III. STUDI HERMENEUTIK SURAT II KORINTUS 6:11-7:1
3.3. Proses Menuju Kesucian dalam Komunitas Kristen
Dua hasil penafsiran yang sudah penulis kemukakan dalam bagian 3.1 dan 3.2 menyatakan dengan jelas bahwa teks II Korintus 6:11-7:1 yang selama ini digunakan sebagai teks untuk melegitimasi pelarangan perkawinan beda agama bukanlah teks mengenai perkawinan beda agama. Teks ini berbicara tentang bagaimana seharusnya komunitas Kristen di Korintus menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang belum mengenal Kristus, karena komunitas Kristen berada dalam proses menuju kesucian, baik secara jasmani maupun rohani.
Setelah jemaat Korintus menyadari bahwa diri mereka adalah Bait Allah yang hidup dan tidak boleh dicemari dengan berbagai noda kekafiran, mereka memiliki janji-janji Allah yang luar biasa, Aku akan diam bersama-sama dengan mereka (ayat
16), Aku akan menerima kamu (ayat 17) dan Aku akan menjadi Bapamu (ayat 18).53
Sehingga tidak ada jalan lain selain memisahkan diri dari segala bentuk kecemaran dan juga menyucikan diri dari semua pencemaran. Menyucikan diri merupakan
52
Debora, Kesatuan dalam Keragaman, 79.
53
23
terjemahan dari kata α α ω yang berasal dari kata kerja α α ω dan berarti
pembersihan, atau pentahiran.54 Pfitzner mengatakan bahwa tindakan menyucikan diri
tidaklah mungkin usaha untuk menjauhkan diri jemaat dari kesalahan dosa. Tindakan yang menentukan telah terjadi melalui darah Kristus dengan pembasuhan air dan firman Allah di dalam baptisan. Yang dimaksud Paulus disini adalah usaha melepaskan diri dari segala sesuatu yang dapat menghapuskan karunia penyucian itu.55
Sebagai bait Allah yang kudus, jemaat harus tetap menjaga kekudusan tersebut dan menyempurnakannya di dalam hidup yang selalu takut akan Allah.
Menyempurnakan kekudusan, menekankan kenyataan bahwa proses ini
berkesinambungan.56 Untuk dapat menyempurnakan kekudusan, jemaat di Korintus
dituntut untuk selalu mengarahkan hidupnya kepada Kristus. Mereka dituntut untuk memisahkan diri dari hal-hal duniawi yang dapat mengganggu kekudusan mereka. Kekudusan bukanlah suatu hal yang sekali terjadi dan kemudian selesai, namun kekudusan harus terus dipertahankan bahkan disempurnakan dengan menjalani
kehidupan yang selalu takut akan Allah.57
4. Relevansi Makna Pasangan yang Tidak Seimbang berdasarkan II Korintus 6:11-7:1 Bagi Masyarakat Indonesia dalam Kaitannya dengan Larangan Praktek Perkawinan Beda Agama
Teks II Korintus 6:11-7:1 bukanlah teks yang bebicara mengenai perkawinan beda agama, tetapi berbicara mengenai bagaimana seharusnya komunitas Kristen
54
Kata ini berbentuk aorist tense yang menjadikan tindakan ini mutlak menentukan dan final.
55
Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan, 102.
56
Kata π ω yang diterjemahkan dengan “menyempurnakan, menyelesaikan, melaksanakan”
memiliki bentuk present tense yang menunjukan kepada sesuatu yang sedang dilakukan atau tindakan yang belum selesai dan masih berproses.
57
24
Korintus bersikap dalam relasinya dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam teks ini juga terlihat bahwa Paulus sangat menjaga dimensi pertumbuhan rohani komunitas Kristen itu sendiri. Pertama, keterpisahan yang menjadi hal utama yang harus dilakukan komunitas Kristen dalam membangun relasinya bersama masyarakat luas. Kedua, identitas diri harus disadari oleh komunitas Kristen bahwa mereka adalah milik Allah. Ketiga, kesucian yang merupakan puncak dari dimensi pertumbuhan rohani harus dicapai dan selalu disempurnakan dalam kehidupan bersama Kristus. Sehingga dalam menjalin relasinya dengan masyarakat yang lebih luas, Paulus menyarankan agar komunitas Kristen selalu berhati-hati.
Teks ini juga tidak bisa lagi dijadikan justifikasi larangan perkawinan beda
agama. Menurut penulis, perkawinan beda agama tidak seharusnya dijadikan sebuah
masalah. Sebelum sampai pada keputusan untuk membawa hubungan kearah perkawinan, dua orang yang berlainan jenis akan merasakan perasaan kasih yang dinamakan cinta. Cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang bersifat subtil dan menembus batas. Dikatakan demikian karena tak seorangpun mampu memahami mengapa, bagaimana, kapan dan dengan siapa cinta itu datang, sehingga semua tembok pemisah antar manusia seperti ras, budaya, adat, suku, dan agama tidak dapat menghentikan cinta kasih tersebut. Perkawinan beda agama sering terjadi di Indonesia sebagai akibat dari masyarakatnya yang majemuk. Untuk itu tidak seharusnya perkawinan beda agama dihalang-halangi. Kedua belah pihak pasti telah memikirkan dengan matang konsekuensi apa saja yang akan dihadapi ketika mereka tetap memutuskan untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan berarti juga kehidupan perkawinan atara dua orang yang berbeda keyakinan akan selalu menimbulkan masalah.
25
Perkawinan dengan pasangan yang tidak seiman justru membantu manusia untuk tidak bersikap egois dan tentunya dapat lebih menghargai setiap perbedaan yang ada. Dengan demikian maka damai sejahtera akan selalu terwujud di dalam kehidupan rumah tangga yang berbeda keyakinan. Damai sejahtera adalah keadaan hidup yang tinggi di dalam diri sendiri maupun relasi antara manusia. Dengan hidup dalam damai sejahtera dalam ikatan perkawinan maka akan menciptakan kekudusan dalam kehidupan perkawinan tersebut. Kekudusan disini berarti proses yang membawa hubungan tersebut didedikasikan untuk Allah. Bagi Rasul Paulus, dalam perkawinan beda agama, permasalahannya bukan terletak pada ketidakpercayaan suatu pihak, melainkan iman dari pihak yang percaya mendukung secara utuh untuk penerimaan secara keseluruhan. Pihak yang tidak percaya akan dikuduskan oleh pihak yang percaya dan anak-anak mereka akan menjadi anak-anak kudus (I Korintus 7:14).
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Larangan Paulus untuk tidak menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tidak percaya dalam II Korintus 6:11-7:1 ditujukan kepada jemaat di Korintus agar jemaat di Korintus berhati-hati dalam berbagai keterlibatan dan relasinya dengan masyarakat Korintus yang penuh dengan berbagai macam pelanggaran dan dosa amoral. Hal ini dikarenakan jemaat Korintus telah menjadi ciptaan baru, mereka adalah Bait Allah yang hidup dan Bait Allah bersifat kudus. Demi menjaga dan menyempurnakan kekudusan hidup, mereka perlu memisahkan diri dari hal-hal duniawi yang dapat membuat kekudusan mereka menjadi tercemar. Paulus tidak sedang membicarakan mengenai perkawinan secara khusus dalam teks ini, namun semua hubungan atau relasi yang dapat terjalin antara jemaat dan masyarakat
26
Korintus, seperti dalam pekerjaaan, persahabatan, keluarga, perkawinan dan lain sebagainya.
Mengenai perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia, dimana umat Kristen dan orang awam memakai teks ini sebagai landasan untuk melegitimasi larangan melakukan perkawinan beda agama adalah salah dan perlu dikaji ulang. Diperlukan peran gereja sebagai salah satu lembaga yang mengesahkan perkawinan berdasarkan Undang-Undang Perkawinan untuk melakukan pendampingan pastoral bagi jemaatnya yang ingin melangsungkan perkawinan dengan seseorang yang berbeda keyakinan. Gereja harus menaruh perhatian yang lebih terhadap peristiwa yang akan terus terjadi ini, sebagai salah satu akibat dari kemajemukan masyarakat Indonesia. Kenyataan yang terjadi selama ini adalah gereja hanya disibukan dengan kebijakan yang bersifat memihak secara intern. Gereja perlu memiliki kebijakan yang bersifat kontekstual dan tidak mengikat dalam menghadapi permasalahan perkawinan beda agama.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia, pemerintah juga perlu mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena di dalam undang-undang tersebut belum terdapat peraturan yang secara tegas dan jelas mengatur tentang perkawinan beda agama. Pemerintah sudah sepatutnya menetapkan hukum yang berlaku bagi perkawinan orang-orang yang berlainan agama dengan tidak melebihkan satu agama atas agama lainnya demi terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Asas kesamaan di muka hukum untuk semua warga negara dari semua agama perlu diperhatikan. Dengan demikian maka tidak perlu lagi masyarakat Indonesia melangsungkan perkawinan di luar negeri atau berpindah agama agar perkawinan mereka dapat disahkan.
27
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan
No. 1/1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986.
Barclay, William. Letters to Corinthians. Edinburgh: The Saint Andrew Press, 1975.
______________. Duta Bagi Kristus. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Best, Ernest. Second Corinthians (Interpretation A Bible Commentary for Teaching
and Preaching). Louisville: John Knox Press, 1987.
Brauch, Manfred T. Ucapan Paulus yang Sulit. Malang: Literatur SAAT, 1986.
Brieringer, Reimund. Theologizing in the Corinthian Conflict: Studies in the Exegesis
and Theology of 2 Corinthians. Leuven: Peeters, 2013.
Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Korintus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1986.
Bruce, F.F. Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Go, Piet dan Suharto. Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja. Malang:
Penerbit Diomamedia, 1991.
Guthrie, Donald, dkk. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2010.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003.
_____________. Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan
Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
OFM, Groenen. Perkawinan Sakramental. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Kruse, Colin. The Second Epistle of Paul to the Corinthians, England: Inter-Varsity
Press, 1991.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab
Indonesia, 2011.
Jacobs, Tom SJ. Koinonia dalam Eklesiologi Paulus. Malang: Penerbit Dioma, 2003.
Keener, Craig S. 1-2 Corinthians. New york: Cambridge University Press, 2005.
Locke, John. A Parapharase and Notes of the Epistles of St Paul Volume 1. New
York: Oxford University Press, 1978.
Malik, Debora K. Kesatuan dalam Keragaman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
28
Mohamad, Monib, dan Ahmad Nurcholish. Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Napel, Henk Ten. Jalan Yang Lebih Utama Lagi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Nurcholish, Ahmad, dan Ahmad Baso. Pernikahan Beda Agama. Jakarta: Komisi Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), 2005.
Omanson, Roger L, and John Ellington. Surat Paulus yang Kedua kepada Jemaat di
Korintus. Jakarta: Percetakan LAI, 2013.
Pfitzner, V.C. Kekuatan & Kelemahan: Tafsiran Atas Surat II Korintus. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.
Ridderbos, Herman. Paulus: Pemikiran Utama Theologinya. Surabaya: Penerbit
Momentum, 2010.
Setyawan, Yusak B. Critical Approaches in New Testament Hermeneutics. Salatiga:
Fakultas Teologi UKSW, 2010.
________________. Introduction to the New Testament. Salatiga: Fakultas Teologi
UKSW, 2010.
Shillington, V.G. 2 Corinthians. Ontario: Herald Press, 1998.
Stam, Cornelius R. Commentary on the Second Epistle of Paul to the Corinthians.
Chicago: Berean Literature Foundation, 1992.
Stambugh, John & David Balch. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997.
Syahrani, Riduan dan Abdurrahman. Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia.
Bandung: Penerbit Alumni, 1978.
Tandiassa. Teologia Paulus. Yogyakarta: Moriel Publishing House, 2008.
Tenney, Merrill C. Survei Perjanjian Baru. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1993.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Trisna, Jonathan A. Pernikahan Kristen: Suatu Usaha dalam Kristus. Bandung:
Penerbit Kalam Hidup Pusat, 1987.
Utley, Bob. Surat-surat Paulus kepada sebuah Gereja yang Bermasalah: I & II
29
Wahono, S. Wismoadi. Disini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Wenham, J.W. Bahasa Yunani Koine (The Elements of New Testament Greek),
Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1987.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
Jurnal
Wheeler,Victoria A. A Plea For Holy Fellowship 2 Corinthians 6:14-7:1, Ashland
Theological Journal Vol 31 (1999) Kamus
Bibleworks 8
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Newman Jr, Barclay M. Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru. Jakarta: