Niaga Cabang Ir. H Juanda Medan
1. Pengambilan Kembali Barang Jaminan
Berbicara soal eksekusi mau tidak mau harus memperkenalkan tentang
alasan eksekusi itu sendiri. Dengan membicarakan hal itu maka harus di uraikan
tentang adanya titel eksekutorial, dalam praktek titel eksekutorial tersebut sering
diartikan dengan judul eksekutorial. Menurut ketentuan UUF, eksekusi dapat
dilakukan apabila debitur wanprestasi dan pemberi fidusia wajib menyerahkan
benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi
Jaminan Fidusia. Jika pemberi fidusia tidak menyerahkan benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia pada waktu eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia
berhak mengambil benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dan apabila perlu
dapat meminta bantuan pihak yang berwenang
Menurut Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia,
Tbk Cabang Ir. H.Juanda Medan, pemakaian istilah “eksekusi” dalam hal
terjadinya kredit macet, dalam pembayaran angsuran oleh penerima
fasilitas/debitur di lapangan lebih dikenal dengan istilah “penarikan”.59
59
Dari hasil wawancara yang telah di lakukan dengan memakai istilah
“penarikan” adalah tidak tepat, sebab yang dilakukan oleh PT. Bank CIMB Niaga
sebagai pemberi fasilitas/kreditur adalah mengambil barang jaminan sesuai
dengan klausul perjanjian yang telah terlebih dahulu disepakati sebelumnya yang
diatur dalam Pasal 4 (Perjanjian Pembiayaan konsumen) tentang Hak dan
Kewajiban atas Barang Jaminan.
Eksekusi menurut Pasal 29 Undang-Undang No 42 Tahun 1999, eksekusi
adalah pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, berarti eksekusi
langsung dapat dilaksanakan tanpa melalui Pengadilan dan bersifat final serta
mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut. Jelas disini bahwa
pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia berdasarkan titel eksekutorial adalah benda
yang dibebani Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.
Sesuai Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia, pembeban dimaksud adalah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Pembebanan
dengan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan
akta Jaminan Fidusia, lebih lanjut dalam Pasal 37 ayat (3) jika dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilakukan penyelesaian, maka
perjanjian Jaminan Fidusia tersebut bukan merupakan hak agunan atas kebendaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No 42tahun 1999 dan tidak
mempunyai titel eksekutorial berdasarkan Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat(1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN
Aplikasi kredit yang diberikan oleh PT. Bank CIMB Niaga sebagai
pemberi fasilitas, selain Perjanjian Pokok ( Perjanjian Pembiayaan Konsumen )
yang juga telah disediakan klausula baku perjanjian pemberiaan Jaminan Fidusia
yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian
konsumen Pasal 4 ayat (3) Perjanjian Pembiayaan Konsumen.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Jaminan Fidusia nomor 42 tahun 1999
Jaminan Fidusia yang merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok
bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi, yang merupakan
uraian tentang Identitas Pihak Pemberi dan Penerima Fidusia, data perjanjian
pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan
Fidusia, nilai penjaminan dan nilai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia,
yang dalam pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima jaminan atau penerima
fidusia untuk di daftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusiadi Wilayah kerja Kantor
Pendaftaran Fidusia di Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Azasi
Manusia.
Seperti yang di terapkan di dalam peraturan Perjanjian Pengikatan Jaminan
Fidusia di Bank CIMB Niaga yang terdapat dalam Pasal 13 tentang Perjanjian
Pemberian Jaminan Fidusia yang dikatakan bahwa biaya yang berkenaan dengan
pembuatan perjanjian ini maupun dalam melaksanakan ketentuan dlam perjanjian
ini menjadi tanggungan dan harus dibayar oleh penerima fasilitas atau pemberi
jaminan, demikian pula biaya pendaftaran fidusia ini di Kantor Pendaftaran
1999 tentang Jaminan Fidusia, maka perjanjian pemberian Jaminan Fidusia yang
disediakan dan yang ditandatangani oleh Pemberi Fasilitas atau Penerima Fasilitas
hanya sebagai akta di bawah tangan yang tidak membatalkan perjanjian pokok
yaitu perjanjian pembiayaan konsumen.60
Dalam Pasal 4 ayat (3) Hak dan Kewajiban atas barang jaminan dalam
Perjanjian Pembiayaan Konsumen PT. Bank CIMB Niaga menegaskan bahwa
ketentuan jaminan tersebut akan di atur secara terpisah dalam perjanjian
pemberian Jaminan Fidusia yang di buat dalam bentuk dan cara yang ditentukan
oleh Pemberi Fasilitas, yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian ini, dengan pembuatan perjanjian pokok tentang
hutang atau kredit tersebut yang menimbulkan hak dan kewajiban antara Penerima
Fasilitas dapat dibuat secara dibawah tangan atau dibuat oleh notaris harus di
patuhi oleh penerima fasilitas.61
Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Fidusia No 42
tahun 1999, dalam rangka pembuatan akta pembebanan Jaminan Fidusia dibuat
dengan akta notaris dan dalam bahasa Indonesia.Dengan memperhatikan Pasal
tersebut di atas walau tidak dibuat dengan akta Notaris dan tidak di daftarkan ke
Kantor Pendaftaran Fidusia, istilah eksekusi tetap melekat pada pengambilan
kembali barang jaminan mobil akibat terjadinya wanprestasi penerima
fasilitas.Pada Pasal 196 HIR dan Pasal 208 Rbg, Eksekusi pembayaran sejumlah
60
Aplikasi Perjanjian Pengikatan Jaminan Fidusia PT. Bank CIMB Niaga
61
uang62
Eksekusi pembayaran uang yaitu membayar sejumlah uang dilakukan
kepada penerima fasilitas yang melakukan wanprestasi, yaitu terhadap barang
jaminan yang dikuasainya dengan cara pengambilan kembali dari penerima
fasilitas atau yang menyerahkan barang jaminan, sebagai catatan dalam Surat
Berita Acara Serah Terima Barang Jaminan (BASTBJ), apabila dalam waktu 7
(tujuh) hari setelah serah terima barang jaminan tersebut tidak diselesaikan, maka
akan dilakukan penjualan barang jaminan guna penyelesaian seluruh sisa utang
penerima fasilitas kepada pemberi fasilitas.
, baik dari penerima fasilitas maupun dari pihak lain, kecuali barang
jaminan tersebut dijadikan barang bukti dalam Pengadilan.
Apabila penerima fasilitas atau yang menyerahkan barang jaminan
menyelesaikan pembayaran seluruh sisa hutangnya, dapat berupa pelunasan
keseluruhan sisa utang atau dengan pemberian kebijakan, yaitu membayar maju
angsuran beberapa kali bersama dengan denda dan ditambah biaya yang timbul
dari pengambilan kembali barang jaminan, biasa disebut dengan Back To Current
Account Revieble (BTCA).
Hal tersebut bukan merupakan eksekusi tapi hanya mengambil kembali
sita jaminan. Jika tidak diberikan BTCA tersebut, maka terhadap barang jaminan
dapat langsung dilakukan eksekusi guna membayar utang melalui eksekusi lelang
atau melakukan penjualan barang jaminan kepada pihak ketiga menurut cara dan
harga yang dianggap baik oleh penerima kuasa atau pemberi fasilitas, sebgaimana
62
diperjanjikan dalam surat kuasa penarikan dan asuransi kendaraan yang
merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan konsumen63.
2. Langkah-Langkah Sebelum Mengambil Barang Jaminan
Menurut Lia Erika, Mortage Officer PT. Bank CIMB Niaga Indonesia,
Tbk Cabang Ir. H. Juanda Medan langkah yang harus dilakukan adalah dengan
Proses Desk Call ataupun dengan cara menelpon customer untuk membertahukan
tentang waktu pembayaran angsuran yang telah jatuh tempo, ataupun dengan cara
mengunjungi atau mendatangi customer untuk mengingatkan (bagi yang tidak
memiliki telpon), melakukan penagihan, mengirimkan surat peringatan 1 (satu)
dan 2 (dua)64
a. Mengingat waktu pembayaran angsuran yang telah jatuh tempo dengan
menelpon atau dengan cara mengirim SMS, dilakukan terhadap penerima
fasilitas yang memasukkan nomor telponnya dalam aplikasi kredit, yang
mengalami keterlambatan pembayaran 1 (satu) sampai 2 (dua) hari, bagi
yang tidak memiliki telpon yaitu dengan mengunjungi untuk
mengingatkan.
, dengan ketentuan sebagai berikut :
b. Apabila masih tidak ada juga tanggapan dari penerima fasilitas dalam 1
dan 2 hari tersebut, maka hari ke 3 nya Dept Account Revieble (AR)
menugaskan Collector untuk melakukan penagihan secara langsung
63
Aplikasi kredit PT. Bank CIMB Niaga
64
terhadap penerima fasilitas, penagihan ini maksimal 4 kali kunjungan
dilakukan dalam 1 bulan.
c. Apabila kembali tidak dilakukan pembayaran, Dept Account Revieble
(AR) melalui collectornya mengirimkan peringatan pertama, yang batas
waktunya diberikan 7 hari kerja kepada penerima fasilitas untuk
melakukan pembayaran, namun apabila peringatan pertama tadi tidak
ditanggapi, maka Dept Account Revieble (AR) melalui collectornya
mengirimkan lagi peringatan yang kedua yang batas waktunya 7 hari kerja.
Dan apabila masih tidak ditanggapi dan dilakukan pembayaran nya,
penerima fasilitas masih diberikan kesempatan melakukan pembayaran
sebelum masuk Over Due (OD) kurang dari 60 hari keterlambatan, tetapi
jika Over Due (OD) lebih dari 60 hari keterlambatan, secara sistem
penerima fasilitas tersebut masuk dalam kredit macet atauyang biasa
disebut dengan “kredit bermasalah” yang dalam istilah pembukuan
lembaga pembiayaan dikenal dengan “non-performing loan” (NPL).
3. Pelaksanaan pengambilan kembali barang jaminan.
Setelah menerima kasus pelimpahan khusus atau pelimpahan otomatis
surat tugas/surat kuasa, dokumen primer dan optional, Remedial field atau DC
dari dept remedial, tersebut langsung mendatangi alamat yang ada dalam data
remedial card untuk mengambil barang jaminan menarikan jika barang jaminan
apabila barang jaminan tidak ada atau sudah dialihkan maka Remedial field atau
DC akan meminta penerima fasilitas menjelaskan kemana barang jaminan
dialihkan untuk kemudian sesuai perjanjian dimnta untuk menyerahkan barang
jaminan tersebut65
Menurut Pasal 197 ayat (5) HIR atau pasal 209 ayat (4) RBG pejabat yang
menjalankan eksekusi diperintahkan secara tegas untuk membuat “berita acara”
eksekusi. Keabsahan formal eksekusi hanya dapat dibuktikan dengan berita acara
dan harus disaksikan dan ditandatangani oleh pihak yang menjalankan eksekusi
dan dua orang saksi dianggaptidak sah, karena belum memenuhi syarat formal
cara menjalankan eksekusi. Apalagi keikutsertaan tereksekusi menandatangani
sangat penting artinya, sebagai alat untuk mematahkan tuduhan dikemudian hari. .
4. Proses Lanjutan Setelah Penarikan Barang Jaminan
Remedial field atau DC wajib menyerahkan Unit kendaraan hasil
penarikannya ke kantor Bank CIMB Niaga dalam waktu 1x24 jam, kecuali dalam
hal khusus dan dapat dibuktikannya kebenarannya, misalnya keamanan Bank
CIMB Niaga dan memberikan laporan atas hasil kunjungan berdasarkan surat
tugas atau surat kuasa yang diterimanya. Setelah barang jaminan tiba di kantor
Bank CIMB Niaga.
65
Remedial akan mengirimkan surat pemberitahuan ke penerima fasilitas
untuk melunasi seluruh hutangnya di Bank CIMB Niaga tenggang waktu yang
diberikan 7 hari dari tanggal penyerahan kendaraan dan penerima fasilitas dapat
memohon perpanjangan waktu selama 6 hari kerja, ini diberikan terkait kebijakan
apabila customer ada permasalahan musibah66, jika sampai batas waktu yang diberikan penerima fasilitas belum melunasi maka akan dilakukan reproses atau
proses aktiva yang dikuasai (WD). Namun dalam waktu 7 di tambah dengan 6
hari berikutnya, pemberi fasilitas memberikan 2 proses kepada penerima fasilitas,
yaitu:
a. Proses Pelunasan
Apabila penerima fasilitas bersedia untuk melakukan pelunasan hutangnya
setelah kendaraan ditarik atau setelah proses negosiasi dengan remedial field,
maka penerima fasilitas membawa KTP asli dan copy berita acara serah terima
barang jaminan (BASTBJ) untuk diserahkan ke Remedial di kantor Bank CIMB
Niaga Remedial meminta AR untuk mengeluarkan print out Draft Pelunasan.
Negosiasi Nilai Pelunasan Apabila penerima fasilitas berkeberatan atas
jumlah pelunasan tersebut dengan alasan yang dapat diterima oleh Bank CIMB
Niaga, maka dapat dilakukan negosiasi pelunasan dengan nilai diskon pelunasan
dalam SK Direksi.
66
b. Proses BTCA Komite (Back To Current A R)
Back to current AR adalah diperbolehkannya penerima fasilitas yang telah
wanprestasi untuk melakukan pembayaran angsuran seperti biasanya dengan
persetujuan Backto current AR Komite. Back to current AR diperbolehkan dengan
alas an yang dapat diterima oleh komite, antara lain musibah/kecelakaan/sakit
yang dialami penerima fasilitas yang membutuhkan biaya sehingga penerima
fasilitas tidak mampu membayar angsuran secra temporary.
Back to current AR dilakukan dengan proses permohonan dari penerima
fasilitas beserta bukti kwitansi pengeluaran biaya lain-lain. Surat permohonan
tersebut diteruskan oleh remedial ke komite yang terdiri dari Branch Manager, AR
Control dan Remedial, jika disetujui penerima harus membuat surat pernyataan
untuk tidak akan lalai lagi membayar angsuran di Bank CIMB Niaga. Proses Back
to current AR dapat pula dilakukan tanpa penyerahan kendaraan ke Bank CIMB
Niaga terlebih dahulu penerima fasilitas datang ke kantor Bank CIMB Niaga
untuk memohon BTCA.67
Prinsip dasar negosiasi dalam penyelesaian kasus yaitu :
a) Asas persamaan hak dan kedudukan antara penerima fasilitas dan pemberi
fasilitas.
b) Menjaga etika dan norma umum.
c) Musyawarah.
d) Win win solution.
67
e) Customer service.
Di dalam sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini penerima fidusia
dapat langsung melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek
Jaminan Fidusia tanpa melalui pengadilan.
Ketidak jelasan lain yang timbul sehubungan dengan ketentuan Pasal 59
ayat (3) Undang-Undang No.37 tahun 2004 tersebut adalah tentang bagaimana
uang hasil penjualan barang-barang itu akan dibagikan kepada para kreditur.
Apakah hasilnya akan diserahkan seluruhnya oleh kurator kepada kreditur
preferen yang menjadi pemegang Jaminan Fidusia itu, ataukah akan dibagikan
kepada semua kreditur dengan mengabaikan berlakunya hak jaminan tersebut.
Ternyata Undang-Undang No.37 tahun 2004 tidak berbicara apa-apa
mengenai hal ini.Logika hukumnya menentukan bahwa hasil penjualan itu harus
diserahkan kepada kreditur preferen yang bersangkutan untuk melunasi
piutangnya. Berkenaan dengan berlakkunya Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang
No.37 tahun 2004, yang menyatakan bahwa kreditur pemegang hak jaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), yang melaksanakan haknya wajib
memberikan pertanggung jawabannya kepada kurator tentang hasil penjualan
barang yang menjadi agunan menyerahkan kepada kurator sisa hasil penjualan
Berkenaan dengan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No.37 tahun 2004
tersebut sudah barang tentu harus diberlakukan dalam kaitannya dengan ketentuan
Pasal 56 ayat (1) mengenai keharusan bagi pemegang hak jaminan tersebut untuk
menunggu 90 hari terlebih dahulu sebelum dapat melaksanakan haknya untuk
menjual agunan tersebut. Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang No 37 tahun 2004
menentukan bahwa atas tuntutan kurator atau kreditur yang diistimewakan,
pemegang hak jaminan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan
jumlah tagihan yang diistimewakan. Sesuai dengan penjelasan Pasal 60 ayat (2),
yang dimaksud dengan “ kreditur yang diistimewakan” adalah kreditur pemegang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata.
Bagaimana Undang- Undang Kepailitan dan penangguhan pembayaran
hutang menyikapi dalam hal terdapat seorang kreditur pemegang hak Jaminan
Fidusia (kreditur preferen) yang pelunasan hutang nya tidak dapat tertutup
seluruhnya dari hasil eksekusi atau penjualan agunan yang dibebani denghan hak
jaminan itu, sebagai jangkauan dari sifat mendahulukan yang dimilki pemegang
hak preferen, Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan secara tegas
menyatakan bahwa tiap tiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai
atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah olah
tidak terjadi kepailitan.
Hal ini yang berarti Undang-Undang Kepailitan secara tegas menyatakan
Undang-Undang dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa jika
hakatas penagihan yang mereka miliki adalah suatu piutang-piutang yang wajib
dicocokkan menurut ketentuan Pasal-Pasal 126 dan 127 Undang-Undang
Kepailitan, maka eksekusi lainnya dapat dijalankan apabila tagihan atau piutang
telah dicocokkan, dan eksekusi tersebut hanya dapat dipergunakan untu
mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui atas penagihan atau piutang
tersebut.
Selanjutnya dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak
gadai, atau hak atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah
tidak terjadi kepailitan dan pemegang hak tanggugan seperti tersebut dikenal
sebagai “separatisen”. Hal ini sesuai dengan Pasal 1178 KUHperdata, bahwa
kreditur yang mempunyai hak hipotik dengan disertai dengan klausula
eigenmachtige verkoop diberi kuasa untuk secara sendiri-sendiri melakukan
eksekusi atas benda yang jadi jaminan. Demikian pula yang terjadi bagi pemegang
gadai, hak tanggungan dan fidusia.
Ketentuan Pasal29 Undang-Undang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa
apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara :
2. Penjualan bendayang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan
penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnyabdari hasil penjualan.
3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan
pemberi dan penerima fidusia jika dengan cra demikan dapat diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.
Sehingga pada prinsipnya adalah bahwa penjualan benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia harus melaui pelelangna umum, karenanya dengan cara ini
diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi. Namun demikian dalam hal
penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga
tertinggi yang menguntungkan baik penerima fidusia maupun pemberi fidusia.
Maka dimungkinkan penjualan di bawah tangan asalkan hak tersebut disepakati
oleh pemberi fidusia dan penerima fidusia dan syarat dan jangka waktu
pelaksanaan tersebut dipatuhi.
Misalnya ada seorang kreditur memiliki piutang kepada debitur yang
jumlah keseluruhannya adalah Rp. 1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta
rupiah) dan oleh debitur dijaminkan dengan Jaminan Fidusia sebesar (lima ratus
juta rupiah). Pada waktu agunan (tanah beserta bangunan diatasnya) itu dijual
dalam rangka eksekusi Hak Tanggungan tersebut, dapat terjadi kemungkinan
sebagai berikut, yaitu tergantung kepada nilai jual dari agunan tersebut.
Nilai jual agunan tersebut melebihi nilai hak tanggungan, dengan kata lain
rupiah), harga jual yang terjadi dapat di bahwa nilai piutang kreditur, misalnya
berhasil dijual dengan harga Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah). Nilai jual
agunan bukan saja melebihi nilai hak tanggungan tetapi bahkan berada di atas
nilai piutang nya, misalnya berhasil dijual dengan harga Rp. 1.700.000.000 (satu
miliar tujuh ratus juta rupiah).
Nilai jual agunan kurang dari nilai hak tanggungan dengan kata lain, hasil
penjualan agunan itu kurang dari Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah),
misalnya laku dijual dengan harga Rp. 400.000.000 (empat ratus juta rupiah). Di
dalam ketiga kasus di atas, bagaimana sikap Undang-Undang Kepailitan ? Sikap
Undang-Undang Kepailitan tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 60 ayat (3)
Undang-Undang No.37 tahun 2004.
Menurut Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang No.37 tahun 2004, apabila
hasil penjualan sebgaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) tidak cukup
melunasi piutang yang bersangkutan (piutang pemegang hak jaminan tersebut),
maka pemegang hak tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas
kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren, setelah
mengajukan pencocokan utang. Bagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (3)
Undang-Undang No.37 tahun 2004 tersebut diterapkan dalam kedua kasus penjualan
agunan diatas.
Dalam kasus yang pertama dan kedua, kreditur preferen yang
bersangkutan berhak memperoleh pelunasan dari hasil penjualan agunan itu hanya
penjualan setelah dikurangi nilai hak tanggungan itu, yaitu sisanya sebesar Rp.
100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk kasus yang pertama atau sisanya sebesar
Rp. 1.400.000.000 (satu miliar empat ratus juta rupiah).
Untuk kasus yang kedua, tidak berhak dipakai untuk melunasi sisa
hutangnya.Sisa harga penjualan itu harus dimasukkan dan merupakan bagian dari
harta pailit yang merupakan hak dari para kreditur konkuren. Untuk sisa
piutangnya sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) pada kasus pertama,
yaitu setelah dikurangi pelunasan sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta
rupiah), menjadi piutang yang belum lunas, kreditur tadi berkedudukan sebgai
kreditur konkuren yang harus berbagi secara pari passu atau secara proposional
dengan semua kreditur konkuren lainnya sesuai dengan perbandingan besarnya
piutang masing-masing kreditur konkuren tersebut.
Berdasarkan penjelasan tersebut, berarti di dalam kasus pertama dan di
dalam kasus kedua itu kreditur tersebut berkedudukan sebagai kreditur preferen
hanya sampai sebesar nilai hak tanggungan saja, yaitu sampai nilai Rp.
500.000.000 (lima ratus juta rupiah ). Sedangkan untuk nilai piutangnya di atas
nilai hak tanggungan itu, yaitu untuk nilai piutang sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah), kreditur berkedudukan sebgai kreditur konkuren.
Pada kasus ketiga, kreditur berhak mengambil seluruh hasil penjualan
jaminan itu.Sedangkan sisa piutangnya yang belum lunas, yaitu sebesar Rp.
pailit sebagai kreditur konkuren lainnya menurut perbandingan besarnya piutang
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dapat diberikan kesimpulan
sebagai berikut :
1. Dalam hal Pemberi Fidusia dinyatakan pailit oleh pengadilan Niaga, maka
semua harta kekayaan debitur dinyatakan sebagai harta pailit, tak
terkecuali termasuk juga benda Jaminan Fidusia yang haknya telah beralih
kepada penerima Fidusia/Kreditur pemegang Jaminan Fidusia, yang dalam
kenyataannya secara fisik benda jaminan tersebut masih dikuasai oleh
debitur. Terhadap harta pailit itu dilakukan likuidasi oleh kurator dibawah
pengawasan hakim pengawas yang ditunjuk oleh pengadilan Niaga.
2. Kedudukan kreditur pemegang fidusia di PT. Bank CIMB Niaga kota
Medan apabila debitur dinyatakan pailit maka kreditur pemegang fidusia
mempunyai hak yang didahulukan dan di istimewakan dari kreditur lain.
Kedudukan kreditur pemegang Jaminan Fidusia ini dapat dibenarkan,
karena pemegang Jaminan Fidusia tidak ditemukan dua kreditur terhadap
sesungguhnya kreditur pemilik benda dengan demikian tidak termasuk
harta kekayaan debitur yang dinyatakan pailit. Berdasarkan kedudukan
jaminan ini kreditur pemegang Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan
hukum yang kuat dan dilindungi haknya.
3. Eksekusi objek Jaminan Fidusia di PT. Bank CIMB Niaga kota Medan
dilakukan terhadap customer yang melakukan wanprestasi dengan
pengambilan kembali barang jaminan dari tangan customer maupun di
tangan pihak ketiga penerima fasilitas, yang merupakan upaya terakhir PT.
Bank CIMB Niaga kota Medan untuk penyelamatan aset dalam upaya
meminimalisasi kerugian, apabila debitur tidak sanggup lagi melakukan
pembayaran angsuran dengan melakukan penjualan barang jaminan, hasil
dari penjualan tersebut untuk melunasi sisa hutang debitur.
B. Saran
Setelah mengadakan penelitian dan mengamati masalah yang timbul
dalamkedudukan benda jaminan yang dibebani Jaminan Fidusia apabila terjadi
eksekusi dalam hal pemberi fidusia pailit, penulis inginmemberikan saran antara
lain :
1. Penerima fidusia/kreditur pemegang Jaminan Fidusia wajib mendaftarkan
notaris ke Kantor Pendaftaran Fidusia setempat, agar supaya mempunyai
kepastian hak atas objek Jaminan Fidusia tersebut.
2. Hakim pengawas, kurator kepailitan, para kreditur dan debitur dalam
melakukan tindakan apapun yang menyangkut kepailitan tersebut
hendaknya dilakukan dengan jelas dan transparan, terutama dalam masalah
pemberesan harta kekayaan sipemberi fidusia pailit, sehingga semua pihak
jelas dan mengetahui segala tindakan yang dilakukan dalam proses
kepailitan.
3. Meskipun menurut kenyataan bahwa tanpa adanya pendaftaran Jaminan
Fidusia maka, eksekusi Jaminan Fidusia dapat berlangsung, namun demi
untuk penyadaran dalam bidang hukum, aturan-aturan dalam
Undang-Undang Jaminan Fidusia nomor 42 tahun 1999 perlu mendapat penegasan
dalam praktek, tetapi penegasan ini baru memiliki arti apabila ada sanksi