• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERADILAN PERDATA

C. Proses Penyelesaian Sengketa Perdata di Peradilan Perdata

Dalam penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan para pihak harus memperhatikan prosedur yang mengacu pada Hukum Perdata Formil (Hukum

45

http://kaltim.tribunnews.com/2016/08/30/ini-peran-strategis-jaksa-pengacara-negara-Acara Perdata) dan Hukum Perdata Materiil. Di dalam Hukum http://kaltim.tribunnews.com/2016/08/30/ini-peran-strategis-jaksa-pengacara-negara-Acara Perdata terdapat serangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan serta bagaimana cara pengadilan harus bertindak untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata (Hukum Perdata Materiil).

Hukum Acara Perdata pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berlaku sekarang di negara kita, masih belum terhimpun dalam satu kodifikasi, tetapi tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang di buat negara kita sendiri setelah merdeka maupun peninggalan kolonial Hindia Belanda dulu, yang belum bisa diganti hingga kini dengan Hukum Acara Perdata nasional. Berikut beberapa sumber hukum acara perdata sejak peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda, kemudian peraturan perundang-undangan yang dibuat setelah kemerdekaan:46

1. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) 3. Burgerlijk Wetboek (BW)

4. Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 5. Wetboek van Koophandel (WvK)

6. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1974 7. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 8. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985

46 H. Riduan Syahrani, S.H., Sistem Peradilan dan Hukum Acara Perdata di Indonesia, (PT Citra Aditya Bakti, 2016) hlm. 14.

11. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 13. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 14. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 15. Yurisprudensi

16. Peraturan Mahkamah Agung

Sebuah perkara yang masuk ke pengadilan didahului dengan tindakan-tindakan yang bersifat administratif yang mana prosedur formal atau proses beracara di pengadilan negeri memiliki segi administratif yang landasan utamanya diatur dalam Pasal 2 UU No.4 Tahun 2004. Artinya terhadap perkara-perkara yang akan diselesaikan melalui pengadilan harus dilakukan pengelolaan sedemikian rupa, baik oleh penggugat maupun pengadilan sehingga perkara-perkara tersebut dapat diselesaikan secara tertib dan teratur. Setelah tindakan yang bersifat adminstratif selesai di lanjutkan dengan prosedur lain sebagai berikut :

a. Memasukkan Gugatan

Pada awalnya, penggugat menuangkan sengketa atau perkara yang akan dibawanya ke Pengadilan Negeri dalam bentuk surat gugatan. Meskipun kalangan praktisi hukum telah membakukan istilah “surat gugatan” akan tetapi menurut Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 ayat (1) RBg ditentukan bahwa gugatan perdata atau tuntutan sipil harus dimasukkan dengan surat permintaan atau surat permohonan.47

47 Tresna, Komentar atar Reglemen Hakim Acara di Dalam Pemeriksaan di Muka

Mengenai syarat-syarat gugatan, HIR/RBg memang tidak mengaturnya.

Walaupun demikian doktrin telah memberikan pemecahannya dengan menyebutkan syarat-syarat sebagai berikut:48

a) Persona standi in judicio, yaitu identitas para pihak, kualitas para pihak dan kompetensi relatif dicantumkan dalam surat gugatan.

Identitas ini meliputi nama, umur, pekerjaan dan alamat.

b) Fundamentum petendi, yakni bagian yang menguraikan peristiwa- peristiwa hukum, peristiwa yang merupakan hubungan hukum atau kepentingan hukum antara pihak-pihak yang berperkara. Kepentingan hukum ini disebut point d’interest, point d’action.

c) Petitum, adalah apa yang diminta atau diharapkan atau dimohonkan penggugat agar diputuskan hakim. Hal-hal yang diminta ini didasarkan pada fundamentum petendi.

Apabila penggugat akan memasukkan gugatannya, ketiga syarat itu harus diperhatikan secara teliti. Syarat lain yang harus dipenuhi yaitu apabila yang membuat surat gugatan dan mengurus hal ikhwal gugatannya adalah kuasa hukum maka dalam surat gugatan itu harus dilampirkan surat kuasa khusus sebagaimana disebut dalam Pasal 123 HIR. Apabila semua persyaratan sudah dipenuhi penggugat bisa langsung memasukkan gugatannya ke kepaniteraan pengadilan sesuai dengan Pasal 118 HIR.

b. Perdamaian Melalui Mediasi Peradilan

Pada sidang pertama atau sidang-sidang berikutnya setelah pihak-pihak yang berperkara hadir hakim mengusahakan perdamaian antara para pihak. Hal ini

48 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999), hlm 34-36.

sesuai dengan ketentuan Pasal 130 HIR. Yang dimaksud perdamaian disini menurut Subekti dan Tjitrisudibio adalah sebagai berikut:49

“Perdamaian yang dicapai dimuka hakim/pengadilan dibuat dalam bentuk akta perdamaian dan berlaku sebagai suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).”

Perdamaian yang diusahakan tersebut tidak berarti bahwa hakim turut berunding serta menjadi penengah atau mediator bagi para pihak melainkan perdamaian itu dilakukan oleh para pihak di luar sidang untuk kemudian hasilnya disampaikan kepada hakim. Selanjutnya hakim akan menuangkan hasil perdamaian tersebut dalam suatu putusan (vonis).50

c. Pemeriksaan di Persidangan

Setelah gugatan di ajukan dan didaftarkan oleh panitera dalam suatu daftar untuk itu, maka Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan atau Ketua Majelis Hakim yang telah ditunjuk memeriksa perkara tersebut, menetapkan hari persidangan dan memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir pada persidangan yang ditetapkan itu, disertai saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa dan dengan membawa segala surat keterangan yang akan di pergunakan [Pasal 121 ayat (1) HIR/Pasal 145 RBg]. Surat-surat yang dimaksudkan disini ialah permohonan gugat dan apabila ada surat jawaban dari tergugat. Dikatakan apabila ada, karena berdasarkan Pasal 121 ayat (2) HIR disebutkan “kalau mau maka tergugat bisa memajukan surat gugatan”. Apabila tidak ada surat jawaban, maka tergugat dalam persidangan

49Subekti dan Tjitrosudibio, Kamus Hukum, (Jakarta: 1983) hlm. 38.

50

diberi kesempatan memajukan jawaban secara lisan. Setelah tergugat membacakan jawabannya maka kepada Penggugat juga diberikan kesempatan untuk mengajukan replik selanjutnya replik ini dijawab kembali oleh tergugat dengan duplik.

d. Tahap Pembuktian

Tahapan yang harus dilakukan dalam beracara setelah tahap jawab-menjawab selesai adalah tahap pembuktian, baik dari pihak penggugat maupun pihak tergugat. Pembuktian merupakan tahapan dimana para pihak mengemukakan dalil-dalilnya. Sesuai dengan asas pembuktian dalam Pasal 163 HIR ( Pasal 1865 KUHPer) yang berbunyi:

“Barangsiapa yang mengatakan ia mempunyai hak, atau menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantak hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

Dalam jawab-menjawab di muka siding Pengadilan Negeri, pihak-pihak yang berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang bias dijadikan dasar untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk membantah hak peradilan lain. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah barang tentu tidak cukup hanya dikemukakan begitu saja, baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain, peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis.51

51 H. Riduan Syahrani, S.H., Op. Cit, hlm. 81.

Dengan demikian, pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa sebuah perkara untuk memberikan kepastian tentang kebenaran dari suatu perkara yang sedang di kemukakan.

Didalam membuktikan peristiwa-peristiwa atau fakta-fakta hukum tersebut, para pihak dan hakim terikat pada alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang yaitu Pasal 164 HIR (Pasal 1866 KUHPer) yang menentukan bahwa alat-alat bukti meliputi bukti dengan surat, bukti dengan saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah.

e. Tahap Putusan hakim

Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.52

Setelah hakim Pengadilan Negeri memahami duduk perkaranya serta memperhatikan pembuktian- pembuktian dari apa yang dilakukan para pihak maka hakim selanjutnya harus menjatuhkan hukumannya. Menjatuhkan suatu putusan atas suatu perkara bukanlah hal yang mudah, sebab menjatuhkan suatu putusan atas suatu perkara menyangkut rasa keadilan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa tugas peradilan oleh hakim dilaksanakan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

52Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm. 167

Berdasarkan pasal tersebut maka putusan yang dibuat oleh hakim adalah harus dijatuhkan setelah hakim memahami terlebih dahulu pokok perkaranya dan telah pula dilakukan pembuktian atas perkara tersebut.

Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis, yang harus di tandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut bersidang [Pasal 25 ayat (2) Undang-undang No.4 Tahun 2004]. Apa yang diucapkan hakim pada sidang pengadilan harus benar-benar sama dengan apa yang tertulis dan apa yang tertulis harus benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang pengadilan. Untuk mencegah adanya perbedaan antara bunyi putusan yang diucapkan di persidangan dan yang tertulis, Mahkamah Agung dengan Surat Edaran Nomor 5 Tahun 1959 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 7 Maret 1962 telah menginstruksikan kepada para hakim agar pada waktu putusan pengadilan tersebut diucapkan konsepnya harus sudah disiapkan.53

Mengingat kewajiban hakim adalah menentukan hukumnya atas suatu kasus maka peristiwa-peristiwa hukum itu ditentukan hukumnya. Barulah kemudian setelah hakim menentukan hukumnya atas peristiwa-peristiwa hukum itu, hakim menentukan pihak-pihak mana yang harus dimenangkan atau dikalahkan.

f. Upaya Hukum

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang maupun badan hukum untuk melawan putusan hakim dikarenakan

53 H. Riduan Syahrani, S.H., Op. Cit, hlm. 118.

hal-hal tertentu dikarenakan adanya hal-hal yang tidak sesuai atau tidak memenuhi rasa keadilan.

Upaya hukum secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Upaya hukum biasa

Upaya hukum biasa terdiri dari perlawanan (verzet), banding, dan kasasi.

Perlawan (verzet) merupakan upaya hukum yang diperuntukkan bagi pihak tergugat atas putusan verstek. Perlawanan juga dapat diajukan oleh salah satu pihak yang merasa dirugikan atas penetapan pengadilan.

Banding merupakan upaya hukum atas putusan pengadilan tingkat pertama agar perkara diperiksa ulang oleh pengadilan tingkat banding atau pengadilan tinggi. Dengan dilakukannya upaya hukum banding, maka perkara menjadi mentah kembali, perkara diperiksa kembali dalam keseluruhannya. Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan terhadap lembaga peradilan tingkat terakhir yakni mahkamah agung. Permohonan kasasi dapat diajukan secara lisan maupun tulisan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan banding diberitahukan kepada para pihak. Pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak melakukan pemeriksaan dengan mendudukkan fakta-fakta hukum dan mempertimbangkan mengenai hukumnya, akan tetapi hanya meninjau penerapan hukumnya saja, benar atau salah.54

2. Upaya hukum luar biasa

54 Rasito, S.H., M. Hum., Panduan Belajar Hukum Acara Perdata,(Yogyakarta : Pustaka

Upaya hukum luar biasa meliputi perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dan peninjauan kembali (request civil).

Upaya hukum perlawanan pihak ketiga (derden verzet) pada dasarnya putusan pengadilan hanya mengikat kedua belah pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh putusan maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Perlawan tersebut diajukan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa.

Pihak ketiga yang melakukan perlawanan harus benar-benar telah dirugikan hak-haknya oleh putusan tersebut. Apabila perlawanan dikabulkan maka putusan yang bersangkutan diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga (Pasal 382 Rv). Peninjauan kembali (request civil) merupakan upaya hukum untuk meninjau kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena ditemukan hal-hal baru yang sebelumnya tidak ditemukan, apabila hal baru tersebut telah diketahui sebelumnya maka akan mempengaruhi putusan hakim yang sebelumnya. Peninjauan kembali dapat diajukan oleh para pihak (ahli waris) dengan membuat permohonan peninjauan kembali dengan disertai alasan-alasan. Permohonan terebut diajukan kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkara yang bersangkutan.55

55 Ibid, hlm. 137.

D. Struktur Putusan Perkara Perdata

Struktur putusan perdata adalah susunan atau sistematika yang harus dirumuskan dalam putusan agar memenuhi syarat perundang-undangan. Dalam garis besar struktur putusan ini di atur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR atau Pasal 195 RBG. Apabila putusan yang dibuat tidak sesuai dengan aturan yang telah tertulis maka putusan tersebut dianggap tidak sah dan harus dibatalkan. Selain diatur dalam Pasal 184 ayat (1) HIR dan Pasal 195 RBG struktur mengenai putusan ini juga di atur dalam Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana di ubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004.

Kalau dilihat dari segi wujudnya, suatu putusan terdiri dari 6 bagian, yaitu:

1. Kepala Putusan

Setiap putusan pengadilan harus mempunyai kepala putusan yang berbunyi:

“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004].

Kepala putusan memberikan kekuatan eksekutorial atau kekuatan hukum tetap pada putusan pengadilan. Apabila kepala putusan pengadilan tidak ada kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, putusan pengadilan tersebut tidak dapat dilaksanakan.

Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam putusan pengadilan di maksudkan juga oleh pembuat undang-undang agar hakim selalu menginsafi bahwa karena sumpah

jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, pada diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa (Penjelasan Umum angka 6 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970).56 2. Identitas Para Pihak

Seperti yang terlihat pada umumnya bahwa dalam setiap perkara perdata tentu selalu ada dua pihak yang berhadapan, yaitu penggugat dan tergugat, selain itu juga ada yang disebut dengan turut tergugat (jika ada). Dalam putusan pengadilan identitas para pihak harus di jabarkan secara jelas yaitu nama, umur, pekerjaan, alamat, serta nama kuasanya apabila yang bersangkutan menguasakan kepada orang lain.

3. Duduk Perkara a. Dalil Gugatan

Dalil gugatan atau fundamentum petendi, dijelaskan dengan singkat dasar hukum dan hubungan hukum serta fakta yang menjadi dasar gugatan.

Penerapan uraian dalil gugatan dalam putusan, di bawah penyebutan identitas para pihak. Menurut Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 dalil putusan berisi ringkasan dalil putusan namun harus jelas dan dimengerti.

Bagaimana kalau putusan tidak mencantumkan dalil gugatan? Dianggap putusan tidak memiliki landasan titik tolak. Dalil gugat adalah landasan titik tolak pemeriksaan perkara. Berarti putusan yang tidak mencantumkan dalil gugatan, dianggap tidak mempunyai dasar titik tolak. Itu sebabnya Putusan MA No. 312 K/Sip/1974 menegaskan putusan yang tidak mencantumkan posita gugat, batal demi hukum, karena bertentangan dengan Pasal 184 ayat

56 H. Riduan Syahrani, S.H., Op. Cit, hlm. 120

(1) HIR. Penegasan yang sama dikemukakan dalam Putusan MA No. 177 K/Sip/1976. Dikatakan, putusan pengadilan yang memenuhi syarat, harus memuat isi gugatan penggugat dan jawaban tergugat.57

b. Tuntutan Penggugat (Petitum)

Petitum berisi tuntutan apa saja yang dimintakan oleh penggugat kepada hakim untuk dikabulkan. Selain tuntutan utama, penggugat juga biasanya menambahkan dengan tuntutan subside atau pengganti seperti menuntut membayar denda atau menuntut agar putusan hakim dapat dieksekusi walaupun akan ada perlawanan di kemudian hari yang disebut dengan uitvoerbar bij voorrad. Mahkamah Agung dalam SEMA No. 6 Tahun 1975 perihal Uitvoerbaar bij voorraad tanggal 1 Desember 1975 menginstruksikan agar hakim jangan secara mudah mengabulkan putusan yang demikian.

Supaya gugatan sah, dalam arti tidak mengandung cacat formil, harus mencantumkan petitum gugatan yang berisi pokok tuntutan penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu per satu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat.58

c. Jawaban Tergugat

Mencantumkan jawaban tergugat menurut Pasal 184 ayat (1) HIR, cukup dengan ringkas, tidak mesti keseluruhan. Tentunya dengan tidak menghilangkan makna yang ada pada jawaban tersebut, agar ringkasan yang dibuat tidak menyimpang dengan jawaban yang sebenarnya, hakim juga dapat

57 Yahya Harahap, S.H., Hukum Acara Perdata, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2013) hlm.

808.

58

memberikan pertanyaan seputar hal-hal yang kurang jelas dan meragukan dalam jawaban.

Pengertian jawaban dalam arti luas, meliputi replik dan duplik serta konklusi. Oleh karena itu, sesuai dengan tata tertib beracara, yang harus dirumuskan dalam putusan meliputi replik dan duplik maupun konklusi.

Ringkasan mengenai hal-hal tersebut, harus tercantum dalam putusan.

Kelalaian mencamtukannya, mengakibatkan putusan tidak memenuhi syarat.

Tentang ini kembali perhatikan Putusan MA No. 312 K/Sip/1974. Dikatakan, karena putusan tidak memuat posita gugat dan jawaban tergugat, putusan tersebut bertentangan dengan Pasal 184 ayat (1) HIR. Kembali juga lihat Putusan MA No. 177 K/Sip/1976, yang menegaskan, karena putusan tidak memuat isi gugatan dan jawaban, putusan tidak sah.59

d. Gugatan Rekonvensi

Pasal 132 huruf (a) HIR mendefinisikan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan tergugat sebagai gugatan balasan terhadap gugatan yang diajukan penggugat kepadanya. Gugatan rekonvensi tersebut diajukan tergugat kepada Pengadilan Negeri, pada saat berlangsung proses pemeriksaan gugatan yang diajukan penggugat. Gugatan rekonvensi ini dapat dimasukkan jika ada, supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus dipenuhinya syarat materil, gugatan harus pula memenuhi syarat formil. HIR tidak secara tegas menentukan dan mengatur syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas.

Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya

59 Ibid, hlm. 809.

gugatan rekonvensi yang diajukan tergugat kepadanya. Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan, tetapi lebih baik apabila diajukan dalam bentuk tertulis.60

Dalam penjelasan Pasal 132 huruf (a) HIR disebutkan, oleh karena bagi tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan melawan, artinya untuk menggugat kembali penggugat, maka tergugat itu tidak perlu mengajukan tuntutan baru, akan tetapi cukup dengan memajukan gugatan rekonvensi itu saja.

4. Keterangan Saksi, Ahli, dan Para Pihak

Uraian selanjutnya, deskripsi fakta dan alat bukti atau pembuktian yang ringkas dan lengkap. Dimulai dengan alat bukti atau pembuktian yang diajukan penggugat, dan dilanjutkan dengan pembuktian penggugat, dan dilanjutkan dengan pembuktian tergugat:

- Alat bukti apa saja yang diajukan masing-masing pihak,

- Terpenuhi atau tidak syarat formil dan syarat materiil masing-masing alat bukti yang diajukan.61

5. Pertimbangan Hukum

Pertimbangan hukum adalah inti dari sebuah putusan, dimana didalam pertimbangan hukum sendiri berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan hukum yang di buat oleh hakim. Hal-hal yang dipertimbangkan oleh hakim harus jelas berdasarkan undang-undang pembuktian, seperti apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat formil dan materiil, alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal

60 http://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/syarat-formil-gugatan-rekonvensi/, diakses pada 20 Mei 2018 pukul 15:00.

61

pembuktian, dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti, sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak.

Dari hasil argumentasi itulah hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan. Apabila putusan tidak lengkap dan saksama mendeskripsikan dan mempertimbangkan alat bukti dan nilai kekuatan pembuktian, mengakibatkan putusan dianggap tidak cukup pertimbangan hukumnya atau onvoldoende gemortiveerd, dan putusan tersebut bertentangan dengan Pasal 178 ayat (1)

HIR, Pasal 189 RBG dan Pasal 18 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 (sekarang Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004) yang paling sering dijadikan dasar menyatakan putusan mengandung cacat tidak cukup pertimbangan, terutama di sebabkan putusan tidak mempertimbangkan fakta dan pembuktian dengan seksama.62

6. Amar Putusan

Amar atau dictum putusan merupakan jawaban terhadap petitum gugatan, merupakan kesimpulan akhir yang diperoleh hakim atas perkara yang di periksanya.63

Dalam hukum acara perdata ditentukan bahwa hakim wajib mengadili semua bagian dari tuntutan, baik dalam konvensi maupun rekonvensi. Kalau tidak, putusan tersebut harus dibatalkan (MA Nomor 104 K/Sip/1968).

Namun, hakim dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 HIR/Pasal 189

62 Ibid, hlm. 810.

63 Rasito, Op. Cit, hlm. 128.

RBG, MA tanggal 21-21970 Nomor 339 K/Sip/1969 dan tanggal 19-6-1971 Nomor K/Sip/1969). Mengabulkan lebih daripada petitum hanya dapat dibenarkan asal saja tidak menyimpang dari posita.64

64

BAB IV

PERAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PERKARA PERDATA

A. Pengaturan Hukum Jaksa Pengacara Negara dalam Perkara Perdata Kejaksaan dalam penyelenggaran tugas dan fungsinya perlu adanya keterpaduan dan sinkronisasi antara Sub-sistem. Muladi menyebutkan, perlu adanya sinkronisasi struktural, sinkronisasi substansial dan sinkronisasi kultural.65

Kejaksaan merupakan salah satu subsistem dalam peradilan pidana (selain kepolisian, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) memegang peranan penting dalam penciptaan kejaksaan terpadu. Sebagai salah satu unsur penegakan hukum itu dalam suatu sistem hukum kejaksaan merupakan bagian dari suatu sistem, sebagaimana dikemukakan L.M. Friedman bahwa sistem hukum tersusun dari sub-sub sistem yang berupa substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

Ketiga unsur sistem hukum ini sangat menentukan apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.66

Kejaksaan merupakan institusi sentral dalam penegakan hukum yang dimiliki oleh semua negara yang menganut paham rule of law. Konsep dari rule of law diberikaan oleh beberapa ahli. A.V.Dicey menyatakan bahwa the rule of law harus memenuhi unsur-unsur tertentu, yaitu: (1) Supremacy of law (supremasi hukum);

(2) Equality before the law (persamaan kedudukan dalam hukum) dan (3) Constitrution based on human right (pengakuan Hak Asasi Manusia).67

65 Muladi, Kapita Selekta Kejaksaan, UNDIP, Semarang, 1995, hlm. 1-2.

66 Marwan Effendi, Op. Cit, hlm. 1.

67 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia, 1999) hlm. 25.

Tugas dan wewenang Jaksa Pengacara Negara yang menjadi pedoman dalam melaksanakan tugas dan fungsi satuan kerja Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN) adalah sebagai berikut: (1) Mencegah timbulnya sengketa hukum dalam masyarakat (2) Menegakkan Kewibawaan Pemerintah (3)

Tugas dan wewenang Jaksa Pengacara Negara yang menjadi pedoman dalam melaksanakan tugas dan fungsi satuan kerja Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN) adalah sebagai berikut: (1) Mencegah timbulnya sengketa hukum dalam masyarakat (2) Menegakkan Kewibawaan Pemerintah (3)

Dokumen terkait