Proses pembuatan mie kering adalah sebagai berikut : a. Pencampuran bahan
Bahan-bahan yang telah disiapkan dicampur semuanya. Pada proses pencampuran ini, pertama-tama tepung terigu ditaruh diatas meja pencampuran. Terigu disusun menjadi suatu gundukan dengan lubang ditengah-tengah kemudian ditambahkan bahan-bahan lain kedalam lubang tersebut. Secara perlahan-lahan, campuran tersebut diaduk rata dan ditambah air sampai membentuk adonan yang homogen yaitu menggumpal bila dikepal dengan tangan (Astawan, 1999). Menurut Robson (1976) dalam Meliala (1997), proses pencampuran ini bertujuan menghidrasi tepung dengan air dan membuat adonan membentuk jaringan gluten.
b. Pengulenan adonan
Adonan yang sudah membentuk gumpalan selanjutnya diuleni. Pengulenan ini dapat menggunakan alat kayu berbentuk silinder dengan diameter 7 cm. Pengulenan dilakukan selama sekitar 15 menit (Astawan, 1999).
Menurut Astawan (1999), adonan yang baik dapat dibuat dengan memperhatikan jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan suhu
adonan. Air yang ditambahkan umumnya berjumlah 28-38% dari berat tepung. Jika penambahan air lebih dari 38%, adonan menjadi basah dan lengket. Bila penambahan air kurang dari 28%, adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit dibentuk menjadi lembaran.
Waktu total pengulenan yang baik sekitar 15-25 menit. Pengulenan yang lebih dari 25 menit dapat menyebabkan adonan menjadi rapuh, keras, dan kering. Sedangkan pengulenan yang kurang dari 15 menit menyebabkan adonan menjadi lunak dan lengket.
Suhu adonan berpengaruh terhadap aktivitas enzim protease dan amilase. Peningkatan suhu (diatas 40o C) menyebabkan aktivitas enzim amilase dan memecah pati menjadi dekstrin dan aktivitas enzim protease dalam memecah gluten meningkat sehingga adonan menjadi lembut dan halus. Suhu juga meningkatkan mobilitas dan aktivitas air kedalam jaringan tepung sehingga membantu pengembangan adonan. Suhu adonan dapat dipengaruhi oleh gesekan antara adonan dengan pengaduk. Suhu adonan yang baik sekitar 25-40o C. Suhu diatas 40o C menyebabkan adonan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis. Suhu kurang dari 25o C menyebabkan adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar.
Menurut Sunaryo (1985) dalam Sosiawan (1996), pada awal pencampuran terjadi pemecahan lapisan tipis air dan tepung. Semakin lama semua bagian tepung dialiri air dan menjadi gumpalan-gumpalan adonan. Air yang ada adalah air terikat yang juga mengakibatkan serat-serat gluten tertarik, disusun bersilang, dan terbungkus dalam pati sehingga adonan menjadi lunak, halus dan elastis.
c. Pembentukan lembaran
Pembentukan lembaran dilakukan dengan menggunakan mesin roll press yang akan mengubah adonan menjadi lembaran-lembaran. Saat pengepresan, gluten ditarik ke satu arah sehingga seratnya menjadi sejajar. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya kehalusan dan elastisitas mie. Adonan yang sudah kalis dimasukkan kedalam mesin pembentuk lembaran yang diatur ketebalannya secara berulang kali (4-5 kali) sampai ketebalan lembar mie mencapai 1,5-2 mm. Lembaran yang keluar dari
mesin dibedaki dengan tepung tapioka agar tidak menyatu kembali (Astawan, 1999).
Pembentukan lembaran bertujuan untuk membentuk lembaran adonan yang seragam ketebalannya dan untuk menghaluskan serat-serat gluten. Serat-serat gluten yang tidak beraturan segera ditarik memanjang dan searah tekanan dua buah roller (Sunaryo, 1985) dalam Sosiawan (1996).
Faktor yang mempengaruhi proses pembentukan lembaran adalah suhu dan jarak antar roll. Suhu yang diharapkan sekitar 37º C. Di bawah suhu tersebut adonan menjadi kasar dan pecah-pecah, mutu mie kasar dan mudah patah serta terjadi pemborosan bahan baku (Astawan, 1999). d. Pembentukan mie
Proses pembuatan mie ini umumnya sudah dilakukan dengan alat pencetak mie (roll press) yang digerakkan tenaga listrik. Alat ini mempunyai dua rol. Rol pertama berfungsi untuk menipiskan lembaran mie dan rol kedua berfungsi untuk mencetak mie. Pertama-tama lembaran mie masuk ke rol pertama kemudian masuk ke rol kedua (Astawan, 1999). e. Pengukusan.
Perebusan atau pengukusan bertujuan agar terbentuk gel pati yang secara visual dapat diamati dengan berubahnya substansi semi padat adonan menjadi padat dan elastis. Selain itu terjadi perubahan warna adonan menjadi transparan. Pada proses ini akan terjadi penyerapan air oleh pati yang secara cepat dimulai pada suhu sekitar 65° C (Meyer, 1973).
Pada proses pengukusan terjadi gelatinisasi pati dan koagulasi gluten sehingga dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya kekenyalan mie. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat. Pada waktu sebelum dikukus, ikatan bersifat lunak dan fleksibel tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat (Anonim, 2005). Menurut Astawan (1999), pemanasan menyebabkan gelatinisasi pati dan koagulasi gluten. Gelatinisasi dapat menyebabkan:
1) Pati meleleh dan membentuk lapias tipis (film) yang dapat mengurangi penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mie. 2) Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi
mie.
3) Terjadi perubahan beta menjadi pati alfa yang mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mie kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) sampai kadar air kurang dari 10%.
f. Pengeringan
Pada pembuatan mie kering, mie yang telah dikukus dimasukkan ke dalam oven untuk mengeringkan mie secara sempurna (kadar air 11-12%), menjadikan produk kering dan renyah serta terbentuk lapisan protein. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan tekanan. Suhu yang digunakan sekitar 90-100° C (Astawan, 1999). Sedangkan menurut Suyanti (2008), pengeringan mie dilakukan dengan suhu 60-70° C.
g. Pendinginan
Proses pendinginan bertujuan untuk melepaskan sisa-sisa uap panas dari peoduk dan membuat tekstur mie menjadi keras. Jika sisa uap panas tidak hilang, uap tersebuat akan mengalami kondensasi saat dikemas dan memungkinkan untuk ditumbuhi jamur (Astawan, 1999).
Mutu mie biasanya ditentukan berdasarkan warna, kekenyalan dan kualitas masaknya. Mie bila dimasak akan matang dengan cepat dan tetap utuh dalam bentuk semula, tidak lengket serta tidak kehilangan sifat kekenyalannya. Kualitas masak ditentukan berdasarkan berapa banyaknya air yang diserap dalam hubungannya dengan pengembangan, kehilangan padatan terutama pati selama perebusan, kekenyalan dan kelentingan sifat dari mie tersebut. Sifat dari mie tersebut menurut de Mann (1976) disebabkan karena adanya sifat viskoelastis dari jaringan gluten yang terbentuk oleh glutenin yang membawa sifat elastis atau kenyal dan gliadin yang menentukan sifat mudah diulur atau ekstensibel. Besar kecilnya sifat ekstensibilitas dan elastisitas dipengaruhi oleh kandungan protein penyusun gluten yang terdapat
dalam tepung terigu. Protein penyusun gluten yang berkaitan erat dengan ekstensibilitas mie adalah gliadin.
5. Ganyong
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman ganyong diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatohyta (tumbuhan berbiji) Subdivisi : Angiospermae ( berbiji tertutup) Kelas : Monocotyledone (biji berkeping satu) Ordo : Zingiberales
Famili : Cannaceae
Spesies : Canna edulis. Kerr (Rukmana, 2000).
A B
Gambar 2.1. Gambar Umbi Ganyong (A) dan Tanaman Ganyong (B)
Bentuk tanaman ganyong adalah berumpun dan merupakan tanaman herba. Semua bagian vegetatif yaitu batang, daun serta kelopak bunganya sedikit berlilin. Tanaman ini tetap hijau disepanjang hidupnya. Saat umbi telah cukup dewasa, daun dan batang mulai mengering. Keadaan seperti ini seakan-akan menunjukkan bahwa tanaman mati, padahal tidak. Karena bila hujan tiba maka rimpang atau umbi akan bertunas dan membentuk tanaman lagi. Tinggi tanaman ganyong antara 0.9 - 1,8 meter. Bahkan di Queensland dapat mencapai 2,7 meter. Sedang untuk daerah Jawa, tinggi tanaman ganyong umumnya 1,35 – 1,8 meter. Apabila diukur lurus, maka panjang batang bisa mencapai 3 meter. Panjang batang dalam hal ini di ukur mulai dari
ujung tanaman sampai ujung rhizoma atau yang sering disebut dengan umbi (Anonimc, 2008)
Tanaman ganyong menghasilkan akar tongkat (bonggol) yang sering disebut ubi. Bentuk ubi ganyong beraneka macam, mulai dari panjang lonjong, bulat, agak pipih, sampai tidak beratuan. Pada umumnya ubi berukuran panjang 60 cm dengan diameter 10 cm dan dikelilingi oleh bekas-bekas sisik serta akar tebal yang berserabut. Ubi ganyong berdaging tebal dan berwarna putih atau keungu-unguan. Bila ubi dimasak rasanya enak kemanis-manisan. Ujung ubi ganyong bertunas, sehingga menghasilkan anakan sebagai bahan perbanyakan secara vegetatif (Rukmana 2000).
Di Indonesia dikenal dua kultivar atau varietas ganyong, yaitu ganyong merah dan ganyong putih. Ganyong merah ditandai dengan warna batang, daun dan pelepahnya yang berwarna merah atau ungu, sedang yang warna batang, daun dan pelepahnya hijau dan sisik umbinya kecoklatan disebut dengan ganyong putih. Dari kedua varietas tersebut mempunyai beberapa berbedaan sifat, sebagai berikut :
a) Ganyong merah: batang lebih besar, agak tahan kena sinar dan tahan kekeringan, sulit menghasilkan biji, hasil umbi basah lebih besar tapi kadar patinya rendah dan lazim dimakan segar (direbus)
b) Ganyong putih: lebih kecil dan pendek, kurang tahan kena sinar tetapi tahan kekeringan, selalu menghasilkan biji dan bisa diperbanyak menjadi anakan tanaman, hasil umbi basah lebih kecil tapi kadar patinya tinggi dan lazim diambil patinya (Anonimc, 2008).
Menurut Nuryadin (2008), ganyong (Canna edulis. Kerr) adalah tanaman herba yang berasal dari Amerika Selatan. Rhizoma atau umbinya bila sudah dewasa dapat dimakan dengan mengolahnya terlebih dahulu, atau untuk diambil patinya. Saat panen umbi, sangat tergantung dari daerah tempat menanamnya. Di dataran rendah sudah bisa dipanen pada umur 6 - 8 bulan, sedang di daerah yang hujannya sepanjang tahun, waktu panennya lebih lama, yaitu pada umur 15 - 18 bulan. Umbi yang sudah dewasa biasanya ditandai dengan menguningnya batang dan daun tanaman.
Ganyong atau Quennsland arrowroot merupakan salah satu bahan pangan non beras yang bergizi cukup tinggi, terutama kandungan karbohidratnya. Pengembangan budidaya ganyong akan sangat mendukung usaha peningkatan ketahanan pangan nasional dan kecukupan gizi masyarakat. Kandungan gizi ganyong secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2.5.
Table 2.5. Kandungan Gizi Ganyong dalam Tiap 100 g Ubi Ganyong.
Unsur gizi Banyaknya (proporsi)
Kalori 95,00 kal Protein 1,00 g Lemak 0,11 g Karbohidrat 22,60 g Kalsium 21,00 mg Fosfor 70,00 mg Zat besi 1,90 mg Vtamin B1 0,10 mg Vitamin C 10,00 mg Air 75,00 mg
Bagian yang dapat dimakan (Bdd) 65 %
Sumber: Direktorat Gigi Depkes RI (1981) dalam Rukmana (2000)
Ganyong adalah sejenis umbi-umbian yang dapat dimakan setelah direbus. Apabila dijadikan tepung atau pati dapat dipakai sebagai campuran berbagai makanan yang enak seperti kue. Yang dimaksud dengan tepung ganyong adalah tepung yang dibuat langsung dari umbinya yang sudah tua dan baik yaitu tidak ada tanda-tanda kebusukan (Anonim, 2000).
Ubi ganyong dapat diproduksi menjadi makanan yang bervariasi dan lebih mudah dikonsumsi dengan cara mengolah menjadi tepung, tanpa mengurangi kandungan gizi yang dikandungnya. Hal ini dapat mempermudah masyarakat dalam memenuhi gizinya terutama bagi balita yang sangat membutuhkan banyak kandungan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Damayanti, 2007).
Pemanfaatan umbi ganyong selain dikonsumsi sebagai ganyong rebus atau ganyong kukus adalah sebagai berikut:
a) Tepung ganyong.
Berlainan dengan tepung-tepung lainnya, tepung ganyong berwarna kekuningan.
b) Campuran nasi jagung
Nasi jagung yang dicampur dengan umbi ganyong, rasanya lebih enak dan pulen serta tidak mengakibatkan akibat sampingan di perut.
c) Gaplek ganyong
Ganyong dapat dibuat gaplek seperti halnya singkong. Dari gaplek ganyong tersebut dapat pula dibuat tepung, pembuatannya seperti membuat tepung gaplek yaitu dengan cara menumbuknya.
d) Campuran bihun
Bihun berasal dari bahasa cina bihon yang berarti beras. Sesuai dengan namanya, maka bahan baku bihun adalah beras. Sekarang bihun tidak harus dibuat dari beras tetapi dapat dibuat dari campuran tepung jagung dan tepung tapioka dengan perbandingan 6 : 4. Kedudukan tepung tapioka di sini dapat juga diganti dengan tepung ganyong. Pencampuran dari dua bahan tersebut dilakukan sebelum penggilingan atau proses pembentukan benang-benang bihun.
e) BMC ( Bahan Makanan Campuran ) bayi
Berhubung tepung ganyong terkenal dengan daya cernanya yang tinggi, maka sangat cocok sekali sebagai bahan makanan bayi. Bila akan digunakan sebagai makanan bayi, maka tepung ganyong yang merupakan sumber karbohidrat perlu diperkaya dengan bahan makanan lain, misalnya bahan makanan sumber protein. Adanya suplementasi ini akan diperoleh BMC yang bergizi tinggi sesuai dengan kebutuhan bayi. Sebagai sumber protein dapat ditambahkan tepung kedelai, tepung kedelai hijau, tepung terigu dan sebagainya.
(Anonimc, 2008)
Selain itu, umbi ganyong juga dimanfaatkan untuk penelitian-penelitian antara lain:
a) Kadar Glukosa dan Bioetanol pada Fermentasi Gaplek Ganyong (Canna edulis Kerr.) dengan Dosis Ragi dan Waktu Fermentasi yang Berbeda.
Pembuatan bioetanol dari bahan yang kurang memiliki nilai jual dan kurang bermanfaat akan sangat menguntungkan, sebagai contoh adalah ganyong yang kurang dimanfaatkan masyarakat dan memiliki nilai jual rendah (Wijayanti, 2008).
b) Konversi ganyong menjadi bioetanol
Umbi ganyong mengandung karbohidrat yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk produksi glukosa dan fermentasi etanol (Lily dan Dede, 2008).
c) Komposisi Nutrien dan Kandungan Senyawa Bioaktif Pati Ganyong. Pemanfaatan umbi ganyong sebagai pangan lokal perlu didukung oleh pengetahuan tentang komposisi nutrien dan kandungan senyawa bioaktif di dalamnya (Damayanti, dkk., 2009)