• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyelesaian Sengketa Kepailitan

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN

C. Proses Penyelesaian Sengketa Kepailitan

Proses permohonan pernyataan pailit dalam pasal 3 UUK dan PKPU sama dengan proses penyelesaian sengketa kepailitan. Yang mana isi dari pasal 3 ayat 1tersebut menyatakan putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur. Proses penyelesaian sengketa kepailitan tersebut terdapat Pada pasal 6 dan Pasal 8 UUK dan PKPU. Proses yang terdapat dalam Pasal 6 tersebut yaitu :51

1. Permohonan ditujukan ke Ketua Pengadilan Niaga. 2. Panitera mendaftarkan permohonan.

3. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan.

4. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan .

5. Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit di daftarkan,pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang.

51

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 6.

6. Pemeriksaan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan

7. Bila alasan cukup Pengadilan dapat menunda paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan

Sedangkan proses yang terdapat dalam pasal 8, yaitu :52

1. Pengadilan wajib memanggil debitur dan dapat memanggil kreditur.

2. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat paling lambat 7 hari sebelum siding pertama diselenggarakan.

3. Pemanggilan dianggap sah dan diterima oleh debitur jika dilakukan oleh juru sita.

4. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan bila terdapat fakta

5. Putusan Pengadilan paling lambat 60 hari setelah permohonan pernyataan pailit didaftarkan

6. Putusan pengadilan wajib memuat pasal tertentu dari perundang – undangan yang bersangkutan dann pertimbangan hukum serta pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

Hukum acara yang berlaku di dalam proses penyelesaian sengketa kepailitan adalah hukum acara perdata. Maka terhadap pengadilan niaga yang merupakan pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa kepailitan, berlaku hukum acara perdata kecuali ditentukan lain dengan undang-undang ini.

52

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 8

Menurut Undang-Undang Kepailitan, pengadilan yang berwenang untuk mengadili perkara penyelesaian sengketa kepailitan adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor. Yang dimaksud pengadilan menurut Undang-Undang Kepailitan ini adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkupan peradilan umum.

Pembentukan pengadilan niaga ini dilakukan secara bertahap berdasarkan keputusan presiden dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan, dan untuk pertama kali pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemudian menyusul kota-kota lain seperti: Surabaya, Medan, dan lain-lain.

Selain memeriksa dan memutus penyelesaian sengketa kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, pengadilan niaga juga berwenang pula untuk memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang. Misalnya: perkara-perkara di bidang HaKi seperti: hak cipta, merek, paten, desain industri, dan rahasia dagang.53

53

Rahayu Hartini, op.cit., hlm. 102.

Selain melalui pengadilan niaga, proses penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui cara arbitrase. Arbitrase merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa.

Selain arbitrase yang merupakan bentuk dari penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan, teknik atau prosedur teknis lain yang sudah berjalan adalah: negosiasi, konsiliasi, dan juga mediasi. Namun arbitrase adalah bentuk dari penyelesaian sengketa kepailitan yang paling banyak digunakan oleh komunitas bisnis dan hukum.

Maka dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian sengketa kepailitan dilalui dengan cara pengajuan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan, kemudian Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan pada saat diajukan, dan kepada pemohon pernyataan pailit diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang mempunyai wewenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran, lalu Panitera akan menyampaikan permohonan pernyataan pailit itu kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, dan dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, Pengadilan akan memperlajari permohonan dan menetapkan hari sidang, kemudian sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit akan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.

D. Upaya Hukum Yang Dilakukan Terkait Penyelesaian Sengketa Kepailitan.

Upaya hukum merupakan langkah atau usaha yang diperlukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memperoleh keputusan yang adil. Upaya hukum

yang dikenal dalam hal penyelesaian sengketa kepailitan yakni: kasasi dan peninjauan kembali.

Upaya hukum kasasi merupakan pengajuan permohonan hukum tingkat akhir apabila pemohon tidak puas atau keberatan atas putusan pada tingkat pertama. Tidak ada tingkat banding atau tingkat dua. Dan apabila putusan itu telah berkekuatan tetap dapat diajukan permohonan peninjauan kembali.

Dalam Pasal 11 Undang-udang Kepailitan disebutkan, upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung, yaitu : 54

a. Upaya hukum terhadap putusan pailit dapat diajukan Kasasi ke Mahkamah Agung.

b. Permohonan Kasasi diajukan paling lambat 8 hari setelah putusan pailit diucapkan.

c. Sidang permohonan Kasasi paling lambat 20 hari setelah tangal permohonan Kasasi diterima.

d. Putusan Kasasi dapat diajukan Peninjauan Kembali.

Pada umumnya dalam perkara perdata atau pidana maupun tatausaha negara dan militer, hanya yang telah melalui putusan tingkat kedua dapat memohon pemeriksaan tingkat kasasi. Pada Mahkamah Agung dibentuk sebuah Majelis yang khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi ruang lingkup Pengadilan Niaga. Mahkamah Agung dalam perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan pemeriksaan tingkat terakhir.

54

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 11

Mahkamah Agung akan bertindak baik judex factie maupun judex iuri. Sehingga setelah putusan Mahkamah Agung tingkat kasasi tidak ada upaya hukum biasa yang dapat ditempuh55

Dan upaya hukum lainnya yang dapat dilakukan untuk penyelesaian sengketa kepailitan adalah peninjauan kembali oleh Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan kepailitan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang Yang dapat dilakukan terhadap penyelesaian sengketa kepailitan adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan demikian terhadap keputusan pengadilan di tingkat pertama tidak dapat diajukan upaya hukum banding, tetapi langsung dapat dilakukan upaya kasasi.

Permohonan kasasi yang dilakukan kepada Mahkamah Agung diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit.

Kemudian Panitera Pengadilan akan mendaftarkan permohonan kasasi tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan yang diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh Panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan upaya hukum pada prinsipnya adalah sama dengan pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit, yaitu: debitor, kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), dan Menteri Keuangan.

55

Kurniawan. Pemberesan Harta Pailit pada Perusahaan Perorangan pada PT. SIERAD PRODUCE Tbk

tetap. Peninjauan kembali atau biasa disebut Request Civiel adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi lain.

Syarat-syarat peninjauan kembali

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk peninjauan kembali diantaranya sebagai berikut:56

1. Diajukan oleh pihak yang berperkara.

2. Putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Membuat surat permohonan peninjauan kembali yang memuat alasan-alasannya.

4. Membayar panjar biaya peninjauan kembali.

5. Menghadap di Kepaniteraan Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama.

Terdapat juga beberapa alasan mengapa diajukannya peninjauan kembali, antara lain :57

1. Adanya putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.

56

DPW Badan Advokasi Hukum Nasdem Jabar. Jenis-jenis upaya hukum

Diakses tanggal 16 april2012

57

DPW Badan Advokasi Hukum Nasdem Jabar. Jenis-jenis upaya hukum

Diakses tanggal 16 april2012

2. Apabila perkara sudah diputus, tetapi masih ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.

3. Ada suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.

4. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu yang sama, atau dasarnya sama, diputuskan oleh pengadilan yang sama tingkatnya, tetapi bertentangan dalam putusannya satu sama lain.

5. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. (pasal 67 UU No. 14/1985).

E. Keberadaan Klausul Arbitrase dalam Menyelesaikan Sengketa Kepailitan.

Seperti yang telah di bahas sebelumnya, bahwa proses penyelesaian sengketa kepailitan sama dengan proses permohonan pernyataan pailit dalam pasal 3 UUK dan PKPU. Pada pasal 303 tertulis bahwa “ pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) undang – undang ini.” 58

Dalam pasal 1 ayat 1 Undang – Undang nomor 30 tahun 1999, menyatakan bahwa “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdatadi

58

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 303.

luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”59

Aturan-aturan main yang berhubungan dengan pranata penyelesaian sengketa alternatif termasuk ke dalam pranata arbitrase yang diatur di dalam hukum positif negara Republik Indonesia. Dapat kita ketahui bahwa sebenarnya pengaturan pranata alternatif penyelesaian sengketa belumlah sepenuhnya seragam. Dalam arti bahwa dalam banyak hal, beberapa ketentuan hukum positif yang mengatur pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang tidak

Dalam menyelesaikan sengketa kepalitan, tidak selamanya harus melalui jalur pengadilan (litigasi). Terdapat alternatif lain dalam menyelesaikan sengketa kepailitan tersebut, yaitu melalui penyelesaian sengketa alternatif atau Alternatif

Dispute Resolution (ADR).

Penyelesaian sengketa alternatif atau Alternatif Dispute Resolution (ADR) merupakan suatu bentuk penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa. Sebagai konsekuensinya, maka alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela dan karenanya tidak dapat dipaksakan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya dan bersengketa.

Penyelesaian sengketa alternatif mempunyai kadar keterikatan kepada aturan main yang bervariasi, dari yang paling kaku dalam menjalankan aturan main sampai kepada yang paling relaks. Demikian juga dengan faktor-faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja juga berbeda-beda.

59

Republik Indonesia, Undang-Undang no 30 tahun 1999, tentang “arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa”,pasal 1 ayat 1.

sinkron atau sejalan dengan ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Ada dua macam penyelesaian sengketa alternatif yang dikenal, yakni penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan dan penyelesaian sengketa alternatif di dalam pengadilan. Pada penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan, teknik atau prosedur teknis yang sudah berjalan adalah: negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Arbitrase adalah yang paling banyak dipakai oleh komunitas bisnis dan hukum.

Di dalam tata hukum di Indonesia, keberadaan dan perkembangan arbitrase sebagai hukum positif memiliki sejarah tersendiri yang menunjukkan betapa jauh ketertinggalan arbitrase kita apabila dibandingkan dengan perkembangan arbitrase diluar negeri. Padahal sebenarnya kodifikasi atau kelembagaan arbitrase ini sudah sangat tua, yaitu dengan dicantumkannya di dalam salah satu bagian dari Reglement op de Rechtsvordering (Rv) dengan Staatsblaad 1847 No. 52 jo. S. 1849 No. 60.

Berikutnya kesempatan memanfaatkan arbitrase ini diperluas dengan Pasal

377 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) S. 194-44 dan Pasal 705

Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg) S. 1927-227. Kedua ketentuan ini

menegaskan bahwa:

1. Golongan Indonesia pribumi dan golongan Timur Asing dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, dan

2. Karena itu golongan tersebut wajib mengikuti ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan Buku III Bab Pertama Rv Pasal 615 sampai dengan Pasal 651.

Dengan demikian, ketentuan arbitrase diberlakukan untuk semua golongan penduduk. Akan tetapi sampai awal kemerdekaan Indonesia, belum nampak implementasi arbitrase baik secara ad hoc maupun berbentuk lembaga.

Menurut Subekti, arbitrase merupakan penyelesaian suatu perselisihan atau perkara oleh seseorang atau beberapa orang wasit arbiter yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan. Sedangkan menurut William H.Gill, arbitrase adalah penyelesaian suatu persengketaan atau perbedaan antara tidak kurang dari dua orang untuk diselesaikan setelah mendengar pendapat kedua pihak secara hukum oleh orang lain selain pengadilan atau yang yurisdiksi yang berwenang..

Di dalam Black’s Law Dictionary, arbitration is “the reference of dispute to an impartial (third) person chosen by the parties to the dispute who agree in advance to abide by the arbitrator’s award issued after hearing at which both parties have an opportunity to be heard. An arrangement for taking and abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter. Instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the

delay, the expense, and vexation of ordinary litigation”.

Penyelesaian persengketaan oleh pihak ketiga yang dipilih oleh pihak yang bersengketa yang telah menyetujui untuk mematuhi keputusan arbitrator yang telah dikeluarkan sebelumnya setelah adanya dengar pendapat dari kedua pihak setelah mendapatkan kesempatan untuk didengarkan. Suatu pengaturan untuk mengambil dan mematuhi keputusan orang-orang yang terpilih mengenai hal-hal yang dipersengketakan. Tidak dengan membawanya ke pengadilan dan

dimaksudkan untuk menghindari formalitas penundaan dan biaya litigasi yang lazim).

Institusi arbitrase ini sebenarnya bukan satu-satunya jalan untuk menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Masih ada beberapa alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase, misalnya: negosiasi, mediasi, konsiliasi, pencari fakta, peradilan mini, pengadilan kasus kecil, dan peradilan adat.

Beberapa hal positif dari penggunaan Undang-Undang Arbitrase ini antara lain adalah: proses yang menjunjung tinggi kerahasiaan para pihak dengan pemeriksaan sidang yang tertutup untuk umum dan larangan publikasi putusan arbitrase, pemeriksaan dilakukan oleh arbiter atau majelis arbiter pilihan para pihak, putusan yang bersifat final dan mengikat, tidak ada upaya banding maupun kasasi, jangka waktu yang singkat yaitu 180 hari pemeriksaan sudah harus selesai dan diputus sehingga memenuhi acara yang singkat, cepat, relatif lebih murah.60

60

Ibid., hlm 15.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase ini apabila ada sengketa perdata dagang yang dalam perjanjiannya memuat klausul arbitrase harus diselesaikan oleh lembaga arbitrase, dan pengadilan negeri wajib menolak dan menyatakan tidak berwenang untuk mengadilinya apabila perkara tersebut diajukan. Karena menjadi wewenang lembaga arbitrase untuk menyelesaikannya sesuai dengan kesepakatan para pihak dalam perjanjian tersebut.

Pada prinsipnya hanya perjanjian yang mensyaratkan adanya klausul arbitrase saja yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, baik itu arbitrase ad hoc ataupun lembaga arbitrase seperti BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sementara itu sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Di dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999, yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan sengketa yang ada klausul arbitrase bukanlah pengadilan negeri, melainkan lembaga arbitrase seperti BANI atau arbiter yang ditunjuk oleh para pihak atau lembaga Badan Arbitrase Internasional untuk sengketa Internasional.

Sengketa kepailitan yang bisa diselesaikan melalui arbitrase adalah jika telah diperjanjikan terlebih dahulu secara tegas bahwa sengketa yang akan mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase, dan pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap serta mengikat para pihak. Dikarenakan putusan arbitrase merupakan putusan final, maka tidak dapat diajukan banding, kasasi, ataupun peninjauan kembali.

Memang ada upaya perlawanan ke pengadilan negeri, tetapi perlawanan tersebut hanya dapat dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, itupun sangat terbatas yaitu:61

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah diputuskan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

2. Setelah putusan diambil, ditemukan semacam novum, yakni dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan.

3. Putusan arbitrase diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Ketika seseorang atau suatu badan usaha melakukan suatu hubungan dengan mitra usahanya diawali dengan membuat perjanjian atau kontrak yang mengatur mengenai semua hak dan kewajiban kedua belah pihak, termasuk diatur juga mengenai cara penyelesaiannya bila timbul masalah atau sengketa di kemudian hari berkaitan dengan isi perjanjiannya apakah akan diselesaikan melalui pengadilan (litigasi) ataukah dengan mengangkat atau menunjuk pihak ketiga sebagai juru damai atau wasit (arbitraselnon litigasi). Dalam hal ini sebaiknya para pihak memilih salah satu bukan keduanya. Karena menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase apabila dalam perjanjiannya sudah mencantumkan adanya janji atau klausul arbitrase

(arbitration clausula), maka Pengadilan Negeri tidak mempunyai kewenangan

lagi untuk menyelesaikan sengketa tersebut dan wajib untuk menolak. Dengan kata lain sengketa tersebut harus diselesaikan dengan arbitrase atau diluar

61

lembaga peradilan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Tetapi yang perlu diperhatikan apabila sengketa dagang tersebut pada pokoknya tentang “Kepailitan”, maka untuk penyelesaiannya adalah menjadi kewenangan Pengadilan Niaga secara khusus yang merupakan bagian dari Peradilan Umum.

Arbitrase biasa dilakukan oleh para pengusaha nasional maupun Internasional sebagai suatu cara perdamaian memecahkan ketidaksepahaman pihak-pihak di bidang komersial atau dagang. Bidang komersial tersebut meliputi: transaksi untuk ekspor-impor makanan, perjanjian distribusi, perbankan, asuransi, konsesi, perusahaan joint venture, pengangkutan penumpang pesawat udara, laut, kereta api, maupun jalan raya. Bahkan perkembangan selanjutnya ternyata tata cara penyelesaian dengan cara damai seperti arbitrase banyak dimanfaatkan juga di bidang-bidang sengketa tentang: franchising, penerbangan, telekomunikasi Internasional, dan penggunaan ruang angkasa komersial.

Menurut Abdul Rasyid, arbitrase biasa dipilih para pengusaha untuk penyelesaian sengketa komersialnya karena ternyata memiliki beberapa kelebihan antara lain:62

1. Para pihak yang bersengketa dapat memilih para arbiternya sendiri. Untuk ini tentunya akan dipilih mereka yang dipercayai memiliki integritas, kejujuran, keahlian, dan profesionalisme di bidangnya masing-masing. 2. Pelaksanaan majelis arbitrase konfidensial dan oleh karena itu dapat

menjamin rahasia dan publisitas yang tidak dikehendaki.

62

3. Putusan arbitrase sesuai dengan kehendak dan niat para pihak, merupakan putusan yang final dan mengikat para pihak terhadap sengketanya.

4. Karena putusan final dan mengikat, tata caranya bisa cepat, tidak mahal, serta jauh lebih rendah dari biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam proses pengadilan.

5. Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan, dan oleh karena itu terbuka untuk memperoleh dan tersedianya tata cara penyelesaian kekeluargaan dan damai (amicable), memberi kesempatan luas untuk meneruskan hubungan komersial para pihak di kemudian hari setelah berakhirnya proses penyelesaian sengketa.

BAB IV

KEWENANGAN PENGADILAN NIAGA DALAM SENGKETA KEPAILITAN

A. Sejarah Keberadaan Pengadilan Niaga.

Pengadilan Niaga berasal dari dua kata yaitu: Pengadilan, dan Niaga. Pengadilan menurut WJS Poerwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti dewan yang mengadili perkara. Karena itu perlu dibedakan dengan Peradilan yang berarti segala sesuatu mengenai perkara Pengadilan. Pengadilan adalah institusi yang bertugas untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara di Pengadilan. Sedangkan Peradilan adalah sifat dan kegiatan yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan. Niaga menurut WJS Poerwodarminto diartikan sebagai dagang. Dengan kata lain Pengadilan Niaga dapat diartikan dengan Pengadilan Dagang. Hal ini sesuai dengan terjemahan Wetboek Van Koophandel oleh Prof. R. Soebekti SH sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.63

Menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, “pengadilan adalah pengadilan niaga di dalam lingkungan peradilan umum”.64

Pembentukan Pengadilan Niaga merupakan langkah diferensiasi atas Peradilan Umum yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

63

Parwoto Wignjosumarto, op.cit., hlm. 209. 64

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 1, Angka 7.

Dalam ketentuan yang dituangkan di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 dikatakan bahwa peradilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga tersebut akan khusus bertugas menangani permintaan pernyataan kepailitan.

Ketentuan mengenai pengadilan niaga merupakan suatu ketentuan yang benar-benar merupakan ketentuan baru yang ditambahkan ke dalam

Dokumen terkait