• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses menggoreng adalah perendaman dan pemasakan bahan pangan dalam minyak panas dengan tujuan untuk memperoleh produk dengan karakteristik warna, aroma dan tekstur yang khas (Dana dan Saguy, 2003). Tujuan proses penggorengan antara lain untuk meningkatkan kualitas makan (eating quality) dari makanan, meningkatkan daya simpan karena adanya pemusnahan mikroba, perusakan enzim-enzim dan pengurangan kadar air (Fellows, 2000). Proses penggorengan secara deep-fat frying menurut Robertson (1967) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses penggorengan secara deep-fat frying

Pada saat bahan pangan masuk ke dalam proses penggorengan, maka bahan pangan tersebut akan membawa oksigen, air, leachable metal, komponen warna pada minyak, dan sistem enzim yang melengkapi beberapa reaksi degradasi walaupun cepat diinaktivasi. Oksigen akan berkontribusi terhadap oksidasi lemak yang menyebabkan peningkatan komponen volatil dan polimetrik, air akan berkontribusi terhadap hidrolisis lemak dan

Steam Finished fried product Frying oil Prepared Raw Food

Heat Filtered Crumbs

Steam-entrained Fat and Fatty by product

16 peningkatan asam lemak bebas, monogliserida, digliserida dan gliserin, (Banks dan Lusas, 2002).

Menurut Blumenthal (1996), kelebihan proses menggoreng adalah waktu yang lebih singkat, pemasakan yang efektif, minyak yang digunakan menjadi bagian produk akhir, produk lebih renyah, serta warna produk menjadi agak kecoklatan yang akan meningkat selama proses penggorengan tersebut. Proses penggorengan pada umumnya hanya beberapa detik hingga beberapa menit. Perbedaan suhu yang besar antara minyak dan produk selama proses penggorengan menyebabkan pemasakan menjadi efektif ketika tingkat surfaktan mulai meningkat sehingga kontak antara produk dan minyak menjadi optimal.

Proses menggoreng melibatkan pindah panas, pindah massa dan interaksi yang kompleks antara produk yang digoreng dan minyak. Fellows (2000) menyatakan bahwa berdasarkan pindah panas yang terjadi, terdapat dua metode mengoreng yaitu shallow frying dan deep-fat frying. Pindah panas pada metode shallow frying ini terjadi secara konduksi melalui lapisan tipis dari minyak sedangkan pada metode deep-fat frying, pindah panas terjadi secara kombinasi antara konveksi dalam minyak panas dan konduksi dari minyak ke dalam produk. Keunggulan metode deep-fat frying dibanding dengan shallow frying adalah pada metode deep-fat frying semua permukaan mendapatkan perlakuan panas yang sama sehingga menghasilkan penampakan produk yang sama.

Suhu yang digunakan untuk menggoreng pada umumnya ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan persyaratan produk. Pada suhu tinggi (180- 2000C), waktu proses yang diperlukan singkat dan tingkat produksi akan meningkat. Namun suhu tinggi dapat menyebabkan percepatan kerusakan minyak dan pembentukan asam lemak bebas yang mengubah viskositas, aroma dan warna minyak serta berbusa. Hal ini akan meningkatkan frekuensi penggantian minyak goreng sehingga biaya akan meningkat.

1. Perubahan Bahan Pangan selama Proses Penggorengan

Proses penggorengan bahan pangan melibatkan beberapa tahap proses, yaitu mulai pemasukan bahan, case hardening, pengerasan permukaan,

17 penurunan kelembaban, akhir penggorengan dan absorpsi minyak. Pada tahap pemasukan bahan, bahan mentah terendam dalam minyak panas, lalu pati pada permukaan bahan tergelatinisasi dengan cepat dan permukaan produk tertutup merata oleh gelembung uap kecil karena air pada permukaan bahan menguap.

Gambar 7. Reaksi-reaksi yang terjadi selama proses deep fat frying (Ziaiifar, 2008)

Pada tahap case hardening, lapisan paling luar pada permukaan produk mengalami dehidrasi. Ketika air permukaan semakin berkurang, air internal bahan berubah menjadi uap. Pada tahap pengerasan permukaan, lapisan tambahan dari permukaan sel mulai mengalami dehidrasi dan mengembangkan struktur kerak (Banks dan Lusas, 2001).

Selama tahap penggorengan akhir, suhu permukaan secara cepat mendekati suhu minyak. Kadar air rendah dan suhu tinggi mendukung reaksi asam amino, protein dan karbohidrat. Suhu yang semakin meningkat mendukung penurunan kadar air akhir, pengembangan kerak,

HEAT

Isomerization Cylisation Polymerisation

Trans Fatty Cyclic Dimers Acid Compounds Trimers

Polymers OXYGEN Oxidation Hydroperoxydes Aldehydes Ketones Acids Epoxides Dimers-Trimers Hydrolysi WATER FOOD FRYING OIL Oil uptake Dehydration Hydrolysis Mono, di- glycerides Glicerol FFA Polar compounds

18 dengan tekstur yang renyah. Kadar minyak dalam bahan akan meningkat selama proses ini, namun sebagian besar minyak berada di permukaan bahan. Pada tahap absorpsi minyak, kadar lemak bahan yang digoreng diperoleh dari pembasahan permukaan, penyerapan minyak melalui kapiler bahan dan absorpsi vakum. Pada tahap akhir, minyak diabsorpsi oleh kapiler untuk mengisi kekosongan yang terbentuk pada bahan pangan. Pada proses pendinginan, uap air dalam produk terkondensasi membentuk vakum parsial yang mempercepat penyerapan minyak pada permukaan (Banks dan Lusas, 2001).

2. Perubahan Minyak selama Proses Penggorengan.

Minyak yang digunakan untuk proses penggorengan mengalami empat perubahan yaitu perubahan warna, oksidasi, polimerisasi dan hidrolisis. Perubahan warna terjadi karena adanya senyawa dari bahan pangan yang digoreng seperti pati, protein, fosfat, sulfur, dan metal (Hawson, 1995).

Oksidasi minyak terjadi akibat adanya kontak antara minyak dengan oksigen dari udara. Oksidasi menyebabkan minyak menjadi tengik sehingga dapat mempengaruhi karakteristik organoleptik produk hasil goreng. Oksidasi terjadi secara berantai. Oksidasi primer menghasilkan hidroperoksida. Oksidasi sekunder memecah hidroperoksida menjadi senyawa polar dan oksidasi tersier merupakan reaksi polimerisasi dari senyawa-senyawa sekunder. Polimerisasi akan mempercepat terjadinya kerusakan minyak. Polimer yang terbentuk akan meningkatkan viskositas minyak, mengurangi kemampuan pindah panas, menghasilkan buih selama penggorengan dan menghasilkan off-colour. Polimer juga dapat menyebabkan peningkatan penyerapan minyak di produk (Choe dan Min, 2007). Hidrolisis merupakan reaksi yang terjadi antara air dengan trigliserida.

Menurut Gebhardt (1996), selama proses deep fat frying, minyak dipanaskan secara terbuka sehingga ada kontak antara minyak dengan udara sehingga menyebabkan perubahan sifat fisiko-kimia minyak yang digunakan. Perubahan ini meliputi perubahan fisik seperti bertambahnya

19 kadar air karena perpindahan dari bahan yang digoreng, perubahan kimia dan interaksi kimia antara minyak goreng dengan komponen bahan yang digoreng. Perubahan fisiko-kimia akan dipercepat dengan adanya keberadaan air pada bahan pangan yang digoreng dan menimbulkan reaksi hidrolisis pada minyak, oksigen dari udara yang kontak dengan permukaaan minyak dan ketinggian suhu penggorengan. Makin tinggi suhu penggorengan, makin cepat proses kerusakan minyak

Dokumen terkait