• Tidak ada hasil yang ditemukan

Collective action frame terdiri dari dua rangkaian fitur karakteristik yaitu tentang fungsi yang berorientasi aksi OMS yaitu core framing task dan proses interaktif diskursif yang mendukung core farming task dan menghasilkan tindakan kolektif (Snow dan Benford 2000). Pada bab ini peneliti membahas pembangunan penciptaan dan elaborasi frame sebagai sisi lain dari collective actionframe yang terdiri dari proses diskursif dan proses strategis. Penelitian ini membandingkan master frame Fitra yang didapat dari hasil analisis sebelumnya yaitu buruknya perencanaan anggaran terhadap pidato kenegaraan tentang RAPBN 2013.

Proses Diskursif

Peran utama aktor gerakan sosial adalah untuk mengkomunikasikan frame

gerakan pada unsur potensial (Johnston 2005). Menurut Snow dan Benford (2000) hal ini terjadi dengan dua proses yaitu artikulasi dan amplifikasi frame. Penelitian ini melihat kedua proses tersebut pada frame yang dibentuk Fitra dalam siaran pers mereka.

Artikulasi Frame

Dalam mengartikulasikan frame, aktor advokasi menghubungkan dan menyelaraskan kejadian-kejadian dan pengalaman sehingga dapat dikaitkan dengan cara terpadu dan menarik yang selanjutnya menawarkan perspektif baru pada suatu situasi (Snow dan Benford 2000). Hal ini merupakan kemasan kolektif yang merakit dan menyusun irisan realita yang diamati dialami atau direkam yang menghasilkan sebuah frame dan interpretasi baru (Snow 2004).

Artikulasi frame dianalisa untuk mengetahui bagaimana frame berhasil mewujudkan konteks yang lebih luas yang mempengaruhi persepsi masyarakat akan realita dan makna pada hal tertentu. Dengan kata lain penggunaan frame

terkait pada frame yang lain. Analisis frame menunjukan Fitra mengartikulasi beragam komponen unruk menciptakan frame yang dapat memobilisasi dukungan potensial dan dukungan yang ada. Contoh artikulasi frame yang digunakan Fitra adalah sebagai berikut.

“Pengadaan Road Blocker untuk istana presiden sebesar Rp.49 milyar, jelas-jelas Presiden SBY telah melakukan pemborosan anggaran negara. Pengadaan Road Blocker sama seperti renovasi pagar halaman dan pengadaan security system di lingkungan Istana negara sebesar Rp.22.55 milyar untuk tahun anggaran tahun 2009, yaitu sama-sama mencedarai rasa keadilan rakyat atas anggaran. Dan akan lebih baik, tidak mubazir dan adil alokasi anggaran sebesar Rp.49 milyar dialokasikan untuk membuka lapangan kerja baru untuk rakyat miskin karena imbas dari kenaikan TDL” (Fitra 2010).

Frame ini ditujukan untuk mengangkat isu pemborosan yang dilakukan oleh presiden berulang kali. Frame ini dikaitkan dengan frame kemiskinan dimana Fitra berusaha mengangkat isu kurangnya lapangan pekerjaan sebagai salah satu

58

faktor menyebabkan kemiskinan. Fitra juga mengaitkan pada frame kemiskinan lainnya dengan mengutarakan penderitaan rakyat miskin yang disebabkan kenaikan TDL. Artikulasi frame semacam ini digunakan Fitra untuk menyuguhkan realita ketimpangan alokasi anggaran selama ini. Istana sebagai lambang kemegahan mendapatkan anggaran yang sangat besar sementara rakyat miskin menderita. Istana juga digunakan sebagai pelambang ketidak adilan dimana pemerintah mendapat lebih dari rakyat. Contoh lain penggunaan artikulasi

frame adalah ketika Fitra mencoba membingkai permasalahan hutang negara. “Kemudian, bertambahnya utang untuk setiap tahun, juga kesalahaan DPR karena tidak melakukan pengetatan anggaran atau APBN untuk setiap tahun. Anggaran selalu direkayasa untuk defesit agar bisa ditutupi oleh utang. Padahal, DPR bisa melakukan penghematan dengan melakukan misalnya, pengurangan anggaran operasional menteri atau pengurangan perjalanan dinas menteri atau bisa juga melakukan pengurangan perjalan dinas presiden, yang pada tahun 2012 sampai menghabiskan anggaran sebesar Rp.202.2 milyar hanya untuk Carter Pesawat dalam rangka Penerbangan Khusus (Pensus) dan Kunjungan Kerja Presiden. Ini sungguh terlalu!!! Dan, realisasi anggaran sebesar Rp.202,2 milyar diberikan untuk bencana banjir, untuk Jakarta, dan Manado saja, bisa mengurangi beban penderitaan rakyat, dan membantu rehabilitas rumah-rumah mereka yang rusak, sudah lebih dari cukup”. (Fitra, 2014b)

Terdapat enam frame hanya dalam satu paragraf siaran pers Fitra. Frame

pertama mengkonstruk realita bahwa bertambahnya hutang negara adalah kesalahan DPR. Ke-dua, DPR tidak melakukan pengetatan anggaran. Ke-tiga perjalanan dinas menteri dan presiden adalah pemborosan yang menghabiskan dana terlalu banyak. Ke-empat penangulangan bencana alam tidak mendapatkan alokasi anggaran yang cukup. Ke-lima buruknya pemukiman rakyat yang sekaligus mengangkat frame ke-enam yaitu kemiskinan terjadi pada faktor kebutuhan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa artikulasi frame yang digunakan Fitra bukan hanya mengaitkan dua frame, akan tetapi dapat lebih dari itu.

Artikulasi frame yang dilakukan Fitra bukan hanya terletak pada isi siaran pers, akan tetapi juga terdapat pada judulnya. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. “Gagal dalam Penanggulangan Kemiskinan, Sukses dalam Penarikan Utang” (Fitra, 2013e). “Selusin PR Jokowi: Perbaikan Penganggaran dan Pencegahan Korupsi” (Fitra, 2-14c). “Keranjang Sampah Pendidikan dan Pemanis Anggaran Kemiskinan” (Fitra, 2012d). Buruk Rupa Perimbangan Keuangan – Buruk Pula Kesejahteraan Rakyat Daerah” (Fitra, 2012e).

Pada RAPBN 2013, artikulasi frame Fitra terkait perencanaan penganggran yang buruk terdapat dalam penggunaan asumsi ekonomi makro yang dianggap tidak tepat. Presiden RI dalam pidatonya mengatakan perkembangan perkiraan perkembangan ekonomi global dan domestik menjadi dasar sasaran dan asumsi ekonomi makro.

“… sasaran dan asumsi ekonomi makro yang kita jadikan sebagai dasar dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2013, sekaligus sebagai basis perhitungan berbagai besaran RAPBN tahun

59 2013 adalah sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi 6,8 persen… (RI, 2012)

Dalam siaran pers Fitra, pernyataan presiden tersebut disanggah dengan mengartikulasikan frame “asumsi ekonomi makro memuja pertumbuhan mengabaikan kesejahteraan” seperti pada kutipan dibawah ini.

“Asumsi ekonomi makro, memuja pertumbuhan mengabaikan kesejahteraan. Lagi-lagi indikator asumsi ekonomi makro yang dipergunakan Pemerintah belum merujuk realitas masyarakat dan indikator kesejahteraan lainnya. Pemerintah mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi 6,8 namun pada banyak sisi menyengsarakan sebagian masyarakat. Dalam rumusan RAPBN Alternatif, pertumbuhan ekonomi tidak dirancang setinggi pemerintah, tapi hanya 6,56%, namun memiliki mutu yang lebih baik karena bersadar pada sektor riil, yakni sektor pertanian dan industri pengolahan, sebagai basis pertumbuhan ekonomi. Mengingat kedua sektor ini menyerap lapangan kerja lebih besar dan area kemiskinan“ (Fitra, 2012k).

Frame ini menunjukkan artikulasi yang digunakan Fitra berusaha mempengaruhi persepsi masyarakat akan perencanaan anggraran yang dilakukan pemerintah. Dengan menggunakan frame “asumsi ekonomi makro memuja pertumbuhan mengabaikan kesejahteraan” (Fitra, 2012k). Fitra mengengahkan bahwa pemerintah tidak memperhatikan indikator kesejahteraan masyarakat sebagai dasar perancangan APBN. Sebaliknya, angka pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan pemerintah dianggap merugikan masyarakat karena tidak bersandar pada sektor riil yang menyerap tenaga kerja lebih banyak dan berpengaruh pada penurunan angka kemiskinan. Frame pemerintah menyengsarakan masyarakat dikaitkan dengan frame realitas masyarakat yang mengacu pada belum sejahteranya rakyat Indonesia.

Fitra kemudian berusaha menjelaskan realita ini dengan menawarkan persepsi baru bahwa seyogyanya pertumbuhan ekonomi berdasarkan pada sektor pertanian dan industri pengolahan. Frame ini menimbulkan realita bahwa sektor tidak diperhatikan pemerintah dalam perencanaan keuangan, walaupun lebih berpengaruh langsung pada penurunan kemiskinan dengan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Pada siaran pers lainnya Fitra juga mengutarakan hal serupa, yaitu dengan menggunakan frame asumsi makro mengabaikan ketimpangan pendapatan. Fitra juga menengahkan frame asumsi ekonomi makro tentang pertumbuhan ekonomi adalah salah kaprah dan malah menyebabkan munculnya kemiskinan.

“Asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasarkan kepada tujuan sempit, misalnya pertumbuhan ekonomi, tapi mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan. Pemerintah memang telah memasukan asumsi kemiskinan dan pengangguran, tapi dengan penghitungan dilakukan dengan memakai standar yang sangat rendah. … Dalam penyusunan kerangka ekonomi makro, APBN Alternatif tetap menganggap pertumbuhan ekonomi penting, tapi bukanlah segala-segalanya. Ideologi pertumbuhan

60

ekonomi dalam banyak sisi justru menyengsarakan sebagian besar masyarakat, seperti yang terjadi selama ini. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak perlu dirayakan jika hanya menyebabkan munculnya kemiskinan, ketimpangan pendapatan, pengangguran, dan eksploitasi sumber daya alam (Fitra, 2012l)

Pada kedua frame ini terjadi artikulasi frame dimana frame saling terkait walaupun berbeda siaran pers. Dalam contoh frame yang diangkat terlihat bahwa Fitra menghubungkan dan menyelaraskan kejadian-kejadian dan pengalaman terkait perancanaan penganggaran yang buruk walaupun baru dilihat dari isu pertumbuhan ekonomi yang salah kaprah saja. Hal ini menunjukkan bahwa artikulasi frame Fitra dibangkitkan dengan cara terpadu dan menarik yang selanjutnya menawarkan perspektif yang lebih luas yaitu bahwa penganggaran yang direncanakan pemerintah sudah salah dari awal.

Penguatan Frame dalam Proses Diskursif

Collective action frame juga harus diamplifikasi dimana hal ini membutuhkan rangkaian strategi. Penguatan frame terjadi pada proses strategis dan diskursif. Sebagai proses diskursif ampifikasi frame digunakan oleh gerakan sosial untuk mengidentifikasi nilai atau kejadian tertentu yang lebih penting dari lainya untuk menggunakan elemen penekanan untuk menggarisbawahi kesamaan dan perbedaan dari frame OMS lain. Amplifikasi frame menunjukkan langsung tingkatan isu dari permasalahan yang ingin dipecahkan. Dalam proses diskursif penguatan frame terkait dengan menyorot isu tertentu yaitu penggarisbawahan isu-isu, kejadian atau keyakinan tertentu yang terlihat menonjol (Benford dan Snow, 2000) dan pembangunan frame dengan simbol-simbol tajam yang membuat

frame dapat berhasil dengan cepat dan efektif seperti slogan yang tertempel di kaca belakang mobil (Johnston, 2005).

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa Fitra menggunakan frame dengan isu kesejahteraan rakyat sebagai penguatan isu yang dapat dirasakan langsung oleh masyrakat. Selain itu Fitra mengungkapkan bagaimana buruknya penganggaran yang dilakukan pemerintah. Maka dalam proses diskursif, Fitra melakukan penguatan isu dengan melakukan penguatan beberapa frame untuk mendukung isu tertentu (Hara dan Shachaf 2008).

Tabel 6. Penggunaan isu tertinggi dalam frame siaran pers Fitra

Isu jumlah

Kesejahteraan rakyat 63

Pemborosan anggaran 32

Korupsi dan politisasi anggaran 30

Belanja modal versus belanja pegawai 28

Kebijakan subsidi 21

Permasalahan pendapatan negara 20

61 Hal ini menunjukan penguatan frame akan isu-isu tersebut diyakini Fitra dapat memperbesar kemungkinan keberhasilan frame yang digunakan dalam mengkonstruk realitas masyarakat. Isu yang dimaksudkan adalah perihal yang dikaitkan dengan permasalahan dan soslusi yang terdapat pada frame diagnostik dan frame prognostik. Maka isu yang digunakan berbeda dengan permasalahan yang diutarakan dalam frame diagnostik dan solusi yang terdapat pada frame prognostik.

Dalam menangapi pidato presiden akan RAPBN 2013, penguatan isu-isu ini terlihat pada siaran pers Fitra. Presiden RI dalam pidatonya mengatakan anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari APBN dan jumlahnya terus meningkat dan harus digunakan sebaiknya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dam memperluas pemerataan mendidikan.

“Alhamdulillah, dalam RAPBN Tahun 2013 mendatang kita tetap dapat memenuhi lagi amanat konstitusi untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN. Kita bersyukur, dari tahun ke tahun alokasi anggaran pendidikan dapat terus kita tingkatkan. Pada tahun 2011 lalu, anggaran pendidikan telah mencapai Rp 266,9 triliun; tahun ini, meningkat menjadi Rp 310,8 triliun; dan tahun 2013 mendatang kita rencanakan sebesar Rp 331,8 triliun atau naik 6,7 persen. Anggaran pendidikan yang makin besar itu harus kita gunakan dengan sebaik-baiknya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas jangkauan pemerataan pendidikan” (RI 2014).

Fitra menyanggahnya dengan frame yang mengandung penguatan isu kesejahteraan rakyat yang diutarakan frame Fitra pada siaran persnya dengan mengatakan anggaran pendidikan yang besar tidak seimbang dengan akses pendidikan, dan anggaran pendidikan banyak yang digunakan untuk membayar upah pegawai. Fitra mengatakan dalam siaran persnya bahwa hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya jumlah gedung sekolah yang rusak dan tidak layak untuk kegiatan belajar mengajar, secara umum kualitas dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai harapan dan angka putus sekolah di Indonesia tergolong cukup tinggi (Fitra 2012f).

“Besarnya anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan perluasan akses pendidikan berkualitas. Sejak tahun 2009, akhirnya Pemerintah memenuhi amanat konstitusi 20% anggaran pendidikan, pasca putusan MK yang memasukan komponen gaji … Ironisnya, besarnya peningkatan anggaran pendidikan ini tidak mampu menyelesaikan persoalan pendidikan yang masih karut marut” (Fitra 2012f)

Selain penguatan frame, dalam proses diskursif juga terdapat penggunaan simbol-simbol tajam. Siaran pers Fitra yang menggunakan hal ini yang terdapat pada contoh kutipan berikut.

“Pengadaan Road Blocker untuk istana presiden sebesar Rp.49 milyar, jelas-jelas Presiden SBY telah melakukan pemborosan anggaran negara. Pengadaan Road Blocker sama seperti renovasi pagar halaman dan pengadaan security system di lingkungan Istana negara sebesar Rp.22.55 milyar untuk tahun anggaran tahun 2009, yaitu sama-sama

62

mencedarai rasa keadilan rakyat atas anggaran. Dan akan lebih baik, tidak mubazir dan adil alokasi anggaran sebesar Rp.49 milyar dialokasikan untuk membuka lapangan kerja baru untuk rakyat miskin karena imbas dari kenaikan TDL” (Fitra 2010).

Pembangunan simbol tajam memberi penekanan frame secara diskursif. Pada “Presiden SBY telah melakukan pemborosan anggaran negara”, kata “telah” melambangkan hal ini sudah terjadi dibawah pengawasan kita sehingga rakyat tidak boleh tinggal diam dan harus memperbaikinya dan kata “melakukan” merupakan penekanan bahwa hal tersebut merupakan kesalahan yang disengaja. Kata “pemborosan” mengesankan penghambur-hamburan uang yang sebenarnya dapat dialokasikan pada kebutuhan lain yang lebih penting. Hal ini diperkuat dengan frasa “mencederai rasa keadilan rakyat atas anggaran” yang menyimbolkan pemerintah tidak adil terhadap rakyat. Frasa ini juga menyimbolkan derita rakyat yang telah mempercayai pemerintah untuk mengatur pendapatan dan pembelanjaan negara. Simbol tajam dalam kutipan ini juga terdapat pada frasa “… rakyat miskin karena imbas dari kenaikan TDL” kata “imbas” memberi penekanan bahwa penderitaan rakyat disebabkan oleh keputusan pemerintah yang tidak sesuai.

Jika melihat kutipan siaran pers Fitra tentang anggaran pendidikan di RAPBN 2013, penggunaan simbol tajam dalam frame Fitra terdapat kata “akhirnya” ketika menyinggung anggaran pendidikan yang selama ini tidak mencapai 20%. Baru pada tahun 2009 anggaran pendidikan sebesar 20% itu tercapai dengan memasukkan komponen gaji. Komponen gaji tidak secara langsung meningkatkan pendidikan Indonesia karena tidak dirasakan oleh masyarakat. Gaji yang disebutkan disini bukan gaji guru melainkan gaji pegawai Kementrian. Simbol tajam juga terdapat pada kata “ironisnya” yang menguatkan frame terdapatnya persoalan pendidikan yang tidak terselesaikan.

Proses Strategis

Proses strategis mengacu pada proses framing yang dipertimbangkan (deliberatif) dan tujuannya yang diarahkan dimana frame dibangun dan digunakan untuk mencapai tujuan spesifik seperti merekrut anggota baru mobilisasi masa mendapat dukungan dan sebagainya. Hal ini terkait dengan upaya strategis OMS untuk menghubungkan misi dan frame-frame interpretatif mereka pada pendukung dan sumber daya eksisting dan potensial disebut penyelarasan frame

(frame alignment) yang terdiri dari penjembatanan frame, perluasan frame

transformasi frame dan amplifikasi frame (Benford dan Snow 2000).

Melalui keempat proses ini, OMS dapat mendefinisikan dirinya dan keluhannya, sebagaimana menerapkan keluhan ini pada dunia disekeliling gerakan. Aspek-aspek ini juga menjadi penting bagi OMS yang mengalami perubahan dramatis, bahwa melalui metode ini frame baru dapat dibangun atau

frame dapat disesuaikan untuk mencapai lkebutuhan dari suatu budaya dimana gerakan terjadi.

63 Penjembatanan frame

Penjembatanan frame atau frame bridging adalah kaitan dua atau lebih frame

suatu isu yang secara ideologis sama tetapi secara struktur tidak berhubungan. Snow et al mengidentifikasi target dari penjembatanan frame adalah individu yang berbagi keluhan yang sama dan memiliki orientasi menyalahkan pihak yang sama, akan tetapi tidak memiliki organisasi untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan bertindak dalam mengejar kepentingan mereka. Frame bridging terjadi diantara dua OMS dengan gerakan yang sama yang juga dapat terjadi pada level individual (Snow, et al 1986).

Gerakan sosial mencoba untuk menggerakkan individu yang percaya pada masalah yang sama untuk menjadi aktivis atas masalah mereka sendiri. Proses ini mungkin melibatkan menggambar pada kekuatan master frame, sebagaimana pemimpin gerakan sosial mengaitkan isu gerakan sosial untuk yang sudah ada sebelumnya, frame budaya relevan atau tema yang berdasarkan pengalaman sepadan dengan pengalaman hidup target audiens. Frame bridging merupakan sebuah proses pokok yang menghubungkan beragam frame spesifik pada kejelasan interpretasi.

Sayangnya penggunaan frame bridging dalam siaran pers Fitra tidak begitu jelas terlihat. Padahal menurut Snow (1986), frame bridging berlimpah di gerakan sosial kontemporer, dan kebanyakan OMS sekarang, frame bridging tampaknya menjadi bentuk utama dari proses strategi. Contoh dari penggunaan frame

bridging pada siaran pers Fitra terdapat pada kutipan berikut

“yang harus masyarakat ketahui adalah bahwa setiap satu rupiah yang dinikmati sebagai penghasilan kepala daerah bersumber dari pajak dan retribusi yang bayar rakyat. Oleh karenanya, setiap kepala daerah harus mengabdi kepada rakyat dengan menjalankan roda pemerintahan sebagai media untuk melayani masyarakat” (Fitra, 2012j).

Pada siaran pers Fitra lainnya, penjembatanan frame juga terlihat pada kutipan dibawah ini.

“Program pemberdayaan perempuan yang disusun oleh pemerintah, di samping anggarannya yang begitu kecil, juga sebatas program pengarusutamaan jender saja. Kebijakan penganggaran untuk mensejahterakan perempuan dan anak masih dibawah 0,5%. Dibalik itu, angka kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan setiap tahun masih tinggi” (Fitra, 2012c).

Pada kutipan siaran pres diatas, terdapat dua frame yang secara ideologi mengandung sama, yaitu rakyat, akan tetapi secara struktur pajak yang dibayak rakyat tidak berhubungan dengan mengabdi pada rakyat. Contoh lain pada kutipan di bawah ini yang juga secara struktur tidak berhubungan.

“…terdapat enam kementerian yang baru menyerap anggarannya kurang dari 20%. Hal ini mengindikasikan kinerja kementerian yang malas dalam merealisasikan program kegiatan yang telah disusunnya” (Fitra, 2012k).

64

Perluasan Frame

Konsep perluasan frame mengacu pada situasi dimana SMO berusaha untuk menghubungkan nilai-nilai yang diangkat oleh kelompok lain pada nilai-nilai gerakan dengan membingkai keprihatinan dan kegiatan yang cocok demi memperluas basis dukungan mereka (Benford dan Snow 2000). Kadang pengikut potensial tidak mudah melihat kalimat sentimen yang ada (Snow 1986). Maka Fitra juga melakukan perluasan frame. Perluasan frame ini biasa terdapat di berbagai jenis gerakan sosial.

Fitra mengangkat isu penganggaran yang dapat dikaitkan pada hampir seluruh isu ketidakadilan seperti isu korupsi, pendidikan, kesehatan dan kemiskinan bahkan isu perumahan layak bagi masyarakat. Pada siaran pers Fitra beberapa penggunaan perluasan frame terdapat pada kutipan berikut.

“Ketimpangan jender yang mengakibatkan tertinggalnya kaum perempuan terhadap laki-laki di Indonesia ternyata tidak pernah disikapi serius oleh pemerintah... Kebijakan penganggaran untuk mensejahterakan perempuan dan anak masih dibawah 05% diperbesar pada angka penekanan laju penduduk” (Fitra, 2012k).

Dalam kutipan siaran pers diatas Fitra menyertakan isu jender dalam permasalahan anggaran. Walaupun jender juga merupakan agenda Fitra, menyertakan isu jender dalam frame mereka memungkinkan Fitra mendapatkan dukungan lebih luas dari gerakan yang mengusung isu jender. Perluasan frame

juga terdapat ketika Fitra membahas anggaran dalam kedaulatan pangan dan energi. Di siaran pers ini Fitra mengaitkan isu kedaulatan pangan sekaligus kondisi nelayan Indonesia. Bahkan Fitra mengutip sumber dari OMS lain yang bergerak dibidang perikanan.

“Dalam konteks perikanan, Abdul Halim (Koordinator Program KIARA) menyebutkan bahwa hak atas pangan warga justru terus didera ancaman, di antaranya lewat pengkaplingan wilayah pesisir (reklamasi, giant sea wall, dsb) yang menjadi ruang penghidupan nelayan tradisional. … Dalam RAPBN 2013, situasi khusus (cuaca ekstrem) yang dihadapi oleh 92,8% nelayan tradisional justru tidak direspons.” (Fitra, 2012l).

Hal serupa terjadi ketika Fitra berusaha mengangkat isu penganggaran terhadap perubahan iklim dan lingkungan hidup. Fitra mengatakan alokasi anggaran tidak mencukupi untuk melakukan program pemerintah dalam penurunan emisi di tahun 2020 dan menyandingkan kecemasan tersebut dengan fakta bahwa adanya politisasi anggaran yang justru menguras alam dan mengabaikan resikonya.

“Kebijakan anggaran pemerintah tidak mendukung tercapainya komitmen penurunan emisi 20% … Komitmen penurunan emisi 20% (2020) terancam kebijakan anggaran yang rendah… Politik kebijakan anggaran: menguras alam - abaikan resiko” (Fitra, 2012j).

65 Penguatan Frame

Penguatan frame berada pada proses diskursif dan strategis. Penguatan frame

dalam proses strategis terkait klarifikasi dan penyegaran atau dari frame

interpretatif yang dikenakan pada isu tertentu (Snow 1986) yang kemudian oleh Benford dan Snow (2000) diperjelas dengan memberikan idealisasi, hiasan dan penguatan nilai atau keyakinan dengan mengatakan bahwa salah satu faktor kunci yang mempengaruhi gaung frame ketika disodorkan pada konstituen potensial berkaitan dengan sejauh mana frame itu menyentuh nilai-nilai budaya keyakinan narasi dan kearifan lokal yang ada. Proses penguatan frame sangat penting bagi OMS yang mengandalkan pada partisipasi dari individual yang berbeda dari penerima manfaat gerakan tersebut (Paulsen dan Glumm 1995) mereka yang terstigma akibat kontradiksi antara nilai-nilai gerakan atau keyakinan dan orang- orang dari budaya dominan (Berbrier 1998).

Fitra menguatkan framenya menggunakan idelasiasi yang juga berlaku sebagai frame prognostik. Banyak dari siaran pers mengandung idealisasi. Idealisasi dapat peneliti kelompokkan menjadi dua yaitu idealisasi potistif dan idealisasi yang bersifat negasi. Perbedaannya adalah idealisasi negasi mengandung penyalahan yang mendampingi nilai ideal. Fitra menguatkan

framenya Fitra menggunakan idelasiasi seperti berikut ini.

“Penyusunan program harus diimbangi dengan peningkatan kinerja yang baik sehingga realisasi APBD bisa mencapai 100% demi peningkatan pelayanan publik;” (Fitra, 2012m).

“Pemerintah tidak perlu mengajukan APBN Perubahan, karena SAL dapat mengcover pembengkakan subsidi BBM Rp 16,1 triliun dan kompensasi Rp 30 triliun. Sehingga juga tidak perlu justifikasi

Dokumen terkait