• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses termal yang paling sederhana telah diterapkan sejak zaman purbakala, yaitu pada saat api mulai digunakan orang untuk membakar hasil buruan mereka. Tanpa dapat dijelaskan secara ilmiah pada saat itu, hewan yang telah dibakar menjadi lebih mudah dikunyah dan lebih lezat dimakan. Dengan bantuan panas dari api ini pula daging yang telah terbakar menjadi lebih awet dan dapat disimpan untuk beberapa saat.

Sejarah aplikasi proses termal untuk pengawetan pangan sesungguhnya baru dimulai pada saat Nicholas Appert dari Perancis memasukan bahan pangan kedalam botol gelas, kemudian menutup dan memanaskannya didalam air mendidih. Ternyata bahan pangan yang diperlakukan seperti ini tidak busuk, dan Appert kemudian mengumumkan penemuannya ini pada tahun 1810. Meskipun dia percaya bahwa kombinasi panas dengan pembuangan udara telah mencegah bahan pangan menjadi rusak, Appert tetap tidak dapat menjelaskan mengapa metodenya ini berhasil. Baru 50 tahun kemudian, Louis Pasteur menunjukkan bahwa mikroba tertentu bertanggung jawab terhadap proses fermentasi dan kebusukan. Dengan penemuan Pasteur ini kemudian keberhasilan metode Appert dapat dijelaskan (Kusnandar et al., 2006).

Pada tahap awal komersialisasi metode Appert dalam bentuk proses pengalengan pangan, masih banyak terjadi masalah kebusukan kaleng yang

tidak dapat dipecahkan. Penemuan yang dianggap sangat berharga untuk memecahkan masalah ini adalah hasil riset yang dilakukan di Massachusetts Institute of Technology tahun 1895 yang menyimpulkan bahwa ketidak cukupan panas untuk memusnahkan mikroba adalah penyebabnya (Fardiaz, 1996). Kecukupan panas selanjutnya diartikan sebagai kombinasi penggunaan suhu (T) dan waktu (t) yang sesuai untuk memusnahkan mikroba (Kusnandar et al., 2006).

Kecukupan panas dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan panas pada suhu yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat, atau sebaliknya. Sejak saat itu dan selanjutnya percobaan dan perhitungan kecukupan panas dijadikan dasar dalam penetapan proses pengalengan pangan (schedule process) (Kusnandar et al., 2006).

Dua cara umum untuk melawan mikroba penyebab kebusukan atau mikroba patogen penyebab penyakit karena makanan (foodborne diseases) adalah (1) menghambat atau mencegah pertumbuhannya, dan (2) memusnahkannya (Fardiaz, 1996). Menghambat atau mencegah pertumbuhan mikroba dapat dilakukan dengan membuat suasana lingkungan sedemikian rupa sehingga mikroba dalam keadaan terganggu dan stres serta tidak mampu untuk memperbanyak dirinya. Cara-cara konvensional seperti pendinginan atau pembekuan, penurunan aktivitas air (aw) melalui pengeringan atau penggaraman, pengasaman, dan penggunaan bahan pengawet sampai saat ini masih merupakan cara-cara penting yang terus dipraktekkan. Meskipun demikian cara-cara yang lebih maju sudah diperkenalkan seperti penggunaan CO2 dalam kemasan dengan atmosfir termodifikasi (carbon dioxide enriched modified atmosphere packaging), penambahan produk-produk kultur mikroba seperti asam organik dan bakteriosin, dan hurdle technology yaitu pengunaan cara kombinasi yang memberikan derajat pengawetan yang dibutuhkan tanpa menggunakan satu cara yang ekstrim (Leistner, 1995). Cara-cara pengawetan ini sifatnya menghambat, maka terjadinya perubahan terhadap lingkungan yang sudah diatur ini memungkinkan mikroba yang tahan terhadap stres

Cara pemusnahan mikroba yang dapat dilakukan antara lain: proses termal, irradiasi, tekanan osmotik tinggi (Knorr, 1995), listrik bertegangan tinggi (Sitzmann, 1995), dan kombinasi ultra sonik, panas, dan tekanan (Sala et al., 1995) dari berbagai cara pemusnahan mikroba ini, proses termal merupakan cara yang paling umum digunakan. Karena sifatnya memusnahkan mikroba, maka dengan menggunakan proses ini ada jaminan bahwa mikroba yang telah mati tidak akan pernah aktif kembali. Walaupun ada mikroba yang ditemukan pada produk pangan yang diproses dengan cara ini, maka kemungkinan besar hal ini terjadi karena adanya kontaminasi.

Keberhasilan penuh dari processing yang melibatkan panas pada produk pangan adalah terpenuhinya kecukupan panas untuk inaktivasi mikroba yang menyebabkan kebusukan dan keracunan. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana ketahanan mikroba terhadap panas untuk dapat tercapai pada kombinasi suhu dan waktu yang tepat (Holdworth, 1997).

Ketahanan panas mikroorganisme biasanya dinyatakan dengan istilah waktu reduksi termal (decimal reduction time) atau waktu yang dibutuhkan pada suhu tertentu untuk menurunkan jumlah sel atau spora sebesar satu siklus log, atau waktu yang diperlukan pada suhu tertentu untuk membinasakan organisme atau sporanya yang disebut dengan nilai D. Sedangkan nilai z suatu organisme atau spora adalah selang suhu terjadinya penambahan atau pengurangan sepuluh kali lipat dalam waktu yang dibutuhkan baik untuk menurunkan sampai 90% atau pembinasaan seluruhnya (Heldman dan Singh, 2001).

Menurut Supardi dan Sukamto (1999), ketahanan panas mikroba dipengaruhi oleh sejumlah faktor antara lain adalah : (a) umur dan keadaan organisme sebelum dipanaskan, (b) komposisi medium bagi suatu organisme atau spora itu tumbuh terutama adanya garam, zat pengawet, lemak dan minyak, dan bahan penghambat lainnya serta adanya spora yang masih terdapat setelah pemanasan, (c) pH dan aw medium waktu pemanasan, dan (d) suhu pemanasan.

Sejumlah kapang dan khamir terdapat pada sari buah yang dibuat dari konsentrat (aw rendah). Kapang lebih dominan pada jenis konsentrat, tetapi

pada buah dan sayur dengan aw tinggi, bakteri umumnya mengambil peran pertama merusak dalam fermentasi, kemudian diikuti kapang dan khamir (Gilliland, 1986). Khamir bersama sporanya dapat dieliminasi dengan mudah pada proses pasteurisasi tetapi kapang yang berspora perlu pemanasan lebih lama jika produk berupa konsentrat (Frazier dan Westhoff, 1978).

Pengolahan pangan dengan suhu tinggi atau proses termal adalah penggunaan panas untuk membunuh atau menginaktifkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan kebusukan produk pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Pengolahan dengan suhu tinggi melibatkan proses pemanasan pada berbagai variasi suhu dan waktu. Prosesnya sendiri dapat dilakukan dalam sistem batch (in-container sterilization) atau dengan sistem kontinyu (aseptic processing). Tujuan utama dari proses pengolahan dengan suhu tinggi ini adalah untuk memperpanjang daya awet produk pangan yang mudah rusak dan meningkatkan keamanannya selama disimpan dalam jangka waktu tertentu (Kusnandar et al., 2006).

Pengolahan dengan suhu tinggi juga dapat mempengaruhi mutu produk, seperti memperbaiki mutu sensori, melunakkan produk sehingga mudah dikonsumsi, dan menghancurkan komponen-komponen yang tidak diperlukan (seperti komponen tripsin inhibitor dalam biji-bijian). Namun demikian, bila proses pemanasan dilakukan secara berlebihan, maka dapat menyebabkan kerusakan komponen gizi (seperti vitamin dan protein) dan penurunan mutu sensori (rasa, warna, dan tekstur) (Kusnandar et al., 2006).

Berdasarkan pada kriteria suhu, waktu, dan tujuan pemanasan, proses pengolahan pangan dengan suhu tinggi dapat dibagi menjadi beberapa operasi, yaitu proses blansir (blanching), proses pasteurisasi, sterilisasi dan hot filling. Selain itu, proses pemanasan suhu tinggi juga diterapkan untuk keperluan umum lainnya, seperti pemasakan/cooking, penghangatan kembali/rewarming dan pelelehan/thawing makanan (Kusnandar et al., 2006). Pada penelitian ini akan digunakan metode pemanasan dengan suhu di bawah 100oC yaitu dengan metode pasteurisasi.

pada suhu di bawah 100oC) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari sampai beberapa bulan. Walaupun proses ini hanya mampu membunuh sebagian populasi mikroorganisme, namun pasteurisasi ini sering diaplikasikan terutama jika:

1. Dikhawatirkan bahwa penggunaan panas yang lebih tinggi akan menyebabkan terjadinya kerusakan mutu.

2. Tujuan utama proses pemanasan hanyalah untuk membunuh mikroorganisme patogen (penyebab penyakit), atau inaktivasi enzim-enzim yang dapat merusak mutu.

3. Diketahui bahwa mikroorganisme penyebab kebusukan yang utama adalah mikroorganisme yang sensitif terhadap panas.

4. Akan digunakan cara atau metode pengawetan lainnya yang dikombinasikan dengan proses pasteurisasi, sehingga sisa mikroorganisme yang masih ada setelah proses pasteurisasi dapat dikendalikan dengan metode pengawetan lain seperti: pendinginan, pengemasan yang tertutup rapat, penggunaan bahan pengawet antimikroba, dan lain-lain.

Secara umum tujuan utama pasteurisasi adalah untuk memusnahkan sel-sel vegetatif dari mikroba patogen, pembentuk toksin dan pembusuk. Beberapa mikroba yang dapat dimusnahkan dengan perlakuan pasteurisasi adalah bakteri penyebab penyakit, seperti Mycobacterium tuberculosis (penyebab penyakit TBC), Salmonella (penyebab kolera dan tifus) serta Shigella dysenteriae (penyebab disentri). Di samping itu, pasteurisasi juga dapat memusnahkan bakteri pembusuk yang tidak berspora, seperti Pseudomonas, Achromobater, Lactobacillus, Leuconostoc, Proteus, Micrococcus dan Aerobacter serta kapang dan khamir (Doyle et al., 1997).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pasteurisasi secara umum dapat mengawetkan produk pangan dengan adanya inaktivasi enzim dan pembunuhan mikroorganisme yang sensitif terhadap panas (terutama

khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak membentuk spora), tetapi hanya sedikit menyebabkan perubahan/penurunan mutu gizi dan organoleptik. Keampuhan proses pemanasan dan peningkatan daya awet yang dihasilkan dari proses pasteurisasi ini dipengaruhi oleh karakteristik bahan pangan, terutama nilai pH. Kondisi dan tujuan pasteurisasi dari beberapa produk pangan dapat berbeda-beda, tergantung dari pH produk.

Pada prinsipnya, bahan pangan dapat dipasteurisasi pada saat sesudah dikemas maupun sebelum dikemas. Jika bahan pangan dikemas dalam kemasan cup atau gelas, maka air panas sering digunakan sebagai medium pemanas untuk mengurangi kemungkinan terjadinya pecah (thermal shock), yaitu pecah karena adanya perubahan suhu secara mendadak. Perbedaan suhu maksimum antara bahan kemasan gelas dan air biasanya berkisar 20oC pada proses pemanasan dan 10oC untuk proses pendinginan (Kusnandar et al., 2006).

Pasteurisasi dengan menggunakan air panas dapat dilakukan secara operasi batch ataupun secara sinambung (continuous). Peralatan pasteurisasi paling sederhana hanya berupa bak air panas (waterbath) pada suhu yang telah ditentukan, dimana bahan pangan yang akan dipasteurisasi dicelupkan ke dalam air panas tersebut selama selang waktu yang telah ditentukan. Jika pemanasan telah tercapai, maka produk tersebut diangkat dan kemudian dicelupkan ke dalam bak lain yang berisi air dingin.

IV. METODOLOGI

Dokumen terkait