• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seorang pelukis atau seniman dalam berkarya, di samping menghadirkan karya seni itu sendiri juga menampilkan berbagai hal yang ada pada karya seni tersebut. Karya seni itu sendiri merupakan wujud pembabaran dari ide penulis atau seniman yang bisa berawal dari sebuah renungan terhadap pengalaman yang terjadi dalam kehidupan seorang pelukis, pengalaman dalam pengertiannya dapat berarti pengalaman pendengaran, penglihatan, bahkan perasaan terhadap sesuatu yang terjadi di sekitarnya.

Ide itu tidak jatuh dari langit, inilah yang dibayangkan Rouseau ketika bukunya tentang masyarakat yang diawali dengan kalimat terkenal: “Pada awal mula, manusia hidup bebas, tak terikat oleh apapun. Tapi apa yang sekarang kita saksikan? Dari segala sudut ia terbelunggu.” Itu disebabkan karena lambat laun dan karena terpaksa oleh kebutuhan hidup manusia.

Manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhannya serta berusaha membentuk dan memiliki kemampuan serta berusaha membentuk dan memiliki kemampuan yang bermanfaat dalam menghadapi situasi berbagai perkembangan dan perubahan yang dialami manusia, maka tumbuhlah problema atau masalah yang kompleks yang menuntut kemajuan dan pemikiran yang berkembang pula.

Kejadian sehari-hari, setiap waktu yang dihadapi selalu menggelitik perasaan. Dalam proses menciptakan karya merupakan proses pengalaman pribadi

commit to user

yang lahir dari interaksi keseharian sebagai makhluk sosial. Di tengah masyarakat yang heterogen dan selalu bergerak dinamis.

Kant dan banyak filsuf lainnya menandaskan bahwa pengalaman estetik itu bersifat “sepi ing pamrih”, manusia tidak mencari keuntungan, tidak terdorong oleh pertimbangan praktis. Seorang mahasiswa dari Fakultas Pertanian bila berhadapan dengan sebidang sawah, mungkin juga spontan mengarahkan perhatiannya kepada jenis padi yang ditanamkan. Sedangkan mahasiswa dari Fakultas Ekonomi akan berpikir tentang harga gabah dan sebagainya. Tetapi seorang mahasiswa yang peka terhadap lingkungan atau keindahan dan makna ataupun sebagainya (misalnya dari akademi seni rupa) tidak memikirkan hal-hal praktis itu. Ia hanya terpukau oleh keindahan alam, padi yang sedang menguning tersentuh oleh sinar matahari turun ke barat dan angin sejuk sehingga padi seolah- olah bergelombang.

Dalam hal ini pengalaman tentang keindahan yang begitu mengesankan, sehingga menggetarkan hati untuk mengabadikan dalam karya seni. Ketika mau makan berhadapan dengan semangkuk mie ayam di pinggir jalan, mie ayam yang dilihat mata dengan asapnya karena masih panas. Dipikirkan enak karena sudah dua bulan tidak makan mie ayam.

Saat itu memang dalam pikiran terpecah, makan pun masih memikirkan hal- hal lain entah itu pekerjaan, ataupun fantasi yang timbul, menatap semangkuk mie ayam, sambil mengunyah mie asin pedas, malah terpikirkan tentang keindahan sebuah mie ayam mengenai warna dan bentuk mie tersebut. Sampai makan selesai

commit to user

sambil berjalan pulang masih terpikirkan keindahan mie ayam untuk dijadikan obyek dalam berkarya. Dari situ mulailah berpikir lanjut tentang keberadaan mie ayam yang biasanya dalam penyajiannya menggunakan mangkuk berwarna putih dengan gambar ayam. Mangkuk yang biasanya digunakan oleh para pedagang kaki lima di pinggir jalan, mengingatkan akan susah payahnya mereka menjajakan dagangannya yang kadang malah susah mencari tempat yang strategis. Karena aturan pemerintah yang kurang adil memikirkan mereka, seperti larangan- larangan yang kurang bijak, mementingkan kebersihan dan kenyamanan para kapital yang tak memperhatikan bagaimana berjalannya pemerataan yang terjadi sama sekali tidak seimbang. Rakyat kecil yang susah payah bekerja keras dengan tekun dalam kekurangannya harus kalah dengan mereka yang serakah bisa membeli lapangan kerja dengan kekayaannya, dan untuk memperkaya dirinya dan golongan. Kejanggalan-kejanggalan di atas dirasakan sangat menggelitik perhatian penulis dan mewujudkan dalam karya “Mie Ayam Numplak” yang letih karena lelah berjuang dengan kekurangan yang ada.

Sejalan dengan situasi dan kondisi penulis yang juga tinggal di lingkungan pedesaan, dalam keseharian tak ada renggangnya penulis melihat para petani yang beraktifitas mengolah lahan, bahkan penulis juga seorang yang tak lepas dari bertani. Tiap ada pekerjaan di sawah yang bisa penulis kerjakan di sawah. Penulis yang mengalami antara menjadi petani yang hidup di desa dan menjadi mahasiswa yang hidup di kota dengan sarana-prasarana yang lengkap. Yang sangat sering merasakan kerja keras menyuluh lahan di bawah sinar terik matahari. Berbeda dengan saat penulis berada di meja kuliah ataupun di lingkungan kampus dengan

commit to user

gaya hidup muda mahasiswa. Sangat terasa perbedaan yang kontras dari sisi kenyamanan saat bekerja di bawah terik matahari terasa sangat meletihkan bahkan kadang menjadi suatu hal yang mengganjal di hati, tapi tetap harus dikerjakan. Dalam hati berkata,”rekoso tenan dadi petani”. Tapi di balik itu ketika penulis melihat kiri-kanan, orang tua terlihat bekerja dengan damai tenteram gembira bekerja mengolah lahan demi masa depan, dan juga untuk menyekolahkan anak- anaknya. Tapi apa yang terjadi di balik itu semua itu penulis mengamati anak muda jaman sekarang. Mereka semua bersekolah mengejar ilmu sekolah agar pintar, sampai mereka pun lupa nenek moyangnya. Bagaimana masa depan pertanian dengan menghilangnya generasi muda dari profesi ini. Terwujud dalam karya “Thanks for Farmers”.

Dalam mengekspresikan pengalaman pribadi tidak selalu pengalaman yang berat dan luar biasa. Tetapi kadang yang kelihatannya sepele dan sering dijumpai setiap orang di sekitar kita justru menarik dan menggelitik imajinasi. Saat penulis melihat bermacam-macam mainan anak-anak dengan berbagai warna cerah dan alami, berawal dari iseng memotret dengan kamera terlihat benda-benda tersebut sangat menarik untuk dijadikan sebagai obyek karya seni. Bisa dilihat pada karya yang berjudul “Still Life” dengan warna-warna dan bentuk yang sekedar enak untuk dilihat kasat mata.

Dalam aktivitas sehari-hari di lingkungan kampus melihat para mahasiswa dan mahasiswi yang berpakaian rapi yang merupakan anjuran para pengajar, lengkap dengan busana yang tak pernah ketinggalan, dan kendaraan-kendaraan yang berjajar rapi di tempat parkir dan di jalan raya sebagai wujud fisik

commit to user

perkembangan jaman. Kaki-kaki yang bersepatu di atas kendaraan sudah jarang menginjak tanah. Sebagai pekerja keras di bumi agraria, generasi muda mulai meninggalkan etos kerja warisan nenek moyang, malah berbondong-bondong menggunakan roda-roda yang sengaja dipasang di kakinya dengan setir kapitalisme budaya barat yang terasa menyajikan kenyamanan di bagian luarnya, yang sebenarnya membajak ingin mengolah kekayaan tanah bangsa kita. Keadaan ini diwujudkan dalam karya “Tak Menginjak Tanah”. Karya ini masih sangat berhubungan dengan karya kedua “Thanks for Farmers”.

Perkembangan jaman yang pesat, persaingan dalam hidup menjadi sangat ketat dalam berbagai bidang, seperti wanita yang memakai baju makin ketat seketat masyarakat menjaga martabat. Seperti dunia sudah mau kiamat, ditandai dengan moral-moral bejat yang terus menggeliat menuju jaman jahiliyah. Keadaan toleransi masyarakat yang mulai gawat dipenuhi dengan duri kawat melilit mereka yang ditindas oleh mereka yang kuat. Kekejaman seiring perkembangan jaman agaknya mulai berbalap. Memulai start dengan egonya memperalat yang lemah tanpa segan sampai muntahnya pun dibuang di tempat sampah. Keadaan ini menjadi sarapan yang memuakkan dan memalaskan untuk memulai aktifitas. Dunia sudah masuk dalam tempat sampah instalasi gawat darurat yang dirawat manusia-manusia kurang bermoral.

Perkembangan ilmu dan teknologi menggiring masyarakat kepada kemudahan dalam beraktifitas, mendayagunakan sumber daya manusia yang semakin pintar. Teknologi menjamah ke semua kalangan metropolitan dan desa. Tower-tower mulai berdiri di mana dengan memancarkan sinyal kemudahan dan

commit to user

kepintarannya dengan cepat menginformasikan pengetahuan. Sebagai contoh teknologi di bidang internet yang sudah menjadi Tuhan kedua yang serba tahu di bawah Tuhan Yang Maha Tahu.Tapi buruknya dampak kemudahan tersebut adalah terlalu memanjakan masyarakat dalam kondisi bermalas-malasan dan ketergantungan. Yang menjadi korbannya adalah generasi muda jaman sekarang seperti menjadi kejanggalan di atas, identitas bangsa Indonesia yang sudah kehilangan jati diri.

Dalam hidup bermasyarakat di negara yang berketuhanan, tentunya kita sangat menjaga keharmonisan antar sesama. Salah satunya dengan berbuat jujur memperlihatkan keaslian masing-masing. Menjadi sebuah kaca bagi kita untuk menyikapi diri dan dunia, apakah kita sudah menjadi orang yang hidup dalam keaslian. Sepertinya masyarakat pun saat berkaca hasilnya sangat berbeda dengan kenyataannya, adalah penuh kebohongan. Di kebanyakan mulut-mulut yang lebih banyak menutupi kepalsuan, yang terus berjejalan dengan terus berkaca diharapkan dapat menjadi titik untuk menyadari, dan kemudian menghindari.

Di lingkungan kampus sekarang ini, mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya di depan laptop mereka masing-masing. Penggunaan laptop sepertinya tidak lagi pada fungsinya yang pas. Malah kadang menjadi sebuah trend teknologi seperti beberapa tahun yang lalu trend dalam teknologi yang diwujudkan dengan telepon genggam yang menjadi tolak ukur kelas pergaulan kaula muda. Bagaimana laptop menyajikan kenyamanan yang begitu pas bagi karakter anak muda jaman sekarang yang sudah umum dengan ciri-ciri kebanyakannnya, yaitu instan seperti makanan instan pada umumnya, praktis dan cepat disajikan, terasa

commit to user

enak di lidah (luar), dan terasa cepat lapar di perut (dalam). Dari sisi keinstanan tersebut, yang menjadikan kejanggalan penggunaan teknologi sangat terlihat bagaimana para pengguna laptop ke mana-mana membawanya dan dalam 24 jam lebih banyak menggunakan waktunya untuk iseng bermalas-malasan, mungkin ngegame ataupun berjejaring sosial di dunia maya. Bahkan ada yang mengerjakan tugas tetap tak bisa lari dengan yang namanya Facebook, atau malah sebaliknya. Facebook-an sambil copy-paste tugas untuk formalitas pengumpulan tugas sebagai syarat nilai di atas kertas.

Kita bisa merasakan bagaimana kegunaan sesuatu yang instan itu untuk jangka panjang. Sesuatu yang diraih dengan instan pastinya memiliki rasa yang instan pula, yaitu cepat dimulai dan cepat berakhir pula. Keinstanan-keinstanan yang terjadi saat ini sangatlah vulgar, menjadi sebuah branding masyarakat Indonesia. Generasi saat ini adalah generasi pembeli teknologi yang murah dan mudah,merupakan generasi instan. Kesuksesan yang diraih secara instan, mudah naik mudah pula turunnya, atau mudah muncul dan mudah pula tenggelamnya, dll. Kesuksesan diukur dari ketenaran. Salah satu contohnya adalah TV yang menjadi ukuran sang jawara, yang tak begitu bermanfaat bagi masyarakat, yang tak begitu memberikan pengaruh baik bagi masyarakat di negeri ini.

Di tengah-tengah kemajuan jamamn, dewasa ini membuat penulis mencoba berkaca terhadap jaman. Penulis merasa menjadi bagian yang sangat kecil di tengah euforia jaman. Penulis masih dalam keadaan bingung yang menemani perjalanan pencarian jati diri, identitas negeri maupun identitas diri. Saat kebingungan menemani, terasa menjadi seorang yang sama sekali tak berguna.

commit to user

Hidup semakin tak jelas mencari mana benar, mana yang harus dipercaya. Di atas seribu alasan dan pembelaan sebuah pernyataan dalam kebingungan diri yang sangat menusuk jiwa dan menggelisahkan hati ini, tersisksa dalam penjara kedirian dan dalam pasungan kebodohan. Oh Tuhan, apakah diri ini busuk di depanmu sehingga Engkau kirimkan lalat-lalat hijau yang mengerumuni tubuh ini? Sehingga menyadarkan diri untuk merangkak, tumbuh mengejar ketertinggalan dengan tetap bersemangat di atas ketidakstabilan diri yang tetap sabar mensyukuri hujan semangat berkarya yang Engkau siramkan di tengah- tengah kebingungan ini.

Dokumen terkait