i
MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI LARANGAN PRAKTEK PERKAWINAN
BEDA AGAMA BERDASARKAN STUDI HERMENEUTIK
TERHADAP II KORINTUS 6:11-7:1
Oleh,
Leoni Prameswari
712009009
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologia
(S.Si. Teol)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
v
KATA PENGANTAR
Pujian, hormat dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus, sahabat karib sepanjang masa, atas kelimpahan berkat dan anugerah yang diberikan sehingga penulis dimampukan untuk menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan mendapatkan gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si. Teol).
Selama menyelesaikan tugas akhir ini, penulis menyadari ada begitu banyak campur tangan dari orang-orang hebat yang diberikan Tuhan kepada penulis. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Universitas Kristen Satya Wacana melalui Fakultas Teologi yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk belajar dan menambah ilmu pengetahuan sebagai bekal masa depan bagi penulis.
2. Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS, Ph.D selaku pembimbing tunggal. Terimakasih untuk
kesediaan, kesabaran dan masukan-masukan Bapak yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyusun dan menyelesaikan tugas akhir ini. Terimakasih telah mengajarkan dan selalu mengingatkan penulis bahwa Hermeneutik itu tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak bisa. Hanya ketekunan, semangat dan kerja keras yang akan membuat semuanya tercapai dengan baik dan memuaskan. Kiranya Tuhan Yesus selalu memberkati Bapak bersama keluarga dalam setiap tugas dan pelayanan.
3. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Teologi atas segala bantuan, kebersamaan,
kehangatan dan canda tawa yang telah diberikan kepada penulis.
4. Orang tua terkasih, Ibu dan Bapak serta Mbak Tessa dan Bli Tut berserta
keponakan-keponakan tercinta, Shandya dan Maysha. Terimakasih buat dukungan dan doa yang tidak pernah putus. Sangat beruntung bisa memiliki keluarga seperti kalian. Terkhusus buat Ibu di Surga, Leo sangat menyayangi dan mencintai anda, Bu. Ini semua Leo persembahkan hanya untuk Ibu. Terimakasih untuk semua pengorbanan yang telah Ibu berikan. Leo akan selalu belajar dan berusaha agar bisa menjadi anak yang Ibu dan Bapak dapat selalu banggakan. Sekali lagi terimakasih, Tuhan Yesus memberkati.
5. Pdt. Herlin Lebrina Kunu, S.Si. Teol, supervisor lapangan penulis saat menjalani PPL VI
di GPIB Ebenhaezer Tanjung Batu, Pulau Kundur-Kepulauan Riau, Kak Eli Surya Sembiring dan keluarga Kunu di Depok, yang telah menjadi bagian dari hidup penulis,
Terimakasih buat segala support, doa dan nasehat yang diberikan. Kiranya Tuhan Yesus
vi
6. Seluruh Presbiter dan Jemaat GPIB Ebenhaezer Tanjung Batu, Pulau Kundur-Kepulauan
Riau, tempat penulis menjalani PPL VI. Terimakasih telah menerima dan mengganggap penulis sebagai keluarga baru. Semua kenangan dan pengalaman yang penulis dapatkan selama 4 bulan berada disana adalah anugerah terindah yang tidak akan pernah penulis lupakan.
7. Sahabat terbaik, Ika Kalpika Yudha. Terimakasih sudah selalu menemani, baik dalam
suka maupun duka, terimakasih buat persahabatan yang sangat indah dan juga buat semua dukungan yang tidak pernah bosan diberikan kepada penulis selama menyusun dan menyelesaikan tugas akhir ini. Kiranya Tuhan selalu memberkati Persahabatan kita. Semangat terus jangan mudah putus asa, karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang ^^ Go Jeleee Go! ♥
8. Keluarga besar Fakultas Teologi Angkatan 2009. Terimakasih buat kebersamaan dan
persahabatan yang terjalin selama ini. Tuhan Yesus memberkati kalian semua dimanapun berada.
9. Terakhir, buat semua orang yang telah Tuhan hadirkan dalam kehidupan penulis, yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terimakasih yang tidak terhingga. Kalian semua adalah orang-orang yang secara sengaja Tuhan hadirkan untuk mengajarkan berbagai hal, baik dan buruk bagi penulis, agar penulis dapat lebih mengerti arti hidup yang telah Dia berikan dan menjalaninya dengan lebih baik lagi dari hari ke hari. Terimakasih. Tuhan Yesus memberkati.
Salatiga, 6 Februari 2015
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Lembar Pengesahan ... ii
Pernyataan Tidak Plagiat ... iii
Pernyataan Persetujuan Akses ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vii
Abstrak ... ix
I. PENDAHULUAN DAN PERMASALAHAN 1.1.Latar Belakang ... 1
1.2.Batasan, Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian ... 3
1.3.Metode Penelitian ... 4
1.4.Manfaat Penelitian ... 5
1.5.Sistematika Penulisan ... 5
II. KONTEKS SOSIO HISTORIS SURAT II KORINTUS 2.1.Latar Belakang Surat II Korintus ... 6
2.2.2. Keberadaan Masyarakat Korintus ... 11
2.2.3. Jemaat di Korintus ... 13
III. STUDI HERMENEUTIK SURAT II KORINTUS 6:11-7:1 3.1.Konsep Keterpisahan dalam Komunitas Kristen ... 14
3.2.Identitas Diri sebagai Fondasi Pertumbuhan Rohani dalam Komunitas Kristen ... 19
viii
IV. RELEVANSI MAKNA PASANGAN YANG TIDAK SEIMBANG BERDASARKAN II
KORINTUS 6:11-7:1 BAGI MASYARAKAT INDONESIA DALAM KAITANNYA
DENGAN LARANGAN PRAKTEK PERKAWINAN BEDA AGAMA ... 23 V. PENUTUP
ix
ABSTRAK
Perkawinan beda agama merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun di dalam Undang-Undang tersebut tidak ada satu pasal pun yang secara tegas dan jelas mengatur mengenai perkawinan beda agama, sehingga perkawinan beda selalu menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai.
Ucapan Paulus mengenai pasangan yang tidak seimbang dalam II Korintus 6:11-7:1 sering dipakai oleh sebagian umat Kristen masa kini untuk melegitimasi larangan melakukan perkawinan dengan pasangan yang berbeda keyakinan. Ucapan Paulus ini kemudian menjadi salah satu ucapan Paulus yang sulit karena implikasinya yang nampak keras dalam hubungan sehari-hari dengan orang-orang yang tidak seiman, khususnya mengenai masalah cinta yang berujung pada perkawinan.
Teks II Korintus 6:11-7:1 sesungguhnya bukanlah teks yang berbicara mengenai perkawinan beda agama. Teks ini berbicara mengenai bagaimana seharusnya komunitas Kristen Korintus bersikap dalam menjalin relasi dengan masyarakat yang lebih luas, seperti dalam pekerjaaan, persahabatan, keluarga, perkawinan dan lain sebagainya. Teks ini tidak bisa dijadikan dasar atau prinsip untuk melegitimasi larangan perkawinan beda agama. Pemerintah juga sudah sepatutnya menetapkan hukum perkawinan yang jelas dan tegas, yang berlaku bagi pasangan yang berbeda keyakinan, sehingga masyarakat Indonesia yang berbeda keyakinan tidak perlu lagi pergi ke negara lain atau berpindah agama agar perkawinan mereka dapat disahkan.
1
1. Pendahuluan dan Permasalahan
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504
pulau.1 Keadaan geografis ini membuat Indonesia memiliki berbagai keanekaragaman,
mulai dari suku, budaya, bahasa, adat istiadat dan juga agama. Hal ini kemudian
menjadikan Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang majemuk.
Kemajemukan Indonesia di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang
diakui di Indonesia. Ada enam agama besar yang diakui, yaitu Islam, Kristen,
Katholik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Keberagaman pemeluk agama di Indonesia
ternyata telah ikut membentuk pola hubungan antar agama dalam berbagai aspek
kehidupan sosial kemasyarakatan. Salah satu bentuk pola hubungan tersebut tercermin
dalam hubungan pria dan wanita yang kemudian berujung pada sebuah ikatan
perkawinan yang selalu menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, yaitu
perkawinan beda agama.
Perkawinan beda agama adalah kenyataan yang ada dan sulit untuk dihindari
di negara dengan ciri masyarakat yang majemuk ini. Pergaulan manusia tidak lagi
dapat dibatasi hanya dalam satu lingkup masyarakat kecil dan sempit, seperti hanya
dalam kekerabatannya saja, tetapi juga semakin terbuka dan pada akhirnya menembus
batas, golongan, suku, ras dan agamanya sendiri. Di Indonesia, hukum perkawinan
diatur dalam Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan ini memberikan pengertian perkawinan sebagai ikatan lahir
bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
1
2
Yang Maha Esa.2 Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang
merupakan sendi utama bagi pembentukan negara dan bangsa. Mengingat pentingnya
peranan hidup bersama, peraturan mengenai perkawinan memang harus dilakukan
oleh setiap negara karena negara berperan untuk melegalkan hubungan hukum antara
seorang pria dan wanita.3 Namun mengenai perkawinan beda agama, Riduan Syahrani
dan Abdurrahman dalam bukunya Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia
mengatakan bahwa Undang-Undang Perkawinan dapat dikatakan mengalami
kekosongan hukum karena di dalam undang-undang tersebut tidak ada pasal yang
mengatur masalah perkawinan beda agama.4 Walaupun demikian, kenyataan yang
terjadi di Indonesia adalah perkawinan beda agama tetap tidak diperbolehkan.
Masalah mengenai perkawinan beda agama bukanlah masalah yang baru.
Dalam Alkitab, masalah ini sudah lebih dulu terjadi dan pembahasan mengenai
perkawinan beda agama dapat ditemukan dalam tulisan Paulus kepada jemaat di
Korintus. Korintus merupakan kota pelabuhan yang sangat terkenal pada jamannya.
Letak geografisnya yang strategis membuat Korintus ramai dikunjungi oleh
orang-orang di seluruh dunia dan menjadikan kota ini sebagai pusat perdagangan yang
berkembang. Keadaan ini yang kemudian membuat Korintus menjadi kota majemuk.
Berbagai macam kebudayaan dan aliran-aliran kepercayaan berkembang di kota ini.
Kenyataan ini tentu berpengaruh dalam perkembangan jemaat Korintus, khususnya
yang berkaitan dengan interaksinya terhadap masyarakat luas yang nantinya berakhir
dalam sebuah ikatan perkawinan.
Asmin SH, Status Perkawinan Antar Agama ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974
(Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), 1.
4
3
Permasalahan mengenai perkawinan, termasuk perkawinan beda agama yang
dihadapi jemaat di Korintus telah Paulus bahas dan selesaikan di suratnya yang
pertama kepada jemaat di Korintus. Namun kemudian, dalam surat Paulus yang kedua
kepada jemaat di Korintus terdapat ucapan Paulus yang oleh sebagian besar umat
Kristen dianggap sebagai ucapan Paulus yang sulit karena implikasinya yang nampak
keras dalam hubungan sehari-hari dengan orang-orang yang tidak seiman, terkhusus
mengenai masalah cinta dan perkawinan.5 Ucapan Paulus ini kemudian dijadikan
dasar atau prinsip untuk melegitimasi pelarangan melakukan perkawinan beda agama: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang
yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Tapi apakah benar hubungan yang dimaksud Paulus dalam teks ini adalah perkawinan? Banyak
cara yang kemudian dilakukan oleh setiap pasangan yang berbeda keyakinan untuk
dapat menyatukan cinta mereka secara resmi dalam sebuah ikatan, salah satunya
adalah dengan melangsungkan perkawinan mereka di luar negeri. Berdasarkan uraian
diatas, maka penulis mengangkat topik dengan judul: Mempertimbangkan Kembali
Larangan Praktek Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Studi Hermeneutik Terhadap
II Korintus 6:11–7:1.
1.2 Batasan, Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan judul yang dipilih penulis, maka penulis membatasi masalah
penelitian pada makna ucapan Paulus tentang pasangan yang tidak seimbang dalam II
Korintus 6:11–7:1 dengan kaitannya terhadap larangan praktek perkawinan beda
agama di Indonesia. Kata perkawinan yang dimaksudkan oleh penulis disini sama
pengertiannya dengan kata pernikahan. Penulis menggunakan kata perkawinan karena
5
4
di dalam Alkitab, kata yang dipakai adalah perkawinan. Selain itu undang-undang di
Indonesia yang mengatur mengenai perkawinan juga memakai kata perkawinan, yaitu
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Rumusan masalah yang akan menjadi fokus penulis untuk diteliti adalah: (1)
Apa makna pernyataan Paulus tentang pasangan yang tidak seimbang dalam Surat II
Korintus 6:11–7:1, menurut studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-historis? (2)
Apa sumbangan pemikiran bagi masyarakat Indonesia, terkhusus gereja yang
berkaitan dengan larangan praktek perkawinan beda agama yang selama ini terjadi di
Indonesia?
Berdasarkan latar belakang, batasan dan rumusan masalah yang ada, maka
penulisan tugas akhir ini bertujuan untuk: (1) Mendeskripsikan dan memahami makna
pernyataan Paulus tentang pasangan yang tidak seimbang dalam II Korintus 6:11–7:1
dengan menggunakan studi Hermeneutik yang melihat teks tersebut dari sudut
pandang sosio-historis. (2) Memberikan sumbangan pemikiran baru bagi masyarakat
Indonesia, terkhusus gereja terhadap larangan praktek perkawinan beda agama yang
selama ini masih terus terjadi.
1.3 Metode Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian diatas, penulis menggunakan metode
Hermeneutik, melalui pendekatan sosio-historis terhadap II Korintus 6:11–7:1. Penulis
memakai pendekatan sosio-historis untuk melihat dan mengetahui sejarah dalam teks
dan sejarah dari teks. Sejarah dalam teks berkaitan dengan6 tokoh-tokoh yang
memainkan peranan penting dalam peristiwa historis yang ada dalam teks hal-hal yang
5
penulis teks, kapan teks ini ditulis, kepada siapa teks ini dimaksudkan dan apa
sebenarnya yang menjadi tujuan teks ini. Teknik pengumpulan data yang dilakukan
adalah penelitian kepustakaan, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian.8
1.4 Manfaat Penelitian
Melalui tulisan ini, penulis berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran
baru bagi masyarakat Indonesia, terkhusus kepada gereja-gereja mengenai makna
yang terkandung dalam ucapan Paulus dalam II korintus tentang pasangan yang tidak
seimbang, yang selama ini menjadi dasar atau prinsip yang sering dipakai oleh umat
Kristiani untuk melegitimasi pelarangan melakukan perkawinan beda agama. Selain
itu, penulis juga berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran baru bagi Fakultas
Teologi, terutama dalam mata kuliah Etika.
1.5 Sistematika Penulisan
Pada bagian satu penulisan tugas akhir ini, penulis akan menguraikan apa yang
menjadi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian yang digunakan, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Dalam
bagian dua, penulis akan mendeskripsikan latar belakang surat II Korintus dan
permasalahan dalam teks. Dalam bagian tiga, penulis akan menggunakan kemampuan
hermeneutik untuk menafsir ucapan Paulus tentang pasangan yang tidak seimbang
dalam II Korintus 6:11–7:1. Penulis juga akan menggunakan tafsiran para ahli untuk
mempertegas dan mendukung penafsiran penulis. Dalam bagian empat, penulis akan
memberikan pemikiran baru tentang makna dari ucapan Paulus dalam II Korintus
6:11–7:1 dalam kaitannya dengan larangan praktek perkawinan beda agama yang
8
6
terjadi di Indonesia. Dan pada bagian lima, penulis akan memberikan kesimpulan
yang merangkum apa yang ingin disampaikan penulis mulai dari bagian satu sampai
bagian empat.
2. Konteks Sosio Historis Surat II Korintus
2.1 Latar Belakang Surat II Korintus
2.1.1 Penulis Surat
Dilihat dari nada surat dan sifat ajarannya serta dalam perbendaharaan kata dan
gayanya, menunjukan dengan jelas bahwa penulisnya adalah Paulus sebagaimana ia
juga menulis surat I Korintus.9 Dalam II Korintus, Paulus juga menyebut namanya
sendiri sebanyak dua kali sebagai klaim bahwa dirinyalah yang menulis surat tersebut
(II Korintus 1:1, 10:1). Rasul Paulus merupakan penulis hampir setengah dari
kitab-kitab Perjanjian Baru. Namanya muncul di bagian salam dari tiga belas surat di
Perjanjian Baru. Namun di masa kini banyak ahli yang meyakini bahwa tidak semua
surat itu ditulis oleh Paulus.10
Paulus adalah pemimpin yang sangat berpengaruh pada kehidupan jemaat
mula-mula. Ia memberitakan Injil dan mengajar dibanyak tempat selama perjalanan
9
Donald Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2010), 475.
10
7
misinya. Ia dilahirkan dalam keluarga Yahudi Ortodoks di Tarsus (Filipi 3:5-6) dan
memiliki dua kewarganegaraan, Yunani dan Romawi.11
2.1.2 Waktu dan Tempat Penulisan
Banyak argumentasi mengenai kapan tepatnya surat Paulus yang kedua kepada
jemaat Korintus ditulis. Groenen meyakini bahwa surat ini ditulis pada tahun 51 ZB.
Pendapat lain memberi perkiraan tahun 55-56 ZB. Surat II Korintus merupakan surat
keempat Paulus yang ditulis kepada jemaat di Korintus.12 Perjalanan Paulus ke
Korintus dimulai pada tahun 50-52 ZB. Pada saat itu Paulus tinggal di Korintus
selama 18 bulan (Kisah Para Rasul 18:1-17) bersama Akwila dan Priskila. Pada tahun
52 ZB, di Korintus hadir gubernur baru, seorang Roma bernama Galio. Sebuah
inskripsi kuno yang ditemukan di Delfi menunjukan bahwa Galio adalah penguasa
(prokonsul) di Akhaya tahun 51-52 ZB.13 Orang-orang Yahudi yang memusuhi Paulus
membawa Paulus kepada Galio untuk diadili dengan tuduhan Paulus telah
mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum mereka. Namun Galio
berpihak pada peradilan Roma yang netral dan menolak berurusan dengan masalah
11
W.R.F Browning, Kamus Alkitab: a Dictionary of the Bible (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 310. Kewarganegaraan Roma Paulus ia dapatkan sejak lahir dan mungkin merupakan pengakuan penghargaan kerajaan kepada ayahnya yang menurun kepada anaknya, Kewarganegaraan Roma memberi hal-hal istimewa, seperti kebebasan dari hukuman yang merendahkan diri dan hak naik banding kepada Kaisar atas tuduhan dengan ancaman hukuman mati.
12
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 dan 2 Korintus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 16-19. Setidaknya ada empat surat yang Paulus tulis untuk jemaat di Korintus. Surat yang pertama disebut sebagai Surat yang Terdahulu, yang disinggung dalam I Korintus 5:9-11. Beberapa para ahli meyakini bahwa surat tersebut telah hilang, namun yang lain meyakini bahwa surat ini terkandung dalam II Korintus 6:14-7:1. Surat yang kedua adalah yang disebut sekarang sebagai Surat I Korintus. Surat ketiga disebut sebagai Surat yang Keras. Surat ini dapat dipelajari dari bagian-bagian tertentu dalam II Korintus, yaitu II Korintus 2:4; 7:8. Berdasarkan ayat tersebut, Paulus diketahui menulis surat ini dengan sangat menderita sehingga Paulus hampir menyesal pernah mengirimnya. Kebanyakan para ahli meyakini bahwa surat ini adalah II korintus pasal 10-13, dimana pasal-pasal tersebut telah salah diletakan saat surat-surat Paulus dikumpulkan kembali. Dan surat keempat adalah yang disebut sekarang sebagai Surat II Korintus, sebuah surat rekonsiliasi. Surat tersebut adalah surat II Korintus pasal 1-9.
13
8
tersebut maupun mengambil tindakan apa pun sehingga Paulus dapat menyelesaikan
tugasnya di Korintus dan kemudian pergi dari sana untuk melanjutkan perjalanan.14
Kapan tepatnya surat II Korintus ditulis tentu tidak lepas dari penanggalan surat
I Korintus. Dalam II Korintus 8:10, Paulus menulis: “Inilah pendapatku tentang hal
itu, yang mungkin berfaedah bagimu. Memang sudah sejak tahun yang lalu kamu mulai melaksanakannya dan mengambil keputusan untuk menyelesaikannya juga.“
Ayat ini mendorong beberapa kita untuk menduga bahwa surat II Korintus ditulis
kira-kira setahun kemudian.15 Dan jika dugaan ini benar berarti surat II Korintus ditulis
pada tahun 56 ZB, karena berdasarkan informasi dari Kisah Para Rasul 20:31, surat I
Korintus kemungkinan besar ditulis pada tahun terakhir dari masa tinggal selama 3
tahun di Efesus, yaitu tahun 55 ZB.16 Berdasarkan penanggalan perjalanan Rasul
Paulus maka akan lebih meyakinkan jika surat II Korintus ditulis tahun 56 ZB dan
bukan tahun 51 ZB, karena ketika Galio menjabat sebagai Gubernur Akhaya, Paulus
masih berada di Korintus dan belum menulis sebuah surat apapun.
Surat II Korintus ditulis Paulus di suatu tempat di Makedonia (II Korintus 2:13;
7:5-7; 8:1; 9:2-4), sesudah kunjungannya ke Efesus (Kisah Para Rasul 19:23-41).
Suatu tempat yang dimaksud di Makedonia tersebut kemungkinan besar ialah Filipi.17
2.1.3 Maksud Penulisan
Maksud penulisan surat ini terkait erat dengan pertikaian yang pernah terjadi
sebelumnya. Ketika itu di Korintus terjadi pertikaian antara Paulus dan golongan
orang yang memfitnahnya. Para pengacau itu adalah orang Kristen keturunan Yahudi
14
John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis-Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 346. Setelah meninggalkan Korintus, Paulus mengadakan kunjungan singkat ke Efesus dan Kaisarea di Palestina, kemudian ia pergi ke Antiokhia di Siria. Setelah tinggal sebentar disana, ia melanjutkan perjalanannya melintasi Galatia, Frigia dan langsung menuju Efesus. Di Efesus Paulus tinggal selama 3 tahun.
15
Donald Guthrie, dkk, Tafsiran Alkitab, 474.
16
Merrill C. Tenney, Survey Perjanjian Baru (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1993), 367.
17
9
dari Palestina dan mengaku diri sebagai rasul (II Korintus 12:11) dan membawa surat
rekomendasi (3:1). Mereka memfitnah Paulus dan membuat nama Paulus menjadi
buruk. Surat II Korintus ini merupakan pembelaan diri Paulus. Mati-matian Paulus
membela dirinya dan kewibawaannya sebagai rasul sejati.18 Paulus juga menasehati
jemaat Korintus agar memenuhi janjinya untuk mengumpulkan uang yang nantinya
akan diberikan kepada orang-orang kudus yang miskin di Yerusalem. Surat ini juga
menceritakan kesedihan Paulus karena tidak bisa datang ke Korintus sebagaimana
yang telah dijanjikannya (I Korintus 16:5-6).19
2.2 Latar Belakang Kota Korintus
Korintus adalah salah satu kota besar pada jaman imperialisme Romawi.
Letaknya yang strategis membuat kota ini selalu ramai dikunjungi oleh setiap orang
dari berbagai tempat dan membawa kota ini dalam kejayaan. Korintus menjadi kota
yang menguasai persimpangan internasional, yang mengendalikan perdagangan di
darat antara utara-selatan dan juga di laut antara timur-barat. Keadaan ini membuat
Korintus menjadi pusat perdagangan yang berkembang, khususnya industri keramik
(barang tembikar) dan menjadikan kota ini sangat kaya. Korintus juga terkenal sebagai
kota yang memiliki kemajuan pesat dalam bidang pendidikan, kebudayaan serta
menjadi tujuan wisata.
2.2.1 Korintus pada masa Paulus
Sebelum mengalami pembangunan kembali, Korintus merupakan sebuah kota
yang sangat kuno. Pada tahun 146 SZB, Lucius Mummius, jenderal Roma, berhasil
merebut Korintus dari bangsa Yunani dan memorak-porandakannya sebagai
18
C. Groenen OFM, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 241.
19
10
puing. Namun karena letak geografis Korintus yang sangat strategis, kota ini tidak
ditinggalkan begitu saja walupun sudah dihancurkan. Pada tahun 44 ZB, Julius Caesar
membangun kembali Korintus diatas puing-puing kota lama dan menjadikannya
koloni Roma. Selanjutnya Korintus menjadi ibu kota provinsi Akhaya, tempat
kedudukan Gubernur Romawi.20
Secara geografis, kota Korintus terletak di lajur tanah21 yang menghubungkan
Yunani Selatan dan Yunani Utara dan karena letaknya tersebut kota Korintus menjadi
kota pelabuhan. Ada dua pelabuhan besar disana, yaitu Kengkrea di pantai timur dan
Lekhaion di pantai barat. Bahasa resmi di Korintus adalah bahasa Latin, tetapi
masyarakat pada umumnya menggunakan bahasa Yunani. Sebagai sebuah kota koloni
Kekaisaran Romawi, Korintus ada di bawah hukum Romawi. Sistem perdagangan dan
kegiatan komersialnya bercirikan sebuah kota romawi, walaupun secara geografis
Korintus adalah sebuah kota Yunani dengan tradisi filsafat dan warisan kebudayaan
Yunani. Korintus kemudian menjadi sebuah kota metropolitan yang menarik banyak
orang dari berbagai daerah untuk datang dan menetap di Korintus sehingga
menjadikannya sebagai kota yang majemuk.22
Selain terkenal sebagai kota yang memiliki reputasi yang sangat baik di bidang
perdagangan dan perindustrian, Korintus juga terkenal sebagai kota yang bejat secara
20
William Barclay, Duta Bagi Kristus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 141.
21
Lajur tanah atau disebut juga tanah genting adalah tempat yang daratannya sangat sempit sehingga sebuah kapal dapat diseret dari satu pintu air ke pintu air lainnya. Kapal-kapal dari barat diseret ke timur melalui darat, begitu juga sebaliknya. Para pelaut dan pedagang lebih suka melalui jalur darat tersebut daripada berlayar lewat laut selatan. Selain dapat menghemat waktu, cara ini dipakai untuk menghindari laut selatan yang berbahaya dengan ombak-ombak besar dan badai yang sering terjadi disana. Kota ini menjadi titik sambung lalu lintas antara Yunani utara dengan Yunani Selatan dan lebih jauh ke pantai Siria.
22
11
moral. Di Korintus, pelacuran dianggap sebagai hal yang biasa. Secara resmi orang
Roma tidak mengizinkan pelacuran, tetapi nyatanya mereka membiarkan saja
pelacuran terus terjadi di Korintus.23 Cinta yang diperjualbelikan menjadi barang
dagangan yang laris di Korintus. Korintus terkenal sebagi kota bisnis kenikmatan atau
prostitusi. Aelian, penulis Yunani kontemporer, mengatakan bahwa dalam sandiwara
Yunani, orang Korintus selalu diperlihatkan sebagai tokoh pemabuk.24 Korintus
kemudian tidak hanya identik dengan lambang kemakmuran dan kemewahan, tapi
juga kemerosotan moral. Begitu parahnya keadaan kota ini sampai memunculkan
suatu istilah baru, yaitu “mengkorintus-kan”. Kata kerja mengkorintuskan diri
mempunyai hubungan dengan keterlibatan dalam kegiatan bisnis seks, baik menjual
maupun membelinya.25
2.2.2. Keberadaan Masyarakat Korintus
Penduduk di kota Korintus pada jaman Perjanjian baru cukup padat yaitu
sekitar 600.000 jiwa. Mereka mempunyai watak yang sangat dinamis dan terbuka
terhadap berbagai macam pengaruh asing karena mereka tidak mempunyai pegangan
asli atau tradisional. Sehingga tidak mengherankan jika di kota ini berbagai macam
agama dan aliran tersebar dengan mudah dan cepat. Agama-agama yang berasal dari
Roma dan Yunani, begitu juga dari Mesir ada di kota Korintus.
Mayarakat Korintus mengenal adanya perbedaan kelas. Mereka sangat
terobsesi oleh tingkat sosial dan status sosial yang ditandai oleh sistem hierarki yang
tajam dan perbedaan status yang jelas antara kelompok minoritas, yaitu kaum elite dan
kelompok mayoritas, yaitu orang banyak.26 Posisi tertinggi dalam puncak piramida
23
Groenen, Pengantar ke dalam, 228.
24
Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, 11-12.
25
Yusak B. Setyawan, Introduction to the New Testament (Salatiga: Fakultas Teologi-UKSW, 2010), 64.
26
12
sosial adalah milik kaisar dan keluarganya. Tingkat di bawah kaisar adalah tiga kelas
aristokrat yang terdiri dari kaum terhormat Romawi, yaitu para senator, para
equestrian atau ahli penunggang kereta kuda dan orang-orang kaya lokal. Di bagian paling bawah dalam piramida sosial ini adalah mayoritas penduduk seperti para
pemilik toko, para pengrajin, orang-orang yang sudah dimerdekakan dari status
mereka sebagai budak, orang-orang asing dan para budak.
Hierarki sosial ini ditekankan dan dinyatakan dalam kehidupan politik,
keagamaan dan juga dalam kegiatan-kegiatan publik. Kelompok elite selalu
memastikan bahwa tingkat sosial yang tajam tetap terpelihara dan dilaksanakan.
Mereka akan memperlihatkan dengan jelas tingkatan sosial ini dengan berbagai cara
dalam hidup sehari-hari, seperti melakukan pelayanan umum dalam masyarakat dan
bersedekah kepada orang miskin demi mendapatkan balasan. Pola hubungan sosial
seperti ini dilembagakan dalam pranata clientela.27 Unsur terpenting yang mengatur
pola hubungan sosial ini adalah sifat timbal-balik antara seorang pelindung (pihak
yang lebih tinggi secara hierarki) dengan pihak klien-klien (pihak yang lebih rendah).
Sebagai balasan atau timbal balik atas bantuan dari pelindung, klien akan memberikan
berbagai macam pelayanan yang dibutuhkan oleh pelindung, seperti dukungan politik,
kesetiaan dan kehormatan. Tidak jarang juga seorang pelindung akan mengadakan
jamuan makan umum dan mengundang sejumlah bawahan serta sesama warganya.
Dari keadaan sosial ini dapat dilihat bahwa masyarakat di Korintus menggambarkan
sebuah susunan masyarakat yang vertikal karena semua lapisan masyarakat, baik dari
kelas atas maupun kelas bawah saling berhubungan dan saling membutuhkan satu
sama lain walaupun ada maksud tersendiri di dalamnya.
27
13
2.2.3 Jemaat di Korintus
Paulus mendirikan jemaat di Korintus pada perjalanan misinya yang kedua
ketika tinggal selama 18 bulan di Korintus (Kisah Para Rasul 18:1-17). Jemaat
Korintus adalah jemaat yang besar dan melimpah dengan karunia Roh. Ada beberapa
orang Yahudi yang menjadi anggota (Kisah Para rasul 18:7, 8), namun sebagian besar
anggotanya terdiri dari orang Kristen non-Yahudi dan orang-orang yang sifatnya
bekas kafir serta mencakup banyak orang yang sudah dibebaskan dari kedudukan
sebagai sampah masyarakat (I Korintus 6:9-11).28 Orang Kristen non-Yahudi yang
dimaksud adalah sebagian besar orang-orang Yunani. Selain orang Yahudi dan
Yunani, jemaat Korintus nampaknya juga beranggotakan orang Roma dan Mesir.
Pembangunan kembali kota Korintus oleh Julius Caesar memungkinkan banyak orang
Roma yang datang ke Korintus dan menjadi jemaat korintus saat itu.
Kenyataan kota Korintus yang dipenuhi dengan berbagai penyimpangan tentu
membawa dampak buruk kepada jemaat. Sebagai kesatuan jemaat, mereka tidak dapat
menghindari kenyataan bahwa mereka tetap harus berada di tengah-tengah masyarakat
Korintus yang tidak bermoral serta memiliki banyak aliran kepercayaan. Keadaan ini
menjadi permasalahan tersendiri bagi jemaat dalam interaksinya dengan masyarakat
luas. Hal-hal yang berkaitan dengan relasi antara iman mereka sebagai orang Kristen
dan praktek-praktek kehidupan penyembahan kepada dewa dewi, pelacuran, perzinaan
dan penyimpangan moral lainnya yang masih dilakukan oleh masyarakat selalu hadir
berdampingan dan terus menghantui jemaat.
Beberapa permasalahan itu seperti persoalan makan daging yang sebelumnya
telah dipersembahkan kepada berhala ketika mereka mendapat undangan makan dari
teman atau keluarga mereka yang tidak percaya, persoalan mengenai seks bebas yang
28
14
masih dilakukan oleh sebagian jemaat, juga masalah perkawinan dimana mereka
masih terus melakukan perzinaan dan hubungan seksual dengan pelacur atau hamba
walaupun mereka telah terikat dalam sebuah perkawinan. Bagi mereka laki-laki yang
telah memiliki ikatan perkawinan, pelacur dianggap untuk sebuah kesenangan, budak
untuk perawatan sehari-hari dan istri untuk memperoleh keturunan yang sah dan
sebagai penjaga yang setia dalam hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga.29
3. Studi Hermeneutik Surat II Korintus 6:11-7:1
Dalam bagian ini, penulis akan mengemukakan hasil studi hermeneutik terhadap
II Korintus 6:11-7:1 dengan mengacu kepada konteks sosio historis ketika teks ini
ditulis. Hasil studi hermeneutik memberikan tiga pemahaman mengenai makna
Pasangan yang Tidak Seimbang menurut Paulus.
3.1 Konsep Keterpisahan dalam Komunitas Kristen
Dalam banyak tafsiran dan juga pemahaman orang awam, teks II Korintus
6:11-7:1 dipakai untuk melegitimasi larangan perkawinan beda agama. Namun dalam
penafsiran yang penulis lakukan, teks ini ternyata tidak berbicara mengenai
perkawinan beda agama melainkan mengenai kehidupan komunitas Kristen di
Korintus dalam kaitannya dengan relasi-relasi sosial masyarakat.
Konsep mengenai keterpisahan ini adalah suatu konsep yang harus
diaplikasikan dalam kehidupan jemaat di Korintus. Kata terpisah mempunyai arti
ganda, yaitu terpisah dari yang jahat dan mengabdi kepada pelayanan Allah.30
Keterpisahan dari yang jahat ditunjukan melalui cara hidup yang berbeda, yaitu
memisahkan diri secara moral dan rohani dari dosa kekafiran dan dari segala sesuatu
29
Henk Ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 140.
30
15
yang bertentangan dengan Firman Allah. Sementara pengabdian kepada Allah
ditunjukan melalui penolakan terhadap semua campur tangan berhala, dalam
bentuknya yang kuno maupun modern, karena berhala berarti memberikan kesetiaan
yang terutama kepada manusia atau kekuasaan atau barang dan bukan kepada Allah.
Namun keterpisahan yang dimaksud oleh Paulus bukanlah keterpisahan dari dunia,
seperti mengisolasi diri dari dunia sekitar. Paulus menyadari bahwa keterpisahan dari
duniawi itu tidaklah mungkin, karena itu berarti bahwa kita harus meninggalkan dunia
ini (I Korintus 5:10).31 Konsep mengenai keterpisahan ini akan diperjelas dalam ayat
14-17.
Pertama, kata ο γοῦ dalam kalimat Μ γ ο γοῦ
ἀπ ο · (14a)merupakan kata Yunani untuk frasa “pasangan yang tidak seimbang”,
yang berasal dari kata dasar ο γ ω dan sesungguhnya berarti “bersatu kuk
dengan orang/pihak yang jenisnya berbeda”.32 Dalam Perjanjian Lama bahasa Yunani
(Septuaginta), kata ο γ ω digunakan untuk melarang pengawinan ternak dengan
jenis ternak yang berbeda (Imamat 19:19).33 Dari penggunaan kata ini, muncullah
penafsiran yang mungkin merupakan pengertian paling umum, yaitu Paulus
memberikan peringatan kepada orang percaya untuk tidak kawin dengan mereka yang
tidak percaya. Selain itu, penggunaan kata “pasangan” dalam terjemahan Lembaga
Alkitab Indonesia (LAI) juga membuat kebanyakan orang menjadi salah mengerti
maksud Paulus karena kata ini kemudian ditafsirkan sebagai pasangan hidup
(perkawinan). Pfitzner mengatakan bahwa penafsiran seperti ini adalah penafsiran
31
Herman Riderboss, Paulus: Pemikiran Utama Teologinya (Surabaya: Penerbit Momentum, 2010), 320.
32
Berkasus verb participle present aktif. Bentuk ini berbicara tentang suatu pekerjaan/perbuatan yang sedang dilakukan atau yang dilakukan berulang-ulang dalam waktu sekarang. Berdasarkan hal ini dapat diketahui bahwa kehidupan jemaat di Korintus masih mengecewakan Paulus. Walaupun telah bertobat, namun mereka tetap hidup seperti kehidupan lama mereka yang kurang berkenan bagi Paulus sehingga Paulus mengeluarkan perintah larangan ini.
33
16
yang sempit.34 Teks ini memang tidak menyatakan dalam hal apa saja orang-orang
percaya tidak boleh bersatu kuk bersama orang-orang yang tidak percaya, namun
penulis setuju dengan apa yang dikatakan Pfitzner karena melihat konteksnya, Paulus
tidak sedang membicarakan mengenai perkawinan, walaupun itu termasuk dalam
pernyataan yang lebih luas. Pengajaran secara khusus mengenai perkawinan sudah
Paulus tulisan dalam suratnya yang terdahulu (I Korintus 7).
Secara harafiah kuk adalah kerangka kayu yang menghubungkan dua ekor
binatang yang sejenis, agar mereka bersama-sama dapat menarik kereta atau bajak.
Kuk tidak dirancang untuk dua jenis binatang yang berbeda karena tidak akan serasi
dalam melakukan pekerjaan, seperti yang tertulis dalam Kitab Ulangan 22:10: “Janganlah engkau membajak dengan lembu dan keledai bersama-sama”.35 Di dalam
hukum Taurat, lembu adalah binatang yang bersih (halal), sedangkan keledai adalah
binatang yang tidak bersih (haram). Binatang-binatang yang bersih secara rohani
menunjuk kepada orang-orang percaya yang sudah diselamatkan melalui darah
Kristus. Sedangkan binatang-binatang yang tidak bersih menunjuk kepada
orang-orang tidak percaya. Larangan mengenai berbagai macam kombinasi yang tidak
seimbang dalam Imamat 19:19 dan juga Ulangan 22:10 yang dipakai sebagai dasar ucapannya “menjadi pasangan yang tidak seimbang” digunakan oleh ἢaulus sebagai
sebuah kiasan yang menunjukan ketidaksesuaian.36 Gagasannya adalah bahwa ada
hal-hal tertentu yang bertentangan dan tidak pernah dimaksudkan untuk disatukan dan
implikasi dari semua ini adalah orang percaya harus memisahkan diri dari segala
34
V.C. Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan: Tafsiran atas Surat 2 Korintus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), 102.
35
Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, 387.
36
17
bentuk hubungan yang salah.37 Bukan keterpisahan dari dunia, seperti mengasingkan
diri dan tidak berinteraksi dengan orang lain yang dimaksudkan Paulus, melainkan
jangan menjadi satu hati dengan mereka yang tidak percaya, jangan berkompromi
dengan nilai-nilai mereka dan terbujuk oleh komitmen mereka terhadap berbagai allah
dan tuhan. Jadi “janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan
orang-orang yang tak percaya” bukanlah larangan yang Paulus tujukan secara khusus
pada masalah perkawinan saja, namun Paulus tujukan kepada semua hubungan yang
dapat terjalin antara jemaat dan masyarakat Korintus, seperti persahabatan, keluarga,
dan juga pekerjaan.38
Kedua, larangan Paulus tersebut diatas diikuti oleh rangkaian pertanyaan retoris bertentangan yang semakin mendefinisikan hakikat ketidaksesuaian antara
orang-orang percaya dan orang-orang yang tidak percaya, “ γ ο α ο ύ ῃ
α ἀ ο ᾳ, ο ω α ω π ο ν (14b) ώ Χ οῦπ
Β , π ἀπ ο ν(15) γ α α οῦ
ἰ ώ ω ν(1θa)”. Paulus menggunakan lima kata kunci yang merupakan sinonim kata
untuk menggambarkan ketidaksesuaian ini. Dalam teks aslinya digunakan kata
ο , ο ω α, ώ , dan γ α , yang mana kelima kata ini
mempunyai makna dasar yang sama, yaitu persekutuan. Terjemahan LAI tidak
menggunakan kata persekutuan, ο ω α diterjemahkan dengan bersatu. Baik
terjemahan bersatu ataupun persekutuan, kata ο ω α mengungkapkan suatu
kebersamaan, sharing, yang dapat mempunyai beraneka objek. Kata ini memang
selalu menyangkut objek yang dimiliki bersama dan jika menyangkut manusia, kata
37
Victoria A. Wheeler, A Plea For Holy Fellowship 2 Corinthians 6:14-7:1, Ashland Theological Journal Vol 31 (1999), 27
38
18
ini dapat berarti “tersangkut atau terlibat” dalam penyembahan berhala yang ada di
Korintus.39
Rangkaian pertanyaan yang bersifat retoris ini Paulus maksudkan agar jemaat
di Korintus semakin mengerti dan sadar bahwa ada perbedaan yang jelas antara orang
percaya dengan orang yang tidak percaya. Ada ketidaksesuaian mendasar yang harus
diketahui oleh jemaat di Korintus dan implikasinya atas kehidupan dalam lingkungan
ketidakpercayaan, yaitu untuk tidak ambil bagian dalam kegiatan para penyembah
berhala dan tidak membentuk persekutuan dengan mereka yang dapat membahayakan
iman percaya akan Kristus. Hubungan apapun dengan orang-orang yang tidak percaya
yang dapat mengancam eklusivisme konfesi Kristen dan kesucian kehidupan Kristen
harus dijauhi.40 Karena Iman tidak dapat dicampuradukan dengan ketidakpercayaan
dan kesucian tidak dapat bersahabat dengan ketidaksucian.
Ketiga, kata “keluarlah”, “pisahkanlah” dan “janganlah menjamah apa yang
najis” dalam ayat 1ι kemungkinan besar merupakan singgungan terhadap Perjanjian
Lama (Yesaya 52:11). Dalam berbagai suratnya yang ia sampaikan kepada jemaat
mula-mula, Paulus memang sangat terpengaruh terhadap tulisan-tulisan Perjanjian
Lama.41 Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang Yahudinya dan juga pendidikannya
selaku orang Farisi, sehingga tidak mengherankan jika Paulus sangat memahami
Perjanjian Lama dan menggunakannya dalam tulisannya.42 Selain itu ada
kemungkinan sebagian dari jemaat Korintus juga mengenal teks-teks Perjanjian Lama,
sehingga dengan memakai kutipan-kutipan dari teks-teks Perjanjian Lama Paulus
mengharapkan agar jemaat lebih memahami ajaran-ajaran yang ia sampaikan.
39
Shilington, 2 Corinthians, 157.
40
Pftziner, Kekuatan dalam Kelemahan, 103.
41
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 172.
42
19
Dalam konteks Perjanjian Lama, bangsa Israel dipanggil keluar dari Kota
Babel, tempat mereka hidup sebagai tawanan. Dalam konteks Perjanjian Baru, kutipan
ini diterapkan kepada kepada jemaat di Korintus bahwa mereka harus memisahkan
diri mereka dan tidak lagi berpartisipasi dari kebiasaan yang tidak benar dan dari
pengaruh orang-orang yang tidak percaya. Barclay mengatakan bahwa memang ada
hal-hal di dunia ini yang orang percaya tidak boleh dan tidak seharusnya melekatkan
diri dengan mereka yang tidak percaya.43
3.2 Identitas Diri sebagai Fondasi Pertumbuhan Rohani dalam Komunitas
Kristen
Sebagaimana dalam bagian 3.1, teks ini juga semakin meyakinkan bahwa
larangan Paulus tidak berkaitan dengan perkawinan beda agama. Melainkan teks ini
juga berkaitan dengan pertumbuhan identitas diri sebagai fondasi pertumbuhan rohani
bagi komunitas Kristen.
Paulus mempunyai pandangan bahwa perkembangan rohani dimulai dengan
kejelasan akan identitas diri.44 Jemaat di Korintus yang datang dari berbagai latar
belakang sosio-ekonomi dan agama masih bergumul untuk hidup sesuai dengan
identitas diri mereka yang baru di dalam Kristus. Disatu sisi mereka telah bertobat dan
mengikut Kristus, tapi disisi lain, mereka juga masih mengikuti berbagai macam
praktek penyembahan kepada ilah-ilah lain dan memiliki berbagai macam hubungan
yang salah dengan mereka yang tidak percaya.45 Paulus mengatakan ῖ γ α
οῦ ο (16b), yang diterjemahkan dengan “karena kita adalah bait dari
τllah yang hidup”. Kata yang dipakai untuk menerangkan bait (temple) adalah α ,
43
William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, 388.
44
Debora, Kesatuan dalam Keberagaman, 81.
45
20
yang mana kata ini menunjuk kepada ruang maha kudus dimana Allah bertahta.46
Persekutuan orang percaya di Korintus adalah tempat dimana Allah hadir dan bekerja,
hal ini menyatakan dengan jelas bahwa mereka adalah milik Allah. Paulus
mengingatkan jemaat di Korintus untuk menyadari identitas mereka sebagai bait Allah
dan hidup berdasarkan identitas tersebut.
Dalam 2 Korintus 6:1, Paulus mengatakan kepada jemaat di Korintus jangan
membuat sia-sia karunia yang telah mereka terima. Paulus menyebut jemaat Korintus
adalah jemaat yang tidak kekurangan dalam suatu karunia apapun. Namun berbagai
macam dosa justru ada di dalam jemaat ini dan membuat Paulus kecewa. Kuatnya
pengaruh agama serta kebiasaan yang berasal dari agama jemaat Korintus sebelum
mereka menjadi percaya dan mengikut Kristus menjadi salah satu penyebab adanya
berbagai permasalahan ini. Hal tersebut sudah mendarah daging dan tidak dapat
dihilangkan dengan mudah sehingga mengakibatkan tidak adanya kesamaan dalam
pendapat maupun praktek kehidupan Kristiani para jemaat. Manfred mengatakan
bahwa jemaat Korintus berada dalam bahaya menghancurkan diri sendiri.47
Seharusnya mereka menjadi teladan di tengah-tengah kehancuran masyarakat
Korintus dan menjadi utusan-utusan Allah dalam pelayanan perdamaian. Tapi itu
semua terhambat karena masalah-masalah internal yang ada jemaat itu sendiri.
Pertama, jemaat Korintus membatasi kasih sayang mereka terhadap Paulus
padahal Paulus sangat mengasihi jemaat ini. “Τ α ἀ ῳγ π ᾶ ,
Κο ο , α α π π α (11)” diterjemahkan dengan “Hai orang
Korintus! Kami telah berbicara terus terang kepada kamu, hati kami terbuka
lebar-lebar bagi kamu.” Dalam terjemahan asli, dipakai kata α yang berarti mulut dan
21
diikuti dengan kata kerja ἀ ῳγ yang berarti “melebar, membuka lebar, terbuka”.48
Hal yang sama juga berlaku bagi kata α α49 yang diikuti dengan kata kerja
π π α yang diterjemahkan dengan “terbuka lebar-lebar”. Shilington
berpendapat bahwa mulut dan hati yang terbuka adalah simbol komunikasi penuh dan
Paulus ingin agar mereka berlaku demikian.50 Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Paulus mengatakan “ο ο ω ῖ ῖ , ο ω ῖ οῖ π γ ο
·(12)”. Kata tempat yang sempit merupakan terjemahan dari ο ω ῖ yang
sesungguhnya berarti “menghalangi, mengekang, membatasi”. Kata ini melukiskan
betapa tertutup rapat sikap jemaat Korintus kepada Paulus. Bagaimana mungkin
jemaat di Korintus dapat menjadi utusan-utusan Allah dalam pelayanan perdamaian
jika mereka bersikap tertutup dan membatasi diri mereka? Untuk itu Paulus meminta
mereka melakukan hal yang sama seperti yang telah Paulus lakukan. Sebagaimana
kontroversialnya mereka, Paulus sungguh-sungguh ingin mereka juga membalas kasih
sayang Paulus dengan cara berbicara kepada mereka seperti seorang ayah berbicara
kepada anak-anaknya.
Kedua, yang menghambat mereka untuk menjadi utusan-utusan Allah dalam
pelayanan perdamaian ialah ucapan ἢaulus “Μ γ ο γοῦ ἀπ ο ·
(14a)”51. Orang-orang percaya harus menjaga diri mereka tidak tercemar dengan
terlibat dalam hubungan yang salah dengan mereka yang tidak percaya.
sesungguhnya berarti jantung, rahim. Namun Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menerjemahkannya dengan hati. Jantung dan hati adalah dua organ yang berbeda. Guthrie mengatakan bahwa yang dimaksud Paulus dengan α α adalah hati sanubari. Paulus sangat terpengaruh dengan tulisan Perjanjian Lama (PL) dan dalam PL, bagian-bagian tubuh tertentu sering digunakan sebagai ungkapan untuk menyatakan perasaan. α α dianggap merupakan tempat tumpuan perasaan.
50
Shilington, 2 Corinthians, 149.
51
22
Berbagai permasalahan yang ada dalam tubuh jemaat memperlihatkan
ketidakdewasaan dan kegagalan mereka dalam membuat kemajuan perjalanan
rohaninya, dan ini juga memperlihatkan bahwa mereka belum menyadari sepenuhnya
tentang identitas diri mereka sebagai ciptaan yang baru di dalam Kristus. Karena
ketika mereka telah menyadari identitas baru mereka yang adalah milik Allah, maka
mereka akan hidup sesuai dengan apa yang Allah kehendaki, tidak akan ada
perselisihan dan berbagai permasalahan lagi di dalam jemaat itu sendiri. Pertumbuhan
iman mereka, baik sebagai individu maupun sebagai sebuah persekutuan hanya akan
terjadi apabila mereka menjadikan Allah sebagai sumber pertumbuhan mereka.52
3.3 Proses Menuju Kesucian dalam Komunitas Kristen
Dua hasil penafsiran yang sudah penulis kemukakan dalam bagian 3.1 dan 3.2
menyatakan dengan jelas bahwa teks II Korintus 6:11-7:1 yang selama ini digunakan
sebagai teks untuk melegitimasi pelarangan perkawinan beda agama bukanlah teks
mengenai perkawinan beda agama. Teks ini berbicara tentang bagaimana seharusnya
komunitas Kristen di Korintus menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat yang
belum mengenal Kristus, karena komunitas Kristen berada dalam proses menuju
kesucian, baik secara jasmani maupun rohani.
Setelah jemaat Korintus menyadari bahwa diri mereka adalah Bait Allah yang
hidup dan tidak boleh dicemari dengan berbagai noda kekafiran, mereka memiliki
janji-janji Allah yang luar biasa, Aku akan diam bersama-sama dengan mereka (ayat
16), Aku akan menerima kamu (ayat 17) dan Aku akan menjadi Bapamu (ayat 18).53
Sehingga tidak ada jalan lain selain memisahkan diri dari segala bentuk kecemaran
dan juga menyucikan diri dari semua pencemaran. Menyucikan diri merupakan
52
Debora, Kesatuan dalam Keragaman, 79.
53
23
terjemahan dari kata α α ω yang berasal dari kata kerja α α ω dan berarti
pembersihan, atau pentahiran.54 Pfitzner mengatakan bahwa tindakan menyucikan diri
tidaklah mungkin usaha untuk menjauhkan diri jemaat dari kesalahan dosa. Tindakan
yang menentukan telah terjadi melalui darah Kristus dengan pembasuhan air dan
firman Allah di dalam baptisan. Yang dimaksud Paulus disini adalah usaha
melepaskan diri dari segala sesuatu yang dapat menghapuskan karunia penyucian
itu.55
Sebagai bait Allah yang kudus, jemaat harus tetap menjaga kekudusan tersebut
dan menyempurnakannya di dalam hidup yang selalu takut akan Allah.
Menyempurnakan kekudusan, menekankan kenyataan bahwa proses ini
berkesinambungan.56 Untuk dapat menyempurnakan kekudusan, jemaat di Korintus
dituntut untuk selalu mengarahkan hidupnya kepada Kristus. Mereka dituntut untuk
memisahkan diri dari hal-hal duniawi yang dapat mengganggu kekudusan mereka.
Kekudusan bukanlah suatu hal yang sekali terjadi dan kemudian selesai, namun
kekudusan harus terus dipertahankan bahkan disempurnakan dengan menjalani
kehidupan yang selalu takut akan Allah.57
4. Relevansi Makna Pasangan yang Tidak Seimbang berdasarkan II
Korintus 6:11-7:1 Bagi Masyarakat Indonesia dalam Kaitannya dengan
Larangan Praktek Perkawinan Beda Agama
Teks II Korintus 6:11-7:1 bukanlah teks yang bebicara mengenai perkawinan
beda agama, tetapi berbicara mengenai bagaimana seharusnya komunitas Kristen
54
Kata ini berbentuk aorist tense yang menjadikan tindakan ini mutlak menentukan dan final.
55
Pfitzner, Kekuatan dalam Kelemahan, 102.
56
Kata π ω yang diterjemahkan dengan “menyempurnakan, menyelesaikan, melaksanakan” memiliki bentuk present tense yang menunjukan kepada sesuatu yang sedang dilakukan atau tindakan yang belum selesai dan masih berproses.
57
24
Korintus bersikap dalam relasinya dengan masyarakat yang lebih luas. Dalam teks ini
juga terlihat bahwa Paulus sangat menjaga dimensi pertumbuhan rohani komunitas
Kristen itu sendiri. Pertama, keterpisahan yang menjadi hal utama yang harus
dilakukan komunitas Kristen dalam membangun relasinya bersama masyarakat luas.
Kedua, identitas diri harus disadari oleh komunitas Kristen bahwa mereka adalah
milik Allah. Ketiga, kesucian yang merupakan puncak dari dimensi pertumbuhan
rohani harus dicapai dan selalu disempurnakan dalam kehidupan bersama Kristus.
Sehingga dalam menjalin relasinya dengan masyarakat yang lebih luas, Paulus
menyarankan agar komunitas Kristen selalu berhati-hati.
Teks ini juga tidak bisa lagi dijadikan justifikasi larangan perkawinan beda
agama. Menurut penulis, perkawinan beda agama tidak seharusnya dijadikan sebuah
masalah. Sebelum sampai pada keputusan untuk membawa hubungan kearah
perkawinan, dua orang yang berlainan jenis akan merasakan perasaan kasih yang
dinamakan cinta. Cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang bersifat subtil dan
menembus batas. Dikatakan demikian karena tak seorangpun mampu memahami
mengapa, bagaimana, kapan dan dengan siapa cinta itu datang, sehingga semua
tembok pemisah antar manusia seperti ras, budaya, adat, suku, dan agama tidak dapat
menghentikan cinta kasih tersebut. Perkawinan beda agama sering terjadi di Indonesia
sebagai akibat dari masyarakatnya yang majemuk. Untuk itu tidak seharusnya
perkawinan beda agama dihalang-halangi. Kedua belah pihak pasti telah memikirkan
dengan matang konsekuensi apa saja yang akan dihadapi ketika mereka tetap
memutuskan untuk hidup bersama dalam ikatan perkawinan dan bukan berarti juga
kehidupan perkawinan atara dua orang yang berbeda keyakinan akan selalu
25
Perkawinan dengan pasangan yang tidak seiman justru membantu manusia
untuk tidak bersikap egois dan tentunya dapat lebih menghargai setiap perbedaan yang
ada. Dengan demikian maka damai sejahtera akan selalu terwujud di dalam kehidupan
rumah tangga yang berbeda keyakinan. Damai sejahtera adalah keadaan hidup yang
tinggi di dalam diri sendiri maupun relasi antara manusia. Dengan hidup dalam damai
sejahtera dalam ikatan perkawinan maka akan menciptakan kekudusan dalam
kehidupan perkawinan tersebut. Kekudusan disini berarti proses yang membawa
hubungan tersebut didedikasikan untuk Allah. Bagi Rasul Paulus, dalam perkawinan
beda agama, permasalahannya bukan terletak pada ketidakpercayaan suatu pihak,
melainkan iman dari pihak yang percaya mendukung secara utuh untuk penerimaan
secara keseluruhan. Pihak yang tidak percaya akan dikuduskan oleh pihak yang
percaya dan anak-anak mereka akan menjadi anak-anak kudus (I Korintus 7:14).
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Larangan Paulus untuk tidak menjadi pasangan yang tidak seimbang dengan
orang-orang yang tidak percaya dalam II Korintus 6:11-7:1 ditujukan kepada jemaat di
Korintus agar jemaat di Korintus berhati-hati dalam berbagai keterlibatan dan
relasinya dengan masyarakat Korintus yang penuh dengan berbagai macam
pelanggaran dan dosa amoral. Hal ini dikarenakan jemaat Korintus telah menjadi
ciptaan baru, mereka adalah Bait Allah yang hidup dan Bait Allah bersifat kudus.
Demi menjaga dan menyempurnakan kekudusan hidup, mereka perlu memisahkan diri
dari hal-hal duniawi yang dapat membuat kekudusan mereka menjadi tercemar. Paulus
tidak sedang membicarakan mengenai perkawinan secara khusus dalam teks ini,
26
Korintus, seperti dalam pekerjaaan, persahabatan, keluarga, perkawinan dan lain
sebagainya.
Mengenai perkawinan beda agama yang terjadi di Indonesia, dimana umat
Kristen dan orang awam memakai teks ini sebagai landasan untuk melegitimasi
larangan melakukan perkawinan beda agama adalah salah dan perlu dikaji ulang.
Diperlukan peran gereja sebagai salah satu lembaga yang mengesahkan perkawinan
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan untuk melakukan pendampingan pastoral
bagi jemaatnya yang ingin melangsungkan perkawinan dengan seseorang yang
berbeda keyakinan. Gereja harus menaruh perhatian yang lebih terhadap peristiwa
yang akan terus terjadi ini, sebagai salah satu akibat dari kemajemukan masyarakat
Indonesia. Kenyataan yang terjadi selama ini adalah gereja hanya disibukan dengan
kebijakan yang bersifat memihak secara intern. Gereja perlu memiliki kebijakan yang
bersifat kontekstual dan tidak mengikat dalam menghadapi permasalahan perkawinan
beda agama.
Dalam hukum perkawinan di Indonesia, pemerintah juga perlu mengkaji ulang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, karena di dalam
undang-undang tersebut belum terdapat peraturan yang secara tegas dan jelas mengatur
tentang perkawinan beda agama. Pemerintah sudah sepatutnya menetapkan hukum
yang berlaku bagi perkawinan orang-orang yang berlainan agama dengan tidak
melebihkan satu agama atas agama lainnya demi terciptanya tatanan sosial yang lebih
baik. Asas kesamaan di muka hukum untuk semua warga negara dari semua agama
perlu diperhatikan. Dengan demikian maka tidak perlu lagi masyarakat Indonesia
melangsungkan perkawinan di luar negeri atau berpindah agama agar perkawinan
27
DAFTAR PUSTAKA
Asmin. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan
No. 1/1974. Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986.
Barclay, William. Letters to Corinthians. Edinburgh: The Saint Andrew Press, 1975.
______________. Duta Bagi Kristus. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Best, Ernest. Second Corinthians (Interpretation A Bible Commentary for Teaching
and Preaching). Louisville: John Knox Press, 1987.
Brauch, Manfred T. Ucapan Paulus yang Sulit. Malang: Literatur SAAT, 1986.
Brieringer, Reimund. Theologizing in the Corinthian Conflict: Studies in the Exegesis
and Theology of 2 Corinthians. Leuven: Peeters, 2013.
Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Korintus. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1986.
Bruce, F.F. Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Go, Piet dan Suharto. Kawin Campur Beda Agama dan Beda Gereja. Malang:
Penerbit Diomamedia, 1991.
Guthrie, Donald, dkk. Tafsiran Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2010.
Guthrie, Donald. Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, Manusia, Kristus. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2003.
_____________. Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristus, Roh Kudus, Kehidupan
Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
OFM, Groenen. Perkawinan Sakramental. Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Kruse, Colin. The Second Epistle of Paul to the Corinthians, England: Inter-Varsity
Press, 1991.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Edisi Studi. Jakarta: Percetakan Lembaga Alkitab
Indonesia, 2011.
Jacobs, Tom SJ. Koinonia dalam Eklesiologi Paulus. Malang: Penerbit Dioma, 2003.
Keener, Craig S. 1-2 Corinthians. New york: Cambridge University Press, 2005.
Locke, John. A Parapharase and Notes of the Epistles of St Paul Volume 1. New
York: Oxford University Press, 1978.
Malik, Debora K. Kesatuan dalam Keragaman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997.
28
Mohamad, Monib, dan Ahmad Nurcholish. Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Napel, Henk Ten. Jalan Yang Lebih Utama Lagi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Nurcholish, Ahmad, dan Ahmad Baso. Pernikahan Beda Agama. Jakarta: Komisi Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM), 2005.
Omanson, Roger L, and John Ellington. Surat Paulus yang Kedua kepada Jemaat di
Korintus. Jakarta: Percetakan LAI, 2013.
Pfitzner, V.C. Kekuatan & Kelemahan: Tafsiran Atas Surat II Korintus. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2007.
Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: PT Bina Aksara, 1987.
Ridderbos, Herman. Paulus: Pemikiran Utama Theologinya. Surabaya: Penerbit
Momentum, 2010.
Setyawan, Yusak B. Critical Approaches in New Testament Hermeneutics. Salatiga:
Fakultas Teologi UKSW, 2010.
________________. Introduction to the New Testament. Salatiga: Fakultas Teologi
UKSW, 2010.
Shillington, V.G. 2 Corinthians. Ontario: Herald Press, 1998.
Stam, Cornelius R. Commentary on the Second Epistle of Paul to the Corinthians.
Chicago: Berean Literature Foundation, 1992.
Stambugh, John & David Balch. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997.
Syahrani, Riduan dan Abdurrahman. Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia.
Bandung: Penerbit Alumni, 1978.
Tandiassa. Teologia Paulus. Yogyakarta: Moriel Publishing House, 2008.
Tenney, Merrill C. Survei Perjanjian Baru. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1993.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Trisna, Jonathan A. Pernikahan Kristen: Suatu Usaha dalam Kristus. Bandung:
Penerbit Kalam Hidup Pusat, 1987.
Utley, Bob. Surat-surat Paulus kepada sebuah Gereja yang Bermasalah: I & II
29
Wahono, S. Wismoadi. Disini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.
Wenham, J.W. Bahasa Yunani Koine (The Elements of New Testament Greek),
Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1987.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
Jurnal
Wheeler,Victoria A. A Plea For Holy Fellowship 2 Corinthians 6:14-7:1, Ashland
Theological Journal Vol 31 (1999)
Kamus
Bibleworks 8
Browning, W.R.F. Kamus Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.
Newman Jr, Barclay M. Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru. Jakarta: